Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Pemasangan chest tube atau pengambilan sample dari ruang pleura dibutuhkan bila ada
ancaman terhadap sistem pernapasan dan kardiovaskuler juga digunakan sebagai
metode diagnosis dan terapi. Bila terdapat akumulasi udara, cairan atau darah pada
rongga pleura, tekanan sub atsmosfer menjaga membran pleura tetap kosong, dan
tekanan intra pleural menjadi sama dengan tekanan atmosfer atau lebih tinggi. Beuleau
(1891) adalah penemu pertama kali bahwa penempatan chest tube sama baiknya dengan
water celilling (sehingga di sebut dengan close chest tube system).
Kasus yang membutuhkan pemasangan chest tube banyak ditemui pada kejadian sehari-
hari di rumah sakit sehingga dibutuhkan keahlian dalam pemasangan chest tube yang
baik dan aman. Nama lain pemasangan chest tube adalah torakostomi, water seal
drainage (WSD). Water seal drainage (WSD) adalah system drainase kedap air dengan
memasukan selang ke dalam rongga pleura yang bertujuan untuk mengeluarkan cairan
atau udara. Adapun tujuan dari pemasangan WSD itu adalah membuat tekanan
intrapleura yang positif menjadi negative kembali.

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI

Indikasi pemasangan chest tube / WSD adalah:


1. Pneumotoraks
Tension pneumotoraks.
Pneumotoraks pada pemakaian ventilasi mekanis.
Pneumotoraks iatrogenic yang persisten atau rekuren setelah aspirasi
needle.
Pneumotoraks simptomatik.
Pneumotoraks luas.
2. Hematotoraks
3. Empiema

1
4. Efusi pleura ganas
5. Perawatan pasca operatif (setelah torakostomi, video-assisted thoracoscopy, by-
pass koroner).
*Sumber : Data dari Klopp M, Hoffman, Dienemann H. Pleural Drainage. Dutsch Med
Wochenschr. 2009; 134(11):536-539

Terapi awal untuk setiap gejala pneumotoraks adalah menempatkan chest tube sesegera
mungkin. Pemeriksaan diagnostik harus ditunda dahulu, bila gejala klinis dan tanda-
tanda pneumotoraks mulai mengancam nyawa. Pengecualiaan untuk kasus
pneumotoraks spontan primer (idiopatik) atau pneumotoraks parsial asimptomatis
(pneumotoraks dengan jarak rongga pleura < 1 cm).
Pasien diawasi secara ketat. Dalam keadaan darurat dengan tension pneumotoraks
simptomatis , ketika pemasangan chest tube biasa tidak bisa dilakukan , pungsi pada
interkostal dengan menggunakan kateter berlumen lebar bisa mengatasi situasi yang
mengancam nyawa untuk sementara waktu.
Pada pasien dengan ventilasi mekanis, pneumotoraks yang berlanjut, membuat tindakan
chest tube wajib dilakukan. Pada pasien ini dapat dengan cepat menjadi tension
pneumotoraks.
Pada pneumotoraks iatrogenik, setelah biopsi transbronkial, aspirasi jarum transtorakal
atau blok saraf paravertebral (terapi nyeri) atau setelah pungsi V. subclavia (kateter
vena sentral), cedera parenkim paru dengan pneumotoraks dapat terjadi. Setelah semua
prosedur diberikan, rontgen dada harus segera dilakukan.
Pada pasien dengan hemothoraks, yang terpenting adalah mengevaluasi derajat
perdarahan. Dengan memasang chest tube dapat membantu pengembangan dari paru
dan dapat menghindari terperangkapnya jaringan paru (trapped lung) sebagai akibat
dari terbentuknya empiema.
Pada situasi parapneumonik dengan adanya penumpukan cairan masih kontroversi.
Apakah perlu pemasangan chest tube? Yang umumnya diterima adalah pemasangan
chest tube pada empiema stage II (ATS-Classification-1962). Pemasangan chest tube
pada empiema stage I dengan sedikit cairan atau yang menyebabkan paru tidak

2
sepenuhnya tertekan dapat membantu drain pada rongga pleura dan membantu ekspansi
paru secara penuh.
Pada pasien dengan gejala efusi pleura ganas berulang, insersi chest tube diindikasikan
untuk keperluan diagnostik dan alasan paliatif, serta dalam kasus di mana pleurodesis
dibutuhkan.

Tidak ada kontraindikasi absolut dalam pemasangan chest tube pada kondisi yang
mengancam jiwa. Namun, harus hati-hati pada pasien dengan gangguan koagulopati,
dan kelainan faktor pembekuan.

ALAT DAN PROSEDUR

Alat-alat yang dibutuhkan:


1. Trocar chest tube
2. Chest tube
3. Lidokain
4. Dispossable syringe 10 mL, 20 mL
5. Jarum 25 G
6. Bistoury/scalpel no. 11
7. Selang
8. Botol yang sudah diisi cairan
9. Klem Kelly atau forsep arteri atau klem bengkok
10. Pemegang jarum, jarum, pinset bedah

Pemasangan WSD dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:


1. Trocar tube thoracostomy
2. Operative tube thoracostomy
3. Guidewire tube thoracostomy

3
A. Prosedur trocar tube thoracostomy:
1. Tindakan aseptic/antiseptic.
2. Anastesi lokal.
3. Insisi kulit sepanjang 2-4 cm, pelebaran tumpul sampai tembus pleura.
4. Trocar dimasukan ke dalam rongga pleura, stylet dicabut, ibu jari operator
menutup lubang trocar (gambar 1).
5. Masukan chest tube yang telah diklem ujung proximalnya (buka ibu jari
operator terlebih dahulu).
6. Tahan chest tube lalu trocar ditarik keluar (ke arah proximal chest tube).
7. Klem dipasang di antara trocar dan dinding dada, trocar ditarik keluar lalu
klem proximal dibuka.
8. Klem dapat dibuka setelah chest tube disambungkan ke pleural drainage
system untuk mencegah masuknya udara ke dalam rongga pleura.
9. Jahit dan balut.

Gambar 1. trocar tube thoracostomy

Prosedur trocar tube thoracostomy (inner trocar):


1. Tindakan aseptik/antiseptik.

4
2. Anestesi lokal.
3. Insisi kulit sepanjang 2-4 cm, pelebaran tumpul sampai tembus pleura.
4. Trocar dimasukan ke dalam rongga pleura, inner trocar pelan-pelan dicabut.
5. Klem dipasang di antara dinding dada dan trocar, klem dapat dibuka setelah
chest tube disambungkan ke pleural drainage system untuk mencegah
masuknya udara ke dalam rongga pleura (gambar 2)
6. Jahit dan balut.

B. Prosedur operative tube thoracostomy:


1. Berikan obat narkotik atau ansiolitik 10-15 menit sebelum tindakan.
2. Tindakan aseptik/antiseptik.
3. Anetesi lokal.
4. Insisi kulit sepanjang 3-4 cm, pelebaran tumpul sampai tembus pleura.
5. Jari operator dimasukan ke dalam rongga pleura untuk melepaskan
perlekatan antara paru dan dinding dada dan memastikan posisi chest tube.
6. Masukan chest tube yang telah diklem ujung proximalnya ke dalam rongga
pleura dengan tuntunan hemostat.
7. Klem dapat dibuka setelah chest tube disambungkan ke pleura drainage
system untuk mencegah masuknya udara ke dalam rongga pleura.
8. Jahit dan balut.

Gambar 2. Operative tube thoracostomy

5
C. Prosedur guidewire tube thoracostomy (Seldinger Technique):
1. Tindakan aseptik/antiseptik.
2. Anestesi lokal.
3. Insisi kulit sesuai ukuran chest tube.
4. Masukan syringe dengan jarum 18 G ke dalam rongga pleura, aspirasi untuk
memastikan cairan atau pleura.
5. Syringe dicabut tetapi jarum tetap ditempat, lalu masukan J wire melalui
jarum ke arah yang diinginkan.
6. Jarum dicabut, tambahkan zat anetesi ke dalam otot interkostal di sekitar J
wire.
7. Masukan dilator terkecil dengan gerakan berputar melalui J wire sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian dilator dikeluarkan.
8. Masukkan dilator berikutnya, dengan cara yang sama, lalu dikeluarkan.
9. Masuukan chest tube yang mengandung inserter melalui K wire, lalu insersi
dan J wire dicabut, chest tube diklem di ujung proksimal.
10. Klem dapat dibuka setelah chest tube disambungkan ke pleural drainage
system untuk mencegah masuknya udara ke dalam rongga pleura.
11. Jahit dan balut.

Gambar 3. guidewire tube thoracostomy (Seldinger Technique)

6
LOKASI PEMASANGAN CHEST TUBE / WSD

Lokasi pemasangan chest tube terletak di ruang interkosta IV dan V pada anterior
medial garis aksilaris daerah ini merujuk kepada three angel of savety yang merupakan
daerah aman untuk pemasangan chest tube, daerah ini dibatasi oleh batas lateral
pectoralis major, batas anterior latissimus dorsi, puncaknya tepat dibawah aksila dan
dasarnya garis diatas papila mamme.

Gambar 4. Lokasi pemasangan chest tube (three angel of savety)

PENJAHITAN

Penjahitan pada chest tube terdapat dua jenis:

1. Jahitan Tabac sac atau matras: jahitan ini memungkinkan menutup tanpa
menjahit ulang setelah chest tube dicabut.
2. Jahitan penggantung: untuk mengikat chest tube agar tidak berubah posisi atau
lepas.

Gambar 5. Penjahitan pada WSD.

7
PLEURAL DRAINAGE SYSTEM

Pleural drainage system terdiri dari dua:

1. Bottle collection system


2. One way flutter valve

One bottle collection system merupakan pleural drainage system yang menggunakan
satu botol tidak hanya berfungsi sebagai water seal, juga sebagai botol penampung.
Chest tube disambungkan ke selang kaku yang melaui lubang sumbat ke dalam botol
steril yang telah diisi cairan. Cairan NaCl steril dalam jumlah secukupnya sampai ujung
distal selang kaku sedalam 2 cm dibawah permukaan NaCl tersebut. Sumbat botol harus
memiliki lubang ventilasi untuk mencegah peningkatan tekanan akibat masuknya udara
atau cairan ke dalam botol.

Gambar 6. One bottle collection system

Sistem ini bekerja sebagai berikut; Saat tekanan pleura positif maka tekanan dalam
selang kaku menjadi positif dan jika tekanan dalam selang kaku lebih besar daripada
tekanan yang ditimbulkan karena kedalaman ujung selang kaku dalam cairan NaCl
steril maka udara (cairan) akan masuk ke dalam botol dan dikeluarkan melalui lubang
ventilasi (ditampung ke dalam botol). Jika tekanan pleura menjadi negatif maka cairan
akan tertarik ke dalam selang menyebabkan udara tidak dapat masuk ke dalam selang
kaku atau pleura drainage system ini disebut water seal karena air di dalam botol
mencegah masuknya udara kedalam rongga pleura.

One bottle collection system sangat bagus digunakan untuk uncomplicated


pneumothorax. Kelemahan sistem ini adalah:

8
1. Bila banyak cairan yang masuk ke dalam botol sehingga kedalaman selang kaku
di dalam botol melebihi 2 cm, hal ini menyebabkan tekanan dalam selang kaku
menjadi lebih besar sehingga membutuhkan tekanan pleura yang lebih besar
untuk mengeluarkan cairan pleura.
2. Bila posisi botol lebih tinggi daripada dada pasien (lubang chest tube) maka
cairan dalam botol akan masuk ke dalam rongga pleura.
3. Perbedaan antara one bottle collection system dengan two bottle and three bottle
collection system tidak hanya jumlah botol tetapi juga fungsi. Two bottle
collection system menggunakan dua botol, botol pertama untuk menampung
cairan dan botol kedua berfungsi sebagai water shield sehingga bagus sekali bila
terdapat banyak cairan pleura. Three bottle collection system dipilih jika
dibutuhkan continuous suction (tekanan negatif yaitu -15 sampai -20 sm H2O)
dimana botol pertama sebagai penampung, botol kedua sebagai water seal, dan
botol ketiga sebagai suction control oleh manometer.

Gambar 7. Two bottle dan Three bottle collection system

9
COMMERCIAL PLEURAL DRAINAGE SYSTEM

Redax drentech merupakan pleural drainage system yang dibuat berdasarkan three
bottle collection system yang terbuat dari plastik dan hanya sekali pakai. Ruangan
pertama dari kanan merupakan tempat penampungan cairan, ruangan tengah merupakan
water seal dan ruangan yang ketiga sama dengan suction control bottle pada three
bottle collection system. Tinggi cairan dalam ruangan ketiga menentukan besar suction.
Kelebihan alat ini adalah mudah digunakan, mudah mengukur jumlah cairan dan mudah
pula menentukkan tekanan negatif.

ONE WAY FLUTTER VALVE (HEIMLICH VALVE)

One way flutter valve dibuat dengan prinsip klep satu arah yang akan menutup bila
tekanan dalam pleura lebih kecil daripada tekanan atmosfer dan membuka bila terjadi
sebaliknya. One way flutter valve bagus sekali digunakkan pada pneumothoraks tanpa
cairan. Keuntungan alat ini adalah kesederhanaan dan kemudahan bagi pasien (tidak
perlu membawa botol). Perhatian khusus pada pemasangan alat ini adalah arah klep
tidak boleh terbalik.

Gambar 8. ONE WAY FLUTTER VALVE (HEIMLICH VALVE)

PELEPASAN CHEST TUBE / WSD

Chest tube dipertimbangkan untuk dicabut setelah drainase cairan yang keluar kurang
dari 150 ml/24 jam. Pada kasus pneumotoraks, paru harus mengembang sempurna,

10
tidak ada udara yang terperangkap dalam 24 jam terakhir. Bila sudah diputuskan untuk
mencabut chest tube:

1. Tube dilepaskan dari penyedot (suction) dan diklem beberapa jam (ada yang 24
jam) untuk memastikan pasien stabil sebelum dicabut.
2. Saat melepas chest tube posisi pasien lateral dekubitus dengan posisi tube di
atas.
3. Kasa dan benang yang mengikat tube dilepas dan pasien diminta untuk tarik
napas dalam.
4. Pada saat pasien tahan napas atau saat keluar napas perlahan (dari inspirasi
maksimal), tube dicabut cepat dengan satu gerakan lembut.
5. Lubang bekas tube dijahit,
6. Selanjutnya dilakukan foto toraks untuk evaluasi apakah ada udara dalam
rongga pleura. Jika pasien stabil, pneumotoraks kecil biasanya kita pantau
dengan observasi ketat.

KOMPLIKASI TINDAKAN

Komplikasi intra operatif:

1. Kesalahan pemasangan

Tube dapat terpasang terlalu dalam di rongga pleura, sehingga menyebabkan


nyeri bahu atau punggung karena adanya iritasi pada pleura parietalis

Apabila tuba dipasang terlalu pendek (di luar rongga dada), atau tidak terfiksir
dengan baik, maka dapat mengakibatkan emfisema jaringan pada
pneumothoraks

2. Cedera organ

Saat penggunaan benda metal dan tajam, dapat terjadi cedera pada parenkim
paru. Penggunaan trokar pada dokter yang kurang berpengalaman sebaiknya

11
dihindari. Penetrasi pada paru, hepar, lien, jantung, usus, dan pembuluh darah
besar dapat berakibat fatal. Resiko cedera meningkat pada saat diafragma naik
karena adanya parese akibat cedera saraf phrenic, pasien obesitas pada posisis
berbaring dan pasien pasca pneumonektomi

3. Perdarahan

Perdarahan sedikit pada umumnya dapat berhenti dengan sendirinya. Cedera


pada arteri interkostalis dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
Hal ini dapat dicegah dengan melakukan teknik insersi yang benar, yaitu tepat di
atas tulang costae. Perdarahan massif menggambarkan adanya cedera langsung
pada pembuluh darah besar (aorta, v. cava, a. pulmonaris, jantung), atau
hemotoraks pasca trauma atau pembedahan.

Cedera tangensial pada diafragma dapat pula mengakibatkan perdarahan fatal.


Cedera transdiafragmatik dapat dipikirkan apabila didapatkan ada akut abdomen
dan syok hemoragik.

Komplikasi pasca operatif:

1. Fistula dan emfisema subkutis

Apabila didapatkan emfisema jaringan, maka hal yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan posisi tube, patensi dan kerapatan konektor. Emfisema jaringan
dapat mengakibatkan fistula bronco atau alveolopleural yang luas karena tuba
yang terlalu kecil. Pada kasus ini, diperlukan sistem aktif. Apabila didapatkan
busa kemerahan biasanya terdapat cedera pada parenkim sehingga adanya aliran
udara dan darah. Kadang dibutuhkan pengulangan pemasangan tube.

2. Infeksi luka dan empiema

Lokasi insersi dapat menyebabkan luka yang infeksi. Pemasangan yang steril
sangat dibutuhkan. Pasien dengan penyulit dan adanya faktor resiko, serta

12
pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan. Pasien dengan fistula jangka
panjang, dan adanya resiko empiema pasca intervensi, pengulangan pemasangan
dengan pembedahan sebaiknya dilakukan segera.

3. Perluasan edema

Perluasan edema unilateral jarang namun berpotensi kematian. Pasien dengan


total atelektasis lama dan pengembangan paru yang terlalu cepat merupakan
faktor resiko penting. Gejala yang timbul adalah iritasi tenggorokan, produksi
sputum yang kemerahan, sesak nafas, dan peningkatan frekuensi nadi. Pada
gambaran radiologi didapatkan edema paru unilateral dapat terjadi dalam 24 jam
pasca pemasangan.

4. Neuralgia interkostal

Cedera langsung pada periosteum dapat dihindari dengan pemahaman yang baik
mengenai anatomi. Cedera ini jarang terjadi. Hal ini dapat diatasi dengan
pemberian analgetik atau pemberian ulangan anestesi lokal.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Klopp M, Hoffman, Dienemann H. Pleural Drainage. Dutsch Med


Wochenschr. 2009; 134(11):536-539

2. Parsons, E Polly. Heffner, E John. Pulmonary Respiratory Therapy Secrets


Third Edition. Mosby Elsevier. 2006. P:151-155

3. Ernst, Armin. Herth, JF Felix. Principle and Practice of Interventional


Pulmonology. Springer New York Heidelberg Dordrecht London. 2013. P:
585-590

14

Anda mungkin juga menyukai