Anda di halaman 1dari 52

8.

URAIAN : KATETER VENA SENTRAL (KTS)


8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu prosedur pemantauan yang digunakan sebagai pedoman standar untuk menilai
kemampuan sisi kanan jantung menerima beban cairan..
b. Ruang lingkup
Akses semua vena – vena perifer ke vena sentral
c. Indikasi operasi
- Syok hipovolemik / hemoragik, monitor volume cairan tubuh, monitor tekanan vena
sentral.
d. Kontra indikasi
- Sepsis lokal (semua route)
- Diathesa hemorrhagik atau pengobatan antikoagulan (vena subclavia & vena jugularis
interna)
- Penyakit paru berat (kusus akses ke vena subclavia)
- Aneurysma arteria carotis (kusus akses ke vena jugularis interna)
e. Diagnosis Banding
(tidak ada)
f. Pemeriksaan penunjang
(tidak ada)
8.3. Algoritma Dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
8.4. Tehnik operasi
1. Terlentangkan penderita, dengan sedikit-dikitnya kepala turun 15° untuk
menggembungkan pembuluh leher dan untuk mencegah emboli udara. Bila telah
dipastikan tidak ada cedera servikal, maka kepala penderita dapat diputar menjauhi
tempat punksi vena.
2. Bersihkan kulit sekeliling tempat punksi vena dan pasang kain steril keliling daerah ini.
Dalam melakukan prosedur ini harus menggunakan sarung tangan yang steril.
3. Bila penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal ditempat punksi vena.
4. Gunakan jarum kaliber besar yang disambung kepada suatu semprit 10 ml, masukkan
0,5 sampai 1 ml air garam (saline), ke dalam pusat segitiga yang dibentuk oleh kedua
caput otot sternokleidomastoideus dan tulang clavicula (akses melalui vena jugularis
interna).
5. Setelah kulit dipunksi, arahkan sudut jarum keatas, untuk mencegah jaringan kulit
(plug) menyumbat jarum.
6. Arahkan jarum keujung bawah (ekor), paralel dengan permukaan sagital, dengan sudut
30° posterior dengan permukaan depan.
7. Majukan jarum dengan lambat sambil mencabut tutup semprit dengan perlahan.
8. Kalau tampak aliran darah bebas didalam semprit yang berwarna agak gelap, cabut
semprit dan tutup jarumnya untuk mencegah emboli udara. Kalau pembuluh belum
dimasuki, cabut jarum dan arahkan jarumnya kembali dengan 5°-10° ke lateral.
Catatan: apabila akses yang dipakai vena femoralis, vena cubiti atau vena subclavia,
maka jarum punksi dimasukkan ke vena cubiti atau vena femoralis atau vena subclavia.
Khusus untuk vena subclavia arah jarum punksi dari lateral masuk di daerah sulkus
deltoideo-pektoralis di bawah 1/3 tengah tulang klavikula ke arah ingulum
9. Masukkan kawat pemandu sambil memantau electrocardiogram untuk ketidaknormalan
irama atau bisa dipakai c-arm x-ray.
10. Cabut jarum sambil menahan kawat pemandu dan majukan kateter melalui kawat
pemandu sampai ke vena cava superior dekat atrium kanan. Sambungkanlah kateter
dengan pipa/ selang infus.
11. Tambatkanlah kateter ke kulit (misalnya dengan jahitan), berikan salep antiseptik dan
tutup dengan kasa steril.
12. Kateter bisa disambung dengan selang monitor tekanan vena sentral atau botol infus.

1
13. Dapatkan film dada untuk mengetahui posisi kateter intravena dan komplikasi
pneumothorax atau hematothorax yang mungkin terjadi.
8.5. Komplikasi Operasi
1. Pneumo- atau hematothorax
2. Trombosis vena
3. Cedera arteri atau syaraf
4. Fistula arteriovena
5. Chylothorax
6. Infeksi
7. Emboli udara
8.6. Morbiditas ( Morbiditas 0 – 15% )
Cedera pada beberapa bangunan pada pintu masuk thorax telah pernah dilaporkan:
pneumotharax, hemothorax, tertusuknya arteri dan kerusakan ductus thoracicus serta
nervus phrenicus. Angka komplikasi yang pernah dilaporkan setelah kateterisasi pada
vena-vena profunda berkisar 0-15% dan boleh jadi tergantung pada pengalaman
operator.
8.7.Perawatan Pascabedah
Penderita pasca pemasangan kateter vena sentral (KTS), dirawat diruangan Intensive
Care Unit, dilakukan observasi dan monitoring ketat selain untuk kepentingan
pemberian cairan, mengevaluasi hasil pemberian cairan juga kemungkinan terjadinya
komplikasi seperti: Pneumo- atau hematothorax, Trombosis vena, Cedera arteri atau
syaraf, Fistula arteriovena, Chylothorax, Infeksi, Emboli udara
8.8.Follow up
Penderita pasca pemasangan kateter vena sentral (KTS), di lakukan monitoring ketat di
Intensive Care Unit, diobservasi tanda-tanda vital, seperti sistem pernafasan, sistem
sirkulasi, keseimbangan cairan, analisis gas darah bila diperlukan. Diamati juga
perbaikan kondisi pasien dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
Pengecekan dan pengujian--Sebelum menyuntikkan cairan, darah supaya disedot untuk
meyakinkan bahwa kateter berada dalam ruangan vaskuler. Bila kateter dihubungkan
dengan botol berisi cairan yang ditempatkan lebih rendah dibawah pasien maka
seharusnya darah mengalir dengan mudah karena pengaruh gaya berat. Pada waktu
kateter dihubungkan dengan kolom cairan guna pengukuran tekanan vena sentral maka
kolom cairan seharusnya menunjukkan gerakan-gerakan yang lebih kencang sesuai
dengan denyut jantung. X-foto thorax supaya dibuat untuk meyakinkan bahwa posisi
ujungnya berada diatas atrium kanan, sebaiknya tidak lebih dari 2cm dibawah garis
yang menghubungkan kedua tepi bawah clavicula.
Pengawasan untuk mendeteksi infeksi-infeksi karena kateter merupakan hal penting.
Bila terjadi infeksi maka kateter supaya segera dilepas.
Mempertahankan aliran melalui kateter adalah tindakan penting untuk mencegah aliran
balik darah dan bekuan (Clotting). Setelah melakukan pengukuran tekanan vena secara
intermitten maka kesalahan yang paling lazim dilakukan orang adalah lupa untuk
mengalirkan infus kembali sehingga berakibat terjadinya bekuan yang menyumbat
kateter. Akibatnya kateter itu harus dilepas.
8.9. Kata kunci : Pemasangan kateter vena sentral (KTS), Syok hipovolemik, perdarahan,
Monitoring.

2
3
8. URAIAN: VENA SEKSI
8.1. Introduksi
a. Definisi
Vena seksi merupakan prosedur pembedahan gawat darurat untuk mendapatkan akses
pembuluh darah vena pada resusitasi penderita syok hipovolemik.
b. Ruang lingkup
Syok merupakan keadaan dimana terdapat ketidak normalan dari sistem peredaran darah
yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Salah satu
jenis keadaan syok ini adalah syok hipovolemik, dimana penyebabnya bisa karena
perdarahan atau bukan perdarahan. Penanganan pertama dari keadaan syok hipovolemik
adalah resusitasi cairan baik peroral, enteral maupun perenteral. Perenteral disini meliputi
pembedahan dan non pembedahan. Dalam kaitan penegakan diagnosa dan pengobatan,
diperlukan beberapa disiplin ilmu terkait antara lain patologi klinik, dan radiologi.
c. Indikasi operasi
Penderita syok hipovolemik yang dengan cara non pembedahan (perkutaneus) tidak bisa
didapatkan akses vena untuk resusitasi cairan.
d. Kontra indikasi operasi:
Trombosis vena
Koagulopati (PT atau PTT > 1.5 x kontrol)
e. Diagnosis Banding untuk Syok hipovolemik
Syok kardiogenik
Syok septik
Syok neurogenik
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan ronsen (toraks dan panggul)
2. Lavase peritoneal untuk diagnosis perdarahan intra abdominal
3. Ultrasound abdominal
4. Foto polos toraks
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang dokter ahli
bedah mempunyai kompetensi operasi vena seksi serta penerapannya dapat dikerjakan di RS
Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma

Syok

Hipovolemik Non Hipovolemik

Perdarahan Non Perdarahan neurogenik kardiogenik septik

ABCDE
Resusitasi
Cairan
(& Transfusi)

1. Akses Vena perifer


2. Akses Vena femoral
3. Akses Vena sentral
4. Infus Intraosseus
5. Vena seksi 1
Respon Respon Tanpa
Cepat sementara Respon

8.4. Tehnik Operasi


1. Siapkan kulit pergelangan kaki dengan larutan antiseptik dan tutup daerah lapangan
operasi dengan duk steril atau bisa juga daerah femoral atau di lengan penderita.
2. Lakukan anestesi infiltrasi pada kulit dengan lidokain 0.5%.
3. Insisi kulit melintang setebalnya dibuat di daerah anestesia sepanjang 2.5 cm.
4. Diseksi tumpul, dengan menggunakan klem hemostat yang lengkung, vena
diidentifikasi dan dipotong dan dibebaskan dari semua jaringan disekitarnya.
5. Angkat dan diseksi vena tsb sepanjang kira-kira 2cm untuk melepaskannya dari dasar.
6. Ikat vena bagian distal, dan mobilisasi vena, tinggalkan jahitan di tempat untuk ditarik
(traction).
7. Pasang pengikat keliling pembuluhnya, arah cephalad
8. Buat venotomi yang kecil melintang dan dilatasi perlahan-lahan dengan ujung klem
hemostat yang ditutup.
9. Masukkan kanul plastik melalui venotomi dan ikat dengan ligasi proksimal keliling
pembuluh dan kanul. Kanul harus dimasukkan dengan panjang yang cukup untuk
mencegah terlepas.
10. Sambung pipa intravena dengan kanul dan tutuplah insisinya dengan jahitan interupsi.
11. Pasang pembalut steril dengan salep antibiotik topikal.
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan bebat
tekan. Komplikasi lain adalah infeksi baik flebitis maupun selulitis, untuk menanganinya
cabut kateter, kompres hangat, serta elevasikan tungkai, serta berikan antibiotik jika perlu.
Komplikasi lain adalah hematoma, trombose pembuluh, robekan syaraf serta arteri.
8.6. Mortalitas (tidak ada)
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca vena seksi harus benar-benar diperhatikan terutama daerah tempat di
lakukan vena seksi harus bebas infeksi. Hal ini bisa dicegah dengan rawat luka setiap hari,
serta ditutup dengan kassa steril. Jika ada indikasi infeksi sebaiknya kateter vena di cabut.
8.8. Follow-Up
Penderita pasca syok hipovolemik setelah syok teratasi. Kateter vena dapat dilepas dan
bila penderita sudah bisa peroral sebaiknya terapi maintenance dengan peroral atau dengan
menggunakan akses intravena lainnya yang non pembedahan. Luka pasca vena seksi harus
dirawat aseptik.
Yang dievaluasi: klinis, tanda-tanda vital, tanda-tanda infeksi
8.9. Kata Kunci:syok hipovolemik, sejak yang lain dan vena seksi

2
3
8. URAIAN : KANULASI ARTERIAL PERIFER
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu prodesur pemasangan minimal invasive untuk pengukuran tekanan darah sistemik secara
rutin dan analisa gas darah, terutama untuk keperluan hemodialisis.
b. Ruang lingkup
Lokasi: Arteri radialis, arteri brachialis
Tempat lain, femoral terutama bila denyut nade arteri perifer tidak dapat dipalpasi (pasien
syok) setelah itu pindahkan ke arteri radialis atau dossalis pedis secepatnya.
Jarang pada arteri brakialis, ulnaris dan axillaries (hindari sebisa mungkin dan pindahkan
secepatnya)
c. Indikasi operasi
- Pengukuran tekanan darah sistemik di ICU
- Analis gas darah
d. Kontra indikasi
- Sepsis lokal (semua route)
- Diathesa hemorrhagik atau pengobatan antikoagulan (vena subclavia & vena jugularis
interna)
- Penyakit paru berat (vena subclavia)
- Aneurysma arteria carotis (vena jugularis interna)
e. Diagnosis Banding (tidak ada)
f. Pemeriksaan penunjang (tidak ada)
8.3. Algoritma Dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)

8.4. Tehnik Operasi :


a. Persiapan
- lakukan allen test untuk mengecek sirkulasi kolateral
- heparin (3-5 ml heparinized saline (50 unit)
- IV kateter, needle 18/20 dengan kanulasi plastic atau 14/16 untuk hemodialisis
- Posisi pergelangan dan tangan (dorsofleksi)
- Lokal anestesi lidikain 2%
b. Insersi
- Identifikasi arteri radialis
- Jarum 45 derajat menuju arah lengan
- Masukkan hingga darah keluar
- Masukkan guide wire ke dalam arteri
- Pindahkan jarum
- Flushing kanula plastik dengan tehnik seldinger
- Berikan heparin saline 2cc
- Sambungkan pada stopcock
- Kemudian dihubungkan dengan tranduser dan infus set
8.5. Komplikasi Operasi
1. Trombosis arteri
2. Emboli cerebral
3. Flebitis
4. Fistula/ aneurisma
5. Iskemia digital
6. Perdarahan
8.6. Mortalitas (tidak ada)
8.7. Perawatan Pasca Bedah

1
Penderita pasca pemasangan kanulasi perifer, dirawat diruangan Intensive Care Unit, dilakukan
observasi dan monitoring ketat selain untuk kepentingan pemantauan pembuluh darah sistemik,
mengevaluasi analisa gas darah. Dengan pemantauan komplikasi yang timbul
8.8. Follow - Up
Penderita pasca pemasangan kanulasi perifer, dilakukan monitoring ketat di Intensive Care Unit,
diobservasi tanda-tanda vital, seperti tekanan darah sistemik, analisis gas darah bila diperlukan.
Diamati juga perbaikan kondisi pasien dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dan
memantau komplikasi yang akan timbul. Arterial line harus dipindahkan secepat mungkin, untuk
menghindari infeksi.
8.9. Kata Kunci: Pemasangan kanula arteri perifer

2
8. URAIAN : WSD
8.1. Introduksi
a. Definisi
Tindakan invasif dengan cara memasukkan selang atau tube kedalam rongga toraks dengan
menembus muskulus intercostalis
b. Ruang Lingkup
Menyalurkan zat baik berupa zat padat,cairan, udara atau gas dari rongga dada
c. Indikasi Operasi
- Pneumothoraks lebih dari 30%.
- Pneumothoraks residif
- Pneumothoraks bilateral
- Hematothoraks lebih dari 300cc
- Hematothoraks bilateral
- Hemato-pneumothoraks
- Flail-chest
- Fluidothoraks yang hebat,dengan sesak
- Chylothoraks
- Empyema thoracis setelah dipungsi tidak berhasil atau pus sangat kental
- Pasca thoracotomi
d. Kontra Indikasi :
- Umum
- Khusus ( tidak ada )
e. Diagnosis Banding
Tidak ada
f. Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks
Setelah memahami, menguasai dan menjelaskan modul ini maka diharapkan seorang ahli
bedah mempunyai kompetensi operasi melakukan pemasangan pipa intratorakal ( WSD )
serta penerapannya dapat dikerjakan di RS Pendidikan dan RS Penjaringan pendidikan.
8.2. Kompetensi terkait modul / List of Skill
Tahapan Bedah Dasar (semester I-III)
- Persiapan pra operasi
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Informed consent
- Melakukan Operasi ( Bimbingan, Mandiri )
- Follow up dan rehabilitasi
Tahapan Bedah Lanjut (semester IV-VII) dan Chief residen (Semester VIII-IX)
- Persiapan pra operasi
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Informed consent
- Melakukan operasi (Mandiri)
Penanganan komplikasi
Follow up dan rehabilitasi
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma ( tidak ada )
8.4. Tehnik operasi
Pemasangan WSD
1. Pasien dalam keadaan posisi ½ duduk (+ 45 °).
2. Dilakukan desinfeksi dan penutupan lapangan operasi dengan doek steril.

1
3. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada daerah kulit
sampai pleura.
4. Tempat yang akan dipasang drain adalah :
- Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau).
Dapat lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak- anak karena letak diafragma
tinggi.
- linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)
5. Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit.
6. Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side 0.1.
7. Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung, jaringan bawah kulit
dibebaskan sampai pleura, dengan secara pelan pleura ditembus hingga terdengar
suara hisapan, berarti pleura parietalis sudah terbuka.
Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada
pneumothoraks, udara yang keluar .
8. Drain dengan trocarnya dimasukkan melalui lobang kulit tersebut kearah cranial
lateral. Bila memakai drain tanpa trocar, maka ujung drain dijepit dengan klem
tumpul, untuk memudahkan mengarahkan drain.
9. Harus diperiksa terlebih dahulu, apakah pada drain sudah cukup dibuat atau terdapat
lobang-lobang samping yang panjangnya kira-kira dari jarak apex sampai lobang
kulit, duapertinganya.
10. Drain kemudian didorong masuk sambil diputar sedikit kearah lateral sampai
ujungnya kira-kira ada dibawah apex paru (Bulleau).
11. Setelah drain pada posisi, maka diikat dengan benang pengikat berputar ganda,
diakhiri dengan simpul hidup
12. Bila dipakai drainage menurut Monaldi, maka drain didorong ke bawah dan lateral
sampai ujungnya kira-kira dipertengahan ronga toraks.
13. Sebelum pipa drainage dihubungkan dengan sistem botol penampung, maka harus
diklem dahulu.
14. Pipa drainage ini kemudian dihubungkan dengan sistem botol penampung, yang akan
menjamin terjadinya kembali tekanan negatif pada rongga intrapleural, di samping
juga akan menampung sekrit yang keluar dari rongga toraks.
8.5. Komplikasi
Bila dilakukan secara benar, komplikasi dapat dihindari. Tetapi dapat juga terjadi
emfisema kutis, False route mengenai hepar bila memasang terlalu rendah disebelah
kanan terutama pada anak-anak karena letak diafragma masih tinggi
8.6. Mortalitas
Morbiditas sangat rendah, mortalitas 0%
8.7. Perawatan Pasca Pemasangan WSD
1. Penderita diletakkan pada posisi setengah duduk (+ 30°)
2. Seluruh sistem drainage : pipa-pipa, botol, harus dalam keadaan rapi, tidak terdapat
kericuhan susunan, dan dapat segera dilihat.
3. pipa yang keluar dari rongga thoraks harus difiksasi ke tubuh dengan plester lebar,
jingga mencegah goyangan.
4. Dengan memakai pipa yang transparan, maka dapat dilihat keluarnya sekret. Harus
dijaga bahwa sekret keluar lancar. Bila terlihat gumpalan darah atau lainnya, harus
segera diperah hingga lancar kembali.
5. Setiap hari harus dilakukan kontrol foto torak AP untuk melihat :
- keadaan paru
- posisi drain
- lain kelainan (emphyema, bayangan mediastonim)
6. Jumlah sekrit pada botol penampungan harus dihitung :
- banyaknya sekrit yang keluar (tiap jam – tiap hari)
- macamnya sekrit yang keluar (pus,darah dan sebagainya)
7. Pada penderita selalu dilakukan fisioterapi napas
8. Setiap kelainan pada drain harus segera dikoreksi.

2
Perawatan Pasca Pemasangan WSD
1. Penderita diletakkan pada posisi setengah duduk (+ 30°)
2. Seluruh sistem drainage : pipa-pipa, botol, harus dalam keadaan rapi, tidak terdapat
kericuhan susunan, dan dapat segera dilihat.
3. pipa yang keluar dari rongga thoraks harus difiksasi ke tubuh dengan plester lebar,
jingga mencegah goyangan.
4. Dengan memakai pipa yang transparan, maka dapat dilihat keluarnya sekret. Harus
dijaga bahwa sekret keluar lancar. Bila terlihat gumpalan darah atau lainnya, harus
segera diperah hingga lancar kembali.
5. Setiap hari harus dilakukan kontrol foto torak AP untuk melihat :
- keadaan paru
- posisi drain
- lain kelainan (emphyema, bayangan mediastonim)
6. Jumlah sekrit pada botol penampungan harus dihitung :
- banyaknya sekrit yang keluar (tiap jam – tiap hari)
- macamnya sekrit yang keluar (pus,darah dan sebagainya)
7. Pada penderita selalu dilakukan fisioterapi napas
8. Setiap kelainan pada drain harus segera dikoreksi.

Pedoman pencabutan
1. Kriteria pencabutan
- Sekrit serous, tidak hemorage
Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
- Paru mengembang
Klinis ; suara paru mengembang kanan = kiri
Evaluasi foto toraks
2. Kondisi :
- Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
- Pada thoracotomi
a. Infeksi : klem dahulu 24jam untuk mencegah resufflasi, bila baik
cabut.
b. Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug dicabut (air-
tight)
c. Post pneumonektomi : hari ke-3 bila mediastinum stabil (tak perlu
air-tight
3. Alternatif
1. Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20 :
- bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24jam, tetap baik cabut.
- Bila tidak berhasil, tunggu sampai 2minggu  dekortikasi
2. Sekrit lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan
pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan 4minggu.
- bila tidak berhasil  Toracotomi
- bila sekrit kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.
8.8. Follow – Up
Ditujukan pada timbulnya komplikasi lanjut seperti empiema, schwarte, gangguan
fungsi pernapasan.
8.9. Kata Kunci : Pipa drainase intratorakal, water seal drainage

3
4
1. URAIAN: PERAWATAN VARISES NON BEDAH
8.1. Introduksi
a. Detinisi
Varises adalah pelebaran pembuluh balik ( vena ) yang berkelok – kelok yang
ditandai oleh katup di dalamnya yang tidak berfungsi lagi.
b. Ruang lingkup
Terdapat 3 jenis vena pada tungkai, yaitu vena tepi, vena dalam dan vena
perforantes. Vena tepi terdiri dari vena saphena magna dan vena saphena parva.
Vena safena magna merupakan vena terpanjang di tubuh, mulai dari mata kaki
sampai ke fossa ovalis. Merupakan vena yang paling sering menderita varises.
Ada dua bentuk varises pada vena safena yaitu varises primer yang diduga
disebabkan oleh kelemahan dinding vena sehingga terjadi pelebaran dan
akhirnya menyebabkan kegagalan katub. Yang kedua adalah varises sekunder
yang disebabkan oleh peningglan tekanan vena tepi ( hipertensi vena )akibat suatu
kelainan tertentu misainya sindroma pasca flebitis ( trombosis vena dalam dengan
rekanalisasi ), fistula arterl vena, sumbatan vena dalam karena tumor atau trauma serta
anomali vena dalam atau vena penghubung.
Terdiri dari 4 stadium :
 Stadium 1 gejala pegal, lekas lelah
 Stadium 2 venaektasia
 Stadium 3 varises yang masif ( vena memanjang, melebar,dan berkelok )
 Stadium 4 ulcus / kelainan trofik
Diagnostik melalul anamnesis dan beberapa pemeriksaan fisik seperti test
trendelenburg, tes perthes, atau dengan venous – phlethysmografi untuk menentukan
aliran vena secara kuantitatif
Penatalaksanaan
Perawatan varises bertujuan untuk menghilangkan akibat dari katub yang tidak
berfungsi lagi. Ada 2 cara yang dapat diterapkan sendiri – sendiri atau bersamaan -.
 Perawatan non bedah untuk kasus varises stadium I dan 2
 Perawatan bedah untuk kasus varises stadium 3 dan 4
c. Indikasi Operas] (tidak ada)
d. Kontra indikasi Operas] (tidak ada)
e. Diagnosis Banding (tidak ada)
f Pemeriksaan Penunjang (tidak ada)
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang dokter
ahli bedah mempunyai kompetensi serta penerapannya dapat dikerjakan di RS pendidikan dan
RS jaringan pendidikan.
8.2. Kompetensi terkait dengan Moduli List of skill
Tahapan bedah dasar ( semester I – III
- Persiapan perawatan non bedah
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Informed consent
- Melakukan perawatan non bedah
- Follow up dan rehabilitasi
Tahapan bedah lanjut ( semester IV – VII ) dan Chief residen ( semester VIII – IX )
- Persiapan pra operasi
Anamnesis
Pemeriksaan penunjang
Informed consent
- Melakukan perawatan non bedah
- Penanganan komplikasi
- Follow up dan rehabilitasi

1
8.3. Algoritma dan Prosedur Algoritma
( Tidak ada )
8.4. Teknik Operasi
(tidak ada)
8.5. Perawatan varises non bedah
A. Pencegahan
 Hindari duduk dan berdiri lama, lebih baik berbaring atau berjalan kaki.
Artinya lebih banyak pergerakan, jalan, turun naik tangga, senam, naik
sepeda, berenang dan semua olahraga yang menggerakkan otot – otot tungkai.
 Bila terpaksa duduk atau berdiri lama aktifkan pompa otot dengan cara
menggerakkan kaki ke atas dan ke bawah sesering mungkin ( travel medicine )

 Meninggikan kaki 15 cm ( sedikit lebih tinggi dari pada jantung ) dengan cara
meletakkan kaki diatas kursi atau meja atau diatas ambang jendela.
Maksudnya adalah untuk membebaskan vena dari bebannya dengan cara
elevasi kaki berulang kali.
 Hindari kelabihan berat badan
B. Varises dan olahraga
Latihan yang cocok untuk pasien varises atau kelainan vena contohnya adalah
berenang karena dilakukan di dalam air dan tanpa efek gravitasi dan semua
dilakukan dengan lancar serta terus menerus. Bersepeda juga merupakan
alternatif olahraga yang baik. Yang harus diperhatikan adalah olahraga yang
beralaskan lantai yang keras seperti bulutangkis atau tenis. Karena penghentian
yang mendadak pada setup langkah akan berakibat suatu gelombang syok pada
aliran darah, yang dapat pula memperburuk katup yang sudah inkompeten.
Sedangkan olahraga yang harus dihindari adalah lompat jauh , lompat tinggi,
angkat berat, sepak bola, dan bola basket, karena varises dapat pecah akibat trauma.
C. Perawatan dengan suntikan sklerotik ( skleroterapi)
Secara umum indikasi untuk terapi sklerotik ini adalah
a) Mencegah komplikasi yang disebabkan oleh penyakit varises ini.
b) Untuk mengurangi gejala yang ada
c) Untuk memperbaiki penampilan tungkai
Tujuan utama dari terapi sklerotik ini untuk menyingkirkan reflux dan atau varises vena.
Penyuntikan bahan sklerotik ini jika penderita tidak mau dioperasi atau bila
varisesnya masih sedikit dengan diameter kurang dari 1 mm. Bahan sklerotik yang
digunakan adalah cairan hipertonik atau cairan alkali kuat yang dapat menyebabkan
obliterasi pembuluh vena yang bersangkutan. Suntikan pada varises dilakukan tidak lebih
dari enam tempat pada sekali perawatan. Harus diingat bahwa tidak semua varises
dapat dilakukan penyuntikan obat sklerotik. Terapi sklerotik sebagai perawatan varises vena
ditungkai, dikenal dan diterapkan diklinik dengan teknik yang berbeda. Terapi sklerotik
merupakan pilihan satu - satunya pada varises teleangiektasi, dan varises tungkai stadium I
dan II. Bahan sklerotik untuk terapi non – operatif varises tungkai adalah Polidocanol
( Aethoxysclerol ), Sodium tetradecyl sulfate (STD), Polyiodinoted iodine, 10% soline & 15%
dextrose.Terapi sklerotik yang diterapkan bisa berupa intravena dapat pula dengan cara
foam sc1eroteraphy atau dengan cara air block.
8.6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah tromboflebitis 0,5 mikrotrombus 5 %, pigmentasi 2,5%.
Sebaiknya heparin jangan digunakan pada teleangiektasi yang lebih kecil dari 1 mm.
Tanda - tanda reflux pada vena safena merupakan indikasi untuk tindakan bedah atau
pemakaian larutan sklerotik yang lebih kental dengan penekanan pasta suntikan.
Tujuan akhir penatalaksanaan varises adalah memperkecil sejauh mungkin komplikasi
yang mungkin terjadi , tindakan apapun yang diterapkan.
8.6. Mortalitas
( Tidak ada )
8.7. Perawatan Pasca Bedah/ skleroterapi

2
( Tidak ada )
8.8. Follow –Up
Bebat mastik dipertahankan setiap 5 hari
8.9. Kata Kunci :
Varises tungkai, terapi sklerotik

3
8. OPERASI A-V SHUNT (BRECIA – CIMINO)
8.1.INTRODUKSI
a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan dengan cara menghubungkan arteri radialis dengan vena
cephalica sehingga terjadi fistula arteriovena sebagai akses dialisis.
b. Ruang lingkup
Operasi A-V Shunt yang dilakukan merupakan implementasi dari panduan Dialisis
Outcomes Quality Initiative (DOQI) pada manajemen penatalaksanaan akses vaskular
tahun 1997. Melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain ahli nefrologi, ahli bedah dan
ahli radiologi intervensi.
Operasi A-V shunt dilakukan secara side to side anastomosis atau side to end
anastomosis atau end to end anastomosis antara arteri radialis dan vena cephalica pada
lengan non dominan terlebih dahulu. Operasi dilakukan pada lokasi paling distal
sehingga memungkinkan dilakukan operasi lebih proksimal jika gagal. Dapat dilakukan
pada ekstremitas bawah jika operasi gagal atau tidak dapat dilakukan pada ekstremitas
atas.
Persyaratan pada pembuluh darah arteri :
– Perbedaan tekanan antara kedua lengan < 20 mmHg
– Cabang arteri daerah palmar pasien dalam kondisi baik dengan melakukan tes Allen.
– Diameter lumen pembuluh arteri ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan dilakukan
anastomosis.
Persyaratan pada pembuluh darah vena :
– Diameter lumen pembuluh vena ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan dilakukan
anastomosis.
– Tidak ada obstruksi atau stenosis
– Kanulasi dilakukan pada segmen yang lurus
c. Indikasi operasi
Pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD) yang memerlukan akses vaskular untuk
dialisis berulang dan jangka panjang
d. Kontra indikasi operasi:
– Lokasi pada vena yang telah dilakukan penusukan untuk akses cairan intravena, vena
seksi atau trauma.
– Pada vena yang telah mengalami kalsifikasi atau terdapat atheroma.
– Tes Allen menunjukkan aliran pembuluh arteri yang abnormal.
e. Diagnosis Banding
Tidak ada
f. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang dokter ahli
bedah mempunyai kompetensi melakukan operasi AV-Shunt serta penerapannya dapat
dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.

8.3. Algoritma dan Prosedur


Algoritma
Berdasarkan K/DOQI guidelines tahun 2000, pemilihan AV shunt dilakukan pada
1. arteri radialis dengan vena cephalica (Brescia Cimino)
2. arteri brachialis dengan vena cephalica
3. bahan sintetik A-V graft (ePTFE = expanded polytetrafluoroethylene)
4. arteri brachialis dengan vena basilika
5. kateter vena sentral dengan “cuff”

1
8.4. Tehnik Operasi
Secara singkat tehnik operasi A-V shunt radiocepahalica (Brescia Cimino) dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Dilakukan desinfeksi lapangan operasi dengan larutan antiseptik, lalu dipersempit dengan
linen steril.
Penderita dilakukan anestesi lokal dengan lignocaine 1% (lidocain) yang dapat
ditambahkan epinefrin untuk mengurangi perdarahan. Dapat pula dilakukan anestesi blok
yang mana memberikan keuntungan dengan ikut dihambatnya sistem saraf simpatis
sehingga menghambat vasospasme.
Pada pergelangan tangan dilakukan insisi bentuk S atau longitudinal atau tranversal, lalu
diperdalam dan perdarahan yang terjadi dirawat.
Flap kulit sebelah lateral diangkat sehingga vena cephalica terlihat lalu disisihkan sejauh
kurang lebih 3 cm untuk menghindari trauma pada cabang saraf radialis.
Arteri radialis dapat dicapai tepat sebelah lateral dari muskulus flexor carpi radialis dengan
cara membuka fascia dalam lengan bawah secara tranversal tepat diatas denyut nadi.
Kemudian arteri radialis tersebut disisihkan sejauh 2 cm dengan melakukan ligasi cabang-
cabang arteri kecilnya. Anastomosis dapat dilakukan secara end to end atau end to side
atau side to side.
Pada tehnik end to side, dengan benang yang diletakkan tepat dibawah arteri radialis yang
disisihkan kemudian arteri tersebut diklem menggunakan klem vaskular.
Menggunakan mata pisau no 11, dilakukan insisi arteri radialis sejajar sumbu sesuai
dengan diameter vena cephalica yang telah dipotong.
Kemudian dilakukan penjahitan anastomosis menggunakan benang monofilamen 6-0 atau
7-0.
Pedarahan yang masih ada dirawat dan kemudian luka pembedahan ditutup dengan
langsung menjahit kulit.
Kemudian dilakukan pembebatan sepanjang lengan bawah.
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi pasca pembedahan ialah terjadi stenosis, trombosis, infeksi, aneurysma,
sindrom “steal” arteri, gagal jantung kongestif:
a. Stenosis
Stenosis dapat terjadi akibat terjadinya hiperplasia intima vena cephalica distal dari
anastomosis pada A-V shunt radiocephalica sehingga A-V shunt tidak berfungsi.
Sedangkan pada penggunaan bahan sintetai ePTFE terjadi stenosis akibat hiperplasia
pseudointima atau neointima. Stenosis merupakan faktor penyebab timbulnya trombosis
sebesar 85%.
Hiperplasis intima timbul karena:
Terjadinya cedera vaskular yang ditimbulkan baik oleh karena operasinya ataupun
kanulasi jarum yang berulang yang kemudian memicu terjadinya kejadian biologis
(proliferasi sel otot polos vaskular medial  sel lalu bermigrasi melalui intima
proliferasi sel otot polos vaskular intima  ekskresi matriks ekstraselular intima).
Tekanan arteri yang konstan pada anatomosis vena, khususnya jika terjadi aliran turbulen,
dapat menyebabkan cedera yang progesif terhadap dinding vena tersebut.
Compliance mismatch antara vena dengan graft pada lokasi anastomosis
Rusaknya integritas dan fungsi daripada sel endotelial
PDGF (platelet derived growth factor), bFGF (basic fibroblast growth factor), IGF-1
(insulin growth factor-1) turut memicu terjadi hiperplasia intima dengan mekanismenya
masing-masing
b. Trombosis
Muncul beberapa bulan setelah dilakukannya operasi. Sering diakibatkan karena faktor
anatomi atau faktor teknik seperti rendahnya aliran keluar vena, tehnik penjahitan yang
tidak baik, graft kinking, dan akhirnya disebabkan oleh stenosis pada lokasi anastomosis.
Penanganan trombosis meliputi trombektomi dan revisi secara pembedahan. Trombosis

2
yang diakibatkan penggunaan bahan sintetik dapat diatasi dengan farmakoterapi (heparin,
antiplatelet agregasi), trombektomi, angioplasti dan penanganan secara pembedahan.
c. Infeksi
Kejadian infeksi jarang terjadi. Penyebab utama ialah kuman Staphylococcus aureus. Jika
terjadi emboli septik maka fistula harus direvisi atau dipindahkan. Infeksi pada
penggunaan bahan sintetik merupakan masalah dan sering diperlukan tindakan bedah
disertai penggunaan antibiotik. Pada awal infeksi gunakan antibiotik spektrum luas dan
lakukan kultur kuman untuk memastikan penggunaan antibiotik yang tepat. Kadang
diperlukan eksisi graft.
d. Aneurysma
Umumnya disebabkan karena penusukan jarum berulang pada graft. Pada A-V fistula
jarang terjadi aneurysma akibat penusukan jarum berulang tetapi oleh karena stenosis
aliran keluar vena.
e. Sindrom “steal” arteri
Dikatakan sindrom “steal” arteri jika distal dari ekstremitas yang dilakukan A-V shunt
terjadi iskemik. Hal ini disebabkan karena perubahan aliran darah dari arteri melalui
anastomosis menuju ke vena yang memiliki resistensi yang rendah ditambah aliran darah
yang retrograde dari tangan dan lengan yang memperberat terjadinya iskemik tersebut.
Pasien dengan iskemik ringan akan merasakan parestesi dan teraba dingan distal dari
anastomosis tetapi sensorik dan motorik tidak terganggu. Hal ini dapat diatasi dengan
terapi simptomatik. Iskemik yang berat membutuhkan tindakan emergensi pembedahan
dan harus segera diatasi untuk menghindari cedera saraf.
f. Hipertensi vena
Gejala yang nampak ialah pembengkakan, perubahan warna kulit dan hiperpigmentasi.
Paling sering disebabkan karena stenosis dan obstruksi pada vena. Lama kelamaan akan
terjadi ulserasi dan nyeri. Manajemen penanganan terdiri dari koreksi stenosis dan kadang
diperlukan ligasi vena distal dari tempat akses dialisis.
g. Gagal jantung kongestif
A-V shunt secara signifikan akan meningkatkan aliran darah balik ke jantung. Akibatnya
akan meningkatkan kerja jantung dan cardiac output, kardiomegali dan akhirnya terjadi
gagal jantung kongestif pada beberapa pasien. Penanganannya berupa koreksi secara
operatif.
8.6. Mortalitas
Angka kematian setelah tindakan A-V shunt 0%. Kematian umumnya dikarenakan
penyakit penyebabnya yaitu end stage renal disease
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Pasca bedah penderita dapat dipulangkan. Dilakukan pembebatan pada daerah yang di
operasi. Daerah yang dilakukan A-V shunt tidak diperkenankan untuk IV line, ditekan atau
diukur tekanan darahnya. Jahitan diangkat setelah hari ke 7
8.8. Follow-Up
Hari ke 7, ke 14 tentang adanya aliran ( thrill )
Yang dievaluasi :
- klinis
- adanya getaran seirama denyut jantung pada daerah yang dilakukan A-V shunt
8.9. Kata Kunci : End stage renal disease, A-V shunt

3
8. INTRODUKSI : TORAKOTOMI
8.1. Introduksi
a.Suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka rongga toraks dengan
indikasi kedaruratan bedah toraks
b.Ruang lingkup
Trauma toraks serta dada asimetris, suara nafas menghilang, dullness diisi yang
sakit, vena leher tak terlihat / distensi, adanya tanda-tanda blodd loss dan
hipoksia, hipotensi, peningkatan tekanan vena sentral, penurunan arterial pressure,
suara jantung melemah/ jauh.
Dalam kaitan penegakan diagnosis dan terapi, diperlukan beberapa disiplin ilmu
yang terkait antara lain: Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Jantung,
Anesthesiologi, Radiologi.
c.Indikasi Operasi
Hematotoraks massif ( per jam > 300cc untuk pasien dewasa)
atau per jam > 5cc/ kg b.b., untuk pasien anak
Tamponade jantung
Trauma tusuk thoracic outlete.
Ruptur bronkus, esofagus, paru
d.Kontra indikasi Operasi (tidak ada)
e.Diagnosis Penunjang (tidak ada)
f. Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos Toraks, Ekho Kardiografi, USG

8.3. Algoritma dan Prosedur


Algoritma

Trauma Toraks

1. Trauma Tajam Toraks 2. Trauma Tumpul Toraks

1
1. Trauma Tajam Toraks

Evaluasi Keberadaan
Perdarahan

Tidak ada ada


perdarahan/minimal perdarahan

Fraktur Kosta Evaluasi


Hemodinamik
Pneumotoraks
Ada Syok Resusitasi
Gabungan

Kontusio Tamponade
Hematotoraks
Pulmonal Jantung
masif

Torakotomi
Darurat Ringan Masif

Perikardiosentesis Torakotomi
Perikardial window darurat

Tidak Ada
observasi
Syok

2. Trauma Tumpul Toraks

Survei Primer Evaluasi


(ABCDE) Keberadaan

Fraktur Kosta 2
Ringan Sedang Berat
< 300cc 300 – 800cc >800cc
8.4. Tehnik Operasi
Torakotomi Anterolateral
Prosedur:
Pasien diposisikan dalam posisi supinasi diatas meja operasi dengan sisi yang akan
dioperasi di tinggikan 300 dari meja. Bahu dan siku diflexikan pada sudut kanan dan
lengan bawah diikatkan pada layar anestesi, dilindungi bantalan empuk. Pelvis di fiksasi
pada posisi terotasi 300 dengan strap.
Insisi meluas dari garis tengah membentuk kurva persis dibawah payudara sepanjang
garis anterior akhir dari costa ke-5 kemudian dilanjutkan sebagai garis lurus menuju titik
25 mm dibawah dan belakang sudut inferior dari scapula. Insisi kemudian diperdalam
hingga tampak fascia diatas muskulus pectoralis mayor dan muskulus obliqus eksternal
dianteriornya, dan muskulus latissimus dorsi dibelakangnya. Muskulus latissimus dorsi
dipisahkan secara lengkap pada garis dari insisi untuk menampakkan batas posteroinferior
secara bebas dari muskulus serratus anterior.
Fascia yang meluas kebelakang dari batas bebas muskulus serratus anterior diinsisi
hingga menampakkan costa yang mandasarinya. Garis dari insisi ini dibuat paralel
terhadap batas posterior yang bebas dari muskulus serratus anterior. Muskulus serratus
anterior kemudian diangkat dengan direktrasi pada perbatasan posterior yang bebas.
Tendon-tendon (digitations) dari muskulus serratus anterior kemudian ditampakkan dan
dipisahkan sepanjang garis menuju keatas dan depan didepan garis tengah, hingga
melepaskan perlekatan badan muskulus dari bagian muskulus serratus anterior yang
melekat dengan costa ke-6, 7 dan 8. Insisi dilanjutkan keatas menuju costa 5. costa
tersebut harus diidentifikasikan secara akurat dengan menghitungnya secara teliti dari
atas. Identifikasi ekstra yang baik dan cukup bermanfaat yaitu tampaknya secara jelas
vena yang terdapat pada costa diantara tendon muskulus serratus anterior.
Dari titik ini insisi otot dilanjutkan menuju garis tengah sepanjang batas bawah dari
bagian anterior costa ke-5 dan tulang rawan costa melalui muskulus pectoralis mayor.
Periosteum kemudian distripping dari batas bawah costa ke-5. elevator periosteal
kemudian diputar dan diposisikan di bawah costa sehingga konkavitas dari instrumen
berlawanan dengan bagian bawah. The notched Semb stripping digunakan untuk setengah
bagian posterior. Adalah tidak biasa pada tulang rawan costa ke-5 dan ke-6, disatukan
pada jarak yang pendek pada akhir bagian depan tulang-tulang tersebut, pada beberapa

3
kasus pemisahan dapat bermanfaat yaitu dengan membebaskan perikondrium dari costa
ke-5 keduanya pada bagian medial dan lateral dari area yang disatukan.
Permukaan dalam dari periostenum dan pleura diinsisi dan insisi ini kemudian diperluas
kebelakang sejauh sudut costa dan kedepan menuju garis tengah.
Sebuah spreader costa dimasukkan pada hubungan anterior ketiga dan dua pertiga
posterior dari insisi. Ketika celah dilebarkan akan terlihat arteri dan vena mamaria
internal di anterior akhir dari insisi dekat dengan permukaan. Pembuluh darh ini biasanya
dapat rusak ketika spreading, dan seharusnya diamankan pada tahap ini.
Ligasi sederhana akan tidak cukup oleh karena kesulitan dalam hal jarak diantara
pembuluh tersebut. Ligasi jahitan seharusnya dilakukan sekeliling pembuluh darah
tersebut. Dan berdekatan dengan muskulus interkostalis di atas dan di bawah insisi. Ligasi
ini seharusnya paling tidak terpisahkan dengan jarak 1 cm; jarak ini akan aman bila
selanjutnya dipotong diantaranya.
Drain tunggal cukup adekuat bila operasi yang telah dilakukan merupakan prosedur
mediastinal atau valvotomi mitral tertutup. Dua drain adalah dianjurkan bila prosedur
yang dilakukan untuk mengeluarkan bagian paru.
Penutupan dilakukan pada tiga lapisan, menggunakan nylon continous. Pada lapisan
pertama kurang lebih anterior dua pertiga dari costa menuju muskulus intercostalis yang
ada dibawahnya. Perbaikan insisi yang kedua yaitu pada fascia lumbar yang menuju
bawah dan depan di bagian posterior dari insisi, kemudian serratus anterior menuju atas
dan depan bagian ketiga tengah, dan akhirnya insisi pada muskulus pectoralis mayor pada
ketiga anterior. Pada lapisan ketiga yaitu perbaikan muskulus latissimus dorsi. Lapisan
subkutaneus dan kulit kemudian ditutup.
8.5. Komplikasi operasi
Perdarahan, Infeksi ( empiema ), Atelektosis paru, dll.
1.6. Mortalitas
Mortalitas dari tindakan torakotomi emergency terutama justru bila terlambat dilakukan
tindakan bedah darurat yang mengancam jiwa tersebut. Mortalitas penderita tergantung
pada derajat cedera organ intratorakal dan perdarahan yang ditimbulkannya.
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Kontrol terhadap kemungkinan berbagai penyulit seperti : infeksi dan perdarahan.
Kontrol terhadap kinis dan keluhan penderita seperti nyeri atau sesak
Kontrol terhadap vital sign atas kemungkinan terjadinya nternal bleeding dan syok.
Kontrol terhadap luka bekas operasi.
8.8. Follow up
Kontrol luka setiap hari sesuai dengan ruangan perawatan pasien post bedah. Berguna
untuk memantau proses penyembuhan dan kewaspadaan terhadap timbulnya ini. Tetap
waspada terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan
8.9.Kata Kunci : Hematotoraks masif, ruptur trakea – bronkus, esofagus,paru,pembuluh
darahtorakotomi darurat.

4
8. URAIAN: PERIKARDIOSENTESIS TERBUKA
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu prosedur pembedahan dimana perikardium dibuka untuk mengalirkan cairan yang
terkumpul didalamnya. Perikardiosentesis terbuka bisa dilakukan dengan membuat insisi
kecil dibawah ujung sternum atau melalui suatu insisi kecil diantara tulang iga di sisi kiri toraks.
b. Ruang lingkup
Efusi perikardium merupakan hash perjalanan klims dari suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi, keganasan maupun trauma. Gejala vang timbul dari keadaan efusi perikardium
tidak spesifik dan berkaitan dengan penyakit yang mendasari terjadinya efusi perikardium.
Akumulasi cairan yan g cukup signifikan untuk menyebabkan konsekuensi hemodinamik
yang didefinisikan sebagai tamponade jantung. Pasien dengan tamponade awal mungkin
mengalami sesak, takikardi, hipotensi ringan, penurunan jumlah urine, dan pulsus
paradoksikal. Seiring bertambah progresifnya tamponade, pasien mengalami tanda-tanda
manifestasi hipoperfusion organ target (mis; perubahan status mental, insufisiensi renal
dan shock). Pada penderita dengan pembentukkan tamponade lambat, retensi cairan sistemik
harus di observasi, seringkali manifestasi dari retensi cairan sistemik adalah edema perifer atau
ascites.
c. Indikasi operasi
Efusi perikardium berulang atau masif dengan tamponade jantung
Biopsi Perikardium
Pemasangan alai pacu jantung epikardium
d. Kontra indikasi operasi:
Efusi perikardium berulang, kronis Berta "bloody"
Perikarditis infeksiosa
Etiologi Efusi Perikardium
Infeksi
Keganasan
e. Diagnosis Banding
Tumor jantung
f Pemeriksaan
Penunjang EKG
Ekokardiografi
Sitologi cairan
BiopsiCT Scan

1
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma

Cardiac Non Cardiac

Infeksi Malignancy Trauma

Efusi Perikardium

Pembentukan Pembentukan
Tamponade cepat tamponade lambat

Pericardiosentesis

Pericardiac window Thoracoscopic


(Perikardiostomi) Pericardiostomy

8.4. Tehnik Operasi


Lakukan aseptik dan antiseptik pada daerah operasi lalu berikan anestesi lokal atau umum.
Kemudian lakukan insisi pada midline sekitar 10 cm mulai dari xiphisternaIjunction
menuju ke Ujung xiphoid. Sebuah bidang di letakkan pada posterior xiphoid kemudian xiphoid
diangkat ke anterior sehingga hal ini memisahkan xiphoid dengan rectus sheath. Xiphisternal
junction di pindahkan dan sebuah bidang terbentuk, dengan mengangkat bagian distal
sternum ke anterior serta menarik diafragma kebawah sehingga tampak perikardium
sebagai sebuah membran fibrosa. Perikardium di genggam kemudian dilakukan insisi
sehingga cairan keluar. Lalu letakkan chest tube pada rongga perikardium untuk
mengalirkan cairan efusi. Kemudian insisi ditutup lapis demi lapis.
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi tersering adalah perdarahan durante operasi, infeksi, komplikasi anestesi,
hernia pada tempat insisi, serta ceders pada jantung.
8.6. Mortalitas
Angka kematian setelah 30 hari sangat tinggi, tetapi berkaitan dengan proses dasar penyakitnya :
33% penderita dengan efusi maligns dan 5% dengan efusi benigna.
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Drainase perikardium ini dipertahankan selama beberapa hari postoperasi sampai dengan

2
jumlah cairan yang keluar dibawah 100 ml/hari. Periode ini memberikan waktu aposisi dan
adhesi antara perikardium visceral dan parietal.
8.8. Follow-Up
o Analisis cairan pericardium dengan pemeriksaan kultur, sitologis dan tes yang lain
berdasarkan indikasi.
o Melakukan terapi yang terdapat berdasarkan hasil analisis
8.9. Kata Kunci: perikardiosentesis terbuka, efifsi perikardium

3
8. URAIAN: REKONSTRUKSI VASKULER PERIFER
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan tindakan bedah untuk menyambung / menyusun kembali pembuluh darah yang rusak
akibat suatu trauma.
b. Ruang lingkup
Trauma yang mengenai pembuluh darah perifer, baik arteri ataupun vena.
c. Indikasi operasi
 Lesi vaskular dengan tanda – tanda hard sign
 Perdarahan yang hebat
 Adanya gejala sumbatan arteri ( Nyeri, nadi tak teraba, pucat, pengisian kapiler lambat )
d. Kontra indikasi
(tidak ada)
e. Diagnosis Banding
(tidak ada)
f. Pemeriksaan penunjang
 USG Doppler
 Arteriografi ( bukan pemeriksaan rutin )
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma

Trauma Pembuluh Darah

1. Trauma Tajam 2. Trauma Tumpul


Pembuluh Darah Pembuluh Darah

1
1. Trauma tajam
pembuluh darah

Evaluasi hemodinamik pasien

Tidak stabil Stabil

Luka tusuk Luka tembak/jenis luka


lainnya
operasi

Dekat lokasi pembuluh


darah besar
Evaluasi tempat
YA masuk dan keluar,
foto AP/LAT.
Tanda tanda fraktur
TIDAK
Evaluasi tanda tanda iskemia,
perdarahan lanjut, Tanda tanda trauma vascular
angiografi,USG - dopler (HARD and SOFT Sign)
Evaluasi adanya
kompartement sindrom

LESI (+) LESI (-) TIDAK YA TIDAK YA

USG dopler,
Ukur tekanan angiografi
Operasi Rawat intrakompartement
eksplorasi luka

Lesi (-) Lesi (+)


<40mmHg >40mmHg

Rawat luka Operasi


eksplorasi
Observasi ,
Fasiotomi perbaikan
keadaan umum

2
2. Trauma Tumpul
Pembuluh Darah

Tanda “HARD” Tanda “HARD” (-)


Tanda “SOFT” (+)

Operasi darurat Evaluasi indeks


tekanan arterial

> 0.95 < 0.95

Angiografi, USG Doppler

Rawat luka Lesi (-) Lesi (+)

Operasi eksplorasi

Penatalaksanaan
Bila adanya trauma vaskular telah ditentukan, maka prioritas tindakan harus segera ditentukan. Pada
dasar – dasarnya, makin cepat dilakukan tindakan, semakin baik hasilnya. Algoritma tata laksana tetap
memprioritaskan tahap – tahap membebaskan jalan nafas, memastikan tidak ada gangguan dalam
ventilasi. Dan menghentikan perdarahan yang memancar ( bisa dengan klem vaskuler ). Setelah
perdarahan berhenti, barulah dilakukan tindakan definitif. Dari beberapa buku acuan mengatakan
golden periode adalah 6 – 12 jam, namun hal itu adalah relatif karena semakin cepat semakin baik.
8.4. Teknik Operasi
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Tehnik jahitan tak banyak
berubah sejak Carrel 1907 mengemukakan cara anastomosis langsung. Adventisia harus jelas pada ujung
arteri, jahitan harus mengenai seluruh lapisan, terutama intima harus terbawa dalam jahitan. Umumnya
arteri yang kecil sebaiknya bentuk jahitannya satu – satu dan lebih disenangi bahan jahitan seintetis yang
atraumatik dan monofilamen ( prolene dan lain – lain ) dari pada sutra.
Setelah bagian proksimal dan distal dibebaskan semaksimal mungkin dan kedua ujungnya dipotong
rapi, maka dapat dilakukan anastomosis. Tetapi penyempitan atau tegangan harus dicegah. Untuk ini
dapat dilakukan penambahan atau graft dengan vena autogen. Pada umumnya digunakan vena safena
yang diambil dari sisi yang tidak sakit supaya tidak mengganggu gerak ekstremitas yang bersangkutan.
Letak vena ini harus dibalik dengan lumen yang sama atau lebih besar sedikit dari arterinya. Kalau
terpaksa sekali dapat dipakai dacron, dengan melakukan preclotting lebih dulu.
Bila ada kerusakan vena bersama dengan arteri, seharusnya dilakukan penyambungan vena lebih
dulu setelah mengeluarkan trombus yang terjadi terutama pada vena utama. Vena yang kecil bisa diikat
saja. Bila edema mengganggu aliran darah di ekstremitas, maka fasiotomi sebaiknya dipertimbangkan.
8.5.Komplikasi Operasi

3
Komplikasi trauma vaskuler dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi pembuluh darah, atau
lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat.
Macam komplikasi tersebut :
1. Trombosis
2. Infeksi
3. Stenosis
4. Fistula arteri – vena
5. Aneurisma palsu
Trombosis,infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca operasi,
sedangkan fistula arteri – vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.
Trombosis :
Trombosis akut pasca rekonstruksi vaskuler adalah komplikasi yang paling sering terjadi, tetapi, bila
dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa hal – hal dalam operasi
yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis.
 debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa – sisa dinding arteri,
dimana platelet dan trombin dapt lengket dan menyebabkan trombosis.
 Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis.
 Trombosis dapat terjadi akibat tarikan yang terlalu berlebihan pada anastomosis.
 Kesalahan teknik operasi dengan membuat jahitan ahitan pada anastomosis seperti jahitan kantong
tembakau.
 Terjadinya stenosis berat pada jahitan. Dalam hal ini untuk menghindarinya dapat
digunakan penutupan lesi arteri itu dengan tambahan ( patching ) memakai vena autogen.
Bahaya dari terjadinya trombosis dengan sumbatan total arteri lebih dart 6 jam akan
menyebabkan iskemia dan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat,
sehingga terjadi kontraktur, misalnya Volkmann Ischemic contracture.
Infeksi
Penanganan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma vaskuler dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan sukar untuk diatasi. Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Karena itu diagnosis trauma vaskuler harus cepat ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai,
debridement luka yang adekuat , dan kesinambungan pembuluh vaskuler harus secepat mungkin
diusahakan dan pemberian nutrisi secara sistemik, kesemuanya ini membantu pencegahan
terhadap infeksi. Pada kecelakaan dengan luka kontaminasi, maka semua benda asing sedapat
mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan didaerah yang terkena infeksi. Tidak saja karena
tindakan koreksi ulang ini akan memberi kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk
kelangsungan hidup si penderita karena septikemi atau eksanguasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan
di daerah infeksi ini adalah debridement, transposisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan
larutan antiseptik secara teratur ratur dan terus menerus serta pemberian antibiotika yang adekuat.
stenosis
Penyebab terjadinya stenose ( penyempitan ) :
a) Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau pada
koreksi dengan jahitan lateral, tapi bahan dinding pembuluh darah tidak cukup. Dapat juga terjadi
karena tertinggalnya sisa pembuluh darah yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan
sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio
intermiten.
b) Hiperplasia lapisan intima terjadi dijahitan anastomosis setelah beberapa minggu atau bulan.
Inn dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.
Fistula arteri vena
Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan bawaan.
Biasanya fistula arteri vena traumatik disebabkan oleh cedera luka tembus yang mengenai
arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir arteri ke vena. Biarpun
jarang, namun kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan operasi yang kurang cermat didaerah
yang kaya pembuluh darah.
Akibat dari fistula arteri vena ini maka darah dari arteri yang melalui pintasan vena
selanjutnya diteruskan ke jantung, hal ini akan menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh
darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut jantung akan bertambah cepat. Hal
ini jika berlangsung lama akan menyebabkan payah jantung karena curahnya yang bertambah.

4
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam yang jelas
disertai getaran dan perabaan dan pada auskultasi terdengar bising seperti bunyi mesin, semuanya
ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri dan vena. Tanda lain yang mungkin
timbul sebelah
distal dari fistula adalah klaudikasio intermiten, edema dan pelebaran vena yang berkelok
– kelok dan disertai warna kulit yang agak kebiruan.
Angi o gr af i dapat di pakai unt uk menent ukan l okas i pi nt as an yang akan dikoreksi.
Koreksi disini adalah melakukan jerat sementara pada arteri dan vena yang terlibat, sebelum
fistulanya di eksisi.
A neurisma palsu
Penyebab dari anaeunisma palsu ini adalah luka tembus yang mengenai ketiga lapisan
dinding pembuluh arteri secara menyamping ( tangential ). Biasanya disebabkan karena jarum atau
kateter.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang anatomis mengandung banyak jaringan ikat
dan bersekat, yang dapat mendapatkan tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya
lapisan endotel baru yang berasal dari pinggir luka lesi vaskuler, maka terbentuklah rongga aneurisma
palsu.
Ciri – cirinya adalah adanya benjolan yang berdenyut merupakan tanda paling nyata dari aneurisma
palsu. Ada riwayat trauma tembus. Batas tidak begitu tegas karena benjolan ini terlatak
dibawah fasia yang kuat. Biasanya teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan ini yang kadang
disangka abses atau neoplasma.
Koreksi dari aneurisma palsu ini adalah dengan mengikat sementara arteri sebelah proksimal
dan distal dari aneurisma ini.
8.6. Mortalitas
Tergantung beratnya lesi dan perdarahan yang terjadi
8.7. Perawatan Pasca Operasi
Perawatan pasca operasi yang penting adalah pemantauan bagian distal dari ekstremitas yang
terluka. Pemantauan tersebut meliputi pemantauan temperatur kulit hangat atau tidak, warnanya merah
atau tidak dan juga memeriksa capilary refill time. Dalam hal ini yang terpenting adalah pemantauan
pulsasi bagian distal ekstremitas. Pulsasi ini tidak langsung muncul sesaat setelah operasi
diakibatkan karena masih adanya reflek spasme dari pembuluh darah.
Selain itu juga dipantau jahitan setelah operasi apakah timbul perdarahan yang menyebabkan
hematom atau tidak, apakah terjadi infeksi atau tidak.
Penggunaan heparin tidak rutin digunakan, selain tidak memberikan keuntungan terhadap perbaikan
pasca
operasi, juga akan menyebabkan timbulnya komplikasi perdarahan. Penggunaan Low Molecular
Weight Dextran memberikan hasil yang baik terhadap penyembuhan reparasi pembuluh darah
vena. Pemberian aspirin atau antiplatelet lain juga diperlukan sesaat setelah operasi selesai.
8.8. Follow-Up
- Pemeriksaan fisik terhadap tanda – tanda kegagalan anastomosis
- Pemeriksaan tambahan dengan USG Doppler, Arteriografi, MSCT
8.9. Kata kunci: Lesi Vaskuler, Hard Sign

5
8. URAIAN : EMBOLEKTOMI / TROMBEKTOMI
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan bedah untuk mengeluarkan embolus thrombus dari arteri atau vena yang
tersumbat melalui suatu arteriotomi atau venotomi..
b.Ruang Lingkup
Sumbatan akut arteri pada ekstremitas bernanifestasi sebagai gejala-gejala iskemi yang
timbulnya mendadak , meliputi 6 P : pain, palor, parestia, poikilotermi, pulselesness,
paralysis. Lokasi paling sering adalah cabang arteri femoralis. Pada pemeriksaan terabanya
denyut nadi femoral yang bersifat “ water hammer” yaitu hilangnya denyut didaerah
distal.
c. Indikasi operasi
Bila pengobatan secara konservatif tidak efektif dalam memperbaiki sirkulasi dalam waktu
6 – 12 jam sesudah terjadi sumbatan.
d. Kontra indikasi operasi:
Tidak ada
e. Diagnosis banding untuk hemangioma
Tidak ada
f. Pemeriksaan penunjang:
Doppler, USG,- Doppler, arteriografi
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
8.4. Tehnik Operasi
Persiapan penderita dan lapangan operasi
1. Embolektomi / trombektomi arteri.
2. Pada femoral arteriomi, kateter forgathy dimasukkan 20 cm kearah aorta abdominalis, 45
cm ke bawah ke popliteal bifurkasio dan 65 – 70 cm ke ankle.
3. Berguna untuk mengetahui lokasi lesi yang oklusi. Balon dikembangkan setelah
melampau trombus kemudian dikembangkan dan diekstradisi.
Kesukaran pada embolektomi :
1. Biasanya pasien sudah berusia lanjut dan disertai kelainan yang gawat atau aterosklerosis
yang diinfus
2. Trauma oleh kateter forgathy itu sendiri. Kontrol yang terbaik adalah arteriografi
intraoperatif
3. Waktu terbaik adalah < 12 jam tetapi sering kita temui > 24 jam
4. Jangan memakai balutan terlampau ketat karena bisa terjadi retrombosis
8.5. Komplikasi operasi
Perdarahan, re-emboli, infeksi
8.6. Mortalitas
Karena komplikasi penyakit penyerta
8.7. Perawatan Pasca Operasi
Kontrol terhadap kemungkinan berbagai penyulit seperti : infeksi dan perdarahan, re – emboli
Kontrol terhadap luka bekas operasi
8.8. Follow – Up
Selain pemantauan AVN distal, saturasi dapat dilakukan USG doppler atau angiografi
( menilai patensi / run off )
8.9 Kata Kunci : Embolektomi, trombektomi

1
8. INTRODUKSI : FIKSASI INTERNAL IGA / KLIPING KOSTA
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan kuratif dengan cara menyatukan bagian iga yang patah melalui proses
pembedahan
b. Ruang Lingkup
Suatu diskontinuitas / patahnya tulang iga karena beragai sebab seperti trauma yang
mengakibatkan terjadinya keluha penderita dan terganggunya proses pernafasan yang
adekuat.
c. Indikasi Operasi
Bila tulang iga mengalami patah maka akan timbul nyeri terutama bila saat bernapas.
Hal ini diikuti dengan terbatasnya daya inspirasi sehingga proses pernapasan menjadi
tidak adekuat. Fiksasi iga akan memperbaiki kondisi ini.
Patahnya tulang iga juga dapat diwaspadai dngan kemungkinan timbulnya kerusakan
pada organ bagian dalam yang dilindungi tulang iga.

d. Kontra Indikasi Operasi


Terdapat penyulit lain yang belum ditangani seperti: pneumothoraks ventil
Diagnosis belum dikonfirmasi dengan foto X-ray.
e.Diagnosis Banding untuk Patah Tulang Iga
Nyeri psikosomatis penderita
Contusio muskular
f. Pemeriksaan Penunjang
X – Ray foto
Computed Tomografi Scan
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka seorang dokter ahli
bedah diharapkan mempunyai kompetensi operasi serta penerapannya yang dapat
digunakan saat bekerja di RS Pendidikan dan RS Jaringan Pendidikan.
8.2. Kompetensi terkait dengan modul
Tahapan bedah dasar ( semester I – III )
• Persiapan pra operasi :
◦ Anamnesis
◦ Pemeriksaan fisik
◦ Pemeriksaan penunjang
◦ Informed consent
• Asisten 2, asisten 1 pada saat operasi
• Follow up dan rehabilitasi
Tahapan bedah lanjut ( semester IV – VII ) dan Chief residen (semester VIII – IX)
• Persiapan pra operasi :
◦ Anamnesis
◦ Pemeriksaan fisik
◦ Pemeriksaan penunjang
◦ Informed consent
 Melakukan Operasi ( Bimbingan, Mandiri )
o Penangan komplikasi
o Follow up dan rehabilitasi
8.3. Algoritma dan Proseur
Algoritma ( tidak ada )
8.4. Tehnik Operasi
 Persiapan penderita dan lapangan operasi serta posisi penderita
 Buat insisi pada daerah tulang iga yang akan dilakukan fiksasi / diatas garis fraktur
 Pisahkan fascia dan otot lapis demi lapis sehingga tampak tulang iga dengan warna
putih, hindari cidera neurovaskular
 Periosteal tetap melekat pada iga

1
 Bebaskan iga dari “ costal bed “ dengan doyen
 Hindari robeknya pleura parietalis
 Bending SHAPP clip dengan knogle tang, sesuaikan dengan bentuk lengkung iga
 Pasang SHAPP clip dengan tang atau wire
 Bila pleura terbuka perlu dipasang “Water Sealed Draenage”, bila pleura tidak
terbuka hanya dipasang drain vakum yang diletkkan dibawah iga, di atas pleura
parietalis
 Tutup Otot. Tutup kulit
8.6. Mortalitas
Mortalitas dari fiksasi internal iga relatif kecil. Mortalitas penderita tergantung adanya
multiple organ trauma dan perdarahan yang ditimbulkannya.
8.7. Perawtan Pasca Bedah
Kontrol terhadap kemungkinan berbagai penyulit seperti : infeksi dan perdarahan.
Kontrol terhadap kinis dan keluhan penderita seperti nyeri atau sesak
Kontrol terhadap vital sign atas kemungkinan terjadinya nternal bleeding dan syok.
Kontrol terhadap luka bekas operasi.
8.8. Follow up
Kontrol luka tiap 3 hari untuk memantau proses penyembuhan dan kewaspadaan terhadap
timbulnya infeksi. 1 minggu Pasca Bedah Bedah penderita kontrol kembali untuk angkat
jahitan. Tetap waspada terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan.
8.9. Kata Kunci : Patah tulang iga, fiksasi internal

2
8. URAIAN : SIMPATEKTOMI
8.1.Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan yang akan merealese tonus vasomotor dan akan meningkatkan aliran darah
melalui kolateral dari arteriol dengan jalan pengobatan ganglion simpatis
b. Ruang Lingkup
Penyakit arteri perifer ialah kelainan arteri perifer yang mengakibatkan gejala-gejala akral
akibat hipovascularisasi yang ditimbulkannya gejala-gejala akral tersebut bukan karena
proses degeneratif/ organik.
c. Indikasi Operasi
- Iskemia ekstremitas yang hanya mengalami rest pain tanpa gangren
- Penyakit arteri perifer yang tidak ada respon terhadap terapi medika mentosa.
- Hyperhydrosis
d. Kontra Indikasi :
- Umum
- Khusus
Penyakit arteri perifer oklusi yang telah memberat,ABI<0.3
e. Diagnosis Banding
( Tidak ada )
f. Pemeriksaan Penunjang
- Arteiografi, USG, Doppler
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
8.4. Tehnik operasi
Simpatektomi torakal
1. Pasien dalam keadaan posisi terlentang dan ditilt sedikit kebelakang sehingga posisi
dapat seperti anterior approach.
2. Insisi ICS 3-4 anterior masuk kedalam rongga toraks lapis demi lapis.
3. Indentifikasi ganglion simpatikus dilevel vertebra torakal 1-2
4. Trunkus simpatatic dibebaskan secara tajam dan tumpul
5. Identifikasi plexus vena dan isolasi vena yang overlying pada trunkus dengan
hemostatic titanium clip atau ligasi
6. Dibawah ganglion stellata diclip,dan dibawah antara trunkus T3-4 diclip.
7. Rantai trunkus simpatetic dibebaskan dengan memotong cabang-cabang disisi-sisinya,
8. Setelah bebas dipotong kepala dan ekor dari rantai simpatetic yang ditandai antara clip
superior dan clip inferior.
9. Simpatektomi selesai, tutup rongga toraks dan penempatan drain intra toraks atau
tanpa drain
Simpatektomi lumbar
1. Posisi pasien pada sisi lateral dengan area antara kosta 12 dan pelvic crest
Diekstensikan keatas dengan meja operasi. Ekstremitas bawah difleksikan.
2. Garis incisi dimulai di bawah ujung kosta 12, 3-4cm ditarik kearah medial
sampai bertemu dengan lateral dari garis m.rectus sheath
3. Incisi diperdalam dengan memotong m.obliqus eksterna dan m. obliqus interna
4. M.transversus dipotong dan diretraksi.
5. Peritoneal sac dibebaskan secara tumpul,setelah dibebaskan tampak ganglion
Lumbal 3
6. Identifikasi ganglion simpatis dengan melakukan palpasi
7. Angkat ganglion simpatis dengan hak saraf, tilt pasien head down, ganlion simpatis
dibebaskan dengan jaringan sekitar. Ujung ganglion simpatis yang akan direseksi
diberi tanda dengan silver clip, ujung ganglion dipegang dengan hemostat, ganglion
lebih inferior dibebaskan dengan hati-hati,beri tanda pada ujung ganglion inferior
dengan silver clip, kemudian dilakukan reseksi. Pada sisi sebelah kiri, identifikasi
aorta dan arteri iliaca dengan palpasi.
8. luka operasi dijahit satu persatu.

1
8.5. Komplikasi
1. Nausea dan ileus, komplikasi ini sangat jarang terjadi.
2. Neuritis hal ini terjadi karena avulsi dari simpatis chain atau ujung ganglion tidak di
clip.
3. Nyeri, akan sembuh sendiri dalam 3 – 6 minggu
4. Salah identifikasi dengan ureter atau nervus genitofemoralis
5. Gangguan miksi
6. Horner syndrome
8.6. Mortalitas
Morbiditas sangat rendah, mortalitas rendah
8.7. Perawatan Pasca Operasi simpatektomi
Setelah dilakukan simpatektomi, maka ekstremitas akan menjadi hangat dan kering,
Perlu dilakukan fisioterapi beberapa minggu, agar penderita dapat merasa nyaman setelah
operasi.
Perawatan Pasca Operasi simpatektomi
1 bulan, 6 bulan , 1 tahun terhadap tanda klinis perbaikan vascularisasi di daerah perifer
distal.
8.8.Kata kunci : Penyakit arteri perifer oklusi, ganglion simpatis lumbal dan torakal,
Simpatektomi

2
8. URAIAN : THORAKOTOSMI TERBUKA ( WINDOW )
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan kuratif dengan cara membuat jendela drainase terbuka antara
rongga pleura dengan bagian luar tubuh melalui proses pembedahan dengan cara
memotong beberapa kosta.
b. Ruang Lingkup
Suatu penimbunan nanah / pus di ruang antar pleura dalam jumlah besar akibat
suatu proses infeksi sehingga mengakibatkan terjadinya keluhan penderita dan
terganggunya proses pernafasan yang adekuat.
c. Indikasi Operasi
Tindakan torakostomi terbuka perlu dipikirkan terutama bila penggunaan pipa
drainase tidak efektif dalam menyalirkan pus. Hal ini bisa dilihat dari evaluasi
klinis penderita.
Juga apabila pus yang dihasilkan terlalu kental sehingga sulit dialirkan dengan
pipa torakostomi.
Adanya kantong multipel dari empiema juga merupakan indikasi untuk dilakukan
torakostomi terbuka
Bila dekortikasi dipandang terlalu beresiko

d. Kontra Indikasi Operasi


Terdapat penyulit lain yang belum ditangani seperti : efusi pleura
Diagnosa belum dikonfirmasi dengan foto x – ray.
e. Diagnosis Banding untuk Empiema toraks
Efusi pleura
Hematotoraks
Tumor intra torakal
f. Pemeriksaan Penunjang:
X – ray foto
Computed Tomografi Scan
8.3.ALGORITMA DAN PROSEDUR
Algoritma (Tidak ada )
8.4. Teknik Operasi
Persiapkan penderita dan lapangan operasi serta dilakukan pembiusas umum.
Buat insisi pada daerah ruang antar iga yang akan dilakukan torakostomi terbuka.
Pisahkan fascia dan otot lapis demi lapis sehingga tampak tulang iga dengan warna
putih.
Identifikasi bagian iga yang akan dilakukan reseksi 2 segmen iga sepanjang sekitar 10
cm atau sesuai dengan bagian yang mengalami empiema.
Lakukan debrideman dan evakuasi pus yang ada.
Lakukan kultur kuman terhadap pus tersebut
Jahit tepi permukaan kulit dengan pleura parietalis agar terbentuk marsupialisasi
8.5.Komplikasi Operasi
Perdarahan. Terjadi karena terpotongnya pembuluh darah antar iga. Bila perdarahan
sedikit akan berhenti dengan sendirinya. Perdarahan banyak kadang menyebabkan
hematotoraks dan diperlukan re–open untuk eksplorasi sumber perdarahan.
Pneumotoraks. Bila terjadi hubungan antara rongga intra pleura dengan udara luar
akibat intervensi pembedahan maka akan terjadi pneumothoraks
Nyeri pasca operasi. Pemberian analgetika akan membantu mengurangi keluhan ini.
Infeksi. Ditandai dengan tanda kerandangan. Dapat diatasi dengan pemberian
antibiotika drainase pus

1
8.6. Mortalitas
Mortalitas dari tindakan thorakostomi terbuka (window) relatif kecil. Mortalitas
penderita tergantung adanya sepsis dan keadaan umum penderita.
8.7.Perawatan pasca bedah
Kontrol terhadap kemungkinan berbagai penyulit seperti : perdarahan (hematotoraks)
dan pneumothoraks.
Kontrol terhadap klinis dan keluhan penderita seperti nyeri atau sesak.
Kontrol terhadap vital sign atas kemungkinan terjadi internal bleeding dan syok.
Kontrol terhadap luka bekas operasi
8.8 Follow up
Kontrol luka tiap 3 hari untuk memantau proses penyembuhan dan kewaspadaan
terhadap timbulnya infeksi. 1 minggu Pasca Bedah penderita kontrol kembali untuk
angkat jahitan. Tetap waspada terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan
8.9. Kata Kunci : empiema toraks, torakostomi terbuka

2
8. STRIPPING VARISES
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan dengan cara mengangkat vena tungkai yang mengalami varises dengan
menggunakan stripper.
b.Ruang Lingkup
Suatu pemanjangan, pelebaran disertai berkelok – keloknya sistem vena dan disertai
gangguan sirkulasi darah di dalamnya. Yang dimaksud di sini adalah vena pada daerah
tungkai.
c.Indikasi Operasi
Pada dasarnya, vena yang telah mengalarni kerusakan berarti telah menjadi ektasi,
harus dikeluarkan, karena akan dapat memutuskan matarantai pathofisiologi nya.
Menurut Stadium klinisnya maka mulai Stadium II sudah harus dipikirkan tindakan
pembedahan.
Menurut jenis dan ekstensi vena yang terkena, apabila sudah pada Stadium Ill dan IV,
maka: Varices truncal, Varices reticularis harus mendapatkan therapi pembedahan.
Pertimbangan indikasi yang lain :
Nyeri pada varises tersebut ( harus dibedakan bila sumber nyeri bukan dari varisesnya
seperti pada chronic venous insuficiency ).
Terdapat thromboplebitis superficialis pada varises tersebut.
Erosi pada kulit di atasnya dengan disertai perdarahan, odema dan selulitis
Varises tungkai yang disertai indurasi atau lipodermatosklerosis.
Varises yang mengakibatkan ulserasi.
d.Kontra Indikasi Operasi
Stripping yang semata – mata bertujuan kosmetik.
Varises tungkai yang menyertai insufisiensi kronis vena dalam. Dimana sebetulnya
keluhan penderita lebih diakibatkan karena insufisiensi tersebut daripada varises itu
sendiri.
Varises tungkai yang menyertai beberapa kondisi kronis yang sebetulnya mendasari
keluhan penderita seperti : artritis degeneratif, penyakit arteri oklusif, sindroma
neurogenik, lymphedema, gagal jantung kongestif dan obesitas.
Varises tungkai yang ditemukan bersama fistel arterio – venosus atau kelainan vena
kongenital seperti Sindroma Klippel - Trenaunay
e.Diagnosis Banding untuk Varises Tungkai
Ulserasi, indurasi dan hiperpigmentasi menandakan adanya insufisiensi vena dalam
yang kronis. Ini penting untuk diperhatikan sebab stripping varises tidak memberikan
hasil yang baik bahkan penyembuhan luka dapat terganggu disebabkan kegagalan
dalam perawatan penyakit stasis vena.
Bila varises tungkai dijumpai pada penderita muda, terutama bila unilateral, dan
terdistribusi atipikal ( lateral ) dapat dipikirkan adanya Sindroma Klippel Trenauney.
Trias gejala yang umum adalah varises tungkai, hipertrofi tungkai dan tanda pada kulit
berupa port wine stain atau malformasi vena. Karena vena profundus mengalami
kelainan bahkan kadang tidak ditemukan, maka stripping saphena magna sangat
membahayakan. Standart terapi untuk kelainan ini adalah memakai stocking penyangga
secara bertahap.
Kondisi lain yang dapat dijadikan diagnosa banding :
Penyakit oklusif arteri
Limfedema kronis
Squamous cell Carcinoma
Arteriovenosus Malformation
Oedema ortostatik
f. Pemeriksaan Penunjang:
Imaging vena dengan menggunakan Ultrasound duplex
Continuous – wave Doppler

1
Air Plethysmography
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma ( tidak ada )
8.4. Teknik Operasi
Buat tanda - tanda di atas varises dalam posisi berdiri dengan " Marking Pencil ".
Lakukan incisi kulit di bawah ligamenturn inguinale medial dari a. femoralis ± 4 - 6 cm.
Jaringan subkutan dibuka dan fascia diincisi sehingga tampak v. saphena dengan jelas.
Saphena diteugel pada dua tempat.
Cabang - cabang kollateral dari v. Saphena yang terdiri dari :
v. Circumflexa iliaca superficialis.
v. epigastrica superficialis
v. pudenda externa superficialis.
v. cutaneus lateralis.
v. cabang anomali yang ada.
Semuanya dipotong dan diligasi.
Dilihat apakah ada cabang - cabang v. saphena dengan v. femoralis, ini harus diperhatikan
dan dipisahkan pada sapheno - femoro junction.
v. saphena diligasi dan dipotong dimana sebelumnya vena - vena sudah dikosongkan
Dimasukkan stripper, dapat dari proximal ( antegrade ) atau dari distal (retrograde) dekat
maleollus medialis.
Pada waktu memasukkan stripper tak boleh dipaksa. Bila ada hambatan - hambatan dapat
dilakukan multiple incisi.
Setelah dilakukan stripping, extremitas ditekan sampai 10 menit untuk mengurangi
perdarahan dan hematoma.
Kemudian luka ditutup kembali.
8.5. Komplikasi Operasi
Memar dan rasa tidak nyaman kadang dialami penderita terutama bila vena yang diangkat
merupakan vena yang berdiameter besar. Namun pemberian analgetika dapat mengatasi
hal ini. Pemberian bebat tekan juga mengurangi resiko terjadinya hematom / memar.
Jejas saraf sensorik kadang ditemukan juga pada pengangkatan varises tungkai. Nervus
Saphenus dan cabang – cabangnya berdekatan dengan vena saphena magna di daerah
betis. Angka kejadian ini diperkirakan sebesar 1 % dari seluruh operasi. Namun area
anaestesi yang kecil dapat meningkatkan resiko menjadi 10 % nya. Pelaksanaan stripping
secara inverted dan menghindari stripping vena saphena magna di bawah garis tengah
betis dapat mengurangi terjadinya komplikasi ini.
Perdarahan dapat terjadi pada operasi stripping varises. Untuk menghindari ini ligasi dan
pemotongan terhadap cabang v. saphena harus dilakukan secara teliti. Penggunaan bebat
tekan juga bermanfaat dalam mengurangi resiko perdarahan.
Infeksi dapat juga terjadi pada pelaksanaan stripping varises. Pemberian antibiotik
profilaksis dan pelaksanaan operasi sesuai kaidah dapat menghindari komplikasi ini.
8.6. Mortalitas
Dari 1000 tindakan operasi stripping Varises tungkai setidaknya didapatkan 1 kasus
trombosis vena dalam
8.7. Perawatan pasca bedah
Dipasang elastic bandage dari ujung proximal jari - jari kaki sampai pelipatan paha.
24 jam pertama penderita tidak boleh jalan kaki dalam kedudukan elevasi.
48 jam kemudian setelah bebat dibuka dan luka baik, bebat dipasang dan penderita dapat
berjalan pelan - pelan dan kemudian pulang dengan memakai elastik bandage sampai 2
minggu.
8.8. Follow up
1 minggu Pasca Bedah penderita kontrol kembali untuk angkat jahitan. Tetap waspada
terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan
8.9. Kata Kunci : Varises tungkai, vena ektasi.CV1

2
8. URAIAN: EKSISI PSEUDOANEURISMA
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan repair dengan cara eksisi kelainan pseudoaneurisma atau
aneurisma palsu. Definisi aneurisma palsu yaitu aneurisma yang tidak lengkap strukturnya
dapat akibat disrupsi dinding pembuluh darah atau tempat anastomosis antara graft dan
pembuluh darah, terdiri dari darah atau hematoima yang berdenyut dilapisi jaringan.
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang menusuk ketiga lapisan dinding
pembuluh darah arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh
kesalahan prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri disebabkan oleh
jarum atau kateter. Atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nucleus pulposus dan fraktur
ganda pada tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat
menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.

b. Ruang Lingkup
Kelainan bentuk pembuluh darah suatu aneurisma yang terbentuk tanpa dinding arteri secara
utuh. Terlokalisasi suatu hematoma dikelilingi jaringan, sedang dindingnya terdiri dari
jaringan fibrus.
Dalam kaitan penegakan diagnosis dan terapi, diperlukan beberapa disiplin ilmu yang terkait
antara lain: Bedah Toraks dan KardioVaskular dan Radiologi(ultrasonografi).
c. Indikasi Operasi
Rekonstruksi fungsional dan kosmetik
d. Kontra Indikasi Operasi
Tidak ada
e. Diagnosis Banding
Tumor
f. Pemeriksaan Penunjang
USG - Doppler
Pseudoaneurisma yang menyertai beberapa kondisi kronis yang memperberat keluhan
penderita seperti : artritis degeneratif, penyakit arteri oklusif, sindroma neurogenik,
lymphedema, gagal jantung kongestif dan obesitas.
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
8.4. Tehnik operasi
Buat tanda – tanda diatas pseudoaneurisma, lakukan insisi kulit di proksimal dan distal letak
pseudoaneurisma, cari arteri dan diamankan dengan pita digantol. Lakukan insisi kulit sesuai
dengan tanda jaringan subkutan dibuka sehingga tampak malformasi pseudoaneurisma
dengan jelas. Kemudian dilakukan evakuasi hematoma dan cari sumber lokasi ruptur dari
arteri dan lakukan rekonstruksi dengan optimal. Setelah dilakukan eksisi, tutup kembali luka
insisi, extremitas kemudian dilakukan bebat tekan sampai 10 menit untuk mengurangi
perdarahan dan hematoma. Kemudian luka tutup kembali.

8.5. Komplikasi Operasi


Komplikasi operasi secara umum adalah Perdarahan, infeksi, lambatnya penyembuhan luka
eksisi pseudoaneurisma, kerusakan jaringan akibat eksisi. Secara waktu, komplikasi yang dini
pasca bedah ialah perdarahan, sedangkan komplikasi yang terjadinya lambat ialah dapat
kemudian terbentuknya hematoma baru serta infeksi yang merupakan komplikasi secara
umum. Adapun komplikasi infeksi, sering terjadi pada sayatan dilipat paha, infeksi berat bisa
terjadi pada bekas saluran stripper, edema tungkai juga dapat terjadi, untuk mencegah

1
dianjurkan menggunakan kaos kaki elastis selama 2 bulan pasca bedah. Kerusakan saraf kulit
( n. Safena atau n. Suralis ), Limfokel, juga Deep Vein Thrombosis.
8.6. Mortalitas
Tidak didapatkan data angka mortalitas pasca tindakan eksisi pseudoaneurisma.
8.7. Perawatan Pascabedah
Kontrol terhadap kemungkinan berbagi penyulit seperti : infeksi dan perdarahan. Kontrol
terhadap klinis dan keluhan penderita seperti nyeri atau sesak. Kontrol terhadap vital sign atas
kemungkinan terjadi internal bleeding dan syok. Kontrol terhadap luka bekas operasi.
Penderita Pascabedah eksisi pseudoaneurisma., dirawat diruangan dengan unit perawat pasien
bedah vaskuler, dilakukan observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dini pada penderita
seperti perdarahan dan pencegahan infeksi.
Dipasang elastic bandage dari distal ke proksial, dengan arah luar kedalam.24 jam pertama
penderita tidak boleh jalan kaki dalam kedudukan elevasi. 48 jam kemudian setelah bebat
dibuka dan luka baik, bebat dipasang dan penderita dapat berjalan pelan – pelan dan
kemudian pulang dengan memakai elastik bandage sampai 2 minggu.
8.8.Follow up
Kontrol luka setiap hari sesuai dengan ruangan perawatan pasien post bedah. Berguna untuk
memantau proses penyembuhan dan kewaspadaan trhadap timbulnya infeksi. Tetap waspada
terhadap risiko nyeri, infeksi dan perdarahan. 1 minggu Pasca Bedah penderita kontrol
kembali untuk angkat jahitan. Tetap waspada terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan.
8.9. Kata kunci: Eksisi pseudoaneurisma

2
8. URAIAN: EKSISI TELEANGIEKTASIS
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan dengan cara eksisi teleangiektasis. Definisi teleangiektasis
yaitu pelebaran venula-venula dengan diameter 1 mm.
b. Ruang lingkup
Kelainan bentuk pembuluh darah suatu telangiektasis yang terbentuk pelebaran venula-venula.
Adapun gejala: rasa terbakar, rasa bengkak, rasa nyeri, rasa berdenyut, kejang dimalam hari,
rasa lelah terutama dilokasi lesi. Dalam kaitan penegakan diagnosis dan terapi, diperlukan
beberapa disiplin ilmu yang terkait antara lain: Bedah Toraks Kardiovaskular dan Radiologi.
c. Indikasi operasi
Teleangiektasis dengan pertimbangan fungsi dan kosmetik.
d. Kontra indikasi
- Teleangiektasis yang menyertai insufisiensi kronis vena dalam. Dimana sebetulnya keluhan
penderita lebih diakibatkan karena insufisiensi tersebut daripada teleangiektasis itu sendiri.
- Teleangiektasis yang menyertai beberapa kondisi kronis yang sebetulnya mendasari keluhan
penderita seperti : artritis degeneratif, penyakit arteri oklusif, sindroma neurogenik, lymphedema,
gagal jantung kongestif dan obesitas
e. Diagnosis Banding
Tumor jaringan lunak, limfangioma, tumor pembuluh darah yang lain (hemangioma)
f. Pemeriksaan penunjang
- USG Doppler
- Arteriografi
Ο
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
8.4. Teknik Operasi
Buat tanda-tanda di atas teleangiektasis dengan "Marking Pencil". Lakukan incisi kulit sesuai
dengan marker yang telah dibuat. Jaringan subkutan dibuka sehingga tampak malformasi
pembuluh darah kapiler atau teleangiektasis dengan jelas. Kemudian diligasi dan dipotong dimana
sebelumnya pembuluh darah sudah dikosongkan. Dilakukan eksisi teleangiektasis. Setelah dilakukan
eksisi, tutup kembali luka insisi, extremitas kemudian ditekan sampai 10 menit untuk mengurangi
perdarahan dan hematoma. Kemudian luka ditutup kembali.
8.5. Komplikasi Operasi
Komplikasi operasi secara umum adalah Perdarahan, infeksi, lambatnya penyembuhan luka eksisi
telangiektasis, kerusakan jaringan akibat eksisi. Secara waktu, komplikasi yang dini pasca bedah ialah
perdarahan, sedangkan komplikasi yang terjadinya lambat ialah dapat kemudian terbentuknya
pelebaran baru serta infeksi yang merupakan komplikasi secara umum. Adapun komplikasi infeksi,
sering terjadi pada sayatan dilipat paha, infeksi berat bisa terjadi pada bekas saluran stripper, edema
tungkai juga dapat terjadi, untuk mencegah dianjurkan menggunakan kaos kaki elastis selama 2
bulan pasca bedah. Kerusakan saraf kulit (n. Safena atau n. Suralis), Limfokel, juga Deep Ven
Thrombosis.
8.6. Mortalitas
Tidak didapatkan data angka mortalitas pasca tindakan eksisi telangiektasis.
8.7. Perawatan pasca Bedah
Kontrol terhadap kemungkinan berbagai penyuht seperti: infeksi dan perdarahan. Kontrol
terhadap klinis dan keluhan penderita seperti nyeri atau sesak. Kontrol terhadap vital sign atas
kemungkinan terjadi internal bleeding dan syok. Kontrol terhadap luka bekas operasi
Penderita pascabedah eksisi teleangiektasis, dirawat diruangan dengan unit perawatan pasien
bedah vaskuler, dilakukan observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dini pada penderita seperti
perdarahan dan pencegahan infeksi.
Dipasang elastic bandage dari distal ke proksimal, dengan arah luar kedalam. 24 jam pertama
penderita tidak boleh jalan kaki dalam kedudukan elevasi. 48 jam kemudian setelah bebat dibuka
dan luka baik, bebat dipasang dan penderita dapat berjalan pelan-pelan dan kemudian pulang
dengan memakai elastik bandage sampai 2 minggu.
8.8. Follow-Up
Kontrol luka setiap hari sesuai dengan ruangan perawatan pasien post bedah. Berguna untuk

1
memantau proses penyembuhan dan kewaspadaan terhadap timbulnya infeksi. Tetap waspada terhadap
resiko nyeri, infeksi dan perdarahan. 1 minggu Pasca Bedah penderita kontrol kembali untuk
angkat jahitan. Tetap waspada terhadap resiko nyeri, infeksi dan perdarahan.
8.9. Kata kunci: teleangiektasi

2
8. URAIAN : DEBRIDEMENT DAN AMPUTASI GANGRENE
8.1. Introduksi
a. Definisi
Kaki diabetes gangrene merupakan salah satu komplikasi dari penyakit vascular akibat
penyakit diabetes.
b. Ruang lingkup
Diagnosis diabetes tidak sukar untuk ditegakkan. Sebaiknya dibiasakan mencari tanda –
tanda kelainan vaskuler pada pasien diabetes, seperti mengecilnya atau menghilangnya
pulsasi perifer. Osteomyelitis tulang metatarsal atau tulang – tulang kaki yang lain akan
terlihat pada pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan Doppler – Ultrasound akan
menjelaskan kelainan hemodinamik dan vaskularisasi setempat, sedangkan arteriografi
menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri, yang
diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya berbeda untuk
setiap pasien diabetik.
c. Indikasi operasi
Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis
luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang
terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen harus
tetap dilaksanakan biarpun keadaan vascular masih belum optimal.
d. Kontra indikasi operasi:
Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus yang tidak
terkontrol merupakan knraindikasi dilakukannya operasi amputasi. Kemudian adanya
infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene tersebut.
e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah :
Gangrene karena sebab yang lain
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaa penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya pemeriksaan
laboratorium, dopler Ultrasound blood flow director, Arteriografi, magnetic Resonance
Agiography

8.3. ALGORITMA DAN PROSEDUR


Algoritma

Iskemia Tungkai

Apakah dari sumbatan vena atau arteri ?

Arteri ULKUS ? YA

Apaka tungkai masih viable ? TIDAK

Debridement
YA TIDAK

Konservatif Amputasi

1
8.4. Tehnik Operasi (Tehnik perawatan konservatif)
Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang diserti selulitis luas,
limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase daerah yang terinfeksi
sebaiknya di lakukan di kamar operasi dan dilakukan secepat mukin. Biasanya diperlukan
beberapa insisi untuk mencapai drainase yang adekuat. Debridemen harus tetap dilakukan
biarpun keadaan vascular masih belum optimal. Baru setelah jelas batas antara jaringan
sehat dan jaringan mati, kita melakukan nekrotomi, membuang semua jaringan mati
termasuk amputasi jari, bila diperlukan. Tapi selalu diingat untuk mempertahankan jaringan
sehat sebanyak mungkin. Hasil akhir pengelolaan kaki diabetes ini ditentukan oleh lokasi
ulkus, luasnya infeksi, kontrol gula darah dan cukup atau tidaknya sirkulasi vaskuler.
Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan merangsang penyembuhan. Kelembaban
( kompres ) ini dipertahankan dengan mengganti kain kasa pembalut 3 – 4 kali sehari.
Cairan yang dipakai sebaiknya cairan isotonik, dan hanya bila korengnya sangat kotor,
penuh nanah jaringan mati dicoba dengan merendam kaki tersebut dengan larutan betadine.
Ulkus yang mulai membaik dilakukan nekrotomi dan bila sudah terlihat jaringan granulasi
dapat dilakukan skin graft.
Bila terjadi peradangan yang tidak dapat diatasi dan ada tanda – tanda penyebaran yang
sangat cepat, maka amputasi harus dipertimbangkan dengan segera dan jangan ditunggu
sampai terlambat. Biasanya dalam waktu 24 – 48 jam sudah terlihat jelas perjalanan
penyakit tersebut. Pertahanan badan daerah sendi tumit lebih kurang terhadap peradangan
dan akan terlihat penyebaran yang cepat yang dapat mengakibatkan septikemi. Seringkali
amputasi harus dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan peradangan berlanjut yang
kadang – kadang bersifat life saving. Tindakan amputasi dapat dilakukan setinggi above
knee, below knee, syme amputation, transmetatarsal
Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi operasi meliputi
Residen lmb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan
mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.
Trauma dari residal limb dapat disebabkan oleh karena cara jalan yang belum biasa
sehingga kemungkinan pasien dapat terjatuh mengakibatkan fraktur terutama pada residual
limb.
Hematoma
Tromboembolisme dapat terjadi karena amputasi merupakan faktor resko ntk terjadinya
Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca
operasi, penyakit dasar yang tidak diobati, dan meligasi vena pada saat operasi bisa
mengakibatkan stagnasi dan aliran darah.
8.6. Mortalitas
Kurang dari 1 %
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Setelah operasi meliputi :
Residual limb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan
mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.
Trauma dari residual
8.7.Perawatan Pasta Bedah
Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah oleh
NaCl dan dilepas setelah 3 — 5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi.
Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan
nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah
pada dirinya — neuropathy dan ischemia - maka pasien ini beresiko untuk
mengalami kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasiem harus
diobati pula. infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan tingkat
resistensinya.
8.8. Follow-Up
Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi,
konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya
dilakukan tempi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan

2
dapat bekerja seperti dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada
orang dengan lebih tua biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama
oleh karena resiko terkena infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya
daya penyembuhan luka. Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan
tertentu yang mengakinbatkan pasien menjadi terhambat dalam melakukan
rehabilitasi, keadaan keadaan seperti adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus
menjadi perhatian.
Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh pasien dapat
mendekati normal dan menambah rasa percaya diri.
Pasien sebelum meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan
mengenai jadwal follow up, cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal
kebersihan.
Jadwal follow-up :
Tahun ke 1 : tiap 6 bulan
Tahun ke 2: tiap I tahun
Tahun ke 3-4 : -
Tahun ke 5: -
Yang dievaluasi :
 Kemampuan pasien dalam melakuka aktivitas sehari hari dengan bagian yang
teramputasi
 Pengkerutan dari sisa amputasi
8.9. Kata Kunci: Diabetes melitus, debridement, amputasi

3
8. URAIAN : EKSISI HEMANGIOMA
8.1. Introduksi
a. Definisi
Eksisi Hemangioma merupakan prosedur pembedahan untuk mengambil hemangioma
pembuluh darah yang biasanya terlentak di kulit. pembedahan meliputi pengambilan
hemangioma dengan meminimalisasi efek samping fisik berupa jaringan parut dan efek
psikologi yang timbul.

b.Ruang Lingkup
Hemangioma merupakan hemangioma pembuluh darah. Sekitar 30% timbul pada saat lahir,
sisanya timbul sekitar beberapa minggu pasca lahir. Biasanya berupa titik berwarna pucat
dengan batas tegas, dan semakin jelas apabila bayi menangis. Bentuk hemangioma sangat
sangat bervariasi, mulai dari yang berbentuk datar, kemerahan yang dikenal sebagai
hemangioma superficial, sampai dengan bentuk hemangioma yang terletak dilapisan dalam
kulit dan berwarna biru yang dikenal sebagai hemangioma profunda. Selama usia 6 – 18
bulan, hemangioma mengalami pertumbuhan ukuran yang pesat, hal ini disebabkan karena
pembelahan abnormal sel – sel. Bentuk akhir hemangioma sangat bervariasi. Hampir semua
hemangioma, membutuhkan waktu lambat dan panjang untuk menyelesaikan proses
involusi. Proses ini terjadi setelah proses proliferasi. Tanda awal proses involusi adalah
warna merah tumor yang semakin dalam, permukaan tumor tampak abu – abu, dan
timbulnya titik putih. Pada umumnya, 50% dari semua hemangioma menyelesaikan tahap
involusi pada umur 5 tahun, dan 50% - 75% sisanya selesai umur 7 tahun.
c. Indikasi operasi
1. Pertumbuhan tumor mengancam nyawa
2. Pertumbuhan tumor menimbulkan masalah medis atau psikososial
3. Tumor yang mengalami ulserasi
d. Kontra indikasi operasi:
Perlu dipertimbangkan apabila letak kelainan pada organ vital.
e. Diagnosis banding untuk hemangioma
Lymphangioma, AV malformasi
f. Pemeriksaan penunjang:
1. Laboratorium darah lengkap
2. Radiografi
3. CT Scan
4. MRI
5. Angiografi
6. Biopsi

1
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma
Hemangiomatosis
Hemangioma
Sinovia

Penyakit
Gorhan

Hemangioma Hemangioma
Intramuskuler Osseus
Kasabach Merritt
Sindrome

Hemangioma

Pemeriksaan
Penunjang
1. Laboratorium
2. Radiolografi
3. CT Scan
4. MRI
5. Angiografi
6. Biopsi

Medikamentosa Operasi

8.4. Tehnik Operasi


Lakukan aseptik dan antiseptik pada daerah operasi lalu berikan anestesi lokal jika
hemangioma tidak terlalu besar. Anestesi dilakukan blok atau infiltrasi. Jika hemangioma
tidak terlalu besar maka eksisi dilakukan secara lentikular atau bentuk seperti lensa/elips
dengan sumbu panjang searah dengan arah ketegangan kulit sehingga akan menghasilkan
jaringan parut yang minimal berupa garis lurus. Angkat semua jaringan vaskular yang
abnormal. Hentikan perdarahan yang terjadi baik dengan ligasi ataupun diatermi. Tutup luka
operasi lapis demi lapis. Pada hemangioma yang luas mungkin diperlukan angiografi untuk
mengetahui detil vaskular yang memperdarahi lesi tersebut dan juga tehnik embolisasi untuk
memblok pembuluh darah tersebut. Kemudian dilanjutkan pengangkatan seluruh lesi vaskular
abnormal tersebut.
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi tersering adalah perdarahan durante operasi. Hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan thermoscapels (scapel dengan tenaga panas listrik) atau
diatermi/elektrokoagulan.
8.6. Mortalitas

2
Angka morbiditas dan mortalitas pasca pembedahan hampir mendekati nol, hal ini
disebabkan oleh adanya tehnik pembedahan yang baru dan instrumen pembedahan yang
mencegah perdarahan intra operatif.
8.7. Perawatan Pasca Operasi]
Pasca operasi, tempat dimana dilakukan pembedahan, ditutup secara steril, dan rawat luka
dang anti penutup luka secara rutin. Penderita melakukan level aktifitas minimal. Tujuan
perawatan ini untuk mencegah hematoma pasca operasi.
8.8. Follow – Up
Penilaian penanganan lebih lanjut dari pemulihan gejala dan kejadian berulang dari
hemangioma sangat diperlukan
Yang dievaluasi : Gejala Klinis
Pertumbuhan Tumor
8.9 Kata Kunci : Eksisi Hemangioma

3
8. URAIAN: PERAWATAN TRAUMA TORAKS KONSERVATIF
8.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu tindakan perawatan trauma toraks tanpa disertai pembedahan
b. Ruang lingkup
Trauma toraks ialah trauma yang mengenai dinding dada, baik trauma tajam maupun tumpul.
Trauma ini dapat menyebabkan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis. Perawatan trauma toraks
konservatif dilakukan berdasarkan patofisiologi dari ketiga hal tersebut.
c. Indikasi operasi
Trauma toraks tanpa disertai ancaman kematian
Jika fasilitas sarana dan prasarana tidak memadai.
d. Kontra indikasi (tidak ada)
e. Diagnosis Banding (tidak ada)
f. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks serial, analisa gas darah
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma
1. Pneumotoraks kurang dari 30% atau hematotoraks ringan (300cc)  terapi
konservatif, observasi
2. Pneumotoraks lebih dari 30% atau hematotoraks sedang (300-800cc)  drainase cavum
pleura dengan WSD
3. Pneumotoraks residif lebih dari dua kali, pertimbangkan torakotomi
4. Hematotoraks masif (lebih dari 800cc atau 5cc/ kg per jam)  torakotomi
5. Fraktur iga segmental dan multiple tanpa distress napas  konservatif
8.4. Teknik Operasi (tidak ada)
8.5. Komplikasi Operasi (tidak ada)
8.6. Mortalitas
Kurang dari 2%
8.7. Teknik perawatan konservatif
Berdasarkan pedoman dari Advanced Traumatic Life Support yaitu:
Airway maintenance with cervical spine control
Breathing and ventilation
Circulation and hemorrhage control
Disability; neurologic status
Exposure/ environtmental primary survey
Monitoring terhadap tanda-tanda distress napas berupa peningkatan frekuensi napas lebih dari 25
kali permenit dengan tidal volume kurang dari 4 ml/kg.
Dalam 24 jam pertama dilakukan pemeriksaan foto toraks serial per enam jam untuk
mengetahui secara dini terjadinya pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru atau fraktur
costa.
Pada kasus dengan pneumotoraks dan atau hematotoraks dilakukan pemasangan chest tube yang
disambungkan ke WSD. Dianjurkan dengan sistem continuous suction unit. Pada pneumotoraks
terbuka (open pneumothorax) dipasang plester 3 sisi agar udara tidak bisa inspirasi masuk
rongga pleura tapi udara tekanan tinggi bisa keluar sehingga tension pneumothorax tidak
terjadi tidal.
Pada tension pneumotoraks dilakukan penusukan langsung menggunakan trokar atau jarum suntik
terbesar yang ada diatas iga pada ICS 2 midclavicular line sisi yang terkena. Kemudian dilanjutkan
dengan pemasangan chest tube setinggi putting susu pada anterior midaxillaris sisi yang terkena.
Pada kasus dengan kontusio paru, perawatan dengan mempertahankan oksigenisasi yang baik, menjaga
kebersihan paru yang adekuat, pemberian cairan kristaloid yang sesuai kebutuhan. Pada pasien
yang tidak berespon dilakukan intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik.
8.8. Follow-Up
Klinik, komplikasi yang terjadi 0-30 hari
8.9. Kata kunci: Trauma toraks, perawatan konservatif

1
2
8. URAIAN: OPERASI RESEKSI/ EKSISI ANEURISMA PERIFER
8.1. Introduksi
a. Definisi
Kelainan setempat berupa dilatasi pada pembuluh darah (arteri, vena) dengan diameter
meningkat lebih dari 50% dari ukuran pembuluh darah normal. Penyebabnya ialah
degenerasi aterosklerosis, sekunder tindakan operasi atau pasca trauma.
b. Ruang Lingkup
Kelainan pembuluh darah berupa aneurisma di ferifer
c. Indikasi Opersi
Setiap ditemukan aneurisma a-v perifer
d. Kontra Indikasi (tidak ada)
e. Diagnosis Banding (tidak ada)
f. Pemeriksaan Penunjang (tidak ada)
8.3. Algoritma dan Prosedur
Algoritma (tidak ada)
Persiapan Operasi
Persiapan rutin, yaitu seperti pemeriksan laboratorium seperti operasi lainnya. Namun
kondisi albumin dan globalin harus dalam keadaan baik karena dapat mengganggu
keseimbangan tekanan hidrotatik dan onkotik paru. Keadaan khusus yang harus
diperhatikan adalah kondisi paru, bila ada kontusio, pneumothorak atau hematothorak dal
lain – lain harus dikoreksi terlebih dahulu.
8.4. Teknik Operasi
Posisi penderita tergantung letak aneurisma perifer
Insisi kulit diatas kelainan, termasuk diproximal dan distal dari kelainan
Bagian proximal dan distal a/v diidentifikasi dan digantal dengan pita dengan tujuan
untuk mengontrol perdarahan.
Sebelumnya berikan heparin 5000 unit (untuk orang dewasa) secara bolous i.v dan dapat
diulang setelah 2 jam.
Aneurisma dieksisi apabila tipe bertangkai dan pembuluh darah langsung dijait dengan
jaitan otomatis (Prolene 4-0 atau 3-0) atau direseksi dan pembuluh darah proximal dan
distal dire-anostomosis langsung apabila gap-nya < 2-3 cm atau dilakukan interposisi
dengan graft vena saphena magna/ prothesisdacron apabila gap-nya > 3 cm. Pasca bedah
pasang redon drain, pemberian antikoagulan heparin dan low molecular Dextran (2 hari)
dan selanjutnya diteruskan antikoagulan oral sesuai kebutuhan
8.5. Komplikasi Operasi
- Infeksi
- Perdarahan
- Stenosis pada tempat anostomosis
- Folksmann inchaemic
8.6. Mortalitas
Kurang dari 1%
8.7. Perawatan Pasca Operasi
Pemantauan tanda–tanda vital dan saturasi oksigen, berikan analgetik kuat, mukolitik dan
obat antitusif. Fisioterapi dilakukan di hari ke tiga
8.8. Follow-Up
Terhadap tanda-tanda iskemik di bagian distal (perifer)
8.9. Kata Kunci: Aneurisma perifer, reseksi, eksisi, anastomosis

Anda mungkin juga menyukai