Anda di halaman 1dari 26

Belajar Bahasa Inggris Menggunakan Facebook: Upaya Peningkatan

Kompetensi Guru Melalui Moda Daring Kombinasi

1. Latar Belakang

Pentingnya memiliki keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Inggris semakin terasa,


terutama di era global saat ini. Dengan dibukanya perdagangan bebas dan masuknya
perusahaan asing ke Indonesia, tuntutan untuk mampu berkomunikasi bahasa Inggris tidak
dapat dihindari. Sekolah-sekolah, terutama SMK perlu menyiapkan peserta didiknya
dengan keterampilan berkomunikasi bahasa Inggris agar mampu bersaing di pasar tenaga
kerja tingkat menengah. Namun ironis sekali, ketika tuntutan kemampuan berkomunikasi
Bahasa Inggris semakin tinggi, jam pelajaran bahasa Inggris berkurang di kurikulum 2013.
Hal ini mengakibatkan semakin beratnya tugas guru Bahasa Inggris untuk memfasilitasi
pembelajaran Bahasa Inggris bagi siswanya. Oleh karena itu, sekolah harus memikirikan
upaya untuk menciptakan lingkungan berbahasa Inggris di sekolah, agar English language
acquisition dapat terjadi di lingkungan sekolah. Penciptaan lingkungan berbahasa Inggris
yang dimaksud adalah dengan melibatkan semua guru, terutama guru-guru untuk mata
pelajaran produktif, IPA dan IPS, serta Matematika. Guru-guru kelompok mata pelajaran
tersebut di atas diharapkan mampu menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
di dalam kelas. Dengan demikian, lingkungan berbahasa Inggris dapat diciptakan di
sekolah, dan para siswa terbiasa mendengar instruksi dalam bahasa Inggris. Hal ini pernah
dicanangkan di beberapa sekolah di Indonesia lewat program RSBI, dan sebagai
konsekuensinya adalah perlunya peningkatan komunikasi bahasa Inggris bagi guru-guru
kelompok mata pelajaran tersebut di atas, baik di SMK maupun di SMA.

Peningkatan keterampilan berkomunikasi bahasa Inggris bagi guru-guru sering dilakukan


secara konvensional, yakni mengirimkan guru-guru untuk mengikuti pelatihan selama
beberapa minggu, atau mendatangkan guru ke sekolah. Ketika guru-guru dikirim untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat), artinya bahwa guru tersebut harus
meninggalkan tugasnya mengajar, dan akibatnya peserta didik juga yang dirugikan.

Melihat kondisi tersebut di atas, saya mencoba menawarkan Program Peningkatan


Kemampuan Berbahasa Inggris bagi Guru-guru Kelompok Produktif, IPA dan IPS,
serta Matematika di SMK dan SMA dengan menggunakan moda daring kombinasi
(a blended learning environment) – kombinasi dari pertemuan tatap muka dan dalam
jaringan (daring). Dalam dimensi daring, alat teknologi yang digunakan untuk interaksi
belajar adalah Facebok, media sosial yang sudah sangat dikenal luas di masyarakat
Indonesia.
Bagian berikut ini adalah kajian pustaka (literature review) yang terkait dengan
penggunaan Facebook dalam pembelajaran dan moda daring kombinasi sebagai suatu
model pengembangan profesionalsime guru. Tinjauan pustaka ini merupakan bagian
penting dalam pelaksanaan kegiatan ini, karena tinjauan pustaka memberikan inspirasi
dalam mengembangkan kerangka konseptual untuk pelaksanaan kegiatan diklat
peningkatan kompetensi komunikasi bahasa Inggris bagi guru ini.

2. Tinjauan Pustaka (Literature Review)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kajian pustaka berikut ini memuat dua hal yang
relevan, yaitu penggunaan Facebook dalam proses pembelajaran dan moda daring
kombinasi sebagai suatu model dalam pengembangan profesionalsime guru. Kajian kedua
topik ini sangat diperlukan dan telah membantu saya dalam memahami bagaimana
Facebook telah dimanfaatkan untuk proses pembelajaran, khususnya untuk pembelajaran
bahasa Inggris di dalam kelas. Kajian tentang bagaimana moda daring kombinasi
seharusnya didesain untuk pengembangan profesionalsime guru juga telah menjadi bagian
dari pendalaman wawasan saya. Pemahaman yang mendalam akan kedua hal ini telah
berkontribusi dalam membentuk kerangka konseptual dalam pelaksanaan kegiatan
penggunaan Facebook untuk pengembangan profesi guru di Indonesia.

Penggunaan Facebook dalam Proses Pembelajaran

Sejumlah studi melaporkan penggunaan teknologi Web 2.0 termasuk media sosial seperti
Facebook sebagai alat pembelajaran dalam kelas, termasuk dalam kelas bahasa Inggris.
Mondahl dan Razmerita (2014) mengatakan bahwa lingkungan belajar berbasis media
sosial dapat membangun pengetahuan secara kolaboratif, karena peserta didik akan
berinteraksi sosial dan saling berbagi informasi. Dalam lingkungan belajar berbasis media
sosial, peserta didik tidak hanya membaca dan mendapatkan informasi, mereka juga
berbagi pengalaman dan membangun pengetahuan (Lomicka & Lord, 2009). Studi mereka
ini menunjukkan efektivitas media sosial dalam pembelajaran.
Penggunaan teknologi Web 2.0 tidak hanya untuk proses pembelajaran bagi siswa, tetapi
juga telah digunakan untuk pengembangan profesionalisme (Bingham & Conner, 2015;
Rutherford, 2013). Dalam konteks pengembangan profesionalsime, interaksi sosial yang
terkait dengan pekerjaan mendukung proses belajar menjadi suatu hal yang bermakna,
berkelanjutan, dan membuat orang dapat bekerja bersama secara lebih efektif dengan
kolega, dengan pimpinannya, dan bahkan dengan orang dari departemen lainnya
(Bingham & Conner, 2015). Rutherford (2013) melaporkan bahwa sosial media
(Facebook) telah digunakan juga untuk pengembangan profesionalisme guru, tetapi
kebanyakan digunakan untuk berbagi bahan ajar dan berbagi pikiran, gagasan, dan
pengalaman.

Back dan Schell (2011) menggunakan Facebook untuk pembelajaran bahasa Inggris dan
melaporkan bahwa lingkungan belajar seperti itu memiliki potensi mendukung penerapan
pendekatan komunikatif. Interaksi dan kolaborasi antar sesama peserta didik terjadi, dan
guru hanya berperan sebagai pemibimbing dan fasilitator. Studi lainnya Fewkes and
McCabe (2012), yang menggunakan Facebook juga melaporkan pendapat peserta didik
yang menyatakan bahwa peserta didik merasa terbantu dalam pengerjaan tugas-tugas
mereka melalui interaksi sosial di Facebook.

Facebook juga telah digunakan untuk pengembangan profesionalsime guru. Contohnya,


Rutherford (2010) menggunakan Facebook untuk sekelompok guru di Ontario, Kanada,
untuk berbagi gagasan dan bahan ajar. Dalam kurun waktu satu tahun, sebanyak 384 orang
guru berpartisipasi dalam diskusi di Facebook yang terkait dengan isu profesi guru,
termasuk proses pembelajaran. Topik yang paling banyak dibahas dan paling banyak
peminatnya adalah topik pengetahuan konten dan pedagogik (pedagogical content
knowledge/PCK). Hal ini sejalan dengan (Garritz, 2013, 2014) yang menyatakan bahwa
guru selalu ingin meng-update pengetahuan konten dan pedagogik mereka.

Pembahasan tentang Facebook di atas mengindikasikan bahwa Facebook sudah banyak


digunakan untuk tujuan pembelajaran karena aktivitas belajar secara kolaboratif dapat
diciptakan. Facebook menyediakan fitur-fitur untuk interaksi synchronous maupun
asynchronous, dan juga dapat digunakan untuk berbagi gambar dan video pembelajaran.
Fitur-fitur ini membuat Facebook menjadi platform yang paling populer untuk jaringan
sosial secara daring. Familiaritas, pupularitas, dan aksesibilitas Facebook bagi sejumlah
besar masyarakat, termasuk guru, telah membuat Facebook menjadi yang paling banyak
digunakan untuk tujuan pembelajaran (Manca & Ranieri, 2013). Di samping itu, Facebook
juga sudah menjadi bagian dari kehidupan rutin banyak orang untuk interaksi sosial, jadi
memiliki potensi sebagai alat belajar untuk terlibat dan berpartisipasi dalam diskusi secara
daring (Hurt et al., 2012). Contohnya, Beck dan Schell (2011) mengatakan bahwa
mengajar bahasa Inggris dengan menggunakan Facebook membuat peserta didik banyak
mengalami kemajuan melalui interaksi dengan guru dan juga antar sesama peserta didik.
Belajar dengan menggunakan Facebook tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi
juga adanya penerimaan dan adaptasi kepada budaya belajar (A.Y. Yus Tian, Vogel, &
Kwok, 2010). Yang membuat belajar lewat Facebook itu menarik adalah akses gratis ke
kelas maya (virtual) dan juga dimungkinkannya mendapat komentar yang segera lewat
update status, baik dari fasilitator maupun dari sesama peserta didik.

Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan Facebook bukanlah tanpa tantangan


dan gangguan. Contohnya, Q. Wang, Woo, Quek, Yang, and Liu (2012) melaporkan
bahwa Facebook tidak mendukung format tertentu seperti powerpoints slide dan PDF.
Diskusi di Facebook sangat rentan untuk terganggu (Beck & Schell, 2011; Q. Wang et al.,
2012). Shih (2011) melaporkan beberapa tantangan dalam kelas Writing yang dia ajar.
Beberapa peserta didik terlalu menikmati penggunaan Facebook sehingga mereka lupa
akan tugas-tugas belajar yang seharusnya mereka kerjakan di Facebook. Tantangan
lainnya adalah bahwa peserta didik cenderung mengabaikan aturan ejaan dan tata bahasa
yang baik dan benar saat berinteraksi di Facebook.

Moda daring kombinasi: Model untuk pengembangan profesionalisme guru

Graham (2013) mengatakan bahwa moda daring kombinasi telah banyak dipahami dan
digunakan untuk pengembangan profesi guru, baik di tingkat sekolah dasar maupun
pendidikan tinggi. Moda daring kombinasi yang dimaksud adalah kombinasi interaksi
belajar tatap muka yang konvensional dan interaksi belajar dalam jaringan (daring). Dalam
model kombinasi ini, interaksi daring menggantikan beberapa pertemuan tatap muka.
Menurut Sloan Consortium, ada 5 prinsip kualitas yang harus dipertimbangkan di dalam
mendesain pembelajaran moda daring kombinasi: efektivitas belajar, kepuasan peserta
didik, kepuasan guru, akses dan fleksibilitas, dan efektivitas biaya (Graham, 2013;
Graham & Dziuban, 2007; Naaj, Nachouki, & Ankit, 2012).

1). Efektivitas belajar


Efektivitas belaja berkaitan erat dengan bagaimana moda daring kombinasi dapat
membantu peserta didik belajar (Graham, 2013). Sejumlah studi menunjukkan
bahwa pemilihan aktivitas belajar seperti interaksi dan kolaborasi antar peserta didik
berkontribusi terhadap efektivitas belajar dalam moda daring kombinasi. Shih
(2012) menyediakan banyak waktu bagi peserta didiknya untuk berinteraksi dan
berkolaborasi di Facebook, dan hal itu menjadi faktor yang mendukung keberhasilan
dalam kelas English Writing.
Dalam konteks pengembangan profesionalisme guru, Owston, Sinclair, and
Wideman (2008) melaporkan bahwa kombinasi interaksi tatap muka selama 1 hari
dan interaksi daring selama 8 minggu, dan interaksi tatap muka lagi di akhir program
selama 1 hari dapat berkontribusi dalam efektivitas belajar. Pola seperti ini
dirasakan sangat efektif karena tersedianya waktu yang cukup untuk guru peserta
diklat saling berdskusi, berkolaborasi, dan berbagi pengalaman. Pola tersebut
memberikan waktu bagi guru untuk mengimplementasikan apa yang mereka
pelajari, berbagai permasalahan yang mereka hadapi, dan menerima umpan balik
dari sesama peserta diklat.

2). Kepuasan peserta didik


Kepuasan peserta didik berkaitan erat dengan keterlibatan mereka dalam proses
pembelajaran yang akan memberikan pengalaman belajar, termasuk di dalamnya
interaksi dengan sesama peserta didik dan fasilitator, hasil belajar yang memenuhi
ekspektasi mereka (Moore, 2005; Naaj et al., 2012), pengelolaan kelas, dan
penggunaan teknologi (Naaj et al., 2012).

3). Kepuasan guru


Faktor yang berkontribusi terhadap kepuasan guru adalah meningkatnya interaksi
dengan peserta didik, meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam proses
pembelajaran, fleksibilitas dalam lingkungan belajar, dan peluang untuk terus
berimprovisasi (Vaughan, 2007).
4). Akses dan fleksibilitas
Akses yang dimaksud adalah kemudahan bagi peserta didik untuk mengakses
proses belajar yang berkualitas dalam moda daring kombinasi (Graham, 2013;
Graham & Dziuban, 2007). Melalui dimensi daring, fasilitator meningkatkan
aksesibilitas informasi agar peserta didiknya dapat dengan mudah menjangkaunya
(Osguthorpe & Graham, 2003). Penting diingat bahwa kualitas pada interaksi
belajar daring harus sama dengan tatap muka (Moore, 2005). Tidak ada gunanya
meningkatkan akses bila kualitas dikorbankan (Shea, 2007).
Moda daring kombinasi harus dapat memenuhi kebutuhan yang spesifik para
peserta didik (Graham, 2013), seperti mereka yang tinggalnya jauh dari sumber
belajar atau yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Disinilah peran dimensi daring
menjadi penting karena moda tatap muka akan sulit bagi mereka.

5). Efektivitas biaya


Menghemat biaya sering sekali menjadi salah satu tujuan dari pemilihan moda
daring kombinasi (Graham, 2013; Osguthorpe & Graham, 2003). Oleh karena itu,
pertanyaan yang sering muncul adalah “apakah moda daring kombinasi sudah
hemat biaya?”
Pada level pendidikan tinggi, cara menghemat biaya adalah dari berkurangnya
penggunaan gedung dan fasilitas kampus, yang mengarah pada berkurangnya biaya
kuliah, serta ongkos transportasi.

Di samping ke-lima prinsip kualitas di atas, Macdonald (2008) juga menyarankan


beberapa aspek untuk dipertimbangkan dalam hal menjaga kualitas belajar pada moda
daring kombinasi, yaitu:
 Afektif – menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik
 Dialogik – materi dan strategi belajar dirancang untuk memenuhi kebutuhan
individual para peserta didik
 Fokus – mengutamakan unsure belajar
 Reflektif – memberikan waktu bagi peserta didik untuk berpikir
 Timely – diberikan pada waktunya bila relevan dan bermanfaat
 Reversionable – memberikan dukungan pada individu maupun kelompok
 Aksesibilitas – materi ajar tersedia bagi sejumlah peserta didik yang maksimal
3. Desain Program Moda Daring Kombinasi

Sebagaimana disebutkan di bagian Pendahuluan, Program Peningkatan Kemampuan


Berbahasa Inggris bagi Guru-guru Kelompok Produktif, IPA dan IPS, serta
Matematika di SMK dan SMA ini disajikan dalam moda daring kombinasi. Tujuan
pemilihan moda ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris guru yang
diperoleh saat pertemuan tatap muka, memelihara dan menjaganya lewat interaksi daring,
serta meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri guru sebagai peserta diklat untuk
menggunakan bahasa Inggris baik sebagai interaksi sosial di sekolah maupun sebagai
interaksi pembelajaran di dalam kelas.

Pembelajaran dengan moda daring kombinasi ini didesain dengan memperhatikan prinsip
pembelajaran orang dewasa dan teori belajar konstruktivisme sosial (social
constructivist perspectives), sebagaimana dijabarkan berikut ini:
a. Alat teknologi yang digunakan untuk interaksi belajar harus yang user-friendly,
artinya, hanya diperlukan sedikit upaya familiarisasi alat ini kepada pengguna.
Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa teknologi adalah sebagai alat yang
memudahkan proses belajar, bukan sebagai beban belajar tambahan (Hughes,
2005). Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, hampir semua guru peserta
telah memiliki akun Facebook, dan sudah terampil menggunakan Facebook
untuk interaksi sosial. Oleh karena itu, Facebook dipilih sebagai media
pembelajaran dan sebagai forum untuk interaksi belajar. Dalam konteks
pembelajaran ini, Facebook disesuaikan (appropriated) untuk tujuan
penggunaan pembelajaran. Dengan memilih teknologi yang sudah dikenal oleh
peserta, saya dapat lebih fokus ke pembelajaran bahasa Inggris daripada fokus
ke teknologi, karena tujuan pembelajarannya adalah peningkatan kompetensi
komunikasi bahasa Inggris, bukan kompetensi teknologi.

b. Topik dan materi yang dipilih adalah materi yang otentik dan sesuai dengan
kebutuhan peserta serta yang dapat mendukung pencapaian tujuan
pembelajaran. Pemilihan topik yang otentik ini sesuai dengan prinsip
pembelajaran orang dewasa (Doyle, 2011).
c. Interaksi sosial dan kolaborasi sesama peserta diklat dapat dimediasi oleh
teknologi (technology-mediated interaction). Teori konstruktivisme sosial
memandang bahwa proses belajar dimulai dari interaksi sosial (Wertsch, 1991,
2008). Interaksi sosial dan kolaborasi antar peserta diklat didesain untuk
memudahkan peserta berbagi gagasan, pengalaman, dan memberikan umpan
balik yang konstruktif. Kolaborasi dilaksanakan pada saat sesi micro-teaching,
penyiapan lesson plan dan pengembangan bahan ajar, dan juga pada sesi
interaksi daring.

4. Pelaksanaan Program Peningkatan Kompetensi Bahasa Inggris bagi Guru melalui


Moda Daring Kombinasi

Pada bagian ini, saya akan mulai menulis dari pertimbangan pemilihan sekolah dan guru
yang mencakup pendekatan kepada kepala sekolah dan guru, peserta kegiatan, materi
hingga mekanisme pelaksanaan kegiatan.

4.1. Pertimbangan penetapan sekolah dan peserta


Pelaksanaan kegiatan pembelajaran bahasa Inggris bagi guru-guru dengan
menggunakan moda daring kombinasi bukanlah hal yang mudah, terutama bila
tidak tersedianya unsur penunjang finansial. Oleh karena itu, ada beberapa hal
dan tantangan yang menjadi bahan pertimbangan untuk memilih guru menjadi
peserta dalam kegiatan ini, yaitu: kesediaan guru untuk mengikuti kegiatan
hingga tuntas, kesediaan sekolah untuk mengakomodir kegiatan, dan
keterjangkauan saya sebagai fasilitator program. Dengan mempertimbangkan
ketiga hal di atas, maka sekolah yang paling berpotensi untuk ikut berpartisipasi
adalah sekolah yang pernah menyandang RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional). Saya berasumsi bahwa sekolah-sekolah seperti ini pernah
merasakan betapa pentingnya keterampilan komunikasi bahasa Inggris bagi guru.
Oleh karena itu, sekolah ini lebih berpeluang untuk mau diajak bekerjasama.

Saya kemudian menuliskan surat kepada beberapa kepala sekolah untuk meminta
izin dan kesediaan mereka dalam menerapkan rencana kegiatan belajar ini, dan
sekaligus meyakinkan kepala sekolah akan pentingnya program tersebut untuk
peningkatan kualitas komunikasi bahasa Inggris di sekolah. Setelah mengirimkan
surat, saya tindak lanjuti dengan menelepon para kepala sekolah untuk meminta
waktu bertemu. Pada pertemuan tersebut, saya ulangi lagi maksud dan tujuan
pelaksanaan kegiatan tersebut, dan menjelaskan manfaatnya bagi sekolah.
Akhirnya, saya mendapatkan dan menetapkan 3 sekolah yang akan berpartisipasi
dalam kegiatan ini, yakni SMKN 57 Jakarta, SMKN 3 Singaraja, dan SMA YPHB
Bogor. Atas kesepakatan dengan kepala sekolah pada tiga sekolah tersebut,
diputuskan bahwa guru yang akan berpartisipasi adalah guru-guru mata pelajaran
kejuruan, IPA/IPS, dan Matematika. Hal ini sejalan dengan persyaratan pada saat
sekolah berstatus RSBI. Saya mengadakan pertemuan kepada guru-guru calon
peserta di masing-masing sekolah untuk menjelaskan bahwa kegiatan belajar ini
bersifat sukarela, tidak ada paksaan, dan tidak ada konsekuensi apabila ingin
berhenti di tengah berjalannya program. Dan tidak kalah pentingnya adalah, saya
menjelaskan apa manfaat dari keikutsertaan guru dalam kegiatan ini, yaitu hanya
dari segi kompetensi berbahasa Inggris. Hal ini perlu saya sampaikan di awal agar
guru calon peserta memahami partisipasi apa yang diharapkan dari mereka
selama kegiatan berlangsung.

4.2. Peserta
Peserta kegiatan peningkatan kompetensi komunikasi bahasa Inggris bagi guru
ini adalah sebanyak 16 orang dari 3 sekolah yang berbeda. Awalnya, dari ketiga
sekolah tersebut di atas, ada sekitar 35 orang guru yang berpartisipasi sebagai
peserta. Namun seiring berjalannya kegiatan, lebih dari 50% peserta
mengundurkan diri dengan berbagai alasan seperti sibuk dengan sekolah lanjutan
ke jenjang S2, susah mengatur waktu mengajar, kurangnya kemampuan awal
berbahasa Inggris dibanding peserta lainnya, dan lain-lain. Tabel di bawah ini
adalah daftar nama ke-enambelas guru peserta kegiatan.
No Nama Usia Jenis Pengalaman Mata Pelajaran
Kelamin Mengajar
1 NLPM 31 Female 8.5 years Fisika
2 NLMT 45 Female 25 years Kimia
3 HNR 29 Female 6 years Instalasi listrik
4 LEY 26 Female 1.7 years Fisika
5 KK 36 Male 9 years Multimedia
6 IWAP 36 Male 9 years Teknologi audio-video
7 CA 28 Female 9 years Matematika
8 AW 51 Female 26 years Biologi
9 UA 44 Male 17 years UPW
10 WA 34 Female 9.8 years Matematika
11 SE 33 Female 9 years Kimia
12 SH 40 Female 17 years UPW
13 SA 58 Female 32 years Boga
14 A 55 Male 20 years Kewirausahaan
15 H 33 Male 9 years TIK
16 AS 30 Female 8 years Matematika

4.3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Kegiatan pembelajaran dilaksanakan mulai pada tanggal 1 September 2012 dan
berakhir pada 28 Februari 2013. Interaksi belajar secara tatap muka bertempat di
SMKN 57 Jakarta, SMKN 3 Singaraja, dan SMA YPHB Bogor.
Pertemuan tatap muka dilakukan satu atau dua kali seminggu dengan durasi 1.5
jam di masing-masing sekolah (SMKN 57 Jakarta dan SMA YPHB Bogor),
dimana saya sebagai fasilitator datang ke sekolah tersebut untuk memfasilitasi
proses pembelajaran. Khusus untuk SMKN 3 Singaraja, pertemuan tatap muka
dilakukan secara intensif setiap hari dalam 2 blok waktu, masing-masing 1
minggu. Interaksi belajar secara daring dilakukan oleh peserta dari mana dan kaan
saja lewat Facebook Group yang telah disiapkan sebelumnya, mulai dari 1
September 2012 hingga 28 Februari 2013.

4.4. Tujuan Pembelajaran


Tujuan dari kegiatan pembelajaran bahasa Inggris bagi guru-guru ini adalah:
a. Meningkatkan keterampilan komunikasi bahasa Inggris yang mencakup
listening, speaking, reading, dan writing.
b. Meningkatkan motivasi peserta dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar di dalam kelas
c. Meningkatkan kepercayaan diri (self-confidence) peserta dalam
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dalam kelas
d. Meningkatkan keterampilan dalam menyiapkan perangkat pembelajaran
dalam bahasa Inggris

4.5. Lingkup Materi


Untuk mencapai tujuan pembelajaran di atas, materi-materi yang disiapkan
adalah mencakup sebagai berikut:
a. English expressions in the classroom
b. Bahan-bahan bacaan serta penjelasan tata bahasa
c. Pengembangan Lesson Plan dan bahan ajar
d. Problem-based learning

4.6. Aktivitas Pembelajaran


Adapun aktivias pembelajaran yang dilakukan peserta mencakup:
a. Diskusi kelompok dan tanya jawab dalam bahasa Inggris
b. Membaca dan mengerjakan latihan / tugas serta mendiskusikannya
c. Memposting di group Facebook dan memberi komentar
d. Mengembangkan lesson plan dan bahan ajar
e. Praktek mengajar peer teaching / micro teaching
f. Praktek mengajar siswa di dalam kelas

Semua aktivitas pembelajaran tersebut di atas dilakukan dalam bahasa Inggris


oleh peserta, dengan tujuan agar membiasakan diri berkomunikasi dalam bahasa
Inggris.

4.7. Mekanisme Pelaksanaan: Tatap Muka dan Daring

Interaksi Belajar Secara Tatap Muka


Sebagai bagian dari moda daring kombinasi, interaksi belajar secara tatap muka
diberikan kepada guru peserta diklat di sekolah mereka masing-masing. Jumlah
jam pertemuan di setiap lokasi adalah 32 jam pelajaran, dan dijadwalkan pada
bulan September hingga Desember 2012 bagi SMKN 57 Jakarta dan SMKN 3
Singaraja, dan pada bulan Nopember 2012 hingga Februari 2013 bagi guru di
SMA YPHB Bogor. Jadwal terpisah ini disebabkan oleh kondisi dan kesibukan
di masing-masing sekolah. Adapun topik yang dibahas dalam interaksi belajar
tatap muka ini adalah sebagai berikut:

No Materi Jumlah Tujuan


Jam
1 English for classroom 4 Agar peserta diklat familiar
management dengan ungkapan versi bahasa
Inggris yang sering digunakan
dalam kelas.
2 Stories / reading texts, 6 Untuk meningkatkan
games keterampilan membaca,
memperkaya kosakata bahasa
Inggris dan tata bahasa, dan
berlatih berbicara melalui diskusi
tentang cerita atau bacaan yang
disajikan.
3 Problem-based learning 4 Untuk memberikan alternatif bagi
guru dalam mengembangkan
strategi mengajar, mendiskusikan
dan membandingkannya dengan
strategi mengajar yang biasa
dilakukan, dan untuk berlatih
berbicara dalam bahasa Inggris
4 Developing Lesson 6 Untuk memfasilitasi peserta diklat
Plan dalam mengembangkan lesson
plan menggunakan bahasa Inggris
5 Developing learning 6 Untuk membantu peserta menulis
materials bahan ajar dan bahan tayang
dalam bahasa Inggris
6 Micro-teaching / peer 8 Untuk memberikan kesempatan
teaching kepada peserta praktek mengajar
menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar, dan
mendapatkan umpan balik dari
sesama teman dan fasilitator.

Sebagai fasilitator dalam pertemuan tatap muka ini, tugas saya adalah
menyediakan topik dan bahan ajar untuk diskusi, mengelola kelas untuk kerja
kelompok atau berpasangan, dan memotivasi guru peserta diklat untuk aktif
berpartisipasi dalam diskusi. Saya menyadari bahwa peserta diklat yang
membutuhkan banyak praktek berbicara, sehingga saya berupaya menahan untuk
tidak mendominasi kelas dan meminimalisasi ceramah. Contohnya, ketika saya
menyediakan bahan bacaan seperti sebuah cerita, saya siapkan beberapa
pertanyaan untuk bahan diskusi kelompok atau kerja berpasangan. Kemudian,
setiap kelompok melaporkan dalam bahasa Inggris hasil diskusi mereka. Selama
proses diskusi kelompok, saya tetap mendorong peserta untuk berdiskusi dalam
bahasa Inggris, karena dengan demikianlah proses belajar komunikasi bahasa
Inggris terjadi. Bahasa Indonesia hanya boleh dipakai apabila guru peserta
mengalami kesulitan menyebutkannya dalam bahasa Inggris.
Untuk memenuhi kebutuhn individual para peserta, saya menyediakan bantuan
individual. Misalnya, setiap peserta mengembangkan lesson plan, dan
berkonsultasi dengan saya secara individu saat menemui kesulitan. Kesulitan
yang dihadapi tiap peserta berbeda-beda, maka saya juga memberikan bantuan
sesuai kebutuhan peserta secara individual. Perlu diingat bahwa pada setiap
kesempatan interaksi, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris karena tujuan
dari program ini adalah meningkatkan kemampuan komunikasi bahasa Inggris.
Sesi micro-teaching atau peer-teaching pada interaksi tatap muka merupakan
kegiatan penting karena pada sesi ini peserta mempraktekkan mengajar mata
pelajaran yang mereka ampu dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
instruksional. Setiap peserta diberikan waktu 20 menit untuk mempresentasikan
materi mereka dan selanjutnya mendapat komentar atau umpan balik dari
fasilitator dan peserta lainnya. Pada saat memberi komentar dan umpan balik,
peserta menggunakan bahasa Inggris meskipun mereka melakukan kesalahan
pelafalan dan tata bahasa, dan kadang-kadang menyisipkan kata bahasa
Indonesia.

Interaksi belajar secara daring


Bersamaan dengan interaksi belajar secara tatap muka, interaksi secara daring
juga dilaksanakan sebagai bagian dari moda daring kombinasi. Interaksi online
ini dilakukan di group Facebook yang mencakup interaksi sosial, berbagi
pengalaman belajar bahasa Inggris, berbagi pengalaman praktek mengajar dengan
menggunakan bahasa Inggris, dan berdiskusi tentang berbagai topik untuk tujuan
komunikasi bahasa Inggris. Ada dua moda interaksi secara daring, yaitu interaksi
asynchronous melalui Facebook dan interaksi synchronous melalui Skype, meski
hanya beberapa kali saja antara peserta individu dengan fasilitator.
Dalam dimensi daring ini, sebagaimana yang disarankan oleh M. Oliver dan
Trigwell (2005), fokusnya adalah peserta diklat dan andragogi dari pada
fasilitator dan teknologi. Mengalihkan fokus dari fasilitator ke peserta
mengindikasikan bahwa interaksi daring dipimpin dan didominasi oleh peserta.
Peran saya sebagai fasilitator hanya mendorong peserta untuk aktif berpartisipasi
dalam diskusi daring menggunakan bahasa Inggris. Fokus pada andragogi dari
pada teknologi artinya bahwa perhatian lebih dipusatkan pada proses belajar
bahasa Inggrisnya daripada teknologinya, karena tujuan belajarnya adalah bukan
belajar teknologi tetapi belajar bahasa Inggris. Peran teknologi hanya sebagai
pendukung proses belajar (Hughes, 2005). Ini juga yang menjadi alasan mengapa
Facebook dipilih sebagai platform untuk interaksi belajar secara daring karena
peserta tidak banyak mengalami kesulitan teknis dalam hal penggunaan
Facebook.
Gambar di bawah ini adalah screenshot interaksi belajar di Facebook.

4.8. Praktek Mengajar Siswa di Kelas


Di akhir program, peserta diberi kesempatan mengajar di kelas sesuai dengan
jadwal mengajar mereka di sekolah. Namun pada kesempatan ini, guru peserta
diklat menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Setiap peserta
diberi kesempatan 2 kali mengajar, dan saya sebagai fasilitator mengamati di
dalam kelas. Saya mengambil posisi di tempat duduk paling belakang sambil
mengisi lembar pengamatan yang telah saya siapkan sebelumnya. Praktek
mengajar yang pertama dan kedua berselang sekitar 2 minggu. Setelah setiap
praktek mengajar, saya bertemu dengan peserta secara individu untuk
memberikan umpan balik yang konstruktif. Dalam interaksi pemberian umpan
balik ini, saya juga menggunakan bahasa Inggris agar tetap melatih peserta
komunikasi bahasa Inggris.

5. Temuan dari moda daring kombinasi


Pada bagian ini, saya akan membahas temuan-temuan dari pelaksanaan Program
Peningkatan Kemampuan Berbahasa Inggris bagi Guru-guru Kelompok
Produktif, IPA dan IPS, serta Matematika di SMK dan SMA ini.

5.1. Interaksi dan Kolaborasi Sesama Peserta


Berdasarkan pengamatan terhadap interaksi peserta secara daring dan juga
pengamatan selama kegiatan belajar tatap muka, ditemukan bahwa peserta secara
aktif melakukan interaksi belajar, baik secara daring maupun tatap muka.
Interaksi itu merupakan proses belajar karena peserta secara kolaborasi
membangun pengetahuan mereka. Hal ini sesuai dengan Zittoun dan
Drinkmann’s (2012) yang menyatakan bahwa belajar diartikan sebagai proses
meaning-making, sense-making, dan meaning construction. Dillenbourg (1999)
juga menggambarkan tentang collaborative learning (belajar secara kolaboratif)
sebagai suatu situasi dimena sekelompok orang melakukan bentuk-bentuk
interaksi yang produktif, dan proses belajar terjadi dari interaksi seperti itu. Pada
konteks kegiatan belajar guru-guru SMA dan SMK ini, proses belajar secara
kolaborasi ini terjadai pada berbagai bentuk kegiatan seperti kolaborasi dalam
mengembangkan lesson plan, dalam sesi micro-teaching dan kolaborasi lewat
berbagi gagasan dan pengalaman. Dalam pengembangan lesson plan,
misalnya,seorang guru memposting draft lesson plan yang telah dia siapkan, dan
menerima umpan balik dari peserta lainnya. Dalam micro teaching, sesama
peserta dalam sekolah yang sama memberikan umpan balik kepada peserta yang
melakukan praktek mengajar. Sementara, bertukar gagasan dan pengalaman
terjadi di Facebook yang dilakukan oleh peserta lintas sekolah. Pada saat interaksi
dan kolaborasi itu terjadi, interaksi berbahasa Inggris juga terjadi, dan di situlah
letaknya proses belajar komunikasi bahasa Inggris yng sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan mereka (authentic learning).

5.2. Peningkatan rasa percaya diri


Berdasarkan data yang dihimpun lewat kuesioner dan interview, peserta
melaporkan bahwa rasa percaya diri mereka dalam menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar di dalam kelas semakin meningkat. Hal ini sejalan
dengan pengamatan yang saya lakukan selama dua kali. Pada pengamatan praktek
mengajar di kelas yang kedua, peserta kelihatan lebih tenang dalam menggunakan
bahasa Inggris di dalam kelas. Saya mencoba menggali dari peserta faktor apa
yang menyebabkan rasa percaya diri mereka semakin meningkat, berikut ini
adalah ringkasan jawaban mereka:
 Respon positif dari siswa
Peserta mengatakan bahwa siswa di dalam kelas menyambut baik
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dalam kelas.
Ketika siswa dapat menjawab pertanyaan dan merespon instruksi guru
dalam bahasa Inggris, guru merasa senang, karena merasa bahwa bahasa
Inggrisnya dapat dipahami oleh siswa. Proses belajar seperti inilah yang
dimaksud dengan penciptaan iklim berbahasa Inggris di sekolah. Ketika
instruksi bahasa Inggris terus diulang oleh guru, siswa akan semakin
familiar dengan instruksi tersebut, maka English language acquisition
terjadi.
 Umpan balik dari sesama peserta
Melalui wawancara lansgung, peserta menyatakan bahwa umpan balik
dari peserta lain terhadap lesson plan dan saat micro-teaching sangat
berpengaruh positif terhadap peningkatan rasa percaya diri. Hal ini juga
tercermin dan dapat diamati lewat interaksi sesama peserta di Facebook.
Umpan balik yang diterima adalah tentang lesson plan, praktek mengajar,
dan berbagi pengalaman di Facebook. Ada nilai yang terkandung di dalam
proses memberi dan menerima umpan balik. Peserta cenderung merasa
lebih senang ketika mereka menerima umpan balik dari temannya yang
mereka anggap memiliki kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik.
Ketika mereka banyak mendapat umpan balik dari peserta, rasa percaya
diri mereka semakin baik.
 Pengalaman belajar dan perubahan perspektif ke arah yang lebih positif
Hal lain yang berkontribusi dalam peningkatan rasa percaya diri peserta
adalah berubahnya cara pandang atau perspektif mereka terhadap proses
belajar bahasa Inggris. Pengalaman belajar mereka selama mengikuti
kegiatan belajar ini telah mengubah perspektif mereka ke arah yang lebih
positif. Misalnya, seorang peserta mengatakan bahwa belajar bahasa
Inggris ini tidak akan banyak bermanfaat. Hal ini dia ungkapkan
berdasarkan pengalaman belajar bahasa Inggris yang dia terima
sebelumnya. Namun, setelah mengikuti kegiatan belajar ini, dia
merasakan partisipasinya sangat bermanfaat karena materi yang dipelajari
langsung berkaitan dengan kebutuhan dia sebagai guru di dalam kelas.
Pengalaman belajarnya lewat micro-teaching telah mengubah cara
pandang dia terhadap belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, peserta ini
merasa perlu dia ikut berpartisipasi aktif dalam menciptakan iklim
berbahasa Inggris di sekolah agar siswa semakin terbiasa dengan
ungkapan-ungkapan bahasa Inggris. Seorang guru peserta lain
mengatakan bahwa kemajuan belajar bahasa Inggris siswa di sekolah
merupakan tanggung jawabnya juga. Meskipun dia bukan guru bahasa
Inggris, namun dia dapat iktu menciptakan iklim berbahasa Inggris bagi
siswa. Peningkatan rasa percaya diri ini tidak terjadi secara instan, tetapi
secara perlahan-lahan seiring berjalannya proses belajar.

5.3. Peningkatan motivasi


Sama halnya dengan peningkatan rasa percaya diri, motivasi peserta dalam
belajar bahasa Inggris dan menggunakannya di dalam kelas sebagai bahasa
instruksional juga meningkat. Informasi ini diperoleh dari kuesioner dan
wawancara dengan para peserta. Namun demikian, peningkatan motivasi peserta
ini sangat fluktuatif. Misalnya, ketika peserta merasa bahwa dukungan dari
sekolah terhadap proses belajar bahasa Inggris ini kurang mendapat dukungan
penuh, motivasi peserta menurun. Data kuesioner menunjukkan perubahan
motivasi yang sangat penting yang merupakan akibat dari pengalaman belajar
peserta. Di awal kegiatan, motivasi peserta termasuk kurang cenderung cukup,
sementara di akhir program, motivasi peserta termasuk baik dan cenderung baik
sekali.
Peningkatan motivasi ini terjadi terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Pada
motivasi instrinsik, peserta merasa dan sangat setuju bahwa belajar bahasa Inggris
itu sangat menyenangkan. Pada perspektif mereka, keterampilan berkomunikasi
bahasa Inggris sangat membantu mereka untuk memahami orang lain yang
bahasa pertamanya adalah bahasa Inggris. Cara pandang seperti ini
mempengaruhi motivasi belajar mereka secara positif. Pada motivasi ekstrinsik,
misalnya, peserta memandang bahwa dengan memiliki kemampuan bahasa
Inggris yang baik akan memberikan peluang yang besar bagi mereka untuk
peningkatan karir mereka, seperti menjadi kepala sekolah. Ada juga peribahan
dari amotivasi (tidak ada motivasi sama sekali) menjadi termotivasi.
Saya mencoba menggali dari peserta faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap
peningkatan motivasi mereka, berikut ini rangkumannya. Faktor eksternal
mencakup respon positif dari siswa, umpan balik yang konstruktif dari sesama
peserta, pengalaman belajar di moda daring kombinasi, dan kebijakan sekolah
terhadapat penggunaan bahasa Inggris di lingkungan sekolah. Kesemua ini sangat
berdampak positif terhadap peningkatan motivasi peserta dalam belajar dan
menggunakan bahasa Inggris di dalam kelas. Faktor internal yang ikut
berkontribusi dalam peningkatan motivasi adalah bahwa peserta merasa
pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris mereka berangsur baik. Dengan
mengukur sendiri kemajuan yang mereka alami sangat berpengaruh positif
terhadap peningkatan motivasi belajar mereka.

5.4. Penggunaan bahasa Inggris di dalam kelas


Sebagai dampak dari partisipasi peserta dalam kegiatan peningkatan kompetensi
komunikasi berbahasa Inggris dengan moda daring kombinasi, penggunaan
bahasa Inggris di dalam kelas semakin hari semakin bertambah. Data yang
dihimpun lewat survey, wawancara, dan observasi terhadap interaksi daring
menunjukkan dua dampak besar dalam kegiatan mengajar di kelas. Pertama,
peserta menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa instruksional di dalam kelas
meskipun kadang-kadang masih bercampur dengan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Inggris di dalam kelas ini terdiri dari dua kategori, yaitu
bahasa Inggris untuk pengelolaan kelas dan untuk menyampaikan konten
pelajaran. Kedua, terinspirasi dari pengalaman belajar dengan menggunakan
media sosial, peserta juga ikut menerapkan penggunaan media sosial untuk
mengajar siswa, khususnya bagi siswa yang sedang melaksanakan praktek kerja
di industri.
5.5. Perspektif siswa terhadap penggunaan bahasa Inggris di kelas
Selain mengumpulkan informasi dari guru peserta diklat, saya juga berupaya
mendapatkan perspektif siswa yang diajar para guru tersebut pada waktu
mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Ada
tujuh siswa yang sempat saya wawancarai dan mereka semua berasal dari salah
satu sekolah. Respon ketujuha siswa ini sangat beragam. Ada yang mengkritisi
kemampuan bahasa Inggris gurunya, terutama tentang pelafalan. Namun, semua
siswa sependapat bahwa gagasan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar adalah ide yang baik. Mereka belajar beberapa terminologi yang
tidak pernah mereka ketahui sebelumnya, terutama yang terkait dengan pelajaran
matematika. Siswa juga sependapat bahwa penampilan guru pada mengajar yang
kedua lebih baik dari pada penampilan pertama. Hal ini mengindikasikan bahwa
guru peserta diklat mengalami kemajuan dalam kemampuan komunikasi bahasa
Inggrisnya.

5.6. Temuan lainnya dari moda daring kombinasi


Dari pelaksanaan kegiatan belajar dengan menggunakan moda daring ini, perlu
juga disampaikan beberapa hal yang berjalan dengan baik, hal yang berjalan
dengan kendala dan kesulitan, dan hal yang tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Pertama, interaksi tatap muka dan interaksi daring pada moda daring kombinasi
ini berjalan dengan baik. Hal ini tidak lepas dari dukungan yang diberikan oleh
kepala sekolah dan tim manajemen sekolah. Faktor pendukung lainnya adalah
desain instruksional, yaitu pemilihan materi otentik dan topik yang relevan
sebagai bahan diskusi, yaitu topik yang sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi oleh guru di dalam kelas. Kedua, hal yang berjalan
meskipun ada kendala dan kesulitan adalah upaya untuk mengajar guru secara
tatap muka dengan intensif. Beberapa guru masih sibuk dengan tugas tambahan
lainnya sehingga harus meninggalkan kelas. Konsekuensinya, saya harus
berupaya mengatur waktu tambahan untuk guru-guru seperti itu. Ketiga, hal yang
tidak berjalan sesuai yang diharapkan adalah penulisan jurnal oleh peserta.
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk pengumpulan informasi kemajuan belajar
dari peserta diklat secara individual. Meskipun di awal kegiatan sudah ada
kesepakatan agar peserta menulis jurnal belajar, namun peserta tidak
melakukannya dengan berbagai alasan, seperti beban pekerjaan yang banyak
sehingga susah mengalokasikan waktu untuk menulis jurnal.

6. Kajian hasil temuan


Pada bagian ini, saya akan membahas empat poin penting yang terkait dengan temuan
dari kegiatan pembelajaran bahasa Inggris bagi guru dengan menggunakan moda daring
kombinasi. Kelima poin tersebut adalah (1) kolaborasi di moda daring kombinasi; (2)
meningkatnya rasa percaya diri; (3) transformasi motivasi; dan (4) sustainabilitas moda
daring kombinasi.

6.1. Kolaborasi di moda daring kombinasi


Ada dua faktor yang memicu terjadinya kolaborasi pada kegiatan belajar guru di
moda daring kombinasi, yaitu konteks guru sebagai peserta diklat dan desain
pembelajaran moda daring kombinasi itu sendiri.
6.1.1. Konteks guru sebagai peserta
Menurut Kreijns, Kirschner, and Jochems (2003), ada seperangkat kondisi
yang saling berkaitan yang dapat memicu terjadinya kolaborasi, dan
seperangkat kondisi ini hadir pada konteks guru peserta diklat peningkatan
kompetensi komunikasi berbahasa Inggris ini. Guru peserta diklat ini datang
dari berbagai latar belakang, namun memiliki permasalahan, yaitu mereka
harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dalam
kelas. Permasalahan yang sama ini mengindikasikan bahwa peserta juga
memiliki kebutuhan dan harapan yang sama pada diklat moda daring
kombinasi ini. Kompetensi berkomunikasi bahasa Inggris untuk digunakan
sebagai bahasa instruksional di dalam kelas menjadi tujuan bersama para
peserta diklat. Persamaan tujuan ini menjadi stimulus untuk terjadinya
kolaborasi (Mahn dan John-Steiner, 2002). Artinya, dengan adanya tujuan
yang sama, kemungkinan para peserta untuk berkolaborasi untuk mencapai
tujuan tersebut semakin besar. Guru peserta diklat akan saling memotivasi
dan saling membantu agar mereka sama-sama berhasil. Kondisi yang ada
pada guru peserta diklat inilah yang memicu terjadinya kolaborasi.

6.1.2. Desain pembelajaran moda daring


Karena guru yang berpartisipasi dalam kegiatan diklat ini adalah masuk
kategori pembelajar dewasa, prinsip pembelajaran orang dewasa harus
menjadi bahan pertimbangan dalam mendesain pembelajarannya. Salah
satu karakterisitik yang paling krusial dalam pembelajar dewasa adalah
bahwa pembelajar dewasa merasakan adanya kebutuhan belajar, dan
mereka tau apa yang perlu mereka pelajari, mengapa mereka perlu belajar,
dan bagaimana mereka harusnya belajar (Gravani, 2012). Oleh karena itu,
prinsip pembelajaran orang dewasa yang pertama diadopsi dalam desain
moda daring kombinasi ini adalah konten dan tugas yang otentik.
Di awal kegiatan pembelajaran moda daring kombinasi ini, guru sebagai
epserta diklat dilibatkan untuk mengidentifikasi masalah yang mereka
hadapi dalam pelaksanaan pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa
Inggris di kelas. Dari identifikasi masalah tersebut, disepakati bersama
konten yang akan dipelajari dalam diklat, dan bagaimana cara atau metode
mempelajarinya. Pendekatan seperti ini sejalan dengan teori pembelajaran
orang dewasa yang problem-centered, bukan content-centered (Merriam et
al., 2007). Kebutuhan praktis para guru ini mencakup pengetahuan
ungkapan-ungkapan yang sering digunakan di kelas dalam bahasa Inggris,
pengembangan lesson plan dan bahan ajar dalam bahasa Inggris, dan
bagaiman melibatkan siswa dalam diskusi kelas. Guru juga ingin
mempraktekkan proses pembelajaran berbahasa Inggris bersama teman-
temannya sebelum mengimplementasikannya kepada siswa di dalam kelas.
Sesuai dengan kebutuhan belajar ini, konten metode belajar yang ditetapkan
dalam diklat moda daring kombinasi ini mencakup semua kebutuhan
tersebut di atas. Dengan demikian, konten dan tugas yang disajikan adalah
konten dan tugas yang otentik, dan berperan penting untuk memicu
kolaborasi dan partisipasi guru dalam proses pembelajaran moda daring
kombinasi.
Unsur penunjang lainnya yang berperan penting dalam desain pembelajaran
moda daring adalah desain interaktif, mencakup interaksi sosial, yang
merupakan elemen penting untuk meningkatkan belajar secara kolaborasi.
Interaksi sosial dipandang sebagai suatu prasyarat dalam belajar kolaboratif
(Kreijns et al., 2003). Namun interaksi sosial dalam lingkungan belajar ini
perlu direncanakan dengan baik (Flottemesch, 2000; Liaw & Huang, 2000;
Northrup, 2001). Untuk menjamin bahwa interaksi sosial akan terjadi, topik
yang relevan dan konten yang otentik menjadi sangat penting.

6.2. Percaya diri dalam penggunaan bahasa Inggris


Data yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran moda daring ini menunjukkan
bahwa rasa percaya diri peserta dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar di dalam kelas secara berangsur meningkat. Data ini diperoleh
dari wawancara dengan peserta dan catatan pengamatan saya di dalam kelas saat
guru mengimplementasikan pembelajaran berbahasa Inggris. Rasa percaya diri
ini adalah merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman sebelumnya
(MacIntyre, Dornyei, Clement, dan Noels, 1998). Oleh karena itu, penting untuk
menginvestigasi pengalaman belajar yang mana di moda daring kombinasi ini
yang memicu meningkatnya rasa percaya diri peserta diklat.
Seperti dilaporkan pada bagian Temuan di atas, guru peserta diklat mendapatkan
kesempatan untuk praktek komunikasi berbahasa Inggris dengan seama teman
dan juga dengan fasilitator, baik secara tatap muka maupun secara daring. Mereka
bekara secara kolaboratif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar mereka seperti
mengembangkan lesson plan dan bahan ajar. Umpan balik yang konstruktif juga
diterima dari sesama teman peserta diklat, dan memicu mengubah cara pandang
guru peserta diklat terhadap pentingnya kompetensi berbahasa Inggris bagi guru.
Juga dilaporkan bahwa guru peserta diklat mendapat respon positif dari siswa
yang mereka ajar. Pengalama belajar ini membuat guru peserta diklat merasa
didukung. Collis dan Jung (2003) mengatakan bahwa dalam program peningkatan
kompetensi dan profesionalisme guru, guru perlu merasa didukung untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Semua pengalaman belajar ini bersifat positif
dan menjadi pemicu meningkatnya rasa percaya diri guru peserta diklat untuk
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dalam kelas.

6.3. Transformasi motivasi


Sebagaimana dilaporkan dalam bagian Temuan di atas, motivasi guru peserta
diklat untuk belajar bahasa Inggris, baik motivasi intrinsik maupun ekstrinsik,
secara perlahan meningkat. Faktor untuk memicu meningkatnya motivasi ini juga
berasal dari internal dan eksternal diri guru itu sendiri. Faktor eksternal ini
mencakup respon positif dari siswa, interaksi sesama peserta diklat, dan iklim
moda daring kombinasi tersebut. Faktor ini konsisten dengan motivasi ekstrinsik
(Deci & Ryan, 1985). Faktor internal yang berkontribusi meningkatkan motivasi
guru peserta diklat mencakup kesadaran akan pentingnya kompetensi komunikasi
bahasa Inggris, dan rasa tanggung jawab guru peserta diklat terhadap proses
belajar bahasa Inggris siswa. Kedua bentuk kesadaran ini konsisten dengan
motivasi intrinsik (Deci & Ryan, 1985).
Kesadaran yang timbul dalam diri guru peserta diklat ini timbul dan dipicu oleh
interaksi sosial yang terjadi dalam iklim moda daring kombinasi tersebut, yang
merupakan sumber eksternal bagi diri guru sebagai peserta diklat. Di dalam
interaksi sosial ini, guru peserta diklat bertukar pikiran dan pendapat, menerima
umpan balik positif, dan merasa didukung. Dalam hal ini, emosi terpengaruh dan
dilibatkan dalam interaksi sosial ini. Secara berangsur-angsur, guru merasa
semakin kompeten, dan perasaan kompeten (self-efficacy) ini memicu motivasi
intrinsik mereka juga semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan Ryan dan Deci
(2000), Vallerand (1997) yang mengatakan bahwa umpan balik yang positif,
interaksi dan komunikasi, atau rewards sebagai peristiwa sosial kontekstual dapat
memicu perasaan kompeten dan meningkatkan motivasi instrinsik. Hal ini
mengindikasikan bahwa terjadi transformasi motivasi dari ekstrinsik menjadi
intrinsik. Transformasi juga terjadi pada perspektif guru peserta diklat tentang
pentingnya belajar bahasa Inggris, dari self-centered ke student-centered. Artinya,
guru peserta diklat awalnya memandang bahwa mereka belajar bahasa Inggris
adalah untuk kepentingan dirinya sendiri semata. Namun pengalaman belajar di
moda daring kombinasi ini mengubah tujuan mereka belajar bahasa Inggris
menjadi agar dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan bahasa
Inggrisnya. Menurut Nardi (1996b), sebuah tujuan dapat berubah seiring
berjalannya proses kegiatan, dan perubahan tujuan itu dapat merubah iklim
kegiatan. Perubahan tujuan belajar dapat mengubah motivasi karena tujuan dan
motivasi ini sangat erat kaitannya.

6.4. Sustainabilitas daring kombinasi untuk pengembangan profesionalsime guru


Studi tentang kegiatan pembelajaran bahasa Inggris bagi guru dalam moda daring
kombinasi ini menjembatani kesenjangan antara potensi media sosial dan moda
daring kombinasi dengan permasalahan riil yang dihadapi oleh guru – yaitu
penggunaan bahasa Inggris untuk mengajar konten pembelajaran. Meskipun
ruang lingkup studi ini berskala kecil, studi ini berpotensi untuk dikembangkan
dan berdampak secara luas dalam konteks peningkatan profesionalisme guru di
Indonesia. Program moda daring kombinasi ini perlu diperluas agar dapat diakses
oleh banyak guru di Indonesia dalam upaya peningkatan profesionalsimenya.
Untuk mengembangkan program pembelajaran seperti ini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan (Ditjen GTK), berkolaborasi dengan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) perlu mendesain
sebuah pendekatan yang generik untuk program pengembangan profesionalisme
guru.
Tentu ada upaya yang dapat dilaksanakan dan tantangan yang akan dihadapi
dalam pengembangan profesionalisme guru melalui moda daring dalam konteks
yang lebih luas, dan perlu juga dipikirkan solusi alternatif terhadap tantangan
tersebut. Ada enam hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan program
pembelajaran moda daring kombinasi ini ke konteks yang lebih luas. Pertama,
akses internet perlu dipastikan tersedia secara luas di seluruh wilayah Indonesia,
dan jaminan kesinambungan serta bandwith internet yang cukup besar. Hal ini
agar mempermudah guru mengakses sumber belajar dimanapun mereka berada.
Kedua, sumber daya manusia, khususnya fasilitator untuk moda daring kombinasi
ini perlu disiapkan. Fasilitator yang diharapkan adalah yang memiliki komitmen
tinggi terhadap keberhasilan program, dan memiliki literasi teknologi informasi
yang memadai. Ketiga, perlu diadakan analisis kebutuhan pelatihan guru, yang
mencakup kebutuhan konten, peralatan teknologi, dan strategi pembelajaran yang
relevan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Analisis kebutuhan ini diperlukan
agar dapat mendesain sebuah program moda daring kombinasi yang efektif dan
efisien. Keempat, kerangka waktu program perlu direncanakan, yang mencakup
program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kelima, desain
pembelajaran di moda daring kombinasi perlu dirancang secara hati-hati.
Aktivitas pembelajaran yang efektif serta konten yang otentik untuk mencapai
tujuan pembelajaran perlu dipikirkan dan disiapkan dengan baik. Keenam,
program pelatihan dengan moda daring kombinasi perlu dievaluasi secara berkala
agar mendapatkan informasi untuk perbaikan program dan peningkatan kualitas
pembelajaran.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Moda daring kombinasi dengan menggunakan media sosial Facebook sebagai forum
untuk interaksi daring dalam kegiatan pengembangan profesionalisme guru sangat
efektif, baik dalam peningkatan kompetensi komunikasi bahasa Inggris, rasa percaya
diri menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dan motivasi belajar.
Interaksi sosial dan kolaborasi antar peserta yang terjadi secara tatap muka dan daring
dipandang sebagai kunci keberhasilan program ini. Guru sebagai peserta diklat saling
memberi dukungan positif. Meskipun tingkat partisipasi setiapp\ peserta berbeda,
namun semua berpartisipasi dan terlibat dalam interaksi dan kolaborasi.
Meningkatnya rasa percaya diri peserta dalam menggunakan bahasa Inggris untuk
berkomunikasi dan untuk mengajar di dalam kelas dipengaruhi oleh respon yang positif
dari siswa, umpan balik yang konstruktif dari fasilitator dan sesama peserta, dan
perubahan perspektif para peserta terhadap pentingnya belajar bahasa Inggris.
Peningkatan motivasi belajar, baik motivasi intrinsik maupun ekstrinsik juga dipicu
oleh interaksi dan kolaborasi yang baik antar sesama peserta. Transformasi motivasi
dari ekstrinsik menjadi intrinsik terjadi karena adanya perubahan cara pandang atau
perspektif peserta terhadap tujuan belajar bahasa Inggris. Interaksi peserta dengan
fasilitator, dengan siswa, serta sesama peerta terinternalisasi dalam diri peserta. Selama
proses internalisasi tersebut, meaning-making dan knowledge construction terjadi.
Inilah yang disebut dengan proses belajar secara konstrutivisme sosial (social
constructivism) pada pembelajaran orang dewasa (adult learning). Proses belajar yang
efektif terjadi pada guru peserta diklat ini tanpa mereka harus meninggalkan tugas
mengajar mereka, sebagaimana yang terjadi pada program dikat konvensional.
Namun demikian, evaluasi terhadap program diklat guru ini masih diperlukan untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.

Rekomendasi
Dari kegiatan pembelajaran moda daring ini, ada beberapa rekomendasi yang akan
disampaikan seperti berikut ini.
Rekomendasi bagi PPPPTK. Mengingat efektivitas pendekatan moda daring kombinasi
ini, PPPPTK perlu mengadopsi moda daring dalam melaksanakan kegiatan diklatnya.
Pelaksanaan clinical service untuk tatap muka – layanan diklat di sekolah dimana guru
mengajar – perlu dipertimbangkan agar guru masih tetap dapat melaksanakan tugas
mengajarnya, dan siswa tidak merasa dirugikan karena ditinggal pergi oleh gurunya.
Cara demikian dipandang cost-effective sebagaimana prinsip moda daring kombinasi.
Potensi terjadinya permasalahan seperti kekurangan tenaga fasilitator juga perlu
diantisipasi. Oleh karena itu, perlu ada persiapan program fasilitasi widyaiswara agar
dapat memfasilitasi proses belajar para guru dalam moda daring kombinasi.
Widyaiswara perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan dalam fasilitasi moda daring
kombinasi.
Rekomendasi bagi guru dan sekolah
Enam-belas orang guru yang berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan
profesionalsime guru ini sudah menunjukkan adanya perubahan perilaku, berupa
peningkatan keterampilan berbahasa Inggris dan rasa percaya diri dalam
menggunakannya. Guru peserta diklat ini perlu mempertahankan dan meningkatkan
capaian ini meski progam belajar moda daring kombinasi telah selesai. Interaksi sosial
secara daring lewat Facebook antar sesama peserta masih dapat dipertahankan agar
peserta dapat mempertahankan semangat dan kompetensi komunikasi bahasa
Inggrisnya.

Anda mungkin juga menyukai