1. Latar Belakang
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kajian pustaka berikut ini memuat dua hal yang
relevan, yaitu penggunaan Facebook dalam proses pembelajaran dan moda daring kombinasi
sebagai suatu model dalam pengembangan profesionalsime guru. Kajian kedua topik ini
sangat diperlukan dan telah membantu saya dalam memahami bagaimana Facebook telah
dimanfaatkan untuk proses pembelajaran, khususnya untuk pembelajaran bahasa Inggris di
dalam kelas. Kajian tentang bagaimana moda daring kombinasi seharusnya didesain untuk
pengembangan profesionalsime guru juga telah menjadi bagian dari pendalaman wawasan
saya. Pemahaman yang mendalam akan kedua hal ini telah berkontribusi dalam membentuk
kerangka konseptual dalam pelaksanaan kegiatan penggunaan Facebook untuk
pengembangan profesi guru di Indonesia.
Sejumlah studi melaporkan penggunaan teknologi Web 2.0 termasuk media sosial seperti
Facebook sebagai alat pembelajaran dalam kelas, termasuk dalam kelas bahasa Inggris.
Mondahl dan Razmerita (2014) mengatakan bahwa lingkungan belajar berbasis media sosial
dapat membangun pengetahuan secara kolaboratif, karena peserta didik akan berinteraksi
sosial dan saling berbagi informasi. Dalam lingkungan belajar berbasis media sosial, peserta
didik tidak hanya membaca dan mendapatkan informasi, mereka juga berbagi pengalaman
dan membangun pengetahuan (Lomicka & Lord, 2009). Studi mereka ini menunjukkan
efektivitas media sosial dalam pembelajaran.
Penggunaan teknologi Web 2.0 tidak hanya untuk proses pembelajaran bagi siswa, tetapi juga
telah digunakan untuk pengembangan profesionalisme (Bingham & Conner, 2015;
Rutherford, 2013). Dalam konteks pengembangan profesionalsime, interaksi sosial yang
terkait dengan pekerjaan mendukung proses belajar menjadi suatu hal yang bermakna,
berkelanjutan, dan membuat orang dapat bekerja bersama secara lebih efektif dengan kolega,
dengan pimpinannya, dan bahkan dengan orang dari departemen lainnya (Bingham &
Conner, 2015). Rutherford (2013) melaporkan bahwa sosial media (Facebook) telah
digunakan juga untuk pengembangan profesionalisme guru, tetapi kebanyakan digunakan
untuk berbagi bahan ajar dan berbagi pikiran, gagasan, dan pengalaman.
Back dan Schell (2011) menggunakan Facebook untuk pembelajaran bahasa Inggris dan
melaporkan bahwa lingkungan belajar seperti itu memiliki potensi mendukung penerapan
pendekatan komunikatif. Interaksi dan kolaborasi antar sesama peserta didik terjadi, dan guru
hanya berperan sebagai pemibimbing dan fasilitator. Studi lainnya Fewkes and McCabe
(2012), yang menggunakan Facebook juga melaporkan pendapat peserta didik yang
menyatakan bahwa peserta didik merasa terbantu dalam pengerjaan tugas-tugas mereka
melalui interaksi sosial di Facebook.
Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan Facebook bukanlah tanpa tantangan dan
gangguan. Contohnya, Q. Wang, Woo, Quek, Yang, and Liu (2012) melaporkan bahwa
Facebook tidak mendukung format tertentu seperti powerpoints slide dan PDF. Diskusi di
Facebook sangat rentan untuk terganggu (Beck & Schell, 2011; Q. Wang et al., 2012). Shih
(2011) melaporkan beberapa tantangan dalam kelas Writing yang dia ajar. Beberapa peserta
didik terlalu menikmati penggunaan Facebook sehingga mereka lupa akan tugas-tugas belajar
yang seharusnya mereka kerjakan di Facebook. Tantangan lainnya adalah bahwa peserta
didik cenderung mengabaikan aturan ejaan dan tata bahasa yang baik dan benar saat
berinteraksi di Facebook.
Graham (2013) mengatakan bahwa moda daring kombinasi telah banyak dipahami dan
digunakan untuk pengembangan profesi guru, baik di tingkat sekolah dasar maupun
pendidikan tinggi. Moda daring kombinasi yang dimaksud adalah kombinasi interaksi belajar
tatap muka yang konvensional dan interaksi belajar dalam jaringan (daring). Dalam model
kombinasi ini, interaksi daring menggantikan beberapa pertemuan tatap muka. Menurut Sloan
Consortium, ada 5 prinsip kualitas yang harus dipertimbangkan di dalam mendesain
pembelajaran moda daring kombinasi: efektivitas belajar, kepuasan peserta didik, kepuasan
guru, akses dan fleksibilitas, dan efektivitas biaya (Graham, 2013; Graham & Dziuban,
2007; Naaj, Nachouki, & Ankit, 2012).
1). Efektivitas belajar
Efektivitas belaja berkaitan erat dengan bagaimana moda daring kombinasi dapat membantu
peserta didik belajar (Graham, 2013). Sejumlah studi menunjukkan bahwa pemilihan
aktivitas belajar seperti interaksi dan kolaborasi antar peserta didik berkontribusi terhadap
efektivitas belajar dalam moda daring kombinasi. Shih (2012) menyediakan banyak waktu
bagi peserta didiknya untuk berinteraksi dan berkolaborasi di Facebook, dan hal itu menjadi
faktor yang mendukung keberhasilan dalam kelas English Writing.
Dalam konteks pengembangan profesionalisme guru, Owston, Sinclair, and Wideman (2008)
melaporkan bahwa kombinasi interaksi tatap muka selama 1 hari dan interaksi daring selama
8 minggu, dan interaksi tatap muka lagi di akhir program selama 1 hari dapat berkontribusi
dalam efektivitas belajar. Pola seperti ini dirasakan sangat efektif karena tersedianya waktu
yang cukup untuk guru peserta diklat saling berdskusi, berkolaborasi, dan berbagi
pengalaman. Pola tersebut memberikan waktu bagi guru untuk mengimplementasikan apa
yang mereka pelajari, berbagai permasalahan yang mereka hadapi, dan menerima umpan
balik dari sesama peserta diklat.
Di samping ke-lima prinsip kualitas di atas, Macdonald (2008) juga menyarankan beberapa
aspek untuk dipertimbangkan dalam hal menjaga kualitas belajar pada moda daring
kombinasi, yaitu:
Afektif – menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik
Dialogik – materi dan strategi belajar dirancang untuk memenuhi kebutuhan individual para
peserta didik
Fokus – mengutamakan unsure belajar
Reflektif – memberikan waktu bagi peserta didik untuk berpikir
Timely – diberikan pada waktunya bila relevan dan bermanfaat
Reversionable – memberikan dukungan pada individu maupun kelompok
Aksesibilitas – materi ajar tersedia bagi sejumlah peserta didik yang maksimal
Pembelajaran dengan moda daring kombinasi ini didesain dengan memperhatikan prinsip
pembelajaran orang dewasa dan teori belajar konstruktivisme sosial (social
constructivist perspectives), sebagaimana dijabarkan berikut ini:
a. Alat teknologi yang digunakan untuk interaksi belajar harus yang user-friendly, artinya,
hanya diperlukan sedikit upaya familiarisasi alat ini kepada pengguna. Hal ini sejalan dengan
prinsip bahwa teknologi adalah sebagai alat yang memudahkan proses belajar, bukan sebagai
beban belajar tambahan (Hughes, 2005). Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, hampir
semua guru peserta telah memiliki akun Facebook, dan sudah terampil menggunakan
Facebook untuk interaksi sosial. Oleh karena itu, Facebook dipilih sebagai media
pembelajaran dan sebagai forum untuk interaksi belajar. Dalam konteks pembelajaran ini,
Facebook disesuaikan (appropriated) untuk tujuan penggunaan pembelajaran. Dengan
memilih teknologi yang sudah dikenal oleh peserta, saya dapat lebih fokus ke pembelajaran
bahasa Inggris daripada fokus ke teknologi, karena tujuan pembelajarannya adalah
peningkatan kompetensi komunikasi bahasa Inggris, bukan kompetensi teknologi.
b. Topik dan materi yang dipilih adalah materi yang otentik dan sesuai dengan kebutuhan
peserta serta yang dapat mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Pemilihan topik yang
otentik ini sesuai dengan prinsip pembelajaran orang dewasa (Doyle, 2011).
c. Interaksi sosial dan kolaborasi sesama peserta diklat dapat dimediasi oleh teknologi
(technology-mediated interaction). Teori konstruktivisme sosial memandang bahwa proses
belajar dimulai dari interaksi sosial (Wertsch, 1991, 2008). Interaksi sosial dan kolaborasi
antar peserta diklat didesain untuk memudahkan peserta berbagi gagasan, pengalaman, dan
memberikan umpan balik yang konstruktif. Kolaborasi dilaksanakan pada saat sesi micro-
teaching, penyiapan lesson plan dan pengembangan bahan ajar, dan juga pada sesi interaksi
daring. Grafik di bawah ini menggambarkan desain instruksional pembelajaran bahasa
Inggris bagi guru-guru dalam moda daring kombinasi. Insert Figure 3 The design of the
blended learning course
4. Pelaksanaan Program Peningkatan Kompetensi Bahasa Inggris bagi Guru melalui
Moda Daring Kombinasi
Pada bagian ini, saya akan mulai menulis dari pertimbangan pemilihan sekolah dan guru yang
mencakup pendekatan kepada kepala sekolah dan guru, peserta kegiatan, materi hingga
mekanisme pelaksanaan kegiatan.
Saya kemudian menuliskan surat kepada beberapa kepala sekolah untuk meminta izin dan
kesediaan mereka dalam menerapkan rencana kegiatan belajar ini, dan sekaligus meyakinkan
kepala sekolah akan pentingnya program tersebut untuk peningkatan kualitas komunikasi
bahasa Inggris di sekolah. Setelah mengirimkan surat, saya tindak lanjuti dengan menelepon
para kepala sekolah untuk meminta waktu bertemu. Pada pertemuan tersebut, saya ulangi lagi
maksud dan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut, dan menjelaskan manfaatnya bagi sekolah.
Akhirnya, saya mendapatkan dan menetapkan 3 sekolah yang akan berpartisipasi dalam
kegiatan ini, yakni SMKN 57 Jakarta, SMKN 3 Singaraja, dan SMA YPHB Bogor. Atas
kesepakatan dengan kepala sekolah pada tiga sekolah tersebut, diputuskan bahwa guru yang
akan berpartisipasi adalah guru-guru mata pelajaran kejuruan, IPA/IPS, dan Matematika. Hal
ini sejalan dengan persyaratan pada saat sekolah berstatus RSBI. Saya mengadakan
pertemuan kepada guru-guru calon peserta di masing-masing sekolah untuk menjelaskan
bahwa kegiatan belajar ini bersifat sukarela, tidak ada paksaan, dan tidak ada konsekuensi
apabila ingin berhenti di tengah berjalannya program. Dan tidak kalah pentingnya adalah,
saya menjelaskan apa manfaat dari keikutsertaan guru dalam kegiatan ini, yaitu hanya dari
segi kompetensi berbahasa Inggris. Hal ini perlu saya sampaikan di awal agar guru calon
peserta memahami partisipasi apa yang diharapkan dari mereka selama kegiatan berlangsung.
4.2. Peserta
Peserta kegiatan peningkatan kompetensi komunikasi bahasa Inggris bagi guru ini adalah
sebanyak 16 orang dari 3 sekolah yang berbeda. Awalnya, dari ketiga sekolah tersebut di
atas, ada sekitar 35 orang guru yang berpartisipasi sebagai peserta. Namun seiring
berjalannya kegiatan, lebih dari 50% peserta mengundurkan diri dengan berbagai alasan
seperti sibuk dengan sekolah lanjutan ke jenjang S2, susah mengatur waktu mengajar,
kurangnya kemampuan awal berbahasa Inggris dibanding peserta lainnya, dan lain-lain.
Adapun daftar nama ke-enambelas guru peserta tersebut ada pada Lampiran 1.
Semua aktivitas pembelajaran tersebut di atas dilakukan dalam bahasa Inggris oleh peserta,
dengan tujuan agar membiasakan diri berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Sebagai fasilitator
4.8. ....
4.9.