Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pengunaan kateter vena sentral (Central venous catheter / CVC) untuk
berbagai kepentingan telah menjadi prosedur rutin di dunia kedokteran
seluruh dunia. Pemasangan CVC paling sering dilakukan di ruang terapi
intensif dan kamar operasi. Prosedur ini tidak lepas dari komplikasi yang
dapat mengakibatkan morbiditas bagi pasien sakit kritis.
Pemilihan pasien yang sesuai indikasi, jenis kateter, lokasi pemasangan
serta prosedur pemasangan yang benar dan sistematik dapat mengurangi
komplikasi pemasangan kateter vena sentral, dimana risiko terjadinya
komplikasi yang dilaporkan adalah sebesar 26%. Komplikasi yang terjadi
akibat prosedur pemasangan kateter vena sentral di bagi menjadi mekanik,
infeksi, trombosis atau emboli. Komplikasi mekanik biasanya adalah hasil
langsung dari prosedur pemasangan dan dapat diketahui dalam waktu singkat
setelah pemasangan kateter. Salah satu komplikasi mekanik yang sering
terjadi adalah aritmia atrial, insiden komplikasi ini adalah 41%. Aritmia yang
terjadi biasanya tidak mengakibatkan efek yang serius, dan insiden terjadinya
aritmia ventricular maligna adalah rendah. Penyebab dari komplikasi ini
adalah karena kabel penuntun atau kateter yang mengalami malposisi.
Malposisi dari kateter adalah bila ujung kateter tidak berada pada vena
cava superior maupun inferior, terjadi simpul pada kateter yang dapat
menghambat pelepasan kateter, ujung kateter masuk terlalu dalam ke jantung,
mengakibatkan aritmia, merusak katup jantung kanan atau mengakibatkan
tamponade jantung, dan posisi dari ujung kateter terlalu dekat dengan dinding
vena, mengakibatkan hambatan saat aspirasi maupun saat memberikan cairan.

1
2. 1. Definisi
Pemasangan kateter vena sentral, yang juga disebut kateterisasi vena
sentral atau akses vena sentral, adalah pemasukan kateter (tabung kecil lentur)
ke dalam vena besar. Tindakan ini dilakukan karena beberapa alasan, seperti
memasukkan cairan atau obat-obatan, mengukur tekanan di vena sentral
(dekat dengan jantung), menjalankan pemeriksaan darah khusus yang disebut
saturasi oksigen vena sentral, dan sebagainya. Kateter dimasukkan melalui
proses yang rumit dengan menggunakan metode khusus seperti teknik
Seldinger, untuk memastikan ketepatan penempatan dan mencegah
kemungkinan komplikasi

2. 2. Indikasi kateterisasi vena sentral


1. Untuk menginfus cairan atau obat-obatan yang mungkin mengiritasi vena
perifer.
2. Kanulasi jangka panjang untuk obat-obatan dan cairan, contohnya total
nutrisi parenteral atau kemoterapi.
3. Penderita syok.
4. Kanulasi cepat ke jantung terutama untuk pemberian obat-obatan dalam
situasi resusitasi.
5. Bila kanulasi ke vena perifer sulit dilakukan akibat vena yang kolaps
seperti pada hipovolemia, ketika vena periper sulit ditemukan misalnya
pada orang gemuk atau tranfusi cairan dibutuhkan secara cepat.
6. Pada kerusakan vena, digunakan pada beberapa pasien dimana semua vena
perifer telah digunakan atau rusak.
7. Pengukuran tekanan vena sentral (Central Venous Pressure)
8. Prosedur khusus, contohnya pemacu jantung, hemofiltrasi atau dialisis.
2. 3. Kontraindikasi kateterisasi vena sentral
1. Kanulasi vena sentral harus dipertimbangkan pemasangannya pada
penderita dengan gangguan pada faal pembekuan darah. Dapat terjadi
hematom yang berbahaya pada pemasangan melalui vena subclavia dan
jugularis, terutama bila mengenai pembuluh arteri.

2
2. Bila daerah pemasangan ada infeksi atau tanda-tanda radang harus dicari
tempat lain yang lebih baik.
3. Kelainan anatomi dan taruma thoraks bagian atas misalnya fraktur
clavicula, meningkatkan resiko via clavicula.
4. Penyakit paru yang kritis (COPD, asma) yang akan meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks pada pendekatan subclavia.
5. Penderita yang sementara di heparinisasi.
6. Trombosis da koagulopati
7. Penderita menolak atau tidak koperatif
8. Operator yang tidak berpengalaman yang tidak diawasi supervisor1,2,3,4,5,9
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebelum melakukan
kateterisasi ke vena sentral.
1. Sebaiknya pemasangan kateterisasi vena sentral dilakukan diruang
tindakan yang steril (bila ada) dan tidak dilakukan dilakukan di tengah
bangsal ruang perawatan untuk menghindari kontaminasi dan saling
mengganggu dengan pasien lain
2. Buat informed konsen dan persetujuan keluarga.
3. Bila penderita masih sadar, sebelum pemasangan sebaiknya penderita
diberitahukan terlebih dahulu maksud dan tujuan serta prosedur
kateterisasi vena sentral tersebut.
4. Kateterisasi vena sentral harus dilakukan se-asepsis mungkin mirip dengan
prosedur pembedahan.
5. Waspadalah akan masuknya udara, walaupun pasien dalam keadaan head-
down.
6. Selalu memikirkan dimana ujung jarum berada.
7. Darah harus dapat diaspirasi dengan mudah dari kateter intravena sebelum
cairan infus atau obat dimasukkan. Bila tidak dapat diaspirasi dengan
mudah berarti terjadi kesalahan penempatan sampai dibuktikan sebaliknya.
8. Jangan menarik kembali kateter yang telah/masih ada di dalam jarum
logam (misal venocath) karena bahaya terpotongnya kateter oleh ujung
jarum. Bila sampai terpotong maka pengambilannya hanya bisa dilakukan
dengan cara pembedahan.

3
9. Kanulasi vena sentral dapat memakai kateter panjang untuk pemakaian
jangka lama atau dengan kateter vena yang pendek misalnya abbocath
ukuran besar untuk sementara pada keadaan darurat. Bila vena sudah terisi
cairan dapat dilanjutkan dengan kanulasi vena perifer.
10. Dipasaran telah tersedia kateter intra vena dengan berbagai ukuran,
diameter dan panjang yang bervariasi baik dengan single lumen atau multi
lumen. Pilihlah yang sesuai dengan kebutuhan. Sesuaikan dengan lokasi
pemasangan, lama pemasangan, indikasi pemasangan dan kemampuan
ekonomi pasien.
2. 4. Tempat kateterisasi vena sentral1,2,3,4,5,7,9
Kanulasi vena sentral dapat dipasang melalui beberapa tempat, masing-
masing letak mempunyai keuntungan-keuntungan dan kerugian-keru- gian
tersendiri.
Kanulasi vena sentral dapat dilakukan melalui :
1. Vena subclavia (pendekatan infraclavicular dan supraclavicular) .
2. Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJI) dan eksterna (VJE).
3. Vena femoralis
4. Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.
5. Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.
Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu : vena
subclavia (pendekatan infraclavicular), vena jugularis interna, vena
antecubital dan vena femoralis.
2. 5. Kateterisasi vena subclavia
a. Anatomi
Vena subclavia adalah kelanjutan dari vena axillaris. Dimulai pada
tepi lateral kosta I, terus melintas diatas costa dan berakhir saat bergabung
dengan vena jugularis interna di medial ujung klavicula. Ini mempunyai
beberapa hubungan penting. Arteri subclavia biasanya terletak di posterior
dan superior (yakni chepalad) dari vena dan dipisahkan oleh m. scalenus
anterior pada tempat insersi otot ini ke kosta I. Arteri dan vena keduanya
membentuk sulcus pada permukaan atas kosta. Pleksus brakhialis terletak
di posterior arteri dan dengan demikian terletak di posterior vena dengan

4
jarak yang lebih dekat. Nervus phrenikus melintas di anterior dan dapat
melintas di bagian medial costa I. Nervus vagus juga berjalan di bagian
anterior subclavia tetapi agak sedikit di medial nervus phrenikus. Nervus
laryngeus recurren adalah cabang dari n. vegus. Cabang kanan terpisah
dari vagus setinggi arteri subclavia dan memutar di belakang arteri dan
naik ke atas sehingga berdekatan dengan trachea. Cabang kiri terpisah dari
vagus setinggi arkus aorta, dan memutar di belakang arkus, naik pada
fissura antara oesophagus dan trakea. Saraf-saraf tersebut juga jaraknya
dekat dengan vena. Pleura dapat meluas hingga 1 inci diatas bagian medial
clavicula dan mencapai setinggi collum costa I dimana lebih tinggi
dibanding dengan artikulasio sternoclavikularis. Vena dengan demikian
berada di sebelah anterior pleura tetapi pleura meluas pada ke dua arah
atas dan bawah dari vena.1,3,7

b. Teknik Kateterisasi Vena Subclavia


Persiapan peralatan :
1. Disinfektan (betadine,alkohol)
2. Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
3. Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 25-gauge.
4. Kateter dan dilator
5. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
6. Jarum insersi 18-gauge (panjang 5 cm)
7. 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01,2,3,4,5,7

5
c. Posisi
Letakkan pasien dengan posisi supine dengan kepala lebih rendah
(tredelenberg) 10-150 hingga vena dapat terisi. Ini dapat tidak
menyenangkan atau bahkan beresiko pada beberapa pasien. Bila ragu-
ragu, pasien dapat diletakkan dengan kepala lebih rendah saat operator
telah siap untuk melakukan punksi vena. Bahu dapat diganjal dengan
handuk gulung atau botol cairan diantara kedua bahu.1,2,3,4,5,7

d. Prosedur 1,2,
1. Cek semua peralatan sebelum mulai.
2. Sterilisasi dan tutupi area yang akan diinsersi dengan sangat hati-hati.
3. Palpasi fossa subclavikularis dan cek hubungannya pada incisura
sternalis. Bila jari ditempatkan secara subclvikularis pada posisi lateral
ter- dapat fossa yang jelas antara clavicula dan costa II. Gerakkan jari
ke arah medial menuju incisura sternalis dan jari akan terhambat pada
ujung medial clavicula. Ini adalah m. subclavius yang berjalan dari
costa I menuju permukaan inferior clavikula memberikan pola yang
baik posisi costa I dimana terletak vena subcalvia.
4. Letakkan jari telunjuk pada incisura sternalis dan ibu jari pada daerah
pertemuan antara clavicula dan costa I. Infiltrasi anestesi lokal
(lidokain 1%) dengan jarum 25-gauge 2 cm lateral ibu jari dan 0,5 cm
ke kaudal ke arah clavicula atau tepat di lateral dari insersi m.
subclavia costa I.
5. Vena berjalan di bawah clavicula menuju incisura sternalis. Gunakan
jarum 18-gauge yang halus dengan syringe 5 ml, masukkan jarum
menusuk kulit dibagian lateral ibu jari dan 0,5 cm di bawah clavikula

6
yang dimaksud untuk membuat posisi khayal pada bagian belakang
incisura sternalis. Posisi jarum horizontal (paralel dengan lantai) untuk
mencegah pneumothoraks, dan bevel menghadap keatas atau ke arah
kaki pasien untuk mencegah kateter masuk ke arah leher. Aspirasi
jarum lebih dulu, pertahankan jarum secara cermat pada tepi bawah
clavikula.

6. Jika tidak ada darah vena yang teraspirasi setelah penusukan sampai 5
cm tarik pelan-pelan sambil diaspirasi jika masih belum ada juga
ulangi sekali lagi, dan apabila masih belum berhasil pindah ke arah
kontralateral akan tetapi periksa foto thoraks dahulu sebelum
dilakukan untuk melihat adanya pneumothoraks
7. Bila darah teraspirasi maka posisi vena subclavia telah didapatkan dan
kanula atau jarum seldinger dipertahankan pada posisinya dengan
mantap
8. Susupkan kawat, pasang kateter atau dilator dan kateter selanjutnya
lepaskan kawat
9. Lakukan dengan hati-hati untuk menghindari ikut masuknya udara
untuk itu sebaiknya ujung kateter tidak dibiarkan terbuka.
10. Cek bahwa aspirasi darah bebas melalui kateter dan tetesan berjalan
dengan lancar.
11. Kontrol letak kateter dengan foto thoraks.

7
e. Keuntungan kateterisasi Vena Subclavia2
1. Sangat baik untuk kanulasi jangka panjang karena posisi kateter dapat
difikasasi dengan baik sehingga tidak mudah bergerak dan tidak meng-
ganggu pergerakan pasien.
2. Vena subclavia hampir selalu ada dan anatomi ini umumnya tetap.
3. Relatif kurang infeksi dibanding pemasangan di tempat lain.
4. Kateter mudah masuk ke vena kava superior serta landmarknya lebih
mudah pada orang yang obes..
f. Kelemahan Kateterisasi Vena Subclavia2
1. Umumnya dilakukan dengan teknik buta sehingga mudah merusak
stuktur di dalam yang tidak terlihat.
2. Pleura, arteri, nervus phrenicus bahkan trakea mudah terjangkau oleh
jarum yang salah masuk sehingga relatif lebih banyak komplikasi
pneumothoraks dibanding teknik lainnya.
3. Bila terjadi komplikasi perdarahan relatif susah untuk ditangani.
g. Komplikasi kateterisasi vena subclavia1,2,3
1. Hematom
2. Cellulitis
3. Trombosis
4. Plebitis
5. Cedera pada saraf
6. Penusukan pada arteri
7. Pneumothoraks
8. Hemopneumothoraks
9. Penusukan saraf

8
10. Fistel arteri-vena
11. Neuropati perifer
12. Kateter terputus/tertinggal di dalam
13. Teknik monitor tidak tepat
14. Posisi kateter tidak tepat
2. 6. Kateterisasi vena jugularis interna
a. Anatomi
Vena jugularis interna keluar dari kranium melalui foramen jugularis.
Pada titik ini berada di posterior arteri karotis, tetapi pada saat turun ber-
ada di lateral arteri karotis. Berakhir pada saat bergabung dengan vena
subclavia diantara dan dibelakang sternum serta cavut clavikularis dari m.
sternomastoideus. Arteri carotis berada di sebelah medial vena demikian
pula halnya sinus karotikus. Vagus juga terletak diantara vena dan arteri
tetapi pada posisi posterior. Trunkus simpatikus berada di sebelah
belakang arteri namun demikian terletak disebelah medial dan posterior
vena. Ganglion stellatum terdiri dari ganglion servikalis inferior dan
ganglion torakalis I, terletak di depan kollum kosta I dan di medial arteri
vertebralis. Nervus phrenikus terletak di sebelah lateral dan posterior vena.
Pleura terletak di posterior vena yang hanya pada bagian bawah pada
bagian setinggi thoracic inlet (T1). Setinggi ini, duktur torasikus juga
terletak pada arah posterior pada sisi sebelah kiri. Meluas ke arah anterior
di atas arteri subclavia sinistra dan berakhir ke dalam vena subclavia.1,2,3,7

b. Teknik Kateterisasi Vena jugularis interna


Persiapan peralatan :
1) Disinfektan (betadine,alkohol
2) Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
3) Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
4) Kateter dan dilator
5) IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
6) Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
7) 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01,2,3,4,5,7

9
c. Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien
diposisikan lebih rendah 150 dan 450 ke arah kontralateral pada tem- pat
penusukan.1,2,3,4,5,7
d. Prosedur1,2,3,4,5,7,9
1) Jelaskan kepada penderita tentang prosedur yang akan dilakukan.
2) Bersihkan daerah leher pada sisi yang akan diinsersi.
3) Palingkan kepala pasien ke sisi sebelah kiri. (adanya duktus thoracalis
di debelah kiri membuat sisi sebelah kanan menjadi pilihan yang baik.
4) Bila pasien sadar dan bila diminta untuk mengangkat kepala, otot leher
akan dengan mudah ditentukan. M. sternomastoideus mempunyai dua
caput, caput sternalis dan caput clavicularis. Insersinya ke mastoid.
Sebuah segitiga dibentuk oleh kedua caput dan apeks dari segitiga ini
adalah titik insersi untuk jarum. Bila pasien tidak sadar anatomi ini
mungkin sangat sulit untuk ditentukan. Pada situasi seperti ini arteri
sebaiknya dipalpasi setinggi aspek bawah cartilago thyroideus, karena
vena terletak tepat dilateralnya.
5) Infiltrasi anestesi lokal ke dalam tempat ini.
6) Sebaiknya menggunakan syringe dengan jarung yang halus. Susupkan
spoit-jarum pada apeks segitiga tepat disebelah lateral perabaan
pulsasi arteri carotis, selanjutnya arahkan sepanjang garis yang ditarik
antara titik insersi dan papilla mamma pada sisi yang sama. Aspirasi
tatkala jarum dimajukan, hati-hati agar tidak memasukkan sejumlah
udara.

10
7) Bila darah diaspirasi, vena sudah ditemukan. Tindakan berikutnya
dapat diulangi dengan meyakinkan menggunakan jarum yang lebih
besar atau kanula.
8) Gunakan teknik Seldinger, jarum ditempatkan dalam vena agar supaya
darah dapat dengan mudah diaspirasi.
9) Masukkan kawat.
10) Susupkan kateter atau dilator dan kateter selanjutnya lepaskan kawat.
11) Cek aspirasi darah perlahan-lahan, fluktuasi tekanan pernapasan dan
posisi foto.
e. Keuntungan kateterisasi vena jugularis interna2
1) Cara pendekatan ini relatif aman bagi yang berpengalaman.
2) Dapat digunakan untuk kanulasi jangka panjang.
3) Kateter mudah masuk ke vena cava superior.
4) Sangat baik bila kanulasi juga digunakan untuk mengukur tekanan
vena sentral.
5) Posisi kateter mudah diketahui melalui foto.
f. Kelemahan Kateterisasi Vena Jugularis Interna2
1) Mudah terjadi komplikasi karena banyak sturktur disekitarnya.
2) Teknik ini sulit dilakukan pada orang dengan leher pendek atau tebal.
3) Punksi arteri karotis sering terjadi. Sangat berbahaya pada orang tua
dengan pembuluh darah yang atherosklerosis.
4) Bisa terjadi kebocoran duktus torasikus bila dilakukan di sebelah kiri.
5) Mudah terjadi infeksi atau trombosis karena gerakan kepala yang
mempengaruhi letak kateter.
6) Relatif kurang nyaman buat pasien karena akan mengganggu
pergerakan lehernya.
g. Komplikasi Kateterisasi Vena Jugularis Interna1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12
1) Hematom
2) Cellulitis
3) Trombosis
4) Plebitis
5) Cedera pada saraf

11
6) Penusukan arteri carotid
7) Pneumotoraks
8) Penusukan saraf
9) Cylothoraks
10) Fistel arteri-vena
11) Neuropati perifer
12) Kateter terputus/tertinggal didalam
13) Monitoring yang tidak akurat
14) Salah posisi kateter
2. 7. Kateterisasi vena jugularis eksterna
a. Anatomi
Anatomi Vena superfisial ini mudah terlihat dan diindetifikasi meskipun
penderita menderita hipovolemi. Terbentuk dari cabang posterior vena
retromandibularis dan vena aurikularis posterior, vena jugularis eksterna
melewati otot sternokleidomastoideus dan kemudian menembus fascia
sevikais profunda tepat diatas klavikula.1

b. Teknik kateterisasi vena jugularis eksterna


Persiapan peralatan :
a. Disinfektan (betadine,alkohol)
b. Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
c. Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
d. Kateter dan dilator
e. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
f. Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
g. 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01

12
c. Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien
0
diposisikan lebih rendah 15 dan 450 ke arah kontralateral pada tempat
penusukan.1
d. Prosedur1
1) Tempatkan pasien dengan kepala lebih rendah dengan muka
menghadap ke sisi sebelahnya.
2) Identifikasi letak vena jugularis eksterna dengan menekan bagian
proksimalnya.
3) Bersihkan daerah penusukan dengan alkohol.
4) Operator memakai sarung tangan steril selanjutnya desinfeksi daerah
penusukan seluas mungkin. Pasang doek steril yang berlubang.
5) Setelah vena jugularis eksterna tampak tempat tusukan diinfiltrasi
dengan obat anestesi lokal.
6) Jarum dihubungkan dengan spoit 10 cc kemudian jarum ditusukkan ke
dalam vena sambil mengaspirasi untuk melihat adanya darah di dalam
spoit.
7) Kateter difiksasi dengan baik.
8) Kontrol foto thoraks.

e. Keuntungan Kateterisasi Vena Jugularis Eksterna.2


1) Letak vena superfisial sehingga relatif mudah dilakukan. Cocok untuk
yang kurang pengalaman melakukan kanulasi vena sentral di vena jugu-
laris interna, vena subclavia atau vena femoral.

13
2) Relatif sedikit struktur penting yang dapat rusak. Seperti penusukan
arteri atau saraf.
3) Koagulopati hanya merupakan kontra indikasi relatif.
f. Kelemahan Kateterisasi Vena Jugularis Eksterna2
1) Kadang-kadang terrjadi kesulitan vena sentral melalui fascia servikalis.
2) Mudah terinfeksi karena letaknya yang superficial.
3) Kurang nyaman buat penderita karena mengganggu pergerakan leher.
4) Sulit melakukan fikasasi dan mudah lepas jika menggunakan plester.

2. 8. Kateterisasi vena femoral


a. Anatomi
Anatomi vena femoral relatif konsesisten. Pada apeks segitiga femoral,
terbentang dari posterior ke arteri femoralis tetapi karena ia mengikuti kaki
kaki ke atas ligamentum inguinalis maka ia terletak di medial arteri. Dua
petunjuk lokal adalah ligamnetum inguinalis di atas dan pulsasi arteri
sebelah lateral vena. Saraf femoralis disebelah lateral arteri.1
b. Teknik Kateterisasi Vena Femoral
Persiapan peralatan :
a. Disinfektan (betadine,alkohol)
b. Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
c. Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
d. Kateter dan dilator
e. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
f. Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
g. 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01
c. Posisi
Supine
d. Prosedur1
1) Bersihkan dan atur areal sesuai dengan prosedur pembedahan. Salah
satu hal yang utama dalam rute ini adalah adanya kemungkinan sepsis
da- erah yang kotor dan teknik asepsis yang cermat harus sangat hati-
hati.

14
2) Lakukan palpasi pada arteri dan identifikasi ligamentum inguinalis.
3) Masukkan di medial pulsasi dan dorong secara perlahan sambil terus
menerus mengaspirasi melalui jarum sehingga segera darah terlihat
begitu pembuluh darah dimasuki. Jika jarum dimasukkan 45o ke dalam
kulit akan lebih mudah mengitrodusir kawat.
4) Masukkan kawat ujung yang terurai terlebih dahulu, melalui jarum
kedalam vena. Perhatikan untuk tidak membiarkan pembuluh darah
terbuka di udara karena sewaktu-waktu dapat terjadi emboli udara.
5) Cabut jarum dan masukkan kateter di sebelah luar kawat.
6) Cabut kawat dan aspirasi darah melalui kateter untuk memastikan
keberadaanya dalam pembuluh darah.
7) Balut dengan pembalut steril.
8) Kontrol foto untuk mengetahui letak kateter.
e. Keuntungan Kateterisasi Vena Femoral
1) Tekniknya relatif mudah dilakukan
2) Anatominya relatif mudah diingat.
3) Struktur yang penting relatif sedikit di daerah penusukan.
f. Kelemahan Kateterisasi Vena Femoral
1) Mudah terjadi infeksi dan sepsis
2) Mudah terjadi tombosis dan pembengkakan pada kaki.
3) Relatif kurang nyaman buat pasien.
4) Dapat mengganggu pergerakan penderita, sehingga kurang baik untuk
pasien yang direncakan mobilisasi dini.
g. Komplikasi Kateterisasi Vena Femoral1,2
1) Hematom
2) Cellulitis
3) Trombosis
4) Plebitis
5) Penusukan arteri
6) Fistel arteri-vena
7) Neuropati perifer
8) Kateter terputus dan tertinggsl di dalam

15
9) Teknik monitor yang tidak tepat
10) Posisi katetes tidak tepat
2. 9. Kateterisasi Vena antecubiti
a. Anatomi

b. Teknik kateterisasi vena via antecubital


Persiapan peralatan :
a. Disinfektan (betadine,alkohol)
b. Spoit 3 ml 2 buah,jarum ukuran 25-gauge.
c. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
d. Introducer (14-gauge angiographic catheter)
e. Silastic catheter dengan guidewire
f. Gunting, pemegang jarum, benang silk no.3,0
g. Suture wing, haas steeril dan plester1
c. Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine atau duduk dengan abduksi
lengan kearah luar kira-kira 450 dari axis tubuh.1
d. Prosedur1
1) Daerah antecubital dibersihkan dulu dari lemak dan kotoran tubuh
dengan alkohol.
2) Operator memakai masker dan sarung tangan steril dan sebelumnya
mencuci tangan seperti sebelum melakukan pembedahan dengan
larutan chlorheksidin atau povidon-iodine surgical scrub.

16
3) Desinfeksi dilakukan dengan yodium-alkohol atau povidone-iodine
selama 2 menit dan dibiarkan kering, kemudian ditutup dengan doek
lubang steril.
4) Tourniquet dipasang pada lengan atas dan dikencangkan secukupnya
sehingga aliran vena terhenti tanpa menutup aliran arteri.
5) Setelah vena basilika terlihat, tempat tusukan diinfiltrasi dengan obat
anestesi lokal seperti lidokain 2 %.
6) Jarum kateter ditusukkan kedalam vena sampai terasa menembus vena
dan terlihat darah keluar. Jika sudah diperkiranan kateter juga telah
menembus vena, mandrein ditarik dan selanjutnya kateter didorong
masuk.
7) Tourniquet dilepas dan kateter dimasukkan dan selanjutnya didorong
sampai mendekati ketiak (15-20 cm).
8) Lengan penderita diabduksi sampai sejajar dengan bahu dan kepala
penderita diletakkan dalam posisi menoleh kearah lengan tersebut.
9) Sambil melihat monitor EKG (untuk melihat bila ada gangguan irama
jantung) kateter didorong terus sampai diperkiran masuk di vena cava
superior. Bila tidak ada monitor EKG, irama jantung dipantau dengan
meraba nadi penderita oleh seorang pembantu. Bila ada aritmia
supraventrikuler atau aritmia ventrikuler berarti ujung kateter masuk
ke dalam atrium atau ventrikel. Kateter ditarik sedikit sampai aritmia
hilang.
10) Stylet kateter CVP dicabut selanjutnya kateter dihubungkan dengan
spoit 10 cc yang berisi sedikit NaCl untuk mengaspirasi adanya darah
keluar. Bila tidak ada darah keluar kateter ditarik sampai pada aspirasi
didapat darah. Bila darah tetap tidak keluar, kateter harus ditarik semua
dan prosedur pemasangan dimulai lagi dari awal.
11) Setelah aspirasi keluar darah, infus dipasang dan klem infus dibuka
lebar (hati-hati jangan sampai ada udara masuk), cairan harus dapat
menetes dengan lancar. Tetesan infus selanjutnya diatur secukupnya.
12) Dengan stylet diurutkan pada perjalanan kateter, maka posisi ujung
kateter dapat diperkirakan dan bila perlu ditarik untuk disesuaikan.

17
13) Tempat tusukan dapat diolesi salep povidon-iodine, sisa kateter
dilingkarkan dan ditutup dengan kasa steril dan selanjutnya difiksasi
dengan plester lebar agar tidak mudah tercabut dan kateter tidak
bergerak keluar masuk. Ditulis tanggal dan jam pemasangan kateter
pada plester tersebut dan pada status penderita.
14) Diambil foto thorax untuk memastikan letak ujung kateter dan bila
perlu dilakukan penyesuaian. Ujung kateter diharapkan pada vena cava
superior atau atrium setinggi ruang antar iga II.
e. Keuntungan kateterisasi via antecubital2
1) Relatif mudah dilakukan. Terutama pada pemula.
2) Potensi kerusakan arteri atau saraf mudah diidentifikasi dan mudah
dihindarkan.
3) Tidak ada bahaya terjadinya komplikasi di dada seperti
pneumothoraks.
4) Merupakan pilihan bila ada gangguan pembekuan darah dan relatif
mudah dikontrol bila ada perdarahan.
f. Kelemahan kateterisasi via antecubital2
1) Sering ditemukan kateter sulit melewati axilla.
2) Pada keadaan tertentu sulit mengidentifikasi vena seperti orang gemuk,
penderita edema di lengan atau vena kolaps.
3) Kateter kadang-kadang bisa masuk ke daerah leher daripada ke dalam
dada.
4) Mudah terjadi trombosis atau infeksi bila menggunakan kateter yang
panjang.
g. Komplikasi kateterisasi vena cubital1
1) Perdarahan
2) Arrhytmia
3) Infeksi
4) Catheter cloting dan kingking

18
2. 10 Pencegahan Komplikasi Kateterisasi vena sentral
Di Amerika Serikat dilaporkan para klinisi telah melakukan kateterisasi
vena sentral lebih dari 5 juta kateter setiap tahunnya. Lebih dari 15 % pasien
yang dikateterisasi mengalami komplikasi. Komplikasi mekanik 5-19 %,
Komplikasi berupa infeksi 5-26 %, Komplikasi thrombosis 2-26 %. Untuk itu
dibawah ini akan dijelaskan tentang cara atau metode untuk mengurangi
frekwensi terjadinya komplikasi tersebut diatas.7
2. 11 Tipe-tipe kateter7
Saat ini kateter yang paling sering digunakan untuk kateterisasi vena
sentral adalah kateter yang mengandung antimikroba yaitu kateter yang
mengandung kombinasi chlorhexidine dan silver sulfadiazine serta kateter
yang mengandung kombinasi minocyclin dan rifampin. Pada studi uji klinik
secara random keduanya menunjukkan nilai yang rendah pada efek kateter
terhadap terjadinya infeksi sistemik. Berdasarkan bukti saat ini menunjukkan
penggunaan kateter minocyclin dan rifampin adalah lebih efektif dan
mempunyai resiko infeksi lebih rendah dibandingkan dengan kateter
chlorhexidine dan silver sulfadiazine.
Jumlah lumen kateter tidak secara langsung mempengaruhi angka
kejadian komplikasi infeksi. Akan tetapi, pemilihan baik itu single lumen
ataupun multilumen kateter dibuat berdasarkan pertimbangan jumlah obat
atau nutrisi yang akan diberikan.
2. 12 Karakteristik pasien
Kateterisasi jugularis interna mungkin sulit dilakukan pada pasien yang
obes mengingat penanda pada leher sulit ditemukan. Kateterisasi vena
subklavia harus dihindari pada pasien yang menderita hipoksemia berat
karena komplikasi pneumothoraks sering terjadi dan kurang bisa ditoleransi
oleh pasien tersebut. Kateterisasi femoral harus dihindari pada pasien yang
menampakkan tanda-tanda infeksi pada regio inguinal karena insersi kateter
femoral memiliki resiko tinggi untuk menyebabkan infeksi. Jika kanulasi
vena sentral dibutuhkan untuk resusitasi pasien syok, akses vena femoral
sebaiknya dipertimbangkan karena cepat dilakukan khususnya bila
kateterisasi vena subklavia dan jugularis interna sulit dilakukan. Setelah

19
resusitasi kateter dapat dipindahkan ketempat yang lebih tepat untuk pasien
ini.7
Adapun pasien-pasien yang menggunakan ventilator sebelum dilakukan
pemasangan kateter sebaiknya sementara dilepas dahulu dari ven- tilator
(Tekanan akhir ekspirasi yang tinggi) mengingat bahaya untuk resiko
terjadinya pneumothoraks.2,5
2. 13 Komplikasi Mekanik
Mayoritas komplikasi mekanik terjadi selama pemasangan kateter vena
sentralis, dimana infeksi dan komplikasi trombotik terjadi bersamaan,
komplikasi mekanik yang paling sering adalah punksi arteri, hematoma,
pneumothoraks, dan gangguan syaraf. Resiko keseluruhan komplikasi ini
sama dengan kateterisasi pada vena jugularis interna, kateterisasi vena
subclavia. Dalam analisa yang berskala besar didapati resiko pneumothoraks
sama dengan keteterisasi jugularis interna dan subclavia. Komplikasi
mekanik, khususnya punksi arteri dan formasi hematoma, paling sering
terjadi selama pemasangan kanula pada femoralis. Kebanyakan punksi arteri
dapat dikenali pada aspirasi darah warna merah cerah yang tampak pada
syringe. Penderita dengan hipoksemia atau hipotensi, dimana perubahan
warna dan denyut melemah kemungkinan wajar terjadi, hubungan terhadap
kateter ke tekanan transduser dapat memperkuat kanulasi vena. Penggunaan
ultrasonic locating devices telah menunjukkan dapat mengurangi frekwensi
dari komplikasi mekanik pada pemasangan garis sentral.3,7,8,9
1. Penusukan arteri5
a. Pencegahan :
Penusukan jarum jangan sampai terlalu dalam
b. Penanganan :
Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
Lakukan penekanan secara manual di daerah penusukan selam 5 menit
2. Pneumothoraks5
a. Pencegahan :
Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri

20
Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
b. Penanganan :
Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan
abbocath no.14-16 didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu
dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
3. Hematothoraks5
a. Pencegahan :
Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri
Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
b. Penanganan :
Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan
abbocath no.14-16 didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu
dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
4. Iatrogenik bilateral5
Pencegahan : Jika pemasangan keteter tidak berhasil maka selanjutnya
usahakan percobaan berikutnya pada pendekatan ipsilateral jugularis
interna atau subclavia sebelum mencoba di kontralateral vena subclavia.
5. Disritmia Kardiak5
a. Pencegahan :
Minta bantuan seseorang untuk melihat ke monitor EKG apakah ada
disritmia pada saat pemasangan kateter.
b. Penanganan :
Reposisikan kembali kateter; jika disritmia menetap maka terapi
disritmia sesuai protokol ACLS
Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan

2. 14 Komplikasi Infeksi
Tingkat suspek atau penguatan kateter, sehubungan dengan infeksi
aliran darah merupakan yang tertinggi untuk kateter femoralis dan terendah

21
untuk subclavia. Uji klinis menunjukkan rendahnya tingkat hubungan antara
kateter dengan infeksi aliran darah dengan penggunaan antimikroba dan
pengisian kateter. Pengisian kateter dengan chlorhexidine, sulfadiziane,
minocycline, dan rifampisin paling sering digunakan.
Perkembangan mikroorganisme yang resisten pada pengunaan tipe
kateter belum teruraikan. Persiapan kulit dengan solusi chlorhexidine
menuju ke solusi iodine kemungkinan lebih manjur dalam mencegah infeksi
penggunaan rutin antibiotik prophylactic untuk penempatan garis tidak dapat
dibenarkan menyangkut proliferasi antibiotik pada mikroorganisme yang
resisten. Meskipun tindakan pencegahan, kateter yang berhubungan dengan
infeksi masih terjadi. Jika kateter, yang berhubungan dengan infeksi
tergolong suspek, sampel darah untuk kultur harus digambarkan untuk
mengukur jumlah bakteri.
Tanda atau gejala sitematik dari sepsis merupakan indikasi empiris untuk
terapi antibiotik pada perawatan infeksi yang disebabkan oleh
staphylococcus epidermidis atau S. aureus. Ulasan gram- negative harus
termasuk dalam imunitas penderita neutroperia. Sekali terapi antibiotik
dimulai, kateter dapat diganti. Penderita dengan syok septik dan tanpa
etiologi infeksi lain, kateter harus dipindahkan dan ditempatkan di bagian
lain. Jika kultur dari ujung kateter telah positif diganti dengan kawat,
kemudian kateter harus ditarik dan bagian lain diganti yang baru. Jika ujung
kateter negative, lebih mudah terjadi infeksi.3,7,8,9
2. 15 Komplikasi Trombosis.
Penderita dengan kateter yang tidak tertinggal lebih tinggi resiko untuk
mengalami komplikasi trombosis. Resiko kateter sehubungan dengan
trombosis tidak berhubungan dengan penempatan sisi. Persentase tertinggi
tejadi kateter femoralis dan yang paling sedikit terjadi pada subclavia.
Dengan semua kateter, trombosit berpotensi untuk emboli. Untuk mencegah
komplikasi trombosis ini, usahakan jangan pernah menarik kateter melewati
bevel jarum oleh karena dapat menggores atau bahkan sampai terputus. Jika
komplikasi terjadi maka penanganannya adalah segera lakukan foto x-ray
dan konsul ke dokter yang lebih ahli dalam melepaskan emboli kateter.5

22
Semakin sering terjadi komplikasi maka tidak dapat dilakukan kanulasi pada
pembuluh darah.3,7,8,9,12
2. 16 Pengalaman Dalam Kateterisasi
Tingkat pengalaman dalam hal kateterisasi juga dapat menurunkan
terjadinya komplikasi.Insersi kateter oleh klinisi yang telah melakukan lebih
dari 50 kali pemasangan adalah 50% masih lebih baik dan dapat menurunkan
komplikasi mekanik dibandingkan dengan klinis yang telah melakukan insersi
kurang dari 50 kali. Jika klinisi tidak berhasil melakukan insersi sebanyak tiga
kali percobaan maka segera minta bantuan kepada orang yang lebih ahli untuk
melakukan pemasangan. Insidens terjadinya komplikasi mekanik pada
percobaan pemasangan kateter 3 kali atau lebih adalah 6 kali lebih banyak
dibandingkan dengan yang hanya satu kali percobaan.7
2. 17 Penuntun ultrasound
Penggunaan ultrasound sebagai penuntun telah dipromosikan sebagai
metode yang dapat menurunkan ankag resiko komplikasi selama kateterisasi
vena sntral. Pada tekhnik ini, ultrasound probe digunakan untuk melokalisasi
vena dan mengukur seberapa dalam dibawah kulit. Dibawah visualisasi
ultrasound,jarum introducer kemudian dituntun melewati kulit ke dalam
pembuluh darah. Selama kateterisasi vena jugularis interna, penuntun
ultrasound menurunkan ankga kejadian komplikasi mekanik, kegagalan
penempatan dan waktu yang digunakan untuk insersi. Namun penggunaannya
selama kateterisasi vena subclavia masih diragukan hasilnya pada uji klinik,
kemungkinan olah karena alasan anatomis. Penggunaan penuntun ultrasound
seharusnya rutin dipertimbangkan untuk kasus-kasus kateterisasi pada vena
jugularis interna.7,9,12
2. 18 Mengenali Tertusuknya Arteri dan Mencegah Emboli
Pada pasien dengan tekanan darah normal dan tekanan oksigen arteri yang
normal, tertusuknya arteri biasanya mudah dikenali dengan aliran yang
berdenyut dari spoit dan warnanya berupa warna darah merah terang. Meski
demikian, pada pasien yang didapati dengan hipotensi atau desaturasi arterial,
tanda-tanda diatas mungkin tidak didapatkan. Jika terdapat keraguan apakah
jarum intoduser berada dalam arteri atau vena, sebuah kateter lumen tunggal

23
18 G (termasuk perlengkapannya) sebaiknya diinsersikan melalui
mandrin/wire dan menuju pembuluh darah. Langkah ini tidak membutuhkan
penggunaan dilator. Kateter ini selanjutnya bisa disambungkan ke transducer
bertekanan untuk konfirmasi adanya bentuk gelombang vena dan tekanan
vena. Contoh-contoh simultan untuk mengukur gas darah selanjutnya dapat
diambil, satu dari kateter dan yang lainnya dari arteri. Akan didapatkan
perubahan substansial pada tekanan oksigen jika kateter berada dalam vena.
Pernafasan spontan pada pasien menghasilkan tekanan negatif intratorasik
selama inspirasi. Jika kateter terbuka terhadap udara bebas, tekanan
intratorasik ini dapat mengalirkan udara menuju vena yang menyebabkan
emboli udara. Meskipun hanya sedikit, emboli udara dapat bersifat
fatal,khususnya jika ditransmisikan ke sirkulasi sistemik melalui defek septum
arterial atau ventrikular. Untuk mencegah komplikasi ini, kateter HUBS harus
selalu tertutup setiap waktu, dan pasien seharusnya diposisikan tredelenberg
selama insersi. Jika terjadi emboli udara, pasien diposisikan tredelenberg
dengan condong left lateral dekubitus untuk mencegah pergerakan udara
menuju jalur ventrikular kanan. Oksigen 100%sebaiknya diberikan untuk
mempercepat penyerapan udara. Jika kateter berada dalam jantung, aspirasi
udara sebaiknya dilaksanakan.5,7
2. 19 Antibiotik profilaksis
Banyak penelitian mengenai antibiotikprofilaksis telah didemonstrasikan
dan strategi ini berhubungan dengan pengurangan jumlah infeksi ke dalam
darah melalui kateter. Meski demikian, penggunaan antibiotic diragukan
karena perhatian bahwa ini akan meningkatkan munculnya organisme yang
resistensi antibiotic.7
2. 20 Perawatan
Pemeliharaan yang baik dari kateter vena centralis dan penempatan sisi
mungkin memperkecil resiko dari kateter sehubungan dengan komplikasi.
Aplikasi rutin dari antibiotik topikal belum terbukti dalam mengurangi tingkat
infeksi aliran darah dan dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri resisten dan
jamur.

24
Sekarang ini, tidak ada fakta-fakta yang kuat mengenai penggunaan kasa
atau jas steriil, atau rekomendasi yang dibuat berkenaan frekwensi
penggantian pakaian secara rutin. Bagaimanapun juga, pemeriksaan visual
secara rutin untuk eritema atau pus, dan palpasi harus menjadi perawatan
standar untuk kateter yang tidak tertinggal. Pusat kateter merupakan sumber
infeksi yang paling sering. Pusat kateter ini harus diganti secara rutin,
setidaknya setiap tiga hari, untuk mengurangi insiden infeksi. Resiko infeksi
menjadi banyak sekali setelah lima sampai tujuh hari setelah kateterisasi.
Bagaimanapun percobaan penggantian rutin kateter menjadi kawat belum
menunjukkan pengurangan dalam infeksi sehubungan dengan kateter,
sementara penempatan kateter pada bagian lain memberikan hasil yaitu
peningkatan jumlah komplikasi mekanik. Kateter harus dipindahkan sebelum
lebih lama lagi untuk infeksi yang dapat meningkat sewaktu-waktu.3,7

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Chen H. M.D., Christopher J.S. M.D., Venous And Arterial access. In :
Manual Of Common Bedside Surgical Procedures, 2nd Edition. Halsted
Residents Of The Johns Hopkins Hospital,Lippincott Williams & Wilkins,
2000, pp.36-57
2. Sanjiv J.Shah,M.D., Carolyn S. Calfee,M.D. High Flow Infusion Technique.
In : Clinical Procedures In Emergency Medicine, 3rd Edition. Philadelphia,
WB Saunders,1998, pp. 352
3. Wolf Scott W.,M.D. Intravenous Access In Adults. In : Perioperative Fluid
Therapy, Part III, Departement Of Anesthesiology University Of Texas
Medical Branch Of Galveston Texas, USA, 2006, pp. 102-5
4. Singer M. M.D.,Webb A.R. M.D., Central Venous Catheter-Use. In: Critical
Care 2nd Edition, Oxford Handbook, Departement Of Intensive Care
University College London Hospitals,2005, pp. 114-7
5. Caroline ozment, M.D.,et all. Central Venous Line Placement,Subclavian
Venipuncture,Infraclavicular Approach, Reviw Article Of Intensive Care
Medicine, 2003
6. Komisi Trauma ATLS Pusat. Pemantauan Tekanan Vena Sentral. Pada: Buku
ATLS Edisi American College Of Surgeons Committee On Trauma,2007.
Hal: 111-2
7. David C.McGee,M.D., Michael K. Gould,M.D., Preventing Complications Of
Central Venous Catheterization. In : Current Concepts Review Article Of New
England Journal Of Medicine,2003.pp. 1123-33
8. Roberto E.Rusminosky, M.D.,MPH,FACS, Complications Of Central Venous
Catheterization, Departement Of Surgery West Virginia University, 2007, pp:
681-9
9. Alan S. Graham,M.D.,et all, Central Venous Catheterization. In : Clinical
Medicine, The New England Journal Of Medicine,2007
10. Lewis A.Eisen, et all, Mechanical Complication Of Central Venous Catheters.
In: Journal Of Intensive Care Medicine,2006. pp: 40-6
11. William T. Mc.Gee. Central Venous Catheterization:Better & Worse. In :
Journal Of Intensive Care Medicine, 2006, pp: 51-2

26
12. Seong Hoon Ko, et all. Massive Thrombosis After Central Venous
Catheterization.In a Patient With Previously Undiagnosed Bechets Disease.
In : Journal Korean Medicine,2001. Pp: 814-6
13. Hocking G. M.D. Central Venous Access and Monitoriing. In : Article of
Practical Procedures, Frimley Park Hospital, Portsmouth Road,2000.

27

Anda mungkin juga menyukai