Anda di halaman 1dari 4

JEBAKAN BATMAN SPI 201

PENILAIAN UNTUK LAPORAN KEUANGAN

1. SPI 201 berikut Juknisnya menuntun penilai dalam melakukan penilaian asset berwujud untuk
tujuan laporan keuangan dan dapat juga digunakan sebagai rujukan dalam melaksanakan
revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan. Penilaian dengan tujuan laporan keuangan ini
menggunakan dasar penilaian Nilai Wajar.
2. Maksud dan Tujuan penilaian harus dinyatakan secara jelas. Tujuan penilaian Pemberi Tugas
adalah untuk tujuan pelaporan keuangan atau tujuan perpajakan. Terdapat pekerjaan tambahan
(lihat SPI 364) yang dapat diminta oleh pemberi tugas dan harus dinyatakan secara jelas di
dalam Lingkup Penugasan. Pekerjaan tambahan tersebut, antara lain mencakup:

 Inventarisasi Aset

 Perincian Nilai Wajar berdasarkan daftar aset berwujud yang tercermin pada laporan
keuangan pada tanggal penilaian.

 Perincian Nilai Wajar berdasarkan daftar aset tetap sesuai dengan SPT Tahunan pada tanggal
penilaian (untuk tujuan perpajakan),

 Penentuan Sisa Umur Ekonomi,

 Penentuan Nilai Sisa,

3. Tanggal penilaian harus bersamaan dengan tanggal pelaporan keuangan Entitas atau tanggal
lainnya berdasarkan ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan tanggal pengukuran pada
definisi Nilai Wajar adalah sama dengan tanggal penilaian. Khusus untuk tujuan perpajakan,
tanggal penilaian dapat berbeda dengan tanggal pelaporan keuangan Entitas, atau sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

4. Untuk aset tipikal dalam jumlah banyak, maka inspeksi dapat dilakukan secara sampling.
Sedangkan jika aset tidak dapat diinspeksi dikarenakan lokasinya atau situasi tertentu, maka
Penilai dapat melakukan penilaian dengan melakukan verifikasi terhadap data sekunder dan
membuat asumsi khusus;

5. Asumsi khusus harus dinyatakan secara jelas apabila terdapat ketidak pastian informasi berkaitan
karakteristik fisik, legal atau ekonomi dari properti, atau mengenai kondisi eksternal properti
seperti kondisi pasar atau tren atau integritas data yang digunakan dalam analisis.
6. Hirarki Nilai Wajar memberikan prioritas tertinggi kepada harga yang langsung dikutip dari pasar
atau harga kuotasian (tanpa penyesuaian) di pasar aktif untuk aset atau liabilitas yang identik
(input level 1) kemudian input yang dapat diobservasi dari pasar/data pasar baik secara
langsung maupun tidak langsung (input level 2) dan prioritas terendah untuk input yang tidak
dapat diobservasi dari pasar (input level 3) yang umumnya terkait dengan properti khusus atau
properti dengan pasar yang terbatas.

Penerapan pendekatan dan metode penilaian untuk menghitung Nilai Wajar atas objek
penilaian, sebagai berikut:

Objek Penilaian Pasar Pendapatan Biaya Keterangan


Tanah HBU

Tanah & HBU


Bangunan

Personal HBU
Properti
Berwujud

Dalam hal ini penilai juga harus memperhatikan apakah properti memenuhi HBUnya, karena dapat
saja suatu properti dibangun sesuai dengan peruntukannya, namun pendapatan yang dihasilkan
tidak optimum karena kondisi, lingkungan atau skala pengembangannya, sehingga memerlukan
pertimbangan Penilai untuk memutuskan apakah properti eksisting akan dipugar atau direnovasi.
Selain itu Penilai perlu mempertimbangkan adanya potensi tanah berlebih (excess land) yang
harus dinilai tersendiri). Hal yang sama berlaku pada mesin dan peralatan dengan utilisasi yang
tidak optimal, sehingga memerlukan pertimbangan Penilai untuk kemungkinan dilakukannya
’overhaul’ atau perbaikan.

Teknik Pengukuran berdasar SAK

1. Kuotasian langsung dari harga pasar aktif (quoted market price) seperti dari pasar modal, bursa
komoditi dan pasar sejenisnya adalah Nilai Wajar terbaik menurut PSAK 68, yakni memenuhi
hirarki tertinggi (level 1). Namun bila pasar aktif atau pasar utama tidak tersedia, maka hirarki
nilai wajar PSAK 68 mensyaratkan untuk turun ke pengukuran level 2 atau ke level 3 (yang
terendah).
2. Level 2 menggunakan data masukan baik berupa data yang langsung dapat diobservasi seperti
harga transaksi aset serupa yang mirip, atau harga kuotasian aset identik di pasar yang tidak
aktif, atau harga input lainnya yang masih bisa diobservasi dari pasar walau secara tidak
langsung seperti harga sewa aset sejenis, tingkat hunian dan sebagainya.

3. Pengukuran Nilai Wajar level 3 menggunakan harga atau data masukan yang tidak bisa
diobservasi. Level 3 ini yang biasanya menggunakan teknik penilaian seperti misalnya
discounted cash flow yang menggunakan arus kas proyeksi dari aset yang diukur selama umur
ekonomis aset. Pengukuran pada level 3 lebih subjektif dari pada level 1 dan level 2, karena
banyak asumsi dalam pengukurannya.

Tinjauan pasar

Penilai harus memberikan gambaran mengenai tingkat permintaan/penawaran, tren harga dan
indikator pasar lainnya untuk memberikan gambaran pasar dari aset yang dinilai.

Permasalahan Juknis SPI 201 dalam praktek

Kuotasian langsung dari harga pasar aktif (quoted market price) seperti dari pasar modal, bursa
komoditi dan pasar sejenisnya adalah Nilai Wajar terbaik menurut PSAK 68, yakni memenuhi hirarki
tertinggi (level 1). Untuk saham dan komoditi relative mudah untuk mendapatkan nilai kuotasian
karena produk bisa identical atau closed subtitutes. Namun untuk tanah bersifat unik sehingga tidak
ada yang identical apalagi closed subtitutes. Untuk bangunan bisa ada. Sehingga sulit sekali bagi
penilai bisa menghasilkan estimasi nilai wajar terbaik untuk property. Jadi penilai dalam kegiatannya
tidak bisa menghasilkan nilai pasar terhadap properti yang dinilai.

Nampaknya KSPI tidak faham dan tidak menyadari bahwa apabila penilai mengikuti sepenuhnya
petunjuk itu akan mendatangkan permasalahan yang serius. Penilaian aset untuk tujuan pelaporan
keuangan menurut SPI 201 itu dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai nilai aset yang
sebenarnya (riil) dari entitas, dibandingkan dengan nilai buku yang lebih berupa pencatatan sesuai
dengan standar akuntansi keuangan. Maksud dan Tujuan Penilaian adalah untuk memberikan opini
Nilai Wajar yang akan digunakan untuk tujuan pelaporan keuangan (lihat Lampiran SPI 103 dan SPI
201) atau untuk tujuan perpajakan. Penilai dituntut harus dapat mengidentifikasi secara jelas dan
memahami SAK yang mensyaratkan pengukuran Nilai Wajar dalam penilaian untuk tujuan pelaporan
keuangan, misalnya untuk model revaluasi aset sesuai PSAK 16-Aset Tetap, atau model Nilai Wajar
sesuai PSAK 13-Properti Investasi.

KSPI nampaknya tidak faham bahwa ada beberapa industri tertentu yang mengembangkan system
akuntansinya sendiri berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku pada industri tersebut,
disebut Statutory Accounting Principles (SAP). Dinamakan SAP karena pengembangan system
akuntansinya didasarkan kepada peraturan perundangan di bidang usaha tersebut. Mereka perlu
mengembangkan system akuntansi sendiri karena bila mengandalkan kepada system akuntansi
GAAP yang ada yang bertumpu pada laporan laba-rugi dan arus kas dalam mengelola kesehatan
keuangan yang berpedoman kepada keselarasan antara cash in dengan cash out maka tujuan itu
tidak akan diperoleh. Guna memastikan kondisi keuangannya, industry itu harus menganalisis posisi
keuangan perusahaan sebagaimana tertuang di dalam neraca. Bahkan neraca yang digunakan juga
berbeda formatnya, yaitu menggunakan format unclassified balanca sheet yang tidak
mengelompokkan akunnya kedalam current dan non current account dan tidak menyajikan sub total
dari masing-masing kelompok akun. Bahkan dalam neraca perusahaan asuransi misalnya, lebih
mendahulukan akun investasi dari pada akun non investasi. Selain itu, guna mengetahui posisi
keuangannya secara riil maka semua akun nilainya harus disajikan marked to market (dalam nilai
pasar).

Perbedaan antara SAP dengan GAAP terutama terletak pada penentuan kapan suatu pengeluaran
tertentu harus dibebankan kedalam kegiatan usaha, penilaian dan dimasukannya suatu kekayaan
kedalam neraca perusahaan (waktu pengakuan pos-pos pednapatan dan beban), serta perlakukan
kekayaan perusahaan. Sebagai contoh dalam SAP Asuransi, berdasarkan GAAP maka biaya akuisisi
yang berhubungan dengan produksi dari bisnis baru (terutama komisi, advertensi dan biaya
underwriting) diklasifikasikan sebagai sebagai asset atau diarmortisasikan selama periode/jangka
waktu dari bisnis baru. Di bawah SAP maka pengeluaran semacam itu harus segera dibebankan
sebagai biaya operasi agar supaya diperoleh laporan yang akurat mengenai dana yang memang
benar-benar tersedia guna memenuhi kewajiban perusahaan. Perbedaan penilaian dan
penghitungan terutama melibatkan aktiva seperti tagihan premi dan pinjaman yang kurang terjamin
pembayarannya kembali. Berdasarkan GAAP, kedua item tersebut dicantumkan sebagai asset dalam
neraca sebagai asset sedang menurut SAP suatu pinjaman yang tidak dijamin pengembaliannya dan
piutang premi yang melebihi 3 bulan adalah past due sehingga tidak dimasukkan sebagai kekayaan.
Lalu dalam penilaian asset, demikian juga untuk menilai sekuritas berdasarkan SAP harus dinilai
dengan nilai pasar. Inilah yang bisa menjadi jebakan Batman bila penilai tidak tahu.

Revaluasi asset ditujukan untuk meningkatkan solvabilitas perusahaan, tidak untuk ”memberikan
opini Nilai Wajar yang akan digunakan untuk tujuan pelaporan keuangan semata (atau tujuan
perpajakan)” ataupun inventarisasi asset (Lebih jauh bisa baca Hukum Asuransi dan Kesehatan
Perusahaan Asuransi oleh Agus Prawoto, diterbitkan oleh BPFE). Inilah yang akan membahayakan
apabila para penilai tidak memahaminya.

Anda mungkin juga menyukai