Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus atau yang lebih dikenal sebagai kencing manis

adalah suatu kelainan pada seseorang yang ditandai dengan naiknya

kadar glukosa dalam darah dikarenakan akibat dari kekurangan insulin

dalam tubuh. (Padila, 2012 dalam Wahid, 2016). Diabetes Melitus

adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan

kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi

kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. (Perkeni, 2011).

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2012 dalam

Windasari, 2014) Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit

metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik

dan klinis termasuk heterogen, dan ditandai dengan hilangnya toleransi

tubuh terhadap glukosa. (Ariani, 2011)


2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Asociation (ADA, 2012 dalam

Windasari, 2014), ada 4 klasifikasi diabetes mellitus yaitu :

1) Diabetes mellitus tipe I atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes

Mellitus), tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas

sehingga kekurangan insulin absolut. Umumnya penyakit

berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang menyebabkan

kematian. Pada diabetes mellitus tipe ini biasanya terjadi sebelum

umur 30 tahun dan harus mendapatkan insulin dari luar. Beberapa

faktor resiko dalam diabetes mellitus tipe ini adalah : autoimun,

infeksi virus, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus.

2) Diabetes mellitus tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus), pada tipe ini pankreas relatif menghasilkan

insulin tetapi insulin yang bekerja kurang sempurna karena adanya

resistensi insulin akibat kegemukan. Faktor genetis dan pola hidup

juga sebagai penyebabnya. Faktor resiko NIDDM adalah : obesitas,

stress fisik dan emosional, kehamilan umur lebih dari 40 tahun,

pengobatan dan riwayat keluarga dengan diabetes mellitus. Hampir

90% penderita diabetes mellitus adalah diabetes mellitus tipe II.

3) Diabetes mellitus dengan kehamilan atau Diabetes Mellitus

Gestasional (DGM), merupakan penyakit diabetes mellitus yang

muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya kadar

glukosa darah selalu normal. Tipe ini akan normal kembali setelah
melahirkan. Faktor resiko pada DGM adalah wanita yang hamil

dengan umur lebih dari 25 tahun disertai dengan riwayat keluarga

dengan diabetes mellitus, infeksi yang berulang, melahirkan dengan

berat badan bayi lebih dari 4 kg.

4) Diabetes tipe lain disebabkan karena defek genetik fungsi sel beta,

defek genetik fungsi insulin, penyakit eksokrin pankreas,

endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi dan sindrome

genetik lain yang berhubungan dengan diabetes mellitus. Beberapa

hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon dan

epinefrin bersifat antagonis atau melawan kerja insulin. Kelebihan

hormon tersebut dapat mengakibatkan diabetes mellitus tipe ini.

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus.

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara lengkap,

kemungkinann faktor penyebab dan faktor resiko penyakit DM sesuai

dengan Diabetes Melitus tipe 1 dan 2 Menurut Clevo (2012, dalam

Wahid, 2016) :

1) Diabetes Melitus Tipe 1

(1) Faktor Genetik

Penderita diabetes melitus tidak mewarisi diabetes itu

sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan

genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan

genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen


HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan

kumpulan gen yang bertanggung jawab.

(2) Faktor Immunologi

Pada diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respon

autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibodi

terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi

terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah

sebagai jaringan asing.

(3) Faktor Lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu dekstrusi sel beta

pankreas sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa

virus toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat

menimbulkan sekstrusi sel beta pankreas

2) Diabetes Melitus tipe 2

Secara pasti penyebab diabetes melitus tipe 2 belum diketahui,

faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses

terjadinya resistensi insulin.

Menurut Tartowo (2012) Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat

penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau

akibat penurunan produksi insulin, DM tipe 2 banyak terjadi pada

usia dewasa lebih dari 45 tahun, karena berkembang lambat dan

terkadang tidak terdeteksi tetapi jika gula darah tinggi baru dapat
dirasakan seperti kelemahan, irritabilitas, polyuria, polydipsi, proses

penyembuhan luka yang lama, infeksi vagina, kelalaian penglihatan.

2.1.4 Anatomi Fisiologi Pankreas

Gambar 2.1
Anatomi Pankreas
Sumber : Parker, S (2007).

Menurut Sherwood (2001) pankreas adalah suatu organ yang

terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin pankreas

mengeluarkan larutan basa encer dan enzim-enzim pencernaan melalui

duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran pencernaan. Diantara sel-

sel eksokrin pankreas tersebar kelompokkelompok, atau ”pulau-pulau”,

sel endokrin yang juga dikenal sebagai pulaupulau Langerhans.

Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum

dan terdapat kurang lebih 200000-1800000 pulau Langerhans (Runiana,

2009). Dalam pulau Langerhans normal manusia dewasa, jumlah sel

beta berkisar antara 75%-80% dari populasi sel pulau Lagerhans,

Pankreas terdiri dari dua jenis jaringan utama, yakni: asini yang
mensekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum, dan pulau

Langerhans yang tidak mengeluarkan getahnya ke luar namun

mensekresikan insulin dan glukagon langsung ke dalam darah, Pankreas

menghasilkan insulin melalui sel beta, kemudian disalurkan ke

pembuluh darah untuk diedarkan menuju sel-sel.(Ariani, 2011)

Sewaktu molekul-molekul nutrien memasuki darah selama

keadaan absorbtif, insulin meningkatkan penyerapan karbohidrat,

lemak, dan protein oleh sel dan konversi, masing-masing menjadi

glikogen, trigleserida dan protein. Insulin menjalankan efeknya yang

beragam dengan mengubah transportasi nutrisi yang spesifik dari darah

ke dalam sel atau dengan mengubah aktifitas enzim-enzim yang terlibat

dalam jalur metabolik tertentu .(Sherwood 2001).

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Melitus.

Menurut Wahyuni (2010) patofisiologi Diabetes Melitus dimulai

dari gula dari makanan yang masuk melalui mulut dicerna di usus,

kemudian diserap ke dalam aliran darah. Glukosa ini merupakan

sumber energi utama bagi sel tubuh di otot dan jaringan, agar dapat

melakukan fungsinya, glukosa membutuhkan “teman” yang disebut

insulin. Hormon insulin ini diproduksi oleh sel beta di pulau

Langerhans ( islets of Langerhans ) dalam pankreas. Setiap kali kita

makan, pankreas memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke

dalam aliran darah. Ibarat kunci, insulin membuka pintu sel agar
glukosa masuk. Dengan demikian, kadar glukosa dalam darah menjadi

turun.

Hati merupakan tempat penyimpanan sekaligus pusat pengolahan

glukosa. Pada saat kadar insulin meningkat seiring dengan makanan

yang masuk ke dalam tubuh, hati akan menimbun glukosa, yang

nantinya dialirkan ke sel-sel tubuh jika dibutuhkan.

1) Fisiologi sekresi insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam

amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas, dalam keadaan

normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan

kemudian disekresikan kedalam keadaan normal, bila ada

rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian

disekresikan kedalam sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan

regulasi glukosa darah. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk

preproinsulin (precursor hormon insulin) Pada reticulum

endoplasma sel beta. Dengan enzim peptidase, preproinsulin

mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang

kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory

vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim

peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida – C (C-

peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara

bersamaan melalui membran sel. Insulin berperan penting pada


berbagai proses biologis dalam tubuh terutama menyangkut

metabolisme karbohidrat.

2. Efek metabolisme insulin

Pada orang normal, setiap hari insulin dikeluarkan oleh sel

beta pankreas sebanyak 20 – 60 unit. Bila kebutuhan insulin sehari

melebihi 60 unit maka ada kemungkinan terjadi resistensi insulin.

Beberapa penyebab terjadinya resistensi insulin antara lain

menurunnya jumlah reseptor insulin, adanya anti-insulin,

perusakan yang cepat di jaringan yang membutuhkan dan

sebagainaya. Apabila ada gangguan pada mekanisme kerja insulin,

menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta peningkatan

kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal

sebagai Diabetes Melitus. Khusus pada Diabetes Melitus tipe 2,

yakni jenis Diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan

metabolisme glukosa disebabkan oleh 2 faktor :

(1) Tidak adekuatnya sekresi insulin secara kuantitatif (defisiensi

insulin).

(2) Kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi

insulin).

Efek dari metabolisme insulin juga dapat menyebabkan

hiperglikemia, hal ini terjadi akibat gangguan kinerja insulin (defisiensi

dan resistensi), selanjutnya memberi berbagai dampak metabolisme dan

kerusakan jaringan lainnya secara langsung atau tidak langsung.


Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi

insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh

rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin ( resistensi insulin).

Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan

metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai

jaringan tubuh.

Inhibitor Gangguan / Defisiensi enzim


perubahan reseptor

Gangguan
transport glukosa
Resistensi Insulin

Glukosa darah

Pankreas
Insulin

Pankreas

Glukosa darah

HIPERINSULINEMIA – DM TIPE 2

Skema 2.1
Patogenesis & Patofisiologi DM tipe 2

Sumber : Wahyuni (2010).


2.1.6 Faktor Resiko Terjadinya Diabetes Melitus.

Beberapa faktor risiko DM menurut Sustrani, Alam & Hadibroto,

2010 dalam Delianty, 2015) adalah sebagai berikut :

1) Kelainan genetika

Diabetes melitus dapat diturunkan dari keluarga yang

sebelumnya juga menderita DM, karena kelainan gen mengakibatkan

tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi

resiko DM juga tergantung pada faktor kelebihan berat badan,

kurang gerak dan stress.

2) Faktor Usia

Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang

menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. DM tipe 2 sering

muncul setelah usia lanjut terutama setelah berusia 45 tahun pada

mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka

terhadap insulin.

3) Faktor kegemukan / obesitas

Sekitar 80-90 % pasien DM tipe 2 adalah mereka yang

mengalami kegemukan. Makin banyak jaringan lemak, jaringan

tubuh dan otot akan makin resisten terhadap kerja insulin. Lemak ini

akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut

ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.


4) Kurang aktivitas fisik

Olahraga atau aktivitas fisik membantu untuk mengontrol berat

badan. Glukosa darah akan dibakar menjadi energi, sel-sel tubuh

menjadi lebih sensitif terhadap insulin, dengan olahraga peredaran

darah akan menjadi lebih baik dan resiko terjadinya DM tipe 2 akan

turun hingga 50 %.

2.1.7 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Menurut Saifunurmazah (2013) adanya penyakit Diabetes

Melitus pada awalnya sering kali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh

penderita, beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian

adalah :

1) Keluhan Klasik

(1) Polyuria

Jika insulin tidak ada atau sedikit maka ginjal tidak dapat

menyaring glukosa untuk kembali ke dalam darah. Kemudian

hal ini akan menyebabkan ginjal menarik tambahan air dari

darah untuk menghancurkan glukosa. Hal ini membuat kandung

kemih cepat penuh dan hal ini otomatis akan membuat para

penderita DM akan sering buang air kecil.

(2) Polydipsi

Keinginan untuk sering minum karena adanya rasa haus

banyak terjadi pada pasien Diabetes melitus ini, karena memang

adanya juga gangguan hormon serta efek dari banyak kencing


diatas, maka penderita akan sering merasakan haus dan ingin

untuk sering minum.

(3) Polyfagia

Terhambatnya makanan yang harusnya didistribusikan ke

semua sel tubuh membuat energi jadi tidak berjalan dengan

optimal, karena sel tidak mendapat asupan sehingga orang

dengan kencing manis akan cepat merasa lapar.

(4) Penurunan berat badan dan rasa lemah.

Hal ini salah satu penyebabnya adalah terhambatnya

makanan yang harusnya didistribusikan ke semua sel tubuh

untuk membuat energi tidak berjalan dengan optimal, karena sel

tidak mendapat asupan untuk metabolisme energi sehingga

orang dengan kencing manis akan merasa cepat lelah. Pada

penderita Diabetes Melitus tipe 2 (faktor perubahan gaya hidup),

penurunan berat badan terjadi secara bertahap dengan

peningkatan resistensi insulin sehingga tidak begitu terlihat.

2) Keluhan lain

(1) Gangguan saraf tepi / kesemutan

(2) Gangguan penglihatan

(3) Gatal / bisul

(4) Gangguan ereksi

(5) Keputihan
(6) Kulit kering dan bila terjadi luka akan lama proses

penyembuhannya.

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Menurut Ndraha (2014) Diagnosis klinis DM ditegakkan bila

ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika

terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS)

≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk

pedoman diagnosis DM Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil

pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat

untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut

yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau

hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

Alur untuk penegakkan diagnosis Diabetes melitus menurut

Ndaraha (2014) dapat dilihat pada skema 2.2 di bawah ini :


Skema 2.2
Alur penegakan diagnosis Diabetes melitus

Sumber : Ndraha (2014) Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan


toleransi GlukosaTerganggu.

2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus

Menurut Lemone & Burke (2008, dalam Ariani, 2011)

komplikasi Diabetes Melitus terbagi dua yaitu :

1) Komplikasi akut

Terdapat tiga komplikasi akut utama pada pasien DM

berhubungan dengan ketidakseimbangan singkat kadar glukosa

darah, yaitu berupa : hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, dan

hiperglikemia hiperosmolar nenketosis.


2) Komplikasi kronis

Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada

pasien DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan

hidup lebih lama. Komplikasi jangka panjang mempengaruhi

hampir semua sistem tubuh dan menjadi penyebab utama

ketidakmampuan pasien.

3) Komplikasi makrovaskuler

Komplikasi makrovaskuler diabetes diakibatkan dari

perubahan pembuluh darah yang sedang hingga yang besar.

Dinding pembuluh menebal, sklerosis, dan menjadi oklusi oleh

plaqe yang menempel di dinding pembuluh darah. Biasanya

terjadi sumbatan aliran darah. Pembuluh aterosclerotic ini

cenderung dan sering terjadi pada pasien usia lebih muda, dan

DM tidak stabil. Jenis komplikasi makrovaskuler yang paling

sering terjadi adalah : penyakit arteri koroner, penyakit

cerebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer.

4) Komplikasi mikrovaskuler

Perubahan mikrovaskuler pada pasien DM melibatkan

kelainan struktur dalam membran dasar pembuluh darah kecil dan

kapiler. Kelainan ini menyebabkan membran dasar kapiler

menebal, seringkali mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.

Perubahan membran dasar diyakini disebabkan oleh salah satu

atau beberapa proses berikut, adanya peningkatan jumlah sorbitol


(suatu zat yang dibuat sebagai langkah sementara dalam

perubahan glukosa menjadi fruktosa), pembentukan glukoprotein

abnormal, atau masalah pelepasan oksigen dari hemoglobin. Dua

area yang dipengaruhi oleh perubahan ini adalah retina dan ginjal.

Komplikasi mikrovaskuler di retina disebut retinopati diabetik.

Sedangkan komplikasi mikrovaskuler di ginjal di sebut nefropati

diabetik.

5) Neuropati

Neuropati diabetik menjelaskan sekelompok gejala penyakit

yang mempengaruhi semua jenis saraf, meliputi saraf perifer,

otonom dan spinal. Neuropati merupakan perburukan yang

progresif dari saraf yang diakibatkan oleh kehilangan fungsi saraf.

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan pasien dengan DM menurut Tartowo

(2012) yaitu menormalkan fungsi dan insulin dan menurunkan kadar

glukosa darah, mencegah komplikasi vaskuler dan nefropati , dan

mencegah terjadinya hipoglikemia dan ketoasidosis. untuk mengontrol

gula darah, ada empat faktor penting yang harus diperhatikan yaitu :

1) Management diet DM yaitu dengan mengontrol nutrisi, diet, dan

berat badan merupakan dasar penanganan pasien DM. Tujuan

paling penting dalam management nutrisi dan diet adalah

mengontrol total kebutuhan kalori tubuh, intake yang dibutuhkan,

mencapai kadar serum lipid normal. Komposisi nutrisi pada diet


DM adalah kebutuhan nutrisi, karbohidrat, lemak, protein, dan

serat.

(1) Kebutuhan kalori tergantung dari berat badan (kurus, ideal,

obesitas), jenis kelamin, usia, aktivitas fisik. Misalnya untuk

pasien kurus kebutuhan kalori sekitar 2300 – 2500 kalori,

berat badan ideal antara 1700 – 2100 kalori dan gemuk

antara 1300 – 1500 kalori.

(2) Kebutuhan karbohidrat merupakan komponen terbesar dari

kebutuhan kalori tubuh, yaitu sekitar 50 – 60 %.

(3) Kebutuhan protein, untuk adekuatnya cadangan protein,

diperlukan kira-kira 10% - 20% dari kebutuhan kalori atau

0,8 g/kg/hari.

(4) Kebutuhan lemak kurang dari 30% dari total kalori,

sebaiknya dari lemak nabati dan sedikit dari lemak hewani.

(5) Kebutuhan serat dibutuhkan sekitar 20-35 g/hari dari

berbagai bahan makanan atau rata-rata 25 g/hari.

2) Latihan fisik

Latihan fisik kelihatannya mempermudah transport

glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap

insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama

latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun,

pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk

mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan


glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia.

Faktor ini penting khususnya ketika pasien melakukan fisik saat

insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya, dengan

menyesuaikan waktu pasien latihan fisik, pasien mungkin dapat

meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka.

3) Edukasi Kesehatan

Menurut Tartowo (2012) edukasi yang penting untuk

penyandang DM adalah sebagai berikut :

(1) Penyakit DM yang meliputi pengertian, tanda dan gejala,

penyebab, patofisiologi dan test diagnostik.

(2) Diet dan penanganan diet pada pasien DM

(3) Aktivitas sehari-hari termasuk dan olahraga

(4) Pencegah terhadap penyakit DM

(5) Pemberian obat-obatan DM dan cara injeksi insulin.

(6) Cara monitoring dan pengukuran glukosa darah secara mandiri.

4) Terapi Farmakologi

(1) Obat antidiabetik oral atau Oral Hypoglikemik Agent (OHA).

Efektif pada DM tipe 2, jika managemen nutrisi dan

latihan gagal. Jenis obat-obatan antidiabetik oral antara lain :

a. Sulfonilurea : bekerja dengan merangsang pengeluaran

cadangan insulinnya, yang termasuk obat ini adalah

Glibenklamid, Tolbutamid dan Klorpropamid.


b. Biguanida : bekerja dengan menghambat penyerapan

glukosa di usus, misalnya mitformin, glukophage.

(2) Terapi Insulin

Tujuan pemberian insulin adalah meningkatkan

transpor glukosa ke dalam sel dan menghambat konversi

glikogen dan asam amino menadi 4, yaitu :

a. Insulin dengan masa kerja pendek (2 – 4 jam) seperti

regular insuin, actrapid.

b. Insulin dengan cara kerja menengah (6 – 12 jam) seperti

NPH (Neutral Protamine Hegedorn) insulin, lentre insulin.

c. Insulin dengan masa kerja panjang ( 18 – 24 jam) seperti

protamine zinc insulin dan ultralente insulin.Insulin

campuran yaitu cara kerja cepat dan menengah, misalnya

70% NPH, 30% regular.

2.2 Konsep Dasar Efikasi Diri (Self Efficacy)

2.2.1 Definisi Efikasi Diri

Pada tahun 1986 Albert Bandura mengeluarkan sebuah teori

pemikiran sosial (Social Cognitif Theory) yaitu suatu proses yang

berlangsung secara terus menerus dimana prilaku dimotivasi dan diatur

oleh suatu pemikiran, salah satu dari teori Social Cognitif Theory yang

penting adalah efikasi diri (self efficacy) yang merupakan keyakinan

diri terhadap kemampuannya untuk melaksanakan tugas tertentu. (Rini,

2010).
Efikasi diri merupakan persepsi individu akan kemampuannya

untuk melakukan tugas spesifik dengan sukses. Efikasi diri merupakan

jalan untuk melihat hubungan antara bagaimana seseorang berfikir

tentang tugas–tugas dan cara menyelesaikan tugas–tugas tersebut

(Hartono, 2012).

Bandura (1994) mendefinisikan efikasi diri sebagai berikut:

“Perceived self-efficacy is defined as people beliefs about their

capabilities to produce designated levels of performance that exercise

influence over event that effect their lives. Self efficacy beliefs

determine how people feel, think, motivate themselves and believe such

beliefs produce there diverse effect throught four major processes. They

include cognitive, motivational affective and selection processes”.

Menurut Alwisol (2010 dalam Rachmawati 2015) “Efikasi adalah

penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk,

tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang

dipersyaratkan”. Alwisol juga mengemukakan bahwa cara individu

berperilaku dalam situasi tertentu tergantung pada hubungan antara

lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang

berkaitan dengan keyakinannya bahwa dirinya mampu atau tidak

mampu memunculkan perilaku yang sesuai dengan harapan, keyakinan

ini dikenal dengan istilah efikasi diri.


Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

efikasi diri (self efficacy) merupakan suatu keyakinan individu akan

kemampuan dirinya untuk melakukan tugas–tugas perawatan diri dan

berusaha untuk mencapai tujuannya dengan baik. Secara khusus, efikasi

diri pada pasien diabetes dalam pendekatan intervensi keperawatan

difokuskan pada keyakinan klien akan kemampuannya untuk

mengelolah, merencanakan, memodifikasi perilaku sehingga memiliki

kualitas hidup yang baik.

2.2.2 Sumber-Sumber Efikasi Diri

Menurut Bandura (1994 dalam Astuti 2011) efikasi diri seseorang

berkembang melalui empat sumber utama yaitu pengalaman pribadi/

pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal serta

kondisi fisik dan emosional:

1) Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi (enactive attainment

and performance accomplishment).

Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk

efikasi diri yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses

cenderung menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh

karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan kegagalan diperlukan

untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan manusia

bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang

memiliki keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan

berusaha untuk mewujudkan kesuksesan tersebut.


2) Pengalaman orang lain (vicarious experience)

Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan

meniru perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang

didapatkan oleh orang lain tersebut.

3) Persuasi Verbal (verbal persuasion)

Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang

bertindak atau berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu

mendapat sugesti bahwa ia mampu mengatasi masalah–masalah

yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan

keyakinan dengan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan

perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya

seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk

dari lingkungannya.

4) Kondisi fisik dan emosional (physiological and emosional state)

Kelemahan, nyeri dan ketidaknyamanan dianggap sebagai

hambatan fisik yang dapat mempengaruhi efikasi diri, kondisi

emosional juga mempengaruhi seseorang dalam mengambil

keputusan terkait efikasi dirinya.

2.2.3 Proses Pembentukan Efikasi Diri

Menurut Ni’mah (2014) efikasi diri terbentuk melalui empat

proses, yaitu: kognitif, motivasional, afektif dan seleksi yang

berlangsung sepanjang kehidupan.


1) Proses Kognitif

Efikasi diri mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat

mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Sebagian besar

individu akan berpikir dahulu sebelum melakukan sesuatu tindakan,

seseorang dengan efikasi diri yang tinggi akan cenderung

berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan memiliki komitmen

untuk mempertahankan perilaku tersebut.

2) Proses Motivasional

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan melakukan

perilaku yang mempunyai tujuan didasari oleh aktifitas kognitif.

Berdasarkan teori motivasi, perilaku atau tindakan masa lalu

berpengaruh terhadap motivasi seseorang. Seseorang juga dapat

termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. Disamping itu,

kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri dengan

mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama

motivasi dan pengaturan dirinya.

3) Proses Afektif

Efikasi diri juga berperan penting dalam mengatur kondisi

afektif. Keyakinan seseorang akan kemampuannya akan

mempengaruhi seberapa besar stress atau depresi yang dapat diatasi,

seseorang yang percaya bahwa dia dapat mengendalikan

ancaman/masalah maka dia tidak akan mengalami ganggauan pola

pikir, namun seseorang yang percaya bahwa dia tidak dapat


mengatasi ancaman maka dia akan mengalami kecemasan yang

tinggi. Efikasi diri untuk mengontrol proses berpikir merupakan

faktor kunci dalam mengatur pikiran akibat stress dan depresi.

4) Proses Seleksi

Ketiga proses pengembangan efikasi diri berupa proses

kognitif, motivasional dan afektif memungkinkan seseorang untuk

membentuk sebuah lingkungan yang membantu dan

mempertahankannya. Dengan memilih lingkungan yang sesuai akan

membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan.

2.2.4 Dimensi Efikasi Diri

Menurut Mertha (2010) menjelaskan bahwa efikasi diri terdiri dari 3

dimensi, yaitu:

1) Magnitude

Dimensi ini berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi oleh

sesseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini

berimplikasi pada pemilihan perilaku yang dipilih berdasarkan

harapan akan keberhasilannya.

2) Generality

Generalitas berkaitan dengan seberapa luas cakupan tingkah

laku yang diyakini mampu dilakukan. Berbagai pengalaman

pribadidibandingkan pengalaman orang lain pada umumnya akan

lebih mampu meningkatkan efikasi diri seseorang.


3) Strength (Kekuatan)

Dimensi ini berfokus pada bagaimana kekuatan sebuah

harapan atau keyakinan individu akan kemampuan yang dimilikinya.

Harapan yang lemah bisa disebabkan karena adanya kegagalan,

tetapi seseorang dengan harapan yang kuat pada dirinya akan tetap

berusaha gigih meskipun mengalami kegagalan.

2.2.5 Perkembangan Efikasi Diri

Menurut Astuti (2011) menyatakan bahwa efikasi diri

berkembang secara teratur sesuai tumbuh kembang, usia, pengalaman

dan perluasan lingkungan. Bayi mulai mengembangkan efikasi dirinya

sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial.

Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai kemampuan dirinya,

kecakapan fisik, kemampuan sosial dan kecakapan berbahasa yang

hampir secara konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Awal

dari perkembangan efikasi diri dipusatkan pada orang tua kemudian

dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya dan orang dewasa

lainnya.

Pada usia sekolah, proses pembentukan efikasi diri secara

kognitif terbentuk dan berkembang termasuk pengetahuan, kemampuan

berpikir, kompetisi dan interaksi sosial baik sesame teman maupun

guru. Pada usia remaja, efikasi diri berkembang dari berbagai

pengalaman hidup, kemandirian mulai terbentuk dan individu belajar

bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Pada usia dewasa, efikasi diri
meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan, menjadi orang tua, dan

pekerjaan. Sedangkan pada masa lanjut usia, efikasi diri berfokus pada

penerimaan dan penolakan terhadap kemampuannya, seiring dengan

penurunan kondisi fisik dan intelektualnya.

2.2.6 Faktor yang Berhubungan dengan Efikasi Diri

Berikut merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan

efikasi diri menurut Mertha (2010), yaitu:

1) Usia DM tipe 2 merupakan jenis DM yang paling banyak

jumlahnya yaitu sekitar 90-95% dari seluruh penyandang DM dan

banyak dialami oleh dewasa diatas 40 tahun. Hal ini disebabkan

retensi insulin pada DM tipe 2 cenderung meningkat pada lansia

(40-65 tahun), riwayat obesitas dan adanya faktor keturunan

(Smeltzer & Bare, 2008). Penelitian Wang dan Shiu (2004)

menemukan bahwa ada hubungan antara faktor demografi dengan

aktifitas perawatan diri pasien DM termasuk faktor usia, rata-rata

pasien berusia 60 tahun. Menurut Potter dan Perry (2005) usia 40-

65 tahun disebut juga tahap keberhasilan, yaitu waktu untuk

pengaruh maksimal, membimbing diri sendiri dan menilai diri

sendiri, sehingga pasien memiliki efikasi diri yang baik.

2) Jenis kelamin Hasil penelitian Mystakidou et al., (2010) pada

pasien kanker menyimpulkan bahwa efikasi diri pasien dipengaruhi

oleh komponen kecemasan, usia pasien, kondisi fisik dan jenis


kelamin. Berdasarkan penelitian tersebut, laki-laki memiliki efikasi

diri yang lebih tinggi daripada perempuan.

3) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan umumnya akan

berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengolah informasi.

Menurut Stipanovic (2002) pendidikan merupakan faktor yang

penting pada pasien DM untuk dapat memahami dan mengatur

dirinya sendiri serta dalam mengontrol gula darah. Wu et al.,

(2006) juga mengatakan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan

yang lebih tinggi dilaporkan memiliki efikasi diri dan prilaku

perawatan diri yang baik.

4) Status pernikahan Menurut Delamater (2000), orang yang menikah

atau tinggal bersama pasangannya akan mempunyai penyesuaian

psikologis yang baik. Penelitian Kott (2008) menjelaskan bahwa

responden yang menikah mempunyai kontrol DM yang baik dan

mempunyai status kesehatan yang lebih positif. Responden juga

mempunyai kecenderungan nilai HbA1c rendah yang

mengindikasikan kontrol metabolik baik.

5) Status sosial ekonomi Rubin (2000) mengatakan bahwa pasien

dengan penghasilan yang baik berpengaruh positif terhadap

kesehatan dan kontrol glikemik. Penelitian Lau-Walker (2007

dalam Wantiyah, Sitorus & Gayatri, 2010) menunjukkan bahwa

pekerjaan secara signifikan sebagai prediktor efikasi diri secara


umum, atau dengan kata lain seseorang yang bekerja memiliki

kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk mengatasi masalahnya.

6) Lama menderita DM Pada penelitian Fisher (2005), responden

yang baru menderita DM selama 4 bulan sudah menunjukkan

efikasi diri yang baik. Penelitian Wu et al., (2006) menemukan

bahwa pasien yang telah menderita DM ≥ 11 tahun memiliki

efikasi diri yang baik daripada pasien yang menderita DM <10

tahun. Hal ini disebabkan karena pasien telah berpengalaman

mengelola penyakitnya dan memiliki koping yang baik. Namun

dari penelitian Bernal, Woolley, Schenzul dan Dickinson (2000)

menemukan bahwa pasien yang telah lama menderita DM namun

disertai komplikasi memiliki efikasi diri yang rendah. Dengan

adanya komplikasi akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk

mengelola perawatan diri dan penyakitnya.

7) Dukungan Keluarga Belgrave dan Lewis (1994 dalam Wu, 2007)

meneliti peran dukungan keluarga, ternyata dukungan keluarga

secara signifikan berhubungan dengan prilaku kesehatan yang

positif dengan mematuhi aktifitas kesehatan. Bomar (2004)

mengatakan bahwa dukungan keluarga adalah suatu bentuk prilaku

melayani yang dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk

dukungan emosional (perhatian, kasih saying dan simpati),

dukungan penghargaan (menghargai, umpan balik), dukungan

informasional (saran, nasehat dan informasi) maupun dalam bentuk


instrumental (bantuan tenaga, dana dan waktu). Hasil penelitian

Wantiyah (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara

dukungan sosial/keluarga dengan efikasi diri.

2.2.7 Mengukur Efikasi Diri

Untuk Mengukur Efikasi diri dapat menggunakan kuesioner

General Self Efficacy oleh Born tahun 1995. Instrumen efikasi diri ini

telah di modifikasi dan sudah digunakan di Indonesia oleh Wantiyah

tahun 2010 dan sudah dinyatakan valid dan reliable.

Kuisioner General Self Efficacy yang telah modifikasi oleh

Wantiyah (2010) terdiri dari 10 pertanyaan, dengan penilaian

menggunakan skala Likert 1-4, yaitu: sangat tidak setuju, 2 : Tidak

setuju, 3 : setuju, 4 : sangat setuju. Skor total kuisioner ini berjumlah 10

– 40.

Sebagian besar penelitian juga mengadaptasi kuesioner Diabetes

Management Self-Efficacy Scale (DMSES) sebagai instrumen untuk

mengidentifikasi tingkat efikasi diri pasien Diabetes melitus. Pada

konteks efikasi diri, sebagian besar negara-negara dunia pertama seperti

Australia, UK, dan China menerima penggunaan DMSES sebagai

model praktik terbaik. (Rezal, 2013).

Peneliti menggunakan Diabetes Management Self-Efficacy Scale

(DMSES) UK dari penelitian Sturt, Hearnshaw, & Wakelin (2009)

sebagai instrumen untuk mengindentifikasi tingkat efikasi diri pada

pasien DM tipe 2.
Instrumen ini terdiri dari 15 butir pernyataan yang bersifat positif

(favourable) dengan total skor minimal 15 dan maksimal 75. Mencakup

lima subskala, yaitu pengaturan pola makan (diet), aktifitas fisik,

pemantauan kadar glukosa darah, terapi pengobatan, dan perawatan

umum. Penilaian jawaban berdasarkan 5 point skala likert yaitu sebagai

berikut:

1) Skor 1 : Sangat Tidak Mampu

2) Skor 2 : Tidak Mampu

3) Skor 3 : Kurang Mampu

4) Skor 4 : Mampu

5) Skor 5 : Sangat Mampu

Penelitian Sturt, Hearnshaw, & Wakelin (2009) memiliki nilai

validitas dan reliabilitas koefisien alpha cronbach sebesar 0,89 untuk

total skor. Menurut Nursalam (dalam Ratnawati, 2016) nilai interpretasi

kategori untuk efikasi diri adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1
Nilai Interpretasi kategori untuk efikasi diri

No Interpretasi Kategori Nilai


1 Baik 76-100 %
2 Cukup 55-75%
3 Kurang ≤ 55 %
Sumber : Ratnawati (2016)
2.3 Konsep Dasar Edukasi Kesehatan

2.3.1 Definisi Edukasi Kesehatan

Menurut Lawrence Green edukasi kesehatan adalah proses

perubahan perilaku yang dinamis, di mana perubahan tersebut bukan

proses pemindahan materi dari seseorang ke orang lain dan bukan pula

seperangkat prosedur. Artinya perubahan tersebut terjadi adanya

kesadaran dari dalam individu atau masyarakat sendiri. Pendidikan

kesehatan adalah istilah yang diterapkan pada penggunaan proses

pendidikan secara terncana untuk mencapai tujuan kesehatan yang

meliputi beberapa kombinasi dan kesempatan pembelajaran (Rizal dkk,

2007, dalam Triyanto, 2016).

Pendidikan kesehatan adalah upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat

sehingga dapat melakukan seperti yang diharapkan oleh pelaku

pendidikan kesehatan. (Purnamasari, 2012).

2.3.2 Prinsip-prinsip Edukasi Kesehatan.

Menurut Widiastuti (2012) terdapat beberapa prinsip yang harus

diperhatikan dalam pelaksanaan edukasi kesehatan yaitu :

1) Kemampuan

Setiap pasien memiliki kapasitas untuk belajar, kemampuan

belajar bervariasi antara satu dengan lainnya serta bersifat

situasional. (Delaune, 2006). Pada kemampuan fisik adalah penting


memperhatikan kesehatan fisik pasien, karena untuk mempelajari

psikomotor diperlukan kekuatan sensorik pada tingkat tertentu.

2) Perhatian

Perhatian merupakan keadaan mental yang memungkinkan

pelajar berfokus dan memahami kegiatan belajar. Sebelum belajar

pasien harus mampu berkonsentrasi pada informasi yang akan

dipelajari. Kemampuan ini dipengaruhi oleh gangguan psikoligis,

kegelisahan dan lingkungan.

3) Motivasi

Motivasi adalah suatu kekuatan yang beraksi pada atau

didalam diri seseorang (emosi, ide, atau kebutuhan fisik, yang

menyebabkan seseorang berprilaku tertentu. (Redman, 2007)

4) Adaptasi psikososial terhadap penyakit.

Kesiapan belajar biasanya berhubungan dengan kondisi

psikososial pasien. Pasien tidak akan dapat belajar jika mereka

tidak bersedia atau tidak mampu menerima kenyataan tentang

penyakit. Pengajaran pada waktu yang tepat akan memfasilitasi

penyesuaian terhadap penyakit.

5) Partisipasi aktif

Pembelajaran terjadi ketika pasien terlibat secara aktif

didalam sesi edukasi.


2.3.3 Tujuan Edukasi Kesehatan

Menurut Kozier & Erbs (2010 dalam Yunita 2016) tujuan dari

edukasi kesehatan adalah sebagai berikut :

1) Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman.

2) Untuk mengubah prilaku pasien dan keluarga pasien.

3) Untuk mencegah komplikasi.

4) Untuk Peningkatan efikasi diri.

5) Untuk dukungan kondisi kesehatan dalam hal pemulihan pasien

6) Untuk meningkatkan pemberdayaan pasien

7) Mencegah kematian

Sedangkan tujuan utama pendidikan kesehatan menurut Undang-

Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 adalah meningkatkan

kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan baik secara fisik, mental dan sosialnya sehingga produktif

secara ekonomi maupun sosial.

2.3.4 Sasaran Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoadmojo (2003) sasaran pendidikan kesehatan dibagi

dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu :

1) Sasaran Primer (Primary Target)

Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala

upaya pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan

permasalahan kesehatan, maka sasaran ini dapat dikelompokkan

menjadi, kepala keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu


hamil dan menyusui untuk masalah KIA (Kesehatan Ibu dan

Anak), anak sekolah untuk kesehatan remaja, dan juga sebagainya.

2) Sasaran Sekunder (Secondary Target)

Sasaran ini dapat diberikan kepada tokoh masyarakat, tokoh

agama, tokoh adat, dan sebagainya. Disebut sasaran sekunder,

karena dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada

kelompok ini diharapkan untuk nantinya kelompok ini akan

memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat di

sekitarnya.

3) Sasaran Tersier (Tertiary Target)

Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik di

tingkat pusat, maupun daerah. Dengan kebijakan-kebijakan atau

keputusan yang dikeluarkan oleh kelompok ini akan mempunyai

dampak langsung terhadap perilaku tokoh masyarakat dan kepada

masyarakat umum.

2.3.5 Ruang Lingkup Edukasi Kesehatan.

Ada beberapa dimensi ruang lingkup edukasi kesehatan menurut

Fitriani (2011, dalam Septiana 2014), antara lain :

1) Dimensi Sasaran

(1) Individu

Metode yang dapat dilakukan adalah :

a. Bimbingan dan konseling


Konseling kesehatan adalah kegiatan pendidikan

kesehatan yang dilakukan dengan menyebar pesan,

menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak hanya

sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan bersedia

melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan.

b. Wawancara

Wawancara adalah bagian dari bimbingan dan

penyuluhan. Menggali informasi mengapa individu tidak atau

belum mau menerima perubahan, apakah individu tertarik

atau tidak terhadap perubahan, bagaimanakah dasar

pengertiannya apakah mempunyai dasar yang kuat juka

belum, maka diperlukan penyuluhan yang lebih mendalam.

(2) Kelompok

Metode yang bisa digunakan untuk kelompok kecil diantaranya :

a. Diskusi kelompok

Diskusi kelompok adalah membahas suatu topik dengan

cara tukar pikiran antara dua orang atau lebih dalam suatu

kelompok yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Mengungkapkan pendapat (Brainstorming)

Merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Pada

prinsipya sama dengan diskusi kelompok. Tujuannya adalah


untuk menghimpun gagasan, pendapat, informasi,

pengetahuan, pengalaman, dari setiap peserta.

c. Bermain peran

Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk

menghadirkan peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam satu

pertunjukkan di dalam kelas pertemuan.

d. Kelompok yang membahas tentang desas desus

Dibagi menjadi kelompok kecil kemudian diberikan

suatu permasalahan yang sama atau berbeda antara kelompok

satu dengan kelompok lain kemudian masing-masing dari

kelompok tersebut mendiskusikan kembali dan mencari

kesimpulannya.

e. Simulasi

Berbentuk metode praktek yang berfungsi untuk

mengembangkan keterampilan peserta belajar. Metode ini

merupakan gabungan dari role play dan diskusi kelompok.

(3) Masyarakat luas

Metode yang dapat digunakan untuk masyarakat luas

diantaranya :

a. Seminar

Metode seminar ini hanya cocok untuk sasaran kelompok

besar dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah


suatu presentasi dari satu ahli atau beberapa ahli tentang suatu

topic yang dianggap penting dan biasanya sedang ramai

dibicarakan di masyarakat.

b. Ceramah

Metode ceramah adalah sebuah metode pengajaran

dengan menyampaikan informasi secara lisan kepada sejumlah

siswa, yang pada umumnya mengikuti secara pasif.

2) Dimensi Tempat Pelaksanaan

(1) Pendidikan kesehatan dirumah pasien

(2) Pendidikan kesehatan di rumah sakit atau di tempat pelayanan

kesehatan lainnya, dengan sasaran pasien dan juga keluarga

pasien

(3) Pendidikan kesehatan di tempat kera dengan sasaran buruh atau

karyawan

3) Dimensi Tingkat Pelayanan Kesehatan

(1) Peningkatan kesehatan

Dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti

pendidikan kesehatan, penyuluhan kesehatan, promosi

kesehatan, pengendalian lingkungan dan sebagainya.

(2) Perlindungan umum dan khusus

Perlindungan umum dan khusus merupakan usaha

kesehatan dalam rangka memberikan perlindungan secara


khusus atau umum kepada seseorang atau masyarakat. Bentuk

perlindungan tersebut seperti imunisasi dan hygiene

perseorangan, perlindungan diri dari kecelakaan, pengendalian

sumber-sumber pencemaran, dan lain-lain.

(3) Diagnosis dini dan pengobatan segera atau adekuat

Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang rendah

terhadap kesehatan mengakibatkan masyarakat mengalami

kesulitan untuk mendeteksi penyakit bahkan enggan untuk

memeriksa kesehatan dirinya dan mengobati penyakitnya.

(4) Pembatasan kecacatan

Kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang

kesehatan dan penyakit sering membuat masyarakat tidak

melanjutkan pengobatannya sampai tuntas, yang akhirnya dapat

mengakitkan kecacatan atau ketidakmampuan. Oleh karena itu,

pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini dalam

bentuk penyempurnaan dan intensifikasi terapi lanjutan,

pencegahan komplikasi, perbaikan fasilitas kesehatan,

penurunan beban sosial penderita, lain-lain.

(5) Rahabilitasi

Latihan diperlukan untuk pemulihan seseorang yang telah

sembuh dari suatu penyakit atau menjadi cacat. Karena


kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya

rehabilitasi, masyarakat tidak mau untuk melakukan latihan-

latihan tersebut.

2.3.6 Edukasi GOOD LOCK.

Edukasi GOOD LOCK merupakan akronim untuk edukasi

kesehatan yang penting untuk disampaikan dan diketahui penderita

Diabetes Melitus khususnya penderita DM tipe 2 yang dilihat dari

beberapa teori mengenai edukasi yang penting bagi penderita Diabetes

Melitus adapun teori yang dilihat adalah sebagai berikut :

1) Menurut Gultom (2012) edukasi kesehatan yang penting untuk

disampaikan kepada penderita Diabetes melitus tipe 2 adalah :

(1) Penatalaksanaan DM

(2) Diet nutrisi

(3) Pencegahan dan penanganan komplikasi akut dan kronik

(4) Pencegahan luka DM

(5) Monitoring kadar gula darah

(6) Latihan jasmani

(7) Obat hiperglikemia oral dan pengenalan insulin.

2) Menurut Tartowo (2012) edukasi yang penting untuk penyandang

DM adalah sebagai berikut :

(1) Penyakit DM yang meliputi pengertian, tanda dan gejala,

penyebab, patofisiologi dan test diagnostik.


(2) Diet dan penanganan diet pada pasien DM

(3) Aktivitas sehari-hari termasuk dan olahraga

(4) Pencegah terhadap penyakit DM

(5) Pemberian obat-obatan DM dan cara injeksi insulin.

(6) Cara monitoring dan pengukuran glukosa darah secara

mandiri.

3) Sedangkan menurut Ndaraha (2014) Edukasi pada penyandang

diabetes meliputi:

(1) Pemantauan glukosa mandiri

(2) Perawatan kaki

(3) Ketaatan pengunaan obat-obatan

(4) Berhenti merokok

(5) Meningkatkan aktifitas fisik

(6) Mengurangi asupan kalori

(7) Diet tinggi lemak

Dari beberapa teori diatas mengenai edukasi yang harus

disampaikan untuk penyandang Diabetes melitus maka penulis

menyimpulkan beberapa materi edukasi yang penting untuk

disampaikan kepada penyandang Diabetes Melitus dengan nama

edukasi “GOOD LOCK”. GOOD LOCK jika diartikan dalam bahasa


inggris memiliki makna berupa “Kunci yang Baik”. GOOD LOCK

merupakan huruf kunci atau singkatan agar mempermudah

penggunanya untuk mengingat. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia singkatan adalah salah satu hasil pemendekan yang berupa

huruf atau gabungan huruf, baik dieja huruf demi huruf maupun yang

tidak dieja huruf demi huruf. GOOD LOCK merupakan singkatan dari :

Tabel 2.2
Makna Akronim GOOD LOCK
No Huruf Singkatan dari Artinya
1 G Glukosa Pemantauan glukosa secara
rutin.
2 OO Obat-obatan Obat-obatan/terapi farmakologi
untuk penderita Diabetes
melitus.
3 D Diet Diet atau nutrisi yang tepat bagi
penderita Diabetes melitus
4 L Luka Perawatan pencegahan luka kaki
diabetik
8 O Olahraga Olahraga atau aktivitas Fisik
9 C Cegah Pencegahan terhadap Diabetes
melitus
10 K Konsep Konsep dasar Diabetes melitus

2.3.7 Materi dalam Edukasi GOOD LOCK

2.3.6.1 Glukosa atau Pemantauan Glukosa Secara Rutin

Glukosa darah adalah gula yang terdapat dalam darah

yang terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan

sebagai glikogen di hati dan otot rangka. (Ndaraha, 2014).


1) Jenis Pemeriksaan Glukosa Darah

Menurut Rachamawati (2010) terdapat beberapa

jenis pemeriksaan glukosa darah yaitu :

(1) Pemeriksaan glukosa darah sewaktu (GDS)

Pemeriksaan gula darah sewaktu adalah

pemeriksaan gula darah yang dapat dilakukan kapan

saja dan setiap hari bertujuan untuk memantau kadar

gula darah penderita Diabetes melitus, pemeriksaan

ini dapat dilakukan tanpa memperhatikan makanan

terakhir yang dimakan dan kondisi tubuh orang

tersebut.

(2) Pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

kemampuan seseorang dalam mengatur kadar glukosa

darah supaya dapat terkontrol secara baik. Sebelum

dilakukan pemeriksaan pasien disarankan agar puasa

lebih dahulu puasa selama 8–10 jam.

(3) Glukosa darah dua jam post prandial (G2JPP)

Pemeriksaan ini merupakan tes penyaring yang

bertujuan untuk mengetahui kemampuan seseorang

dalam menghilangkan beban glukosa yang ada dalam

tubuh. Setelah melakukan puasa selama 8–10 jam


kemudian pasien diminta untuk puasa kembali selama

dua jam. Nilai normal kadar glukosa G2JPP adalah

100–140 mg/dl

(4) Test toleransi glukosa oral ( TTGO)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk tes jika kadar

glukosa dua jam post prandial tidak normal

(abnormal). Test ini bertujuan memberikan

keterangan yang lebih lengkap mengenai adanya

ganguan metabolisme karbohidrat. Pada test toleransi

glukosa oral, kadar glukosa darah puasa diukur, nilai

normal TTGO >140 mg/dl.

2) Fungsi Pemeriksaan Glukosa Darah

Menurut Hardjoeno (2003) fungsi pemeriksaan

glukosa darah adalah sebagai berikut :

(1) Tes Saring

Tes saring digunakan untuk mendeteksi kasus

diabetes melitus sedini mungkin sehingga dapat

dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik

akibat penyakit ini. Tes saring biasanya mengambil

glukosa darah sewaktu sebagai sampel pemeriksaan.

(2) Tes Diagnostik

Tes ini bertujuan untuk memastikan diagnosis

Diabetes melitus pada individu dengan keluhan klinis


khas diabetes melitus, atau mereka yang terdiagnosis

pada tes saring. Tes diagnostik ini biasanya

mengambil glukosa darah puasa dan glukosa darah

dua jam post prandial sebagai sampel pemeriksaan.

(3) Tes Pengendalian

Tes ini bertujuan untuk memantau keberhasilan

pengobatan untuk mencegah terjadinya komplikasi

kronik. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses

terapi pengobatan dilakukan pemeriksaan glukosa

darah sewaktu, glukosa darah puasa dan glukosa

darah dua jam post prandial. Apabila pemeriksaan

glukosa darah dua jam post prandial abnormal maka

dapat dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa

oral.

3) Ukuran Kadar Glukosa Darah

Acuan untuk hasil pemeriksaan glukosa darah dapat

dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini :

Tabel 2.3
Daftar Ukuran Kadar Glukosa Darah
Kadar Glukosa Bukan Belum Pasti
DM
Darah DM DM
Sewaktu Plasma < 100 100-199 > 200
Vena mg/dl mg/dl mg/dl
Darah < 90 99-199 > 200
Kapiler mg/dl mg/dl mg/dl
Puasa Plasma < 100 100-125 > 126
Vena mg/dl mg/dl mg/dl
Darah < 90 90-99 > 100
Kapiler mg/dl mg/dl mg/dl
Sumber : PERKENI (2011)

2.3.6.2 Obat-obatan (terapi farmakologi)

Menurut Pharmaceutical Care (2005) bentuk terapi obat

dalam penatalaksaan Diabetes melitus adalah sebagai berikut :

1) Terapi Insulin

Pada dasarnya penderita DM Tipe 2 tidak

memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata

memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik

oral. Adapun penggunaan terapi insulin dapat dilihat pada

tabel 2.4 dibawah ini :

Tabel 2.4
Penggunaan Terapi Insulin
Contoh Cara Penggolongan Kerja
Mekanisme Kerja Indikasi
Senyawa Pemberian Insulin
Actrapid HM Efek kerja insulin  Penderita DM Tipe 2 Insulin berikan  Masa kerja Singkat
Humulin yang sudah sangat tertentu kemungki-nan melalui penyun- (Shortacting/Insuli
Protamin dikenal adalah me- juga membutuh-kan tikan yang dila- n), disebut juga
Insulatard HM mbantu transpor terapi insulin apabila kukan secara insulin reguler
glukosa dari darah terapi lain yang subkutan (diba-  Masa kerja sedang
ke dalam sel & diberikan tidak dapat wah kulit). Pe-  Masa kerja sedang,
meningkatkan lipo- mengendalikan kadar nyerapan paling mula kerja cepat
genesis, menekan glukosa darah cepat terjadi di  Masa kerja lama
lipolisis, serta men-  Keadaan stress berat, daerah abdomen
ingkatkan transport seperti pada infeksi diikuti oleh dae-
asam amino masuk berat, tindakan pem- rah lengan, paha
ke dalam sel. dahan, infark mio- bagian atas dan
kard akut atau stroke bokong. Bila di
 DM Gestasional dan suntikkan secara
penderita DM yang intramuskular
hamil membutuhkan maka penyera-
terapi insulin, apabila pan akan terjadi
diet saja tidak dapat lebih cepat, dan
mengendalikan kadar masa` kerjanya
glukosa darah. menjadi lebih
 Penderita DM yang singkat.
mendapatkan nutrisi
parenteral atau yang
memerlukan suple-
men tinggi kalori. untuk
memenuhi kebutuhan
energi yang meningkat,
secara bertahap memer-
lukan insulin eksogen
untuk mempertahankan
kadar glukosa darah
mendekati normal sela-
ma periode resistensi
insulin atau ketika ter-
jadi peningkatan
 Gangguan fungsi ginjal
dan hati yang berat.
 Ketoasidosis Diabe-tik
 Insulin seringkali di-
perlukan pada pada
pengobatan sindroma
hiperglikemia, hiperos-
molar non-ketotik
 Kontraindikasi atau
alergi terhadap obat
OHO
Sumber : Pharmaceutical Care (2005)

2) Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan

untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II.

Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat

menentukan keberhasilan terapi diabetes. Panduan dalam

Penggunaan terapi obat hipoglikemik oral dapat dilihat

pada tabel 2.5 dibawah ini :

Tabel 2.5
Penggunaan Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Contoh
Mekanisme Senyawa
Golongan Indikasi Efek samping Kontraindikasi
Kerja (nama
obat)
Sulfonilurea Merangsang sek- Glibenklamida NIDDM (non-insu- Efek gastrointestinal,  Penderita diabetik
resi insulin dike- Dosis : lin dependent Dia- reaksi Hipoglikemia, ketoasidosis
lenjar pankreas,  Dosis awal betes melitus)dima- reaksi alergi kulit.  Penderita nondia-
sehingga hanya 5 mg/hari na modifikasi diet betiktik dengan gli-
efektif pada pen-  Dosis umum gagal untuk meng- kosuria ginjal
penderita diabetes 2,5 mg 1-3 endalikan hipergli-  Gangguan fungsi
yang sel-sel β kali sehari. kemia. ginjal dan hati yang
pankreasnya ma-  Maksimal : berat.
sih berfungsi de- 15mg /hari  Penderita DM de-
ngan baik  Lansia de- ngan komplikasi
ngan kon-  Wanita hamil dan
disi lemah menyusui.
fisik: 2,5mg/
hari

Gliclazid NIDDM (non-insu- Hipoglikemia, gangg-  Penderita diabetik


Dosis : lin dependent Dia- uan fungsi hati dan ketoasidosis
 Dosis awal betes melitus)dima- saluran cerna, reaksi  Pasca trauma berat
40-80mg/hr. na modifikasi diet kulit, diskrasia darah  Gangguan fungsi
 Dosis umum gagal untuk meng- ginjal dan hati yang
40-320 mg/ endalikan hipergli- berat.
hari. kemia.  Wanita hamil dan
 Dosis > 160 menyusui.
mg harus di
berikan 2 x
/hari.
Glimepiride NIDDM (non-insu- Gangguan pengliha-  Hipersensitif
Dosis : lin dependent Dia- tan, mual, muntah, ra-  Diabetes ketoasido-
 Awal 1 mg betes melitus) dima- sa penuh pada epigas- sis
1x/hr, lalu na glukosa darah trium, nyeri perut, di-  Gangguan fungsi
ditingkatkan tidak dapat diken- are, peningkatan enz- hati berat yang
bertahap de- dalikan hanya deng- im hati, kolestasis, ik- sedang menjalani
ngan inter- an diet, latihan jas- terus, hepamis, gagal dialisis
val 1-2 mi- mani dan pengura- hati.
nggu. ngan berat badan.

Glipizid Untuk kontrol hipe- Hipoglisemia, erupsi  Hipersensitif


Dosis : glisemia mukokutis, gangguan  Insufisensi hati
1x sehari 5 mg saluran cerna, gangg- dan ginjal parah
uan fungsi hati, reaksi
hematologi
Meglitinida Merangsang sek- Repaglinide NIDDM (non-insu- Efek samping yang  Hipersensitif
resi insulin dike- Dosis : lin dependent Dia- mungkin terjadi  Wanita hamil dan
lenjar pankreas 0,5 mg setiap betes melitus) yang adalah keluhan menyusui
sebelum mak- tidak terkontrol de- saluran cerna  Gangguan fungsi
an. ngan diet dan lati- hati dan ginjal yang
Total dosis ti- han jasmani. berat
dak boleh me-
lebihi 16mg/hr

Turunan Meningkatkan ke- Nateglinide NIDDM (non-insu- Efek samping yang  Diabetes ketoasido-
fenilalanin cepatan sintesis Dosis : lin dependent Dia- dapat terjadi pada sis
insulin oleh pan- 120 mg 3x/hr betes melitus) tung- penggunaan obat ini  Wanita hamil dan
kreas gal / kombinasi de- adalah keluhan in- menyusui.
ngan Metformin. feksi saluran nafas
atas (ISPA).
Biguanida Bekerja langsung Metformin Pengobatan utama Efek samping yang  Gangguan saluran
pada hati (hepar), HCL dan tambahan, tu- sering terjadi adalah cerna
menurunkan pro- Dosis : nggal / kombinasi nausea, muntah,  Diabetik ketoasi-
duksi glukosa ha- 500 mg 3x/hr dengan insulin. diare, dan dapat dosis
ti. Tidak merang- atau menyebabkan asi-
sang sekresi insu- 850 mg 2x/hr dosis laktat.
lin oleh kelenjar
pankreas.
Tiazolidindi- Meningkatkan ke- Rosiglitazone DM tanpa komp- Erupsi kulit, eritema  Diabetik ketoasi-
on pekaan tubuh ter- Dosis : likasi tipe non-keto- multiform, dermatitis dosis
hadap insulin, ser- DM Parah dan tik. eksfoliatif
ta untuk menu- Pemeliharaan
runkan resistensi 250 mg/hr.
insulin

Inhibitor α- Menghambat ker- Acarbose Terapi penambah Efek samping obat ini  Gangguan saluran
glukosidase ja enzim-enzim Dosis : untuk diet penderita adalah perut kurang cerna seperti: diare,
pencernaan yang Dosis awal 50 DM enak, lebih banyak kembung, mual dan
mencerna karbo- mg, kemudian flatus dan kadang- muntah
hidrat, sehingga dinaikkan jadi kadang diare, yang
memperlambat 100-200 mg akan berkurang sete-
absorpsi glukosa setelah 4-8 lah pengobatan berla-
ke dalam darah minggu, 3x/hr ngsung lebih lama

Sumber : Pharmaceutical Care (2005)

Menurut Pharmaceutical Care (2005) penatalaksanaan

DM dengan terapi obat dapat menimbulkan masalah-masalah

terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh

penderita. Masalah-masalah terkait dengan terapi obat tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani

Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani ini

dapat disebabkan oleh:

(1) Penderita mengalami gangguan medis baru yang

memerlukan terapi obat.


(2) Penderita memiliki penyakit kronis lain yang

memerlukan keberlanjutan terapi obat.

(3) Penderita mengalami gangguan medis yang

memerlukan kombinasi farmakoterapi untuk menjaga

efek sinergi/potensiasi obat.

(4) Penderita berpotensi untuk mengalami risiko

gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan

penggunaan terapi obat profilaktik atau premedikasi.

2) Pemberian obat tanpa indikasi

Pemberian obat tanpa indikasi disamping merugikan

penderita secara finansial juga dapat merugikan penderita

dengan kemungkinan munculnya efek yang tidak

dikehendaki. Pemberian obat tanpa indikasi ini dapat

disebabkan oleh:

(1) Penderita menggunakan obat yang tidak sesuai

dengan indikasi penyakit pada saat ini

(2) Penyakit penderita terkait dengan penyalahgunaan

obat, alkohol atau merokok

(3) Kondisi medis penderita lebih baik ditangani dengan

terapi non obat

(4) Penderita memperoleh polifarmasi untuk kondisi yang

indikasinya cukup mendapat terapi obat tunggal


(5) Penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi

efek obat yang tidak dikehendaki yang disebabkan

oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan

obat yang lebih sedikit efek sampingnya

3) Pemilihan obat tidak tepat/salah obat

Pemilihan obat yang tidak tepat dapat

mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai sehingga

penderita dirugikan. Pemilihan obat yang tidak tepat

dapat disebabkan oleh:

(1) Penderita memiliki masalah kesehatan, tetapi obat

yang digunakan tidak efektif

(2) Penderita alergi dengan obat yang diberikan.

(3) Penderita menerima obat tetapi bukan yang

paling efektif untuk indikasi yang diobati

(4) Obat yang digunakan berkontraindikasi, misalnya

penggunaan obatobat hipoglikemik oral golongan

sulfonylurea harus hati-hati atau dihindari pada

penderita lanjut usia, wanita hamil, penderita

dengan gangguan fungsi hati, atau gangguan

fungsi ginjal yang parah.

(5) Penderita resisten dengan obat yang digunakan

4) Dosis obat berlebih (over dosis)


Pemberian obat dengan dosis berlebih

mengakibatkan efek hipoglikemian dan kemungkinan

munculnya toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh:

(1) Dosis obat terlalu tinggi untuk penderita

(2) Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas

rentang terapi yang dikehendaki

(3) Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat

(4) Penderita mengakumulasi obat karena pemberian

yang kronis

(5) Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai

(6) Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai

5) Efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reactions)

Munculnya efek obat yang tidak dikehendaki dapat

disebabkan oleh:

(1) Obat diberikan terlalu cepat, misalnya pada

penggunaan insulin diberikan terlalu cepat sering

terjadi efek hipoglikemia.

(2) Penderita alergi dengan pengobatan yang diberikan.

(3) Penderita teridentifikasi faktor risiko yang membuat

obat ini terlalu berisiko untuk digunakan

(4) Penderita pernah mengalami reaksi idiosinkrasi

terhadap obat yang diberikan


(5) Ketersediaan hayati obat berubah sebagai akibat

terjadinya interaksi dengan obat lain atau dengan

makanan

2.3.6.3 Diet dan nutrisi

Diet merupakan pilar utama dari pelaksanaan DM. Standar

diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang

seimbang antara zat gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin

dan mineral sesuai dengan kecukupan gizi baik. Namun

penderita DM sering memperoleh sumber informasi yang

kurang tepat yang dapat merugikan penderita tersebut.

Pengaturan diet pada penderita DM merupakan

pengobatan yang utama pada penatalaksanaan DM (Almatsier,

2009 dalam Delianty, 2015 ) yaitu mencakup :

1) Jumlah makanan

Syarat kecukupan jumlah makanan pada penderita

penyakit DM adalah:

(1) Kebutuhan kalori untuk penderita DM harus sesuai

untuk mencapai kadar glukosa normal dan

mempertahankan berat badan normal. Kebutuhan

energi ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan

untuk metabolisme basal sebesar 25 – 30 kkal/kg BB

normal. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu

makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2


– 3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing

10 – 15 %).

(2) Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65

% dari kebutuhan energi total

(3) Kebutuhan protein normal, yaitu 10 20 % dari

kebutuhan energi total

(4) Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20 -25 % dari

kebutuhan energi total, dalam bentuk < 7 % berasal dari

lemak jenuh, < 10 % dari lemak tidak jenuh ganda

selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan

kolesterol makanan dibatasi, yaitu < 200 mg/hari.

(5) Penggunaan gula murni dalam makanan dan minuman

tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai

bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali,

diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5 %

dari kebutuhan energi total.

(6) Penggunaan gula alternatif hendaknya dalam jumlah

terbatas yaitu 20 % dari kebutuhan energi.

(7) Asupan serat dianjurkan 25 g/hari dengan

mengutamakan serat larut air yang terdapat didalam

sayur dan buah.


(8) Cukup konsumsi vitamin dan mineral, asupan dari

makanan cukup, penambahan vitamin dan nimeral

dalam bentuk suplemen tidak diperlukan.

2) Jenis Bahan Makanan

Ada beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan

jenis makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi bagi

penderita DM menurut Delianty (2015) :

(1) Jenis bahan makanan yang dianjurkan bagi penderita

DM yaitu :

a. Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi beras

merah, gandum, mie, sereal, roti tawar, kentang,

singkong, ubi dan sagu.

b. Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam

tanpa kulitnya, susu krim, yoghurt, tempe, tahu dan

kacang-kacangan

c. Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk

makanan yang mudah dicerna, terutama mudah

diolah dengan cara dipanggang, dikukus, dan

direbus.

d. Buah pepaya, apel, pisang (pisang ambon

sebaiknya dibatasi) kedondong, salak, semangka,

pear, jeruk, belimbing, melon dan buah naga.


e. Sayuran dibagi menjadi dua golongan, yaitu

golongan A yang bebas dikonsumsi, sangat sedikit

mengandung energi, protein dan karbohidrat. Jenis

sayuran golongan A diantaranya oyong, lobak,

selada, jamur segar, mentimun, tomat, sawi, tauge,

kangkung, terong, kembang kol, kol, labu air.

Sedangkan sayuran golongan B boleh dikonsumsi,

tetapi hanya 100 gram/hari. Jenis sayuran golongan

B diantaranya buncis, labu siam, daun singkong,

jagung muda, bayam, kacang panjang.

(2) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau

dibatasi untuk penderita DM yaitu:

a. Mengandung banyak gula sederhana, seperti gula

pasir, gula jawa, sirup, jelly, buah-buahan yang

diawetkan, susu kental manis, soft drink, es krim,

kue-kue manis, dan krekers.

b. Mengandung tinggi lemak seperti santan, makanan

siap saji, goreng-gorengan.

c. Mengandung banyak natrium seperti ikan asin,

telur asin, dan makanan yang diawetkan.

(3) Jadwal makan

Makanan porsi kecil dalam waktu tertentu akan

membantu mengontrol kadar gula darah. Makanan porsi


besar menyababkan peningkatan gula darah mendadak

dan bila berulang-ulang dalam jangka panjang, keadaan

ini dapat menimbulkan komplikasi DM. Oleh karena itu

makanlah sebelum lapar karena makan disaat lapar

sering tidak terkendali dan berlebihan. Agar kadar gula

darah lebih stabil, perlu pengaturan jadwal makan yang

teratur yaitu pagi, makan siang, makan malam, snack

diantara makan besar dan dilaksanakan dengan interval 3

jam. Adapun jadwal makan penderita DM dapat dilihat

pada tabel 2.6 dibawah ini :

Tabel 2.4
Jadwal makan penderita DM dan menu makanan
sehari dengan jenis Diet DM 1900 kkal
Menu Berat
Waktu Ukuran
Makanan (gram)
Sarapan Pagi Nasi 100 1 gls
Pukul 07.00 Telur dadar 50 1 ptg
Tempe goreng 25 ½ ptg
Sayur tumis 100 1 gls
Minyak 10 1 sdm
Selingan
Pukul 10.00 Buah 100 1 ptg

Makan Siang Nasi 200 2 gls


Pukul 13.00 Pepes ikan 50 1 ptg
Tempe goreng 50 1 ptg
Sayur asam 100 1 gls
Buah 100 1 ptg
Minyak 10 1 sdm
Selingan Buah 100 1 ptg
Pukul 16.00
Makan Malam Nasi 150 1½ gls
Pukul 19.00 Ayam goreng 50 1 ptg
Tahu goreng 25 ½ ptg
Cah capcay 100 1 gls
Buah 100 1 ptg
Minyak 10 1 sdm
Sumber : Almatsier (2006)

2.3.6.4 Perawatan pencegahan luka kaki Diabetes Melitus

Dibawah ini beberapa komponen dari perawatan kaki

yang dianjurkan bagi penderita diabetes mellitus menurut

Windasari (2014) :

1) Memeriksa konsisi kaki setiap hari dengan cara :

(1) Cuci tangan sebelum memeriksa keadaan kaki.

(2) Kenali kondisi punggung dan telapak kaki dari tanda-

tanda seperti : kering dan pecah-pecah, lepuh, luka,

kemerahan, teraba hangat dan bengkak saat diraba.

(3) Kenali adanya bentuk kuku yang tumbuh kearah

dalam (ingrown toenails), kapalan dan kalus.

(4) Gunakan cermin jika tidak mampu melihat bagian

telapak kaki.

(5) Jika terdapat tanda-tanda diatas, pasien harus segera

ke tenaga kesehatan khusus untuk mendapat

perawatan kaki lebih awal.

2) Menjaga kebersihan kaki setiap hari dengan cara:


(1) Bersihkan dan cuci kaki setiap hari dengan

menggunakan air suamsuam kuku dan gunakan sabun

yang ringan serta lembut.

(2) Cek suhu air sebelum digunakan mencuci kaki dengan

menggunakan siku jari tangan yang dicelupkan ke

dalam air.

(3) Rendam kaki dengan air hangat di dalam Waskom

selama 2-3 menit.

(4) Bersihkan menggunakan sabun lembut sampai ke

sela-sela jari kaki sambil dipijit dengan lembut.

(5) Jika kuku kaki kotor, sikat kuku kaki dengan

menggunakan sikat kuku dan sabun.

(6) Bilas kaki dengan menggunakan air hangat.

(7) Keringkan kaki menggunakan kain bersih yang

lembut sampai ke sela jari kaki.

(8) Pakailah pelembab atau krim pada kaki, jangan

sampai melampaui jari kaki.

(9) Saat memakai pelembab, usahakan tidak menggosok

tetapi dianjurkan dengan cara memijat pada telapak

kaki.

3) Memotong kuku yang baik dan benar dengan cara :

(1) Potong kuku kaki minimal 1 minggu 1 kali.


(2) Potong kuku dengan hati-hati, jangan sampai melukai

kulit.

(3) Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah

mandi, sewaktu kuku lembut.

(4) Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa

karena dapat menyebabkan luka pada kaki.

(5) Gunakan gunting kuku yang dikhususkan untuk

memotong kuku

(6) Gunting kuku hanya boleh digunakan untuk

memotong kuku kaki secara lurus.

4) Jangan gunakan cat kuku.

(1) Kuku kaki yang menusuk daging dan kapalan,

hendaknya diobati oleh dokter.

5) Memilih alas kaki yang baik dengan cara:

(1) Lindungi kaki anda dengan selalu menggunakan alas

kaki baik di dalam maupun di luar ruangan.

(2) Alas kaki yang baik adalah sepatu karena dapat

melindungi kaki secara penuh.

(3) Alas kaki harus terbuat dari bahan yang lembut untuk

kaki, tidak keras.

(4) Pilih sepatu dengan ukuran yang pas dan ujung

tertutup. Sisakan ruang sebanyak kira-kira 2,5 cm

antara ujung kaki dengan sepatu.


(5) Jangan memaksakan kaki menggunakan sepatu yang

tidak sesuai dengan ukuran kaki

(kebesaran/kekecilan).

(6) Periksa bagian dalam sepatu sebelum digunakan.

(7) Bagi wanita, jangan gunakan sepatu dengan hak yang

terlalu tinggi karena dapat membebani tumit kaki.

(8) Jika akan menggunakan sepatu baru, maka harus

dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.

(9) Jari kaki harus masuk semua kedalam sepatu, tidak

ada yang menekuk.

(10) Dianjurkan memakai kaos kaki apalagi jika kaki

terasa dingin.

(11) Memakai kaos kaki yang bersih dan mengganti setiap

hari.

(12) Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan

memakai bahan sintetis, karena bahan ini

menyebabkan kaki berkeringat.

6) Pencegahan cedera pada kaki

(1) Selalu memakai alas kaki yang lembut baik di dalam

ruangan maupuan di luar ruangan.

(2) Selalu memeriksa dalam sepatu atau alas kaki

sebelum memakainya.
(3) Selalu mengecek suhu air ketika ingin menggunakan,

caranya dengan menggunakan siku jari.

(4) Hindari merokok untuk pencegahan kurangnya

sirkulasi darah ke kaki.

(5) Hindari menekuk kaki dan melipat kaki terlalu lama.

(6) Hindari berdiri dalam satu posisi kaki pada waktu

yang lama

(7) Melakukan senam kaki secara rutin.

(8) Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan

memeriksa kaki setiap kontrol walaupun ulkus

diabetik sudah sembuh.

7) Pengelolaan cedera awal pada kaki

(1) Jika ada lecet, tutup luka atau lecet tersebut dengan

kain kasa kering setelah diberikan antiseptic (povidon

iodine) di area cedera

(2) Segera mencari tim kesehatan khusus yang menangani

kesehatan kaki diabetes jika luka tidak sembuh.

2.3.6.5 Olahraga dan Aktivitas Fisik

Diabetes merupakan penyakit sehari-hari, yang akan

berlangsung seumur hidup. Tanggung jawab terhadap

pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan milik masing-

masing penderita diabetes. Mereka yang telah memutuskan

untuk hidup dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai


satu persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan

fisik. Anjuran untuk melakukan aktivitas fisik bagi penderita

diabetes telah dilakukan sejak se-abad yang lalu oleh seorang

dokter dari dinasti Sui di China dan manfaat kegiaatan ini

masih terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan

sementara dari penelitian itu adalah bahwa aktivitas fisik

penderita diabetes, akan mengurangi risiko kejadian

kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Aktivitas

fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis,

maupun sosial dan tampak sehat (Yunir, 2006).

Pada diabetes melitus tipe 2, aktivitas fisik berperan

utama dalam pengaturan glukosa darah. Penderita diabetes

melitus tipe 2, produksi insulin tidak terganggu, tetapi masih

kurangnya respons reseptor pada sel terhadap insulin

(resistensi insulin), sehingga insulin tidak dapat membantu

transfer glukosa ke dalam sel (Buse, 2008). Ketika melakukan

aktivitas fisik, permeabilitas membran terhadap glukosa

meningkat pada otot yang berkontraksi sehingga resistensi

insulin berkurang, dengan kata lain sensitivitas insulin

meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan insulin akan

berkurang (Kristanti, 2002).


Prinsip latihan jasmani bagi diabetes yang tidak memiliki

komplikasi berat/hambatan untuk melakukan aktivitas fisik

persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu

memenuhi beberapa hal, seperti : jenis, frekuensi, durasi, dan

intensitas.

Menurut Humes (2007) prinsip latihan jasmani bagi

penderita diabetes adalah sebagai berikut :

1) Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk

meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan,

jogging, berenang, bersepeda, dan lain-lain.

2) Frekuensi : jumlah olahraga per minggu sebaiknya

dilakukan dengan teratur 3-5x/minggu

3) Durasi : 30-60 menit.

2.3.6.6 Pencegahan Diabetes Melitus (DM)

Pada penyakit diabetes melitus (DM) seperti juga pada

penyakit lain usaha pencegahan yang dapat dilakukan menurut

Ndaraha (2014) terdiri dari :

1) Pencegahan primer, yaitu mencegah agar tidak timbulnya

penyakit DM, meliputi penyuluhan mengenai perlunya

pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan

memberikan pedoman untuk mempertahankan pola makan

sehari-hari yang sehat dan seimbang (meningkatkan

konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi


lemak dan karbohidrat sederhana, melakukan kegiatan

jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan.

2) Pencegahan sekunder, yaitu pencegahan yang dilakukan

sejak awal untuk menghindari timbulnya komplikasi

kronis seperti ulcus diabetic (luka kaki diabetes),

hipertensi dan stroke merupakan komplikasi yang sering

terjadi, sehingga penderita dapat hidup sehat dan wajar

berdampingan dengan penyakitnya. Adapun upaya yang

dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder salah

satunya yaitu senam kaki diabetes.

2.3.6.7 Konsep Dasar Diabetes Melitus

Konsep dasar penyakit Diabetes Melitus yang penting

untuk diketahui penderita Diabetes Melitus meliputi :

(1) Definisi Diabetes Melitus

(2) Etiologi Diabetes Melitus

(3) Klasifikasi Diabetes

(4) Patofisiologi Diabetes Melitus

(5) Manifestasi Klinis

(6) Komplikasi

(7) Pengobatan
2.3.7 Pelaksanaan Edukasi GOOD LOCK

Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa durasi

pemberian intervensi/edukasi tergantung dari materi edukasi yang akan

disampaikan. Untuk lama waktu penelitian yang paling efektif

agar dapat mencapai peningkatan dalam perawatan mandiri adalah

pada rentang waktu yang pendek, ± 2 minggu - 1 bulan (Mclnnes et al,

dalam Windasari, 2014).

Pelaksanaan pemberian edukasi GOOD LOCK dilakukan

sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu selama 1 jam untuk tiap sesi

selama 2 minggu, adapun proses pelaksanaan edukasi GOOD LOCK

untuk tiap sesinya dapat dilihat pada skema 2.3 dibawah ini :

Tahap Awal Tahap Kerja Tahap Akhir


Pembukaan Kegiatan Inti Penutup

Mengucapkan Menjelaskan Mengevaluasi pasien


salam materi edukasi dengan mengajukan 5
peranyaan tentang
materi yang telah
Memperkenalkan
disampaikan
diri

Menjelaskan Menyimpulkan
tujuan kegiatan pembelajaran

Membuat kontrak Membuat kontrak


waktu untuk pertemuan
selanjutnya

Mengucapkan salam

Skema 2.3
Proses Pelaksanaan Edukasi GOOD LOCK
2.3.8 Materi Edukasi GOOD LOCK untuk Tiap Sesi

Adapun materi edukasi GOOD LOCK untuk tiap sesinya adalah

sebagai berikut :

1) Sesi 1 membahas konsep dasar tentang DM (definisi, etiologi,

klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis serta

komplikasi.

2) Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan olahraga yang dapat

dilakukan

3) Sesi 3 membahas Luka kaki (perawatan kaki) dan monitoring

glukosa rutin

4) Sesi 4 membahas Obat anti diabetik dan pencegahan diabetes

melitus.

2.4 Kerangka Konseptual

Menurut PERKENI (2011) manajemen kesehatan untuk pasien DM tipe

2 salah satunya adalah pemberian edukasi kesehatan. Salah satu teori yang

digunakan untuk pemberian pendidikan kesehatan adalah teori Schumacher

dan Jancksonville (2005). Tujuan yang ingin dicapai dalam pemberian

edukasi kesehatan menurut teori Notoadmojdo (2010) salah satunya adalah

Efikasi diri hal ini sejalan dengan Teori social kognitif Albert Bandura (1994)

mengenai efikasi diri untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema 3.1 di

bawah ini :

Anda mungkin juga menyukai