Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tekanan Vena Sentral (CVP)


Tekanan vena sentral (CVP) adalah nilai yang menunjukkan tekanan
darah vena cava dekat atrium kanan jantung.CVP menrefleksikan jumlah
darah yang kembali ke jantung dan kemampuan jantung memompa darah.
CVP dapat digunakan untuk mempekirakan tekanan pada atrium kanan, yang
mana secara tidak langsung menggambarkan beban awal (preload) jantung
kanan dan tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole. Pengukuran tekanan
vena sentral memberikan informasi penting mengenai keadaan fungsi system
kardiovaskular pasien, kecukupan vplume vaskuler, dan juga keberhasilan
terapi yang diberikan.
Dikarenakan letak vena sentral yang berada di dalam thoraks, maka
pengukuran CVP dipengaruhi oleh perubahan tekanan intrathoraks.
Akibatnya, hasil CVP berfluktuatif sesuai pernafasan, CVP berkurang pada
saat inspirai spontan dan meningkat saat tekanan respirasi positif. Untuk itu,
pengukuran CVP harus dilakukan pada akhir ekshalasi ketika otot respirasi
dan tekanan intrathoraks stabil pada saat istirahat.
B. Metode Pengukuran CVP
Cara pengukuran CVP dikelompokkan menjadi metode non invasive
dan invasive. Pengukuran secara noninvasive dapat dilakukan dengan
mengukur tekanan vena jugularis. Sedangkan pengukuran secara invasive
dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam vena subklavia atau vena
jugularis internal.
a) Metode Non Invasif
Pengukuran tekanan vena sentral dengan metode non invasive dapat
dilakukan dengan mengukur tekanan vena jugularis atau Jugular Vein
Pressure (JVP). JVP menggambarkan volume pengisian dan tekanan
pada jantung bagian kanan. Pengukuran tekanan pada vena jugularis
dapat menujukkan tekanan pada atrium kanan. Nilai normal dari
pengukuran JVP adala <8 cmH2O. peningkatan JVP merupakan tanda
dari gagal jantung kanan. Pada gagal jantung kanan, bendungan darah di
venyrikel kanan akan diteruskan ke arium kanan dan vena cava superior,
sehingga tekanan pada vena jugularis akan meningkat. Peningkatan JVP
akan tampak dengan adanya distensi vena judularis, dimana JVP akan
tamapk setinggi leher, jauh lebih tinggi daripada normal.
Adapun prosedur pemeriksaan seperti berikut :
1. Persiapan alat untuk pengukuran JVP ( 2 buah mitas, spidol, dan
senter)
2. Cuci tangan
3. Pemeriksa hendaknya berdiri di samping kanan bed pasien.
4. Jelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan, serta minta persetujuan
pasien untuk melakukan pemeriksaan
5. Posisikan pasien berbaring pada bed dan atur posisi bed semifowler
(30-45º dari bidang horizontal)
6. Anjurkan pasien untuk menengok ke kiri
7. Identifikasi vena jugularis
8. Tentukan undulasi pada vena jugularis ( titik teratas pada pulsasi
vena jugularis), bending vena dengan cara mengurut vena ke bawah
lalu lepas
9. Tentukan ttik angulus sternalis
10. Dengan mistar pertama, proyeksikan titik tertinggi pulsasi vena
secara horizontal ke dada sampai titik manubrium streni
11. Kemudia mistar kedua diletakkan vertical dari angulus strenalis
12. Lihat hasil pengukuran dengan melihat hasil angka pada mistar
kedua ( titik pertemuan antara mistar pertama dan kedua). Hasil
pembacaan kemudian ditambahkan dengan angka 5 cm, karena
diasumsikan jarak antar angulus sternalis dengan atrium kanan
sekitar 5 cm.
b) Metode Invasif

Pengukuran CVP dengan cara invasif dilakukan dengen memasukkan


kateter ke dalam vena subklavia atau vena jugularis internal dan
kemudian di monitor dengan menggunakan manometer atau transduser.
Adapun selain untuk mengukur CVP, beberapa indikasi untuk
pemekaian kateter vena sentral adalah:
1. Untuk menginfus cairan atau obat-obatan yang mungkin
mengiritasi vena perifer
2. Kanulasi jangka panjang untuk obat-obatan dan cairan,
contohnya total nutrisi parenteral atau kcmoterapi
3. Penderita syok
4. Kanulasi cepat ke jantung terutarna untuk pemberian obat-obatan
dalam situasi resusitasi
5. Bila kanulasi ke vena perifer sulit dilakukan akibat vena yang
kolaps seperti pada hipovolemia, ketika vena perifer sulit
ditemukan pada orang gemuk atau transfusi cairan dibutubkan
secara ccpat
6. Prosedur khusus, contohnya pemacu jantung, bemofiltmsi atau
dialisis
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebelum melakukan
kateterisasi ke vena sentral.
1. Sebaiknya pemasangan kateterisasi vena sentral dilakukan
diruang tindakan yang steril untuk menghindari kontaminasi
dengan pasien lain
2. Buat informed konsen dan persetujuan keluarga
3. Jelaskan kepada pasien atau keluarga pasien terlebih dahulu
maksud dan tujuan serta prosedur kateterisasi vena sentral
tersebut,
4. Kateterisasi vena sentral harus dilakukan seasepsis mungkin
mirip dengan prosedur pembedahan.
5. Waspadalah akan masuknya udara, walaupun pasien dalam
keadaan head down.
6. Selalu memikirkan dimana ujung jarum berada.
7. Darah harus dapat diaspirasi dengan mudah dari kateter
intravena sebelum cairan infus atau obat dimasukkan. Bila tidak
dapat diaspirasi dengan mudah berarti terjadi kesalahan
penempatan sampai dibuktikan sebaliknya.
8. Jangan menarik kembali kateler yang telah/masih ada di dalam
jarum logam (misal venocath) karena bahaya terpotongnya
kateter oleh ujung jarum. Bila sampai terpotong maka
pengambilannya banya bisa dilakukan dengan cara pcmbedahan.
9. Kanulasi vena sentral dapat memakai kateter panjang untuk
pemakaian jangka lama atau dengan kateter vena yang pendek
misalnya abbocath ukuran besar untuk sementara pada keadaan
darurat. Bila vena sudah terisi cairan dapat dilanjutkan dengan
kanulasi vena perifer.
c) Lokasi Kateterisasi Vena Sentral
Kanulasi vena sentral dapat dipasang melalui beberapa tempat,
masingmasing letak mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri. Kanulasi
vena sentral dapat dilakukan melalui :
1. Vena subelavia.
2. Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJJ) dan eksternaa (VJE)
3. Vena femoralis
4. Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.
5. Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.
Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu: vena
subclavia dan vena jugularis Interna.
d) Kateterisasi Vena Subclavia
a. Persiapan peralatan :
1. Disinfektan (betadin, alkohol)
2. Handscoen, masker, penutup kepala, jas sterile dan handuk
3. Spoit 5 ml 2 buah, jarum ukuran 25-gauge.
4. Kateter dan dilator
5. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nocl 500 ml)
6. Jarum insersi 18-gauge (panjang 5 cm)
7. 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,0
b. Posisi
Letakkan pasien dengan posisi supine dengan kepala lebih rendah
(tredelcnberg) ± 10-15 hingga vena dapat terisi. Ini dapat tidak
menyenangkan atau bahkan beresiko pada beberapa pasien. Bila ragu-
ragu, pasien dapat diletakkan dengan kepala lebih rendah saat operator
telah siap untuk melakukan punksi vena. Bahu dapat diganjal dengan
handuk gulung atau botol cairan diantara kedua bahu.
c. Prosedur
1. Cek semua peralatan sebelum mulai.
2. Sterilisasi dan tutupi area yang akan diinsersi dengan sangat hati-hati.
3. Palpasi fossa subclavikularis dan cek hubungannya pada incisura
sternalis. Bila jari ditempatkan secera subclvikularis pada posisi lateral
terdapat fossa yang jelas antara clavicula dan costa II. Gerakkan jari ke
arah medial menuju incisura stenalis dan jari akan terhambat pada
ujung medial clavicula. Ini adalah m. subclavius yang berjalan dari
costa I menuju permukaan inferior clavikula memberikan pola yang
baik posisi costa I dimana tcrltak vena subcalvia,
4. Letakkan jari telunjuk pada incisum sternalis dan ibu jari pada daerah
pertemuan antara clavicula dan costa I. lnfiltrasi anestesi lokal
(lidokain 1%) dengan jarum 25-gauge 2 cm lateral ibu jari dan 0,5 cm
ke kaudal ke arah clavicula atau tepat di lateral dari insersi m.
subclavia costa I.
5. Vena berjalan di bawah clavicula menuju incisura sternalis. Gunakao
jarum 18-gauge yang halus dengan syringe 5 ml, masukkan jarum
menusuk kulit dibagian lateral ibu jari dan 0,5 cm di bawah clavikula
yang dimaksud untuk membuat posisi khayal pada bagian belakang
incisura sternalis. Posisi jarum horizontal (paralel dengan lantai) unruk
mencegah pneurnothoraks, dan bevel menghadap keatas atau ke arah
kaki pasien untuk mencegah kateter masuk ke arah leber. Aspirasi
jarum lebih dulu, pertahankan jarum secara cermat pada tepi bawah
clevikula.
6. Jika tidak ada darah vena yang teraspirasi setelah penusukan sampai 5
cm tarik pelan-pelan sambil diaspirasi jika masih belum ada juga
ulangi sekali lagi, dan apabila masih belum berhasil pindah ke arah
kontralateral akan tetapi periksa foto thoraks dahulu sebelum
dilakukan untuk melihat adanya pneumothoraks
7. Bila darah teraspirasi maka posisi vena subclavia tclah didapatkan dan
kanula atau jarum seldinger dipertahankan pada posisinya dengan
mantap
8. Susupkan kawat, pasang kateter atau dilator dan kateter selanjutnya
lepaskan kawat
8. Lakukan dengan hati-hati untuk menghindari ikut masuknya udara
untuk itu sebaiknya ujung kateter tidak dibiarkan terbuka.
9. Cek bahwa aspirasi darah bebas melalui kateter dan tetesan bcrjalan
dengan lancar.
10. Kontrol letak kateter dengan foto thoraks.
d. Keuntungan kateterisasi Vena Subclavia
1. Sangat baik untuk kanulasi jangka panjang karena posisi kateter dapat
difikasasi dengan baik sehingga tidak mudah bergerak dan tidak
mengganggu pergerakan pasien,
2. Vena subclavia hampir selalu ada dan anatomi ini umumnya tetap.
3. Relatif kurang infeksi di banding pemasangan di tcmpat lain.
4. Kateter mudah masuk ke vena kava superior serta landmarknya lebih
mudah pada orang yang obes.
e. Kelemahan Keteterisasi Vena Subclavia
1. Umumnya dilakukan dengan teknik "buta" sehingga rnudah merusak
stuktur di dalam yang tidak terlihat.
2. Pleura, arteri, nervus phrenicus bahkan trakea mudah terjangkau oleh
jarum yang salah masuk sehingga relatif lebih banyak komplikasi
pneumothoraks dibanding teknik lainnya.
3. Bila tcrjadi komplikasi perdarahan relatif susah untuk diiangani.
e) Kateterisasi Vena Jugularis Interna
a. Persiapan peralatan
1. Disinfektan ( betadine, alcohol )
2. Handscoon, masker, penutup kepala, jas steril handuk
3. Spoit 5 ml 2 buah, jarum ukuran 22 – dan 25- gauge
4. Kateter dan dilator
5. Iv TUBING DAN FFLLUSH ( infuse set, triway dan Nacl 500 ml )
6. Jarum insersi 18 gauge ( panjang 5-8 cm)
7. 0,035 j wire, duk steril,scalpel,benang silk no 2,0
b. Posisi
Pasien di posisikan dengan posisi supine dan tendelenberg, kepala pasien
di posisikan lebih rendah 15’ dan 45’ kea rah kontralateral pada tempat
penusukan
c. Prosedur
1. Jelaskan kepada penderita tentang prosedur yang akan di lakukan
2. Bersihkan daerah leher pada sisi yang akan di insersi
3. Palingkan kepala pasien ke sisi sebelah kiri
4. Bila pasien sadar dan bila di minta untuk mengangkat kepala, otot
leher akan mudah di tentukan. M sternomastoideus mempunyai dua
caput, caput sternalis dan caput clavicularis. Insersinya ke mastoid.
Sebuah segitiga I bentuk oleh kedua caput dan apeks dari segitiga ini
adalah titik insersi untuk jarum. Bila pasien tidak sadar anatomi ini
mungkin sangat sulit untuk di tentukan. Pada situasi seperti ini arteri
sebaiknya di palpasi setinggi aspek bawah kartilago thyroideus, karena
vena terletak tepat di lateralnya.
5. Infiltrasi anestesi local kedalam tempat ini
6. Sebaiknya menggunakan syringe dengan jarum yang halus, susupkan
spoit pada jarum pada apeks segitiga tepat di sebelah lateral perubahan
pulsasi arteri carotis, selanjutnya arahkan ssepanjang garis yang ditarik
antara titik insersi dan papilla mamma pada sisi yang sama. Aspirasi
tatkala jarum di majukan hati hati agar tidak memasukan sejumlah
udara
7. Bila darah diaspirasi, vena sudah di temukan. Tindakan berikutnya
dapat di ulangi dengan meyakinkan menggunakan jarum yang lebih
besar atau kanula
8. Gunaka tekhnik seldinger, jarum di tempatkan dalam vena agar supaya
darah dapat dengan mudah di aspirasi
9. Masukkan kawat
10. Susupkan kateter atau dilator dan kateter seanjutnya lepaskan kawat
11. Cek aspirasi darah perlahan lahan, fluktuasi tekanan pernafasan dan
posisi
d. Keuntungan kateterisasi vena jugularis
1. Cara pendekatan ini relative aman bagi yang berpengalaman
2. Dapat di gunakan untuk kanulasi jangka panjang
3. Kateter mudah masuk ke vena cava superior
4. Sangat baik bila kanulasi juga di gunakan untuk mengukur tekanan
vena sentral
5. Posisi kateter mudah di ketahui melalui foto
e. Kelemahan kateterisasi vena jugularis interna
1. Mudah terjadi komplikasi karena banyak struktur di sekitarnnya
2. Tekhnik ini sulit di lakukan pada orang dengan leher pendek atau tebal
3. Punksi arteri karotis sering terjadi. Sangat berbahaya pada rang tua
dengan pembuluh darah yang artherosklerosis
4. Bias terjadi kebocoran duktus torasikus bila di lakukan sebelah kiri
5. Mudah terjadi infeksi atau thrombosis karena gerakan kepala yang
mempengaruhi letak leher
6. Relative kurang nyaman buat pasien karena akan mengganggu
pergerakan lehernya
C. Pemantauan CVP
Setelah memasang kateter vena sentral, CVP kemudian dapat di
ppantau dan di ukur menggunakan manometer ataupun transduser
a) Pemantauan Menggunakan Manometer
Penggunaan system manometer memungkinkan pembacaan
intermitten dan kurang akurat dibandingkan system transduser, hal ini
disebabkan karena adanya efek meniscus air pada tabung kaca. Adapun
langkah-langkah pemasangan manometer adalah sebagai berikut:
1. Persiapan alat. Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan
pengukuran CVP diantaranya manometer, cairan, water pass, extension
tube, threeway, bengkok, plester.
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pengukuran CVP kepada pasien
3. Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Pasien bisa diposisikan
semi fowler (45°
4. Menentukan letak zero point pada pasien. Zero point merupakan suatu
titik yang nantinya dijadikan acuan dalam pengukuran CVP. Zero point
ditentukan dari ICS (intercostal space) ke 4 pada linea midclavicula
karena ICS ke 4 tersebut merupakan sejajar dengan letak atrium kanan.
Dari midclavicula ditarik ke lateral (samping) sampai mid axilla. Dititik
itulah kita berikan tanda.

5. Dari tanda tersebut kita sejajarkan dengan titik nol pada manometer
yang ditempelkan pada tiang infus. Caranya adalah dengan
mensejajarkan titik tersebut dengan angka 0 dengan menggunakan
waterpass. Setelah angka 0 pada manometer sejajar dengan titik ICS ke
4 midaxilla, maka kita plester manometer pada tiang infus.
6. Setelah berhasil menentukan zero point, kita aktifkan system 1 (satu).
Caranya adalah dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan ( infus)
kearah pasien. Jalur threeway dari sumber cairan dan ke arah pasien
kita buka, sementara jalur yang kea rah manometer kita tutup.
7. Setelah aliran cairan dari sumber cairan ke pasien lancer, lanjutkan
dengan mengaktifkan system 2 ( dua). Caranya adalah dengan
mengalirkan cairan dari sumber cairan kea rah manometer. Jalur
threeway dari sumber cairan dank e arah manometer dibuka, sementara
yang kea rah pasien kita tutup. Cairan yang masuk ke manometer
dipastikan harus sudah melewati angka maksimal pada manometer
tersebut.
8. Setelah itu, aktifkan system 3 (tiga). Caranya adalah dengan cara
mengalirkan cairan dari manometer ke tubuh pasien. Jalur threeway
dari manometer dank e arah pasien dibuka, sementara jalur yang dari
sumber cairan ditutup.
9. Amati penurunan cairan pada manometer sampai posisi cairan stabil
pada angka/ titik tertentu. Lihat dan catat undulasinya. Undulasi
merupakan naik turunyya cairan pada manometer mengikuti dengan
proses insipirasi dan ekspirasi pasien. Saat insipirasi, permukaan cairan
akan turun. Posisi cairan yang turun itu ( undulasi saat klien ekspirasi)
itu yang di catat dan disebut dengan nilai CVP.

b) Pemantauan Menggunakan Transduser


Pemantauan menggunakan transduser memungkinkan pembacaan
secara kontiu yang ditampilkan di monitor. Adapun langkah-langkah
pemasangan transduser adalah sebagai berikut:

1. Persiapan alat. Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan


pemasangan transduser meliputi heparin, infus set, monitor, transduser,
threeway, kantong tekanan
2. Tempatkan psien pada posisi supinasi, pastikan posisi ini tidak di ubah,
untuk mendapatkan hasil yang akurat
3. Sambungkan infus yang berisi larutan saline ke IV line, kemudian
hubungkan ke tranduser
4. Hubungkan transduser ke kateter vena sentral menggunakan threeway.
Pastikan tidak ada udara di dalam selang.
5. Posisikan transduser sejajar dengan kateter vena sentral
6. Kemudian hubungkan transduser ke monitor

D. Nilai Normal CVP


Menurut Kellii, nilai normal CVP adalah 3-8 cmH₂O atau 2-6 mmHg.
Sementara itu menurut Izakovic, nilai normal CVP adalah 5-10 cmH₂O. Nilai
CVP yang rendah biasanya terjadi pada kasus hipovelimia, deep inhalation, syok
septik, sedangkan nilai CVP yang tinggi dapat terjadi akibat peningkatan volume
darah vena, forced exhalation, gagal jantung, menggunakan ventilator, dan
embolisme paru. Pada pasien dengan asma atau COPD, CVP dapat meningkat
selama ekshalasi karena hambatan jalan nafas, sehingga harus dievaluasi pada
fase inhalasi untuk menghindari pembacaan yang salah.
E. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat
jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian
ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2010).
Gagal jantung adalah syndrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai
oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat beraktifitas) yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
gangguan yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel
(disfungsi diastolic) dan/atau kontraktifitas miokardial (disfungsi sistolik).
(Sudoyo Aru, dkk 2009)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan dimana jantung tidak mampu
memompa darah keseluruh tubuh dengan baik (Darmawan, 2012)
F. Etiologi
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi
arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
2. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit
miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi
yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas
menurun.
3. Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan
beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV),
peningkatan mendadak after load
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam,
tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4
kelainan fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat

G. Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan
metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk
mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi :
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap
peningkatan volume
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap
cairan.
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume
darah sirkulasi yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler
oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian
ventrikel dari arteri coronaria. Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi
yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan dinding akibat dilatasi
menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi)
terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan
mekanisme pemompaan
H. Manifestasi Klinis
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan
curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel
mana yang terjadi.
1. Gagal Jantung Kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak
mampu memompa darah yang dating dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi
yaitu :
 Dispnea.
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat mengalami
ortopnoe pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea
(PND)
 Batuk.
 Mudah lelah.
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dan
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan
untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan
batuk.
 Kegelisahan atau kecemasan
 Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat
kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan
baik.
2. Gagal jantung Kanan :
 Kongestif jaringan perifer dan visceral.
 Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema pitting,
penambahan BB.
 Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena hepar.
 Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam
rongga abdomen.
 Nokturia.
 Kelemahan
 CVP meningkat
I. Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologis.
 Istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
 Oksigenasi.
 Dukungan diit.
 Pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol atau menghilangkan
oedema.
2. Terapi Farmakologis :
 Glikosida jantung.
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung.
Efek yang dihasillkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan
vena dan volume darah dan peningkatan diurisi dan mengurangi oedema.
 Terapi diuretic.
Diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal.
Penggunaan harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan
hipokalemia.
 Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi
impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini
memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena
sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
J. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Gagal Jantung

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian Primer

Airway :Batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot

pernafasan, oksigen.

Breathing :Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan

beberapa bantal

Circulation :Riwayat HT IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katub

jantung, anemia, syok dll. Tekanan darah, nadi, frekuensi

jantung, irama jantung, nadi apical, bunyi jantung S3, gallop,

nadi perifer berkurang, perubahan dalam denyutan nadi

juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau


sianosis, hepar ada pembesaran, bunyi nafas krakles atau

ronchi, oedema

Pengkajian Sekunder

a) Aktifitas/istirahat

Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah, dispnea

saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental, tanda vital

berubah saat beraktifitas.

b) Integritas ego

Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung

c) Eliminasi

Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih pada

malam hari, diare / konstipasi

d) Makanana/cairan

Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB

signifikan. Pembengkakan ekstremitas bawah, diit tinggi garam

penggunaan diuretic distensi abdomen, oedema umum, dll

e) Hygiene

Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang.

f) Neurosensori

Kelemahan, pusing, lethargi, perubahan perilaku dan mudah

tersinggung.

g) Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah.

h) Interaksi social

Penurunan aktifitas yang biasa dilakukan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan menurunnya curah

jantung, hipoksemiajaringan, asidosis, thrombus atau emboli.

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan

secret.

c. Kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan

penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air

d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan volume

paru, hepatomegali, splenomegali.

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Penurunan perfusi NOC NIC
Cadiac Care
jaringan jantung
 Cardiac pump  Evaluasi adanya nyeri dada
effectiveness (intensitas, lokasi, durasi)
 Circulation status  Catat adanya distritmia
 Vital sign status jantung
Kriteria Hasil :  Catat adanya tanda dan
gejala penurunan cardiac
 Tekanan systole dan
output
diastole dalam rentang
 Monitor status
yang diharapkan
kardiovaskuler
 CVP dalam batas
normal  Monitor status pernafasan
 Nadi perifer kuat dan yang mendadak gagal
simetris jantung
 Tidak ada udem  Monitor abdomen sebagai
perifer dan asites indicator penurunan perfusi
 Denyut jantung,  Monitor balance cairan
AGD, ejeksi fraksi  Monitor adanya perubahan
dalam batas normal tekanan darah
 Bunyi jantung  Monitor respon pasien
abnormal tidak ada terhadap efek pengobatan
 Nyeri dada tidak ada antiaritmia

 Keletihan yang  Atur priode latihan dan

ekstrim tidak ada istirahat untuk menghindari


kelelahan
 Monitor toleransi aktivitas
pasien
 Monitor adanya dyspneu,
fatique, takipneu, dan
ortopneu
 Anjurkan untuk
menurunkan stress
Fluid management
       
 Pertahankan catatan intake
dan output yang akurat
 Pasang urine kateter jika
diperlukan
 Monitor status hidrasi
(kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik),
jika diperlukan
 Monitor hasil laboratorium
yang sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Hmt,
osmolalitas urin)
 Monitor status
hemodinamik termasuk
CVP, MAP, PAP, dan
PCWP
 Monitor vital sign sesuai
indikasi penyakit
 Monitor indikasi retensi /
kelebihan cairan (cracles,
CVP, edema, distensi vena
leher, asites)

Bersihan jalan nafas NOC : NIC :


 Airway suction
tidak efektif
 Respiratory status :
 Pastikan kebutuhan oral /
Ventilation
tracheal suctioning
 Respiratory status :
 Auskultasi suara nafas
Airway patency
sebelum dan sesudah
 Aspiration Control
suctioning.
Kriteria Hasil :
 Informasikan pada klien
 Mendemonstrasikan
dan keluarga tentang
batuk efektif dan
suctioning
suara nafas yang
 Minta klien nafas dalam
bersih, tidak ada
sebelum suction dilakukan.
sianosis dan dyspneu
 Berikan O2 dengan
(mampu
mengeluarkan menggunakan nasal untuk
sputum, mampu memfasilitasi suksion
bernafas dengan nasotrakeal
mudah, tidak ada  Gunakan alat yang steril
pursed lips) sitiap melakukan tindakan
 Menunjukkan jalan  Anjurkan pasien untuk
nafas yang paten istirahat dan napas dalam
(klien tidak merasa setelah kateter dikeluarkan
tercekik, irama nafas, dari nasotrakeal
frekuensi pernafasan  Monitor status oksigen
dalam rentang normal, pasien
tidak ada suara nafas Airway Management
abnormal)  Buka jalan nafas, guanakan
 Mampu teknik chin lift atau jaw
mengidentifikasikan thrust bila perlu
dan mencegah factor  Posisikan pasien untuk
yang dapat memaksimalkan ventilasi
menghambat jalan  Identifikasi pasien perlunya
nafas pemasangan alat jalan nafas
buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
 Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
 Lakukan suction pada
mayo
 Berikan bronkodilator bila
perlu
 Monitor respirasi dan status
O2

Kelebihan volume Noc NIC :


Fluid management
cairan ekstravaskuler  Electrolit and acid  Timbang popok/pembalut
base balance
jika diperlukan
 Fluid balance  Pertahankan catatan intake
 Hydration dan output yang akurat
Kriteria Hasil:  Pasang urin kateter jika
 Terbebas dari edema,
diperlukan
efusi, anaskara
 Monitor hasil lAb yang
 Bunyi nafas bersih,
sesuai dengan retensi cairan
tidak ada
(BUN , Hmt , osmolalitas
dyspneu/ortopneu
urin  )
 Terbebas dari distensi
 Monitor status
vena jugularis, reflek
hemodinamik termasuk
hepatojugular (+)
CVP, MAP, PAP, dan
 Memelihara tekanan PCWP
vena sentral, tekanan
 Monitor vital sign
kapiler paru, output
 Monitor indikasi retensi /
jantung dan vital sign
kelebihan cairan (cracles,
dalam batas normal
CVP , edema, distensi vena
 Terbebas dari
leher, asites)
kelelahan, kecemasan
 Kaji lokasi dan luas edema
atau kebingungan
  Menjelaskanindikator  Monitor masukan
kelebihan cairan makanan / cairan dan
hitung intake kalori harian
 Monitor status nutrisi
 Berikan diuretik sesuai
interuksi
 Batasi masukan cairan pada
keadaan hiponatrermi dilusi
dengan serum Na < 130
mEq/l
 Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul memburuk
Fluid Monitoring
 Tentukan riwayat jumlah
dan tipe intake cairan dan
eliminaSi
 Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan
(Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
 Monitor berat badan
 Monitor serum dan
elektrolit urine
 Monitor serum dan
osmilalitas urine
 Monitor BP, HR, dan RR
 Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan
irama jantung
 Monitor parameter
hemodinamik infasif
 Catat secara akutar intake
dan output
 Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem perifer
dan penambahan BB
 Monitor tanda dan gejala
dari odema
 Beri obat yang dapat
meningkatkan output urin

Pola nafas tidak efektif NOC : NIC :


 Respiratory status : Airway Management
Ventilation  Buka jalan nafas, guanakan
 Respiratory status : teknik chin lift atau jaw
Airway patency thrust bila perlu
 Vital sign Status  Posisikan pasien untuk
Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
 Mendemonstrasikan  Identifikasi pasien perlunya
batuk efektif dan pemasangan alat jalan nafas
suara nafas yang buatan
bersih, tidak ada  Pasang mayo bila perlu
sianosis dan dyspneu  Lakukan fisioterapi dada
(mampu jika perlu
mengeluarkan  Keluarkan sekret dengan
sputum, mampu batuk atau suction
bernafas dengan  Auskultasi suara nafas,
mudah, tidak ada catat adanya suara
pursed lips) tambahan
 Menunjukkan jalan  Lakukan suction pada
nafas yang paten mayo
(klien tidak merasa  Berikan bronkodilator bila
tercekik, irama nafas, perlu
frekuensi pernafasan  Berikan pelembab udara
dalam rentang normal, Kassa basah NaCl Lembab
tidak ada suara nafas  Atur intake untuk cairan
abnormal) mengoptimalkan
 Tanda Tanda vital keseimbangan.
dalam rentang normal  Monitor respirasi dan status
(tekanan darah, nadi, O2
pernafasan) Terapi Oksigen
 Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
 Pertahankan jalan nafas
yang paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Monitor aliran oksigen
 Pertahankan posisi pasien
 Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
  Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
Vital sign Monitoring
 Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR

 Catat adanya fluktuasi


tekanan darah

 Monitor VS saat pasien


berbaring, duduk, atau
berdiri

 Auskultasi TD pada kedua


lengan dan bandingkan

 Monitor TD, nadi, RR,


sebelum, selama, dan
setelah aktivitas

 Monitor kualitas dari nadi

 Monitor frekuensi dan


irama pernapasan

 Monitor suara paru

 Monitor pola pernapasan


abnormal

 Monitor suhu, warna, dan


kelembaban kulit

 Monitor sianosis perifer

 Monitor adanya cushing


triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)

 Identifikasi penyebab dari


perubahan vital sign

Anda mungkin juga menyukai