Anda di halaman 1dari 20

Artikel Review

Trakheostomi Perkutan

Chitra Mehta & Yatin Mehta

Abstrak

Trakheostomi dilatasi perkutan (PDT/ percutaneous dilatational tracheostomy)

merupakan satu prosedur yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami sakit

kritis. Penanganan ini dapat secara aman dilakukan langsung di samping tempat tidur

pasien oleh ahli penanganan intensif. Penanganan ini dapat menurunkan penggunaan

trakheostomi bedah di unit penanganan intensif (ICU), kecuali untuk beberapa kasus

tertentu. Indikasi yang paling umum terhadap trakheostomi di ICU adalah kebutuhan

ventilasi yang berkepanjangan. Diketahui, sekitar 10% dari seluruh pasien yang

membutuhkan dukungan ventilator mekanis selama 3 hari akan ditrakheostomisasi

selama perawatan di ICU. waktu yang ideal untuk PDT sampai saat ini belumlah

diketahui. Beberapa kontraindikasi dan komplikasi pun dapat diturunkan melalui

peningkatan pengalaman pihak yang memberikan penanganan. Berbagai metode

pelaksanaan PDT pun semakin beragam dalam dua dekade terakhir ini. Pemeriksaan

pra-operasi, pemilihan pasien, dan penanganan pasca-trakheostomi diketahui

membentuk komponen-komponen yang penting terhadap PDT yang berhasil.

Bronkhoskopi dan ultrasound diketahui dapat menjadi pelengkap prosedural yang

berguna, khususnya ketika dokter dihadapkan dengan anatomi yang kurang

mendukung. Artikel ini memberikan kilasan singkat tentang penggunaan PDT di

ICU.
Kata kunci: Penanganan kritis, Unit Penanganan Intensif, trakheostomi dilatasi

perkutan

Pendahuluan

Trakheostomi merupakan salah satu prosedur yang paling umum (dan juga paling

tua) yang dilakukan pada pasien yang sakit kritis. Trakheostomi bedah (ST/ surgical

tracheostomy) pertama dijelaskan oleh Jackson pada tahun 1909. Penggunaannya di

Unit Penanganan Intensif menjadi semakin populer selama epidemik polio pada

tahun 1950-an. Trakheostomi dilatasi perkutan (PDT) dengan penggunaan kawat

pemandu pertama ditemukan oleh Ciaglia pada tahun 1985. PDT saat ini telah

menjadi standar penanganan di ICU dan telah menggantikan ST pada kelompok

pasien ini. Namun demikian, pada beberapa kasus yang memang membutuhkan ST,

maka ST haruslah secara bijak diprioritaskan. Pada beberapa tahun terakhir, teknik

PDT yang asli diinvensi oleh Ciaglia pun telah mengalami modifikasi, dan banyak

dari teknik-teknik lain yang sudah dikaji dan dilakukan.

Definisi

Trakheostomi merupakan satu proses pembuatan bukaan ke dalam dinding anterior

trakhea. Sedangkan ST lebih mengacu pada penempatan kanula trakheostomi yang

dimasukan pasca diseksi jaringan pretrakheal dan insisi dinding trakhea.

PDT melibatkan diseksi tumpul jaringan pretrakheal yang kemudian diikuti dengan

dilatasi trakhea dengan menggunakan kawat pemandu dan insersi (dimasukannya)

kanula trakheal dengan menggunakan teknik Seldinger.


Indikasi-Indikasi Untuk Trakheostomi Dilatasi Perkutan

PDT di ICU biasanya diindikasikan (1) untuk memfasilitasi pada pasien yang

lumpuh sebelah badan (2) untuk membantu pemasangan tracheobronkhial, (3) untuk

melindungi saluran pernafasan pada pasien yang memiliki resiko aspirasi, (4) pada

pemasangan ventilator yang lama, dan (5) untuk meminimalisir kebutuhan sedasi.

PDT umumnya dapat dihindari sebagai satu intervensi darurat, kecuali dilakukan

oleh operator yang berpengalaman. Pada kasus sulitnya pengintubasian darurat

pasien, krikkotirotomi dianggap sebagai prosedur pilihan.

Semakin meningkat pengalaman operator maka jumlah kontraindikasi pun akan

semakin sedikit [Tabel 1].

Trakheostomi versus intubasi endotrakheal translaring lama/ berkepanjangan

(berlanjut)

Pemasangan ventilatori lama/ berlanjut merupakan indikasi trakheostomi yang paling

umum pada pasien yang sakit kritis. Sampai 24% dari seluruh pasien yang

mendapatkan ventilasi mekanis di ICU akan menjalani trakheostomi. Namun

demikian, Tracheostomi, sepertinya tidak memiliki manfaat yang sangat jelas dalam

hal komplikasi laringotrakheal ataupun kematian jika dibandingkan dengan intubasi

translaring. Trakheostomi diketahui secara konvensional direkomendasikan bagi

pasien yang membutuhkan ventilator selama >21 hari, dan intubasi endotrakheal

(ET) direkomendasikan jika ventilator harus terpasang selama <10 hari. Hal ini

merupakan sesuai dengan konsensus pertama tentang saluran pernafasan buatan yang

diterbitkan pada tahun 1989, untuk pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis.
Hampir dari seluruh pedoman yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa hal diatas

tidaklah didasari oleh bukti-bukti yang jelas. Jika dibandingkan dengan intubasi

translaring, trakheostomi diketahui memiliki hubungan dengan tingkat sedasi yang

lebih rendah, tingkat kenyamanan yang lebih baik bagi pasien, dan penurunan upaya

pasien untuk bernafas, yang dimana hal ini akan membantu proses penyapihan pasien

dari kebutuhannya ventilator yang lebih cepat.

Tabel 1: Kontraindikasi-kontraindikasi trakheostomi dilatasi perkutan

Absolut/ Mutlak Relatif


Para bayi Pembengkakan kelenjar tiroid
Infeksi pada lokasi Keberadaan pembuluh-pembuluh yang berdenyut pada
insersi lokasi insersi
Ketidakpengalaman Anatomi yang sulit (leher yang pendek, obesitas morbid,
operator leher yang sulit ditengadahkan, malignansi lokal, deviasi
trakhea)
Tulang leher yang Koagulopati
tidak stabil
Koagulopati yang Terlalu dekatnya dengan luka bakar atau luka bedah
sulit dikendalikan Kebutuhan akan FiO2 atau PEEP yang tinggi (FiO2 > PEEP
70% >10 cm H2O)
Riwayat akan cedera pada leher atau riwayat trakheostomi
Arteri inominat tinggi
Radioterapi pada wilayah leher dalam 4 minggu terakhir
Infeksi lokal yang terkendali
PEEP: Tekanan ekspirasi-akhir positif
Pewaktuan trakheostomi di ICU

Menurut bukti yang ada, dalam bentuk penelitian terkendali acak (RCT/ randomized

controlled trial), tidak menunjukkan bahwa trakheostomi dini (<10 hari intubasi)

dapat memberikan manfaat jika dibandingkan dengan trakheostomi yang dilakukan

kemudian (>10 hari intubasi). Hal tersebut juga diketahui tidak memiliki bukti dapat

menurunkan tingkat kematian, dalam menurunkan resiko pneumonia yang

disebabkan ventilator, dalam menurunkan tingkat komplikasi laringotrakheal, dan

dalam menurunkan lamanya perawatan di ICU. Namun, diketahui terdapat manfaat

dalam hal penurunan lamanya penggunaan ventilator. Pedoman yang ada sekarang

ini telah menemukan adanya bukti (walaupun tingkat bukti ini tidak begitu kuat)

terhadap perekomendasian trakheostomi dini.

Trakheostomi perkutan versus bedah

Di akhir-akhir ini, penggunaan PDT pun semakin populer di dalam penanganan

pasien di ICU, yang dapat dikatakan bahwa PDT hampir menggantikan perananan

ST. Hal ini dikarenakan bahwa penggunaan PDT adalah lebih mudah dilakukan, dan

dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien (tidak perlu dilakukan di ruang

bedah), dan juga PDT dapat dianggap lebih efektif dari sisi biaya. Tingkat morbiditas

yang mencapai 13%-33% diketahui dapat disebabkan karena hal-hal yang berkaitan

dengan pemindahan pasien yang sakit kritis, yang dimana hal ini secara signifikan

mempengaruhi penanganan pada 25% pasien. Satu meta analisis pun dilakukan pada

tahun 2006 yang menyertakan 17 RCT dengan total 1212 pasien. Pada kelompok

pasien yang mendapatkan tindakan PDT, 2,3% nya diketahui mengalami insiden
luka, dan pada kelompok pasien yang mendapatkan tindakan ST, 10,7% nya

diketahui mengalami infeksi luka. Banyak dari para ahli yang mengatribusikan lebih

rendahnya tingkat infeksi ini pada sifat yang dimiliki oleh pendekatan penggunaan

PDT. Temuan-temuan serupa pun juga dilaporkan di dalam satu meta analisis yang

dilakukan oleh Higgins dan Punthakee. Satu meta-analisis terbaru yang dilakukan

oleh Putensen dkk pada tahun 2014 (yang menyertakan 14 RCT dengan 973 pasien)

menemukkan bahwa PDT diketahui memiliki hubungan dengan rendahnya tingkat

insiden terhadap infeksi dan inflamasi stromal serta lebih tingginya insiden terhadap

kesulitan teknis jika dibandingkan dengan ST. Beberapa pedoman telah

merekomendasikan PDT sebagai prosedur pilihan pada pasien yang sakit kritis.

Jumlah literatur yang membahas tentang efektifitas-biaya penggunaan ST versus

PDT hanyalah sedikit. Data tentang hal tersebut, juga tidaklah banyak untuk

melahirkan kesimpulan yang definitif.

Namun demikian, kita masih harus mengingat bahwa ST dapatlah memberikan

tingkat keamanan yang tinggi jika tanda anatomis pada pasien sulit untuk dipalpasi,

atau jika terdapat malignansi pada lokasi insersi, dan juga pada kondisi yang sangat

darurat, penempatan/ pemasangan trakheostomi akanlah tetap diperlukan.

Beberapa komplikasi yang dapat disebabkan karena trakeostomi dilatasi

perkutan

Beberapa komplikasi yang sama juga dapat ditemukan pada pengaplikasian ST dan

PDT. Komplikasi-komplikasi ini dapat dibagi menjadi komplikasi yang dapat terjadi
secara dini (0-7 hari prosedur) atau pun yang dapat terjadi di kemudian waktu (diatas

7 hari) [Tabel 2].

Jumlah penelitian follow up jangka panjang yang mengkaji tentang komplikasi-

komplikasi yang berkaitan dengan ST dan PDT saat ini tidaklah banyak. Pemilihan

pasien yang tepat (untuk mendapatkan PDT) masihlah tetap menjadi komponen yang

penting di dalam pencegahan terjadinya komplikasi.

Anatomi

Sebelum melakukan trakheostomi, terutama yang paling penting adalah dapat

memahami tentang anatomi leher [Gambar 1]. Tulang hioid merupakan bagian

saluran pernafasan yang paling stabil dan dapat dengan mudah dipalpasi dari dagu

kearah bawah di garis tengah leher. Jika palpasi kemudian diarahkan ke bagian

bawah, maka kita akan dapat merasakan tulang rawan tiroid, membran krikotiroid,

dan tulang rawan krikoid. Cincin trakheal dapat dipalpasi di bawah tulang rawan

krikoid. Cincin trakheal akan menjadi sulit teraba ketika trakea menurun ke dalam

dada. Takik suprasternal atau jugular akan dapat teraba sebagai sudut pada

sambungan leher dan dada. Panjang servikal trakhea adalah beragam, tergantung

pada kurvatur tulang belakang, bentuk badan, daya tekuk-regang leher, dan diameter

anteroposterior dada. Pada individu yang berusia muda, hampir dari setengah trakea

akan berada di wilayah leher, dan panjang ini akan meningkat menjadi dua pertiga

jika leher ditengadahkan. Pada individu yang berusia lebih lanjut, panjang trakhea

pada leher akan berkurang menjadi sepertiganya. Panjang suprasternal trakhea juga

akan mengalami penurunan jika pasien mengidap kifosis, mengalami penurunan


mobilitas leher seperti pada kasus spondilitis ankilosis, dan ketika individu

mengalami obesitas yang cukup signifikan. Biasanya, trakheostomi dilakukan antara

cincin trakhea kedua dan ketiga. Beberapa peneliti menemukkan fakta yang

mengindikasikan bahwa punktur trakhea antara cincin trakhea ketiga dan keempat

memiliki hubungan dengan lebih rendahnya tingkat cedera pada pembuluh aberan,

khususnya jika terdapat abnormalitas anatomi. Trakhea umumnya memiliki

kedalaman dari kulit 2-2,5 cm pada lokasi insersi yang disarankan, dan kedalaman

ini pun meningkat jika lokasi punktur diturunkan ke area torasik. Kemiringan

trakheal dari vertikal juga dapat meningkat karena trakheal akan semakin menurun

ke arah dada, dan hal ini umum dijumpai pada populasi lansia. Perubahan-perubahan

anatomi ini adalah perlu untuk diingat ketika memilih tingkat yang tepat untuk

melakukan PDT, khususnya pada para individu lansia.

Gambar 1: Anatomi leher

Pertimbangan yang lainnya adalah bahwa hampir dari seluruh bagian esofagus

berposisi posterior terhadap trakhea, kecuali di dekat karina, dimana posisi esofagus

berada sedikit ke arah kiri. Untuk semua tujuan praktis, cedera pada dinding trakheal

posterior dapatlah menyebabkan kerusakan pada esofagus. Kehati-hatian dan


kecermatan haruslah dijunjung tinggi, dimana kita harus memperhatikan keberadaan

ismus tiroid, yang biasanya memintasi cincin trakhea kedua dan ketiga. Hal serupa,

lobus-lobus tiroid lateral juga berposisi di area di dekat cincin trakhea kedua dan

ketiga. Area ini diketahui memiliki banyak suplai vaskular, dan dengan demikian

area ini rentan terhadap resiko pendarahan. Secara konvensional, garis tengah

dianggap tidak memiliki vena ataupun arteri, namun hal ini tidaklah selalu benar.

Pemahaman tentang hal ini membuat kita harus menggunakan ultrasound untuk PDT.

Teknik trakheotomi dilatasi perkutan

Teknik-teknik perkutan mulai dideskripsikan pada pertengahan tahun 1980-an oleh

Ciaglia dkk. Selama dua dekade terakhir, teknik ini mengalami banyak

pemodifikasian, dan beberapa dari alternatifnya mulai diaplikasikan. Sejauh ini,

belum terdapat bukti yang kuat yang membuktikan bahwa satu teknik tertentu adalah

lebih unggul dari teknik-teknik lainnya.

Teknik Dilatasi Seri Ciaglia

Ciaglia dkk pada tahun 1985 pun melakukan PDT di samping tempat tidur rawat

pasien dengan bantuan banyak dilator yang berukuran lebih besar dan juga kawat

pemandu. Teknik ini telah mengalami tiga pemodifikasian besar sejak saat itu, yaitu

dalam hal tingkat kanulasi antar-ruang trakhea, penggunaan bronkoskopi, dan

penggunaan dilator tunggal tirus. Lokasi insersi dirubah ke arah kaudal dari tulang

rawan krikoid dengan satu atau dua antar-rongga trakheal.


Trakheostomi Dilator Tunggal Ciaglia

Teknik ini secara populer dikenal dengan istilah Ciaglia Blue Rhino (Cook Critical

Care, Bloomington, IN, Amerika Serikat). Teknik ini pertama diperkenalkan pada

tahun 1999, yaitu lebih dari satu dekade setelah ditemukannya teknik Ciaglia awal.

Teknik ini diketahui lebih sederhana dan menggunakan dilator hidrofilik melengkung

dengan sudut tunggal. Penggunaan dilator tunggal diketahui memiliki hubungan

dengan penurunan pengurangan volume yang memanjang selama prosedur, karena

perubahan pada dilator tidaklah diperlukan. Sama dengan Blue Rhino, Portex, dilator

tahap tunggal Portex Ultraperc pun dikembangkan oleh Smith Medical [Gambar 2].

Teknik Perkutan Griggs

Teknik ini pertama dikembangkan oleh Griggs dkk pada tahun 1990. Teknik ini

dikenal sebagai teknik cunam dilator kawat-pemandu. Alat trakheostomi dilatasi

perkutan Portex Griggs (Smith Medical) menggunakan forsep/ cunam yang

dirancang secara khusus (cunam Howard Kelly yang dimodifikasi) pada kawat

pemandu untuk menghasilkan dilatasi jaringan langkah tunggal pada ruang/ rongga

pretrakheal dan trakheal dengan menyebarkan forsep/ cunam. Cunam dilasi

dirancang untuk meluncurkan kawat pemandu. Setelah dilatasi, selang trakheostomi

dimasukan dengan kawat pemandu kedalam trakhea. Teknik ini kehilangan

popularitasnya akibat lebih tingginya insiden kerusakan jaringan lunak. Teknik ini

dapat berguna untuk dilakukan di pusat-pusat penanganan atau rumah-rumah sakit

yang tidak terlalu canggih, karena forsep atau cunam dapat dipakai ulang dan tidak

terlalu membutuhkan alat khusus.


Gambar 2: Ultraperc dan Blue Rhino

Trakheostomi Translaring Fantoni

Teknik ini pertama dideskripsikan oleh Fantoni dan Ripamonti pada tahun 1997.

Teknik ini cukuplah rumit untuk dilakukan, dan melibatkan laluan kawat pemandu

secara retrograd melalui pita suara setelah dilakukannya punktur jarum pada trakhea.

Teknik ini diikuti dengan penjaluran selang trakheostomi dan dilator terkombinasi

dengan kawat pemandu kedalam laring dan keluar melalui dinding trakhea anterior.

Selang trakheostomi kemudian dipisahkan dari dilator dan dirotasi setingkat 180º

sampai menghadap karina. Prosedur ini membutuhkan operator yang berpengalaman.

Trakheostomi perkutan Frova

Teknik ini melibatkan penggunaan dilator tipe-sekrup langkah-tunggal, dan secara

komersil tersedia sebagai alat PercuTwist (Rusch, Kemen, Jerman). Teknik ini

pertama kali dideskripsikan pada tahun 2002. Dilator dirotasi searah jarum jam

dengan menggunakan gerakan menaik pada kawat pemandu. Beberapa laporan

kasus sebelumnya telah menjelaskan pernah terjadinya fraktur cincin trakheal dan

kerusakan dinding trakheal posterior karena penggunaan teknik ini. Namun


demikian, teknik ini tampaknya memiliki hubungan dengan pengendalian manuver

dilasi yang lebih baik selama dilakukannya prosedur.

Trakheostomi dilatasi balon (Ciaglia Blue Dolphin, Cook Medical)

Teknik ini merupakan teknik Ciaglia generasi kedua. Inflasi balon angioplasti yang

dimodifikasi dengan kawat pemandu digunakan untuk mendilasi trakhea. Stoma

trakhea dilakukan dengan menginflasi balon dengan larutan salin sampai tekanan

atmosferik 11 selama 15 detik. Kemudian, balon pun dideflasi/ dikempeskan dan

insersi selang trakheostomi pun dilakukan dengan satu langkah. Teknik ini diketahui

lebih unggul dibandingkan dengan PDT dilator tunggal konvensional, dimana dilator

perlu dilepas sebelum dimasukannya selang trakheostomi. Ada anggapan bahwa

dilasi balon lebih dapat meminimalisir tekanan pada dinding trakhea jika

dibandingkan dengan teknik-teknik lain.

Karena tingkat pengalaman terhadap penggunaan teknik PDT meningkat, para ahli

penanganan intensif pun mencari cara untuk dapat melakukan prosedur ini pada

pasien yang mengalami obesitas. Secara konvensional, penanganan teknik ini

tidaklah modah pada populasi pasien yang mengalami obesitas, khususnya ketika

memasukan selang flens yang dapat disesuaikan karena dilator beban yang cocok

tidaklah tersedia. Saat ini, teknik ini lebih lancar digunakan, karena terdapat dua alat

dengan dilasi stoma yang lebih panjang dan selang trakheostomi dengan flans yang

dapat disesuaikan (UniPerc, Smith Medical Kent, UIL, dan Expert, TRACOE

Medical GmbH, Frankfurt , Jerman).


Pembandingan antara teknik-teknik trakheostomi dilatasi perkutan yang

berbeda-beda

Masing-masing dari teknik-teknik PDT diketahui memiliki serangkaian karakteristik

dan kelebihannya masing-masing. Banyak dari penelitian komparatif yang telah

dilakukan, namun hampir dari seluruhnya merupakan penelitian heterogen dan

ukuran sampel nya tidaklah besar. Satu meta analisis yang dilakukan di tahun 2012

telah menyertakan 13 penelitian yang membandingkan antara dua teknik PDT.

Tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan antara teknik-teknik yang digunakan,

kecuali untuk teknik Fantoni. Teknik Fantoni diketahui memiliki hubungan dengan

lebih seriusnya komplikasi yang dapat ditimbulkan, dan hal ini lah yang membuat

para praktisi yang menggantinya dengan teknik PDT alternatif. Teknik Ciaglia Blue

Rhino tampaknya merupakan teknik yang lebih baik dibandingkan dengan teknik-

teknik PDT lainnya, seperti contohnya PercuTwist, Blue Dolphin, dan teknik Griggs.

Aspek-aspek praktikal pada trakheostomi dilatasi perkutan

Aspek yang penting dari perencanaan pra-operasi adalah pemilihan pasien yang tepat

setelah dilakukannya pemeriksaan anatomi dan fisiologi anatomi. Penanda-penanda

anatomis haruslah dapat dipalpasi dengan mudah, dan harus terdapat ruang yang

berukuran 3-4 cm antara tulang ra wan krikoid dengan takik sternal. Ketika PDT

diketahui layak untuk dilakukan, kebersediaan atau persetujuan dari pasien pun

harus didapatkan. Penanganan yang cermat haruslah dilakukan untuk menahan

antikoagulasi. Pemonitoran kontinyu melalui pemeriksaan tekanan darah,


elektrokardiogram, oksimetri denyut, dan kapnografi dapat dilakukan selama

pelaksanaan prosedur.

PDT dapat dilakukan dengan anestesi lokal, namun secara umum, pelaksanaan teknik

ini dilakukan ketika pasien sudah diberikan analgesia, sedasi, dan obat perelaksasi

otot. Seringkali, pasien biasanya sudah diitubasi. Leher pasien harus diposisikan

dengan tepat, dan dapat menengadah untuk memudahkan proses, dimana hal ini

dapat dilakukakan dengan menempatkan semacam bantal dibalik bahu pasien

[Gambar 3]. Titik insisi umumnya dilokasikan ditengah jarak antara tulang rawan

kirkoid dan takik sternal. Tabel 3 menjelaskan prosedur pembedahan secara lebih

mendalam.

Penunjang Prosedur

Bronkhoskopi

Penggunaan bronkoskop selama dilakukannya prosedur diketahui dapat memberikan

manfaat yang jelas, seperti contohnya konfirmasi waktu nyata akan penempatan/

pemasangan jarum, posisi garis tengah jarum, pemasangan selang, dan penghindaran

cedera trakea posterior. Namun demikian, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan

dalam hal penggunaan rutinnya. Hal tersebut diketahui memiliki hubungan dengan

peningkatan tekanan intrakranium dan de-rekruitmen alveolar yang kemudian dapat

menyebabkan penurunan tingkat saturasi oksigen. Dengan demikian, bronkhoskopi

haruslah dilakukan secara cermat pada pasien dengan kondisi neurologis akut dan

pada pasien yang sangat membutuhkan (tergantung pada) ventilator. Diketahui,

hampir dari seluruh pedoman tidaklah merekomendasikan penggunaan bronkhoskopi


secara rutin, karena ketersediaan akan data yang dapat membuktikan efikasinya

tidaklah mencukupi. Namun demikian, hal ini umumnya dianggap penting jika

operator tidaklah terlalu berpengalaman atau juga ketika terdapat kesulitan atau

kelainan pada anatomi leher pasien. Beberapa peneliti lebih cenderung untuk

memilih skop semirigid Bonfils (daripada skop fleksibel) untuk mencegah kerusakan

jarum pada skop selama dilaksanakannya prosedur [Gambar 4].

Tabel 3. Tahap-tahap pembedahan untuk trakheostomi dilatasi perkutan

Posisi pasien yang tepat dengan daya regang leher yang maksimum

Jagalah supaya FiO2 pada paien untuk tetap 100%

Memastikan supaya pasien mendapatkan sedasi yang cukup

Kempeskan manset ET dan ambilah ET dengan bantuan tampilan laringoskopik

sampai manset tervisualisasi pas dibawah korda, kemudian reinflasi manset kembali

Bersihkan, dan pakaikanlah pakaian pasien sesuai protokolnya

Identifikasilah lokasi insersi

Infiltrasi kulit dengan anestetik lokal yang mengandung vasokonstriktor

Buatlah insisi melintang 2-2,5 cm pada lokasi insersi yang seharusnya

Diseksi lemak sub kulit dan jaringan pretrakheal dengan penjepit nyamuk

Masukan bronkoskop melalui selang ET sampai lumen trakheal tervisualisasi/

terlihat

Doronglah jarum introduser berselubung yang berukuran 14 gauge ke dalam trakhea

dengan tangan yang satunya lagi untuk menstabilisasi trakhea selama

dilaksanakannya proses

Penempatan jarum pada trakhea dikonfirmasi dengan gelembung udara aspirasi


kedalam alat suntik yang terisi salin yang menempel pada jarum, dan melalui

visualisasi langsung melalui bronkhoskop

Tariklah jarum dan masukan kawat pemandu Seldinger melalui selubung plastik

Mendilasi lokasi insersi dengan bantuan dilator trakheal kecil

Dilator ukur tunggal diberi pelembap dengan larutan salin dan kemudian dimasukan

dengan kater pemandu

Seluruh asembli kemudian diisikan dengan kawat pemandu dan didorong sebagai

satu unit kedalam trakhea dengan satu aksi sapuan

Setelah tercapainya dilatasi yang cukup, dilator pun diangkat dan selang

trakheostomi dengan adapter yang tepat dimasukan kedalam trakhea dengan kateter

pemandu

Penempatan selang trakheostomi dikonfirmasi melalui visualisasi langsung karina

melalui bronkhoskop atau dengan grafik EtCO2.

ET: Endotrakheal, EtCO2: karbondioksida alun-akhir

Ultrasound

Modalitas ultrasound telah semakin sering digunakan di masa sekarang ini untuk

mengestimasi jarak dari kulit ke trakhea. Hal ini diketahui dapat memastikan

penempatan/ pemasangan jarum introduser yang akurat kedalam trakhea.

Pengidentifikasian pra-operasi pembuluh-pembuluh aberan dan ismus tiroid yang

mengalami pembesaran dengan menggunakan modalitas ultrasound dapatlah

membantu kita untuk menghindari terjadinya komplikasi. Penggunaan ultrasound

diketahui dapat merubah lokasi trakheostomi yang direncanakan pada sekitar 24%

kasus. Modalitas ultrasound tidaklah membutuhkan biaya yang mahal dan mudah
tersedia sebagai modalitas yang dapat digunakan di samping tempat tidur rawat

pasien. Modalitas ini juga dapat digunakan untuk melokalisasi cincin-cincin trakhea

dan memastikan posisi punktur di garis tengah. Untuk saat ini, penelitian-penelitian

lanjutan adalah diperlukan, sehingga penggunaan ultrasound dapatlah

direkomendasikan selama PDT. Modalitas ultrasound dapatlah berguna pada pasien

yang memiliki kelainan-kelainan anatomi atau pada mereka yang mengalami obesitas

parah. Satu penelitian retrospektif pada tahun 2014 tidaklah menemukkan adanya

perbedaan dalam hal tingkat komplikasi antara prosedur PDT yang dipandu oleh

ultrasound dengan PDT yang dipandu oleh bronkhoskopi [Gambar 5].

Gambar 3: Posisi leher selama trakheostomi dilatasi perkutan.

Gambar 4: Visualisasi waktu-nyata trakheostomi dilatasi perkutan melalui

bronkhoskop.
Gambar 5: Visualisasi ultrasound leher dan trakhea.

Penggunaan saluran-udara masker laring selama trakheostomi perkutan

Ketakutan akan terjadinya punktur pada manset saluran ET dan ekstubasi yang tidak

disengaja telah memberi peringatan kepada para dokter untuk menggunakan saluran-

udara masker laring (LMA/ laryngeal mask airway) selama PDT. Namun demikian,

tingkat keselamatannya pada pasien yang sakit kritis dengan kebutuhan ventilator

yang tinggi tidaklah diketahui. Sampai saat ini, belumnya terdapat bukti yang cukup

untuk merekomendasikan LMA selama PDT.

Penanganan pasca-trakheostomi

Penanganan pasca-trakheostomi yang optimal adalah bagian yang paling penting.

Para petugas dan dokter harus memastikan bahwa luka stoma harus tetap dijaga

bersih dan kering setiap waktu. Tekanan manset selang harus dijaga dalam rentang

20-25 mmHg. Tekanan manset diatas 25 mmHg diketahui memiliki hubungan

dengan resiko akan iskhemia mukosal. Lebih jauh lagi, tekanan manset dibawah 15

mmHg dapat menyebabkan kebocoran dan resiko akan mikoraspirasi. Filter


pertukaran panas dan lembap haruslah digunakan untuk mendapatkan humidifikasi

(tingkat kelembapan) yang cukup. Penyedotan yang terlalu berlebihan diketahui

dapat menyebabkan trauma mukosal, sedangkan penyedotan/ penghisapan yang

kurang diketahui dapat meningkatkan resiko terhadap penyumbatan selang.

Dekanulasi

Kebutuhan untuk meneruskan menggunakan selang trakheostomi haruslah di-

assessment setiap hari. Dekanulasi haruslah diupayakan sesegera mungkin.

Dekanulasi harus dipertimbangkan untuk dilakukan jika pasien memiliki kemampuan

untuk batuk, mampu melindungi saluran pernafasan antas, memiliki tingkat

kebutuhan FiO2 yang rendah, memiliki kebutuhan yang rendah akan penyedotan, dan

tidak membutuhkan ventilasi mekanis selama minimal 24-36 jam. Dekanulasi

diketahui dapat ditangguhkan jika pasien kehilangan kesadaran dan mengingau atau

gelisah untuk menghindari kekurangan fungsi saluran udara.

Terdapat beberapa metode yang tersedia untuk mengupayakan penyapihan dari

selang trakheostomi, seperti contohnya penurunan ukuran selang trakheostomi secara

progresif, dengan menggunakan plug atau tampalan trakheostomi (yang dikenal

sebagai tombol trakheostomi), atau penutupan trakheostomi yang difenestrasi sampai

dapat ditoleransi selama 48 jam.

Kesimpulan

PDT merupakan satu prosedur yang sudah terbukti dapat dilakukan pada pasien

yang sakit kritis. Nuansa atau perbedaan prosedur akan secara lebih baik diapresiasi
dengan peningkatan di dalam penanganan. Pemilihan pasien yang tepat dan

penggunaan modalitas ultrasound atau bronkhoskopi dapatlah menunrunkan tingkat

kegagalan dan komplikasi. Dokter harus patuh terhadap ketentuan teknis dengan

berpedoman pada tingkat kenyamanan individu yang maksimal karena tidak terdapat

bukti akan keunggulan satu teknik tertentu dibandingkan dengan teknik-teknik lain.

Penanganan pasca-trakheostomi dan dekanulasi adalah komponen-komponen yang

penting di dalam penanganan pasien yang ditrakheostomisasi.

Dukungan finansial

Tidak ada

Konflik kepentingan

Tidak ada

Anda mungkin juga menyukai