Anda di halaman 1dari 15

PAPER MANAJEMEN SUMBERDAYA ALAM

KOMPONEN IKLIM DALAM MANAJEMEN SUMBERDAYA


ALAM DIBIDANG PERTANIAN

Disusun oleh :

Nama : Rofiq Agiel Prastya


No. Mahasiswa : 20180210137

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
A. PENGERTIAN IKLIM
Iklim adalah gambaran cuaca suatu daerah dalam jangka waktu yang
cukup lama, sedangkan cuaca merupakan keadaan fisis atmosfer pada waktu
dan tempat tertentu. Keadaan fisis atmosfer ini menggambarkan berbagai
unsur cuaca yang meliputi suhu, curah hujan, tekanan, laju serta arah angin,
perawanan, kelembaban dan penyinaran matahari. Iklim, biasanya tidak
dinyatakan dengan semua unsur iklim tetapi hanya menggunakan dua atau tiga
unsur yang di anggap dapat mewakilinya, misalnya suhu dan curah hujan.
Rekaman waktu yang silam menunjukkan bahwa iklim selalu berubah sesuai
dengan waktunya (Prawiriwardoyo, 1996).
Berdasarkan dimensinya iklim dibagi menjadi tiga yaitu, iklim mikro,
iklim makro, dan iklim meso. Iklim mikro adalah keadaan yang
menggambarkan situasi iklim suatu wilayah di sekitar organisme, batasan
ruang lingkupnya tergantung organisme. Iklim meso merupakan keadaan rata
– rata cuaca yang menggambarkan situasi iklim suatu wilayah yang
dimensinya antara 1 – 100 km. Sedangkan iklim makro adalah keadaan
menggambarkan situasi iklim suatu wilayah yang dimensinya lebih dari 100
km.
Penilaian iklim biasanya didasarkan pada keberadaan parameter-
parameter seperti curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin yang dilihat
secara berurutan (Time Series) dan didukung pula dengan keberadaan
geografis daerah. Daerah dengan bentuk lahan pegunungan akan mempunyai
iklim yang berbeda dengan daerah yang bentuk lahannya berupa dataran
rendah. Suatu wilayah akan mempunyai iklim yang berbeda-beda
dibandingkan dengan wilayah yang lainnya.

B. KOMPONEN-KOMPONEN IKLIM
Ada beberapa komponen-komponen dalam iklim antara lain sebagai berikut :
1. Suhu udara
Suhu dalam Glossary of Meteorology didefinisikan sebagai derajat
panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan
menggunakan berbagai tipe termometer. Namun berbeda antara suhu
dengan panas, menurut hukum termodinamika panas adalah energi total dari
pergerakan molekuler suatu benda. Lebih besar pergerakan-pergerakan itu
maka lebih panas benda itu, sedangkan suhu merupakan ukuran energi
kinetis rata-rata dari pergerakan molekul. Jadi panas adalah ukuran energi
sedangkan suhu adalah energi rata-rata dari tiap molekul.
Suhu udara bervariasi menurut ketinggian tempat, semakin tinggi
suatu tempat dari permukaan laut semakin rendah suhunya, semakin dingin
udaranya. Suhu turun rata-rata sebesar 0,6 0C setiap ketinggian tempat naik
100 meter. Variasi suhu dipengaruhi oleh: lama penyinaran matahari,
semakin tinggi matahari, semakin tinggi suhu, dan sebaliknya semakin
berkurang sinar matahari maka semakin berkurang suhu udara. Selain itu,
suhu juga dipengaruhi oleh relief permukaan bumi, kondisi awan, letak
lintang suatu tempat dan sifat permukaan bumi. Perbedaan sifat darat dan
laut akan mempengaruhi penyerapan dan pemantulan radiasi matahari.
Permukaan darat akan lebih cepat menerima dan melepaskan panas energi
radiasi matahari yang diterima di permukaan bumi. Akibatnya menyebabkan
perbedaan suhu udara di atasnya (Swarinoto, 2011).
Suhu akan mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan
transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat
memprakirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka
bumi, maka dari itu, penting untuk mengetahui bagaimana menentukan
besarnya suhu udara (Asdak, 2002).

2. Curah Hujan
Curah hujan adalah air hujan yang diukur dari ketinggian air dari
tempat yang datar dengan ukuran millimeter (mm). Curah hujan satu
millimeter sama dengan air hujan sebanyak satu liter yang ditampung
ditempat datar seluas satu meter persegi. Curah hujan dapat dikelompokkan
dalam 3 bagian, yaitu 1) curah hujan di atas normal (AN), apabila curah
hujan lebih dari 115 persen dari rata-rata curah hujan, 2) curah hujan normal
(N), apabila nilai curah hujan antara 85 – 115 persen dari rata-rata, dan 3)
curah hujan di bawah normal (BN), apabila curah hujan kurang dari 85
persen dari rata-rata curah hujan (Kurniawati, 2012).
Pengaruh faktor fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya terhadap
unsur-unsur iklim/cuaca telah menghasilkan 3 (tiga) tipe curah hujan, yakni:
tipe ekuatorial, tipe monsun dan tipe lokal. Ada beberapa faktor fisis penting
yang ikut berperan terhadap proses terjadinya hujan di wilayah Indonesia, di
antaranya adalah: posisi lintang, ketinggian tempat, pola angin (angin pasat
dan monsun), sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan dan
gunung-gunung yang tinggi. Faktor-faktor tersebut, secara bersama-sama
atau gabungan antara dua faktor atau lebih akan berpengaruh terhadap
variasi dan tipe curah hujan. Berdasarkan proses terjadinya, paling tidak ada
3 tipe pola curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia, yakni tipe
ekuatorial, monsun dan lokal.

3. Kelembaban Udara Relatif


Kelembaban udara (relatif) adalah perbandingan uap air dalam udara
dengan jumlah uap air maksimum dalam udara pada suhu tertentu.
Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau
memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang
pendek yang menuju ke permukaan bumi. Kelembaban udara juga
membantu menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari
permukaan bumi pada siang hari dan malam hari (Asdak, 2002).
Kelembaban udara relatif sangat dipengaruhi oleh variasi suhu udara
dan curah hujan, suatu Wilayah dengan curah hujan yang tinggi akan
menyebabkan wilayah tersebut juga memiliki kelembaban udara relatif
tinggi, misalnya pada wilayah tropis, yang dicirikan dengan jumlah hujan >
2.500 mm per tahun. Selain itu, kelembaban udara relatif juga dipengaruhi
oleh penggunaan lahan dengan kerapatan vegetasinya. Di daerah yang
vegetasinya masih lebat, ketika turun hujan dengan curah yang tinggi, maka
daerah tersebut suhu udaranya akan rendah dan sebaliknya kelembaban
nisbinya akan tinggi (Kartasapoetra, 2006). Pengaruh kelembaban relatif
terhadap produksi tanaman secara langsung mempengaruhi hubungan air
dan tanaman serta secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan daun,
fotosintesis, penyerbukan, dan terjadinya serangan penyakit dan hasil
produksi (Kartasapoetra, 2006).

4. Radiasi Matahari
Radiasi Matahari adalah pancaran energi yang berasal dari proses
thermonuklir yang terjadi di matahari. Ada beberapa radiasi solar, yang
terpenting: radiasi elektromagnetik (yang berhubungan dengan listrik dan
magnet). Radiasi elektromagnetik bisa dibedakan, (1) radiasi yang terlihat
oleh mata kita (visible radiation) (cahaya), (2) radiasi yang dapat kita
rasakan (kulit, wajah), namanya radiasi infra merah. Panjang gelombang
radiasi inframerah lebih panjang daripada panjang gelombang cahaya
(visible radiation). Gelombang elektromagnetik menyebar dalam bentuk 3
dimensi (volumen), seperti halnya gelombang yang tersebar membentuk
sebuah bola (esfera). Dalam hal ini, volumen di sekitar gelombang
elektromagnetik bisa berbentuk: benda keras, cairan, gas, tapi bisa juga
kekosongan (vacuum).
Ada 6 (enam) faktor yang mempengaruhi jumlah total energi
matahari yang diterima di permukaan bumi, yaitu:
1.1. Posisi lintang
posisi lintang akan menentukan besar kecilnya sudut datang sinar
matahari pada permukaan bumi. Jumlah energi yang diterima oleh
permukaan bumi berbanding lurus dengan besarnya sudut datang.
1.2. Panjang hari
(sun duration), yaitu selisih waktu antara matahari terbit dan matahari
terbenam. Makin panjang selisih waktunya, maka permukaan bumi akan
menerima energi yang lebih besar.
1.3. Musim
Faktor ini terkait dengan factor pertama dan kedua yang disebutkan di
atas, dimana daerah lintang tinggi yang hanya memiliki empat musim akan
menerima energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lintang
rendah (khatulistiwa).
1.4. Ketebalan lapisan atmosfer
Tidak semua sinar matahari akan sampai pada permukaan bumi.
Sebagian sinar matahari yang melalui atmosfer akan diserap oleh gas-gas,
debu dan uap air yang ada di lapisan atmsofer, dipantulkan kembali,
dihamburkan dan sisanya baru diteruskan ke permukaan bumi.
1.5. Albedo (α)
Albedo adalah nisbah atau selisih antara energi radiasi yang
dipantulkan oleh permukaan dan energi radiasi yang masuk ke permukaan
(diserap). Permukaan yang memiliki nilai albedo yang rendah berarti akan
menyerap energi lebih banyak. Sebagai contoh, albedo untuk es atau salju
lebih tinggi dari albedo untuk tanah karena es atau salju akan memantulkan
balik hamper seluruh energi radiasi yang sampai ke permukaannya (α = 1).
Kemampuan suatu benda meradiasikan energi yang diserapnya disebut
emisivitas sedangkan perbandingan radiasi yang dipantulkan dengan radiasi
yang datang pada suatu benda dinamakan albedo. Emisivitas dan albedo tiap
obyek berbeda jumlahnya, dipengaruhi jenis, karakter dan warna
permukaan.
1.6. Bentuk rupa bumi (topografi) dan vegetasi
Perbedaan topografi dan keberadaan vegetasi akan berpengaruh
terhadap jumlah energi yang akan dipantulkan oleh permukaan bumi.
Daerah dengan bentuk topografi yang rata tentu akan lebih banyak
menerima energi dibandingkan dengan daerah dengan topografi perbukitan.
Hal ini terkait dengan besar sudut dating sinar matahari yang akan sampai
ke permukaan bumi. Demikian pula, permukaan bumi yang ditutupi oleh
vegetasi tentu akan menerima energi lebih sedikit jika dibandingkan dengan
daerah yang terbuka.
Radiasi matahari merupakan unsur iklim/cuaca utama yang akan
mempengaruhi keadaan unsur iklim/cuaca lainnya. Perbedaan penerimaan
radiasi surya antar tempat di permukaan bumi akan menciptakan pola angin
yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kondisi curah hujan, suhu
udara, kelembaban nisbi udara, dan lain-lain. Pengendali iklim suatu
wilayah akan sangat berbeda dari pengendali iklim di bumi secara
menyeluruh. Pengendali iklim bumi yang dikenal sebagai komponen iklim
terdiri dari lingkungan atmosfer, hidrosfer, litester, kriosfer, dan biosfer.
Dalam hal ini akan terjadi hubungan interaksi dua arah di antara ke lima
jenis lingkungan tersebut dengan unsur iklim/cuaca.

5. Angin
Angin adalah suatu bentukan energi surya yang terjadi ketika
matahari memanaskan udara yang kemudian menyebabkan udaranya naik
dan membentuk suatu vakum, kemudian vakum turun ke udara yang lebih
dingin membentuk angin. Angin juga terjadi karena pemanasan bumi yang
tidak sama oleh matahari. Para ahli mengestimasikan bahwa 2% dari energi
sinar matahari yang diterima oleh bumi dikonversi menjadi energi kinetik
angin.
Angin adalah udara yang bergerak karena adanya perbedaan tekanan
di permukaan bumi ini. Angin akan bergerak dari suatu daerah yang
memiliki tekanan tinggi ke daerah yang memiliki tekanan yang lebih
rendah. Angin yang bertiup di permukaan bumi ini terjadi akibat adanya
perbedaan penerimaan radiasi surya, sehingga mengakibatkan perbedaan
suhu udara. Adanya perbedaaan suhu tersebut meyebabkan perbedaan
tekanan, akhirnya menimbulkan gerakan udara. Perubahan panas antara
siang dan malam merupakan gaya gerak utama sistem angin harian, karena
beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan laut atau antara udara
diatas tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah (lembah) (Habibie dkk,
2011).
Kecepatan dan arah angin masing-masing diukur dengan anemometer
dan penunjuk arah angin. Anemometer yang lazim adalah anemometer
cawan yang terbentuk dari lingkaran kecil sebanyak tiga (kadang-kadang
empat) cawan yang berputar mengitari sumbu tegak. Kecepatan putaran
mengukur kecepatan angin dan jumlah seluruh perputaran mengitari sumbu
itu memberi ukuran berapa jangkau angin, jarak tempuh kantung tertentu
udara dalam waktu yang ditetapkan.
Kecepatan angin sangat berpengaruh terhadap vegetasi tanaman dan
daerah di sekitarnya. Pengaruh angin pada tanaman antara lain dapat
meningkatkan laju transpirasi, karena dengan kecepatan angin yang tinggi
disertai dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah maka akan ada
pemasukan CO2 sehingga laju transpirasinya tinggi. Meningkatnya suhu
udara maka energi kinetik molekul airnya bertambah sehingga lepas dari
permukaan air, dengan kecepatan angin yang tinggi maka laju
evapotranspirasinya bertambah sampai batas tertentu. Tekanan uap air ke
atmosfer yang rendah mengakibatkan proses evapotranspirasi lebih cepat.
Evapotranspirasi penting sebagai unsur dari siklus hidrologi dan sebagai
penyedia air yang dapat mencukupi tubuh tumbuhan sepanjang waktu.
Dengan mengetahui penguapan, kita dapat menetukan cara penanaman dan
efektifitas tanam ( Kurniawan, 2012).

6. Awan
Awan Merupakan titik-titik air (cair atau padat) yang tampak dan
melayang-layang diatmosfer dengan ukuran yang relatif kecil dan akan jatuh
sebagai curahan (hujan, hujan es, atau salju). Berdasarkan bentuknya awan
dapat dibedakan menjadi awan tetes (bila partikelnya terdiri dari tetes air)
dan awan es (bila partikelnya terdiri dari Kristal es).
Udara selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap menjadi
titik-titik air, maka terbentuklah awan. Apabila awan telah terbentuk, titik-
titik air dalam awan akan menjadi semakin besar dan awan itu akan menjadi
semakin berat, dan perlahan-lahan daya tarik bumi menariknya ke bawah.
Hingga sampai satu titik dimana titik-titik air itu akan terus jatuh ke bawah
dan turunlah hujan. Jika titik-titik air tersebut bertemu udara panas, titik-
titik itu akan menguap dan awan menghilang. Inilah yang menyebabkan itu
awan selalu berubah-ubah bentuknya. Air yang terkandung di dalam awan
silih berganti menguap dan mencair (Pramudia dkk, 2008).
Awan sebagai penghalang terhadap radiasi matahari maupun radiasi
bumi. Awan sebagai pemantul yang baik terhadap radiasi matahari,
sebaliknya awan sebagai penyerap yang baik terhadap radiasi bumi.
Intensitas penghalang ini tergantung pada ketinggian awan. Makin tinggi
awan, semakin berkurang efektifitas awan dalam menahan radiasi surya
maupun radiasi bumi. Sehingga awan sangat berpengaruh terhadap neraca
radiasi (keseimbangan pancaran) dan efek rumah kaca di alam.

7. Evaporasi
Evaporasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap yang terjadi
pada permukaan tanah. Uap ini kemudian bergerak dari permukaan tanah
atau permukaan air ke udara. Pengukuran air yang hilang melalui penguapan
(evaporasi) perlu diukur untuk mengetahui keadaan kesetimbangan air
antara yang didapat melalui curah hujan dan air yang hilang melalui
evaporasi. Alat pengukur evaporasi yang paling banyak digunakan sekarang
adalah Panci kelas A. Evaporasi yang diukur dengan panci ini dipengaruhi
oleh radiasi surya yang datang, kelembapan udara, suhu udara dan besarnya
angin pada tempat pengukuran (Hanum, 2009).
Laju evaporasi bergantung masukan energi matahari yang diterima.
Semakin besar jumlah energi matahari yang diterima, maka semakin banyak
molekul air yang diuapkan. Ketika air dipanaskan oleh sinar matahari,
permukaan molekul-molekul air memiliki cukup energi untuk melepaskan
ikatan molekul air tersebut dan kemudian terlepas dan mengembang sebagai
uap air yang tidak terlihat di atmosfir.
Terdapat berbagai faktor yang menghambat dan mempercepat
kecepatan dan jumlah penguapan diantaranya adalah: (1) Suhu, dengan
kenaikan suhu air dan tekanan uap air, kemampuan titik-titik air untuk
menguap ke udara mengalami kenaikan dengan cepat; (2) Kelembaban
udara, dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara. Penguapan akan lebih besar
apabila kelembaban nisbi rendah; (3) Angin, angin sangat mempercepat
terjadinya penguapan, karena angin mengganti udara basah dekat
permukaan air dengan udara kering; (4) Susunan air, penguapan lebih tinggi
pada air tawar dari pada air asin; (5) luas permukaan, penguapan akan lebih
besar pada daerah yang memiliki permukaan yang luas; (6) Tekanan Udara,
pada umumnya jika tekanan udara lebih rendah di atas permukaan air,
penguapannya lebih besar; (7) Panas laten penguapan.

C. IKLIM DALAM PERTANIAN


Klimatologi atau ilmu iklim adalah cabang ilmu pengetahuan yang
membahas sintesis unsur-unsur cuaca dan berkaitan dengan faktor-faktor yang
menentukan dan mengontrol distribusi iklim di atas permukaan bumi. Faktor-
faktor yang mempengaruhi iklim suatu wilayah adalah posisi garis lintang,
ketinggian tempat, daratan dan air, massa udara, dan angin, sabuk tekanan
tinggi dan rendah, halangan pegunungan, arus laut, luas hutan, dan
sebagainya.
Sedangkan Klimatologi Pertanian diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari dan membahas berbagai aspek iklim yang berhubungan dengan
permasalahan pertanian. Di dalam arti sempit, pertanian hanya meliputi
tanaman, dan dalam arti luas juga meliputi peternakan dan perikanan.
Pengetahuan yang luas tentang berbagai hubungan antara iklim dan
subjek-subjek pertanian dan peternakan, memungkinkan penggalian potensi
iklim di tiap tempat untuk perencanaan intensifikasi dan ekstensifikasinya.
Manfaat utama Klimatologi Pertanian adalah sebagai dasar strategi dalam
penyusunan rencana dan kebijakan pengelolaan usahatani pertanian dan
peternakan. Lingkup kebijakan dapat meliputi sebidang lahan, suatu wilayah
atau teritorial pertanian maupun untuk kebijakan pada lingkup nasional yang
meliputi berbagai hal sebagai berikut:
1. Seleksi terhadap kultivar tanaman, spesies, dan ras ternak yang
beradaptasi baik dengan kondisi iklim setempat sehingga potensial untuk
dibudidayakan secara luas.
2. Memiliki wilayah-wilayah yang kondisi iklimnya sesuai untuk
pengembangan suatu kultivar tanaman dan ras ternak tertentu yang baru
diintroduksi dari daerah lain atau dari luar negeri.
3. Berbagai hasil penelitian dan percobaan memungkinkan untuk memilih
teknologi yang terbaik untuk perbaikan iklim mikro sehingga dapat
mendorong pertumbuhan, perkembangan, serta produksi tanaman dan
ternak baik jumlah maupun mutunya. Contohnya penggunaan berbagai
jenis mulsa, rumah kaca, rumah plastik, rumah jaring, irigasi, dan
drainase dalam budidaya tanaman. Dibidang peternakan dilakukan
perbaikan desain kandang, sistem ventilasi, drainase, sanitasi, dan
pengaturan kepadatan populasi ternak di dalam kandang.
4. Pengaturan pola tanam meliputi jadwal pergiliran tanaman dan pemilihan
kultivar untuk penanaman tumpangsari.
5. Pewilayahan komoditas pertanian dan pemetaannya.
Klimatologi pertanian melibatkan interaksi setiap hari secara
berkelanjutan dalam kurun waktu lama antara cuaca dan hidrologi sebagai
komponen fisika lingkungan atau iklim di satu sisi, dengan komponen-
komponen pertanian dalam arti luas di sisi lainnya. Secara luas pertanian
meliputi budidaya: tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman
hortikultura, kehutanan, dan usaha peternakan. Sebenarnya dapat
ditambahkan budidaya perikanan darat (rawa, danau, tambak, kolam, dan
sebagainya), tetapi tidak seluas penangkapan ikan di laut sehingga jarang
dikaitkan dalam pertanian.
Sedangkan istilah Agroklimatologi menurut Bargumono (2012)
merupakan ilmu iklim yang mempelajari tentang hubungan antara unsur-
unsur iklim dengan proses kehidupan tanaman. Yang dipelajari dalam
agroklimatologi adalah bagaimana unsur-unsur iklim itu berperan di dalam
kehidupan tanaman. Kita akan mempelajari bagaimana agar fotosintesis bisa
tinggi, respirasi optimal, transpirasi normal, sehingga hasil bisa tinggi. Arah
dari ilmu ini adalah bagaimana fotosintesis bisa lebih tinggi dari respirasi
yang dipengaruhi unsur udara dan air. Beberapa manfaat agroklimatologi bagi
pertanian antara lain:
a. Mengetahui kapan tanaman tersebut melakukan stadia tumbuhnya.
b. Mengetahui umur dari suatu tanaman.
c. Dapat merancang pola tanam.
d. Dapat mem-planning kapan waktu yang tepat untuk melakukan proses
pembudidayaan tanaman, misalnya menentukan jadwal pemupukan,
jadwal penyemprotan.
e. Dapat mengetahui tanaman yang sesuai untuk suatu daerah.
Badan koordinasi survey tanah nasional (bakorsurtanal) membagi
zona iklim untuk kepentingan pertanian, menjadi empat zona agroklimat antar
lain:
a) Perhumid (Selalu Basah)
b) Udik (Selalu Lembab)
c) Ustik (kering musiman)
d) Aridik (Selalu Kering)
Untuk meningkatkan produksivitas dalam suatu sistem pertanian perlu
pendekatan terpadu terhadap faktor-faktor atau komponen agroekosistem,
termasuk iklim dan cuaca. Pemahaman iklim setiap lokasi dimana terdapat
kegiatan pertanian merupakan kunci keberhasilan pemanfaatan sumberdaya iklim
atau cuaca tersebut.
Karakteristik iklim mencerminkan perpaduan pengaruh unsur-unsurnya
dan biasanya dicirikan oleh tipe atau kelas iklim. Banyak metode klasifikasi iklim
yang digunakan antara lain metode koppen yang merupakan metode yang banyak
digunakan. Metode ini menggunakan sebaran rata-rata tahunan dan bulanan dari
suhu udara dan curah hujan. Selain metode klasifikasi koppen (1931) banyak pula
digunakan metode lain yaitu Schmidt dan fergusson (1951), metode klasifikasi
menurut Oldeman (1975) Dan metode Mohr (1933). Pada dasarnya untuk
keperluan tanaman pangan atau semusim digunakan metode klasifikasi iklim
menurut oldeman.

D. PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTANIAN


Variabilitas dan perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global
(global warming) merupakan salah satu tantangan terpenting pada milenium
ketiga. Sejumlah bukti baru hasil berbagai studi mutakhir memperlihatkan
bahwa faktor antropogenik, terutama perkembangan industri yang sangat
cepat selama 50 tahun terakhir telah memicu terjadinya pemanasan global
secara signifikan. Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan frekuensi
maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta
peningkatan suhu dan permukaan air laut.
Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat
didefinisikan sebagai tingkat kekurangberdayaan suatu sistem usaha tani
dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara
optimal dalam menghadapi cekaman perubahan iklim. Menurut Las et
al.,(2010), Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan dengan
kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan
lingkungan. Kerentanan dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (exposure)
terhadap bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika iklim itu sendiri.
Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara fisik, produk, maupun
secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim.
Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap
perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan
manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cakeman, teutama cekaman
(kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan
dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi
pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman. Tiga faktor utama
yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap
sektorpertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan
kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.
Peningkatan suhu udara global selama 100 tahun terakhir menyebabkan
terjadinya peningkatan transpirasi yang selanjutnya menurunkan produktivitas
tanaman pangan, meningkatkan konsumsi air, mempercepat pematangan
buah/biji, menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama
penyakit tanaman. Dampak paling nyata adalah penciutan lahan pertanian di
pesisir pantai (Jawa, Bali, Sumatera Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat,
dan Kalimantan), kerusakan infrastruktur pertanian, dan peningkatan salinitas
yang merusak tanaman (Las, 2008).
Menurut Las et al (2010), Beberapa program yang dapat dilaksanakan
Dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim sebagai berikut :
 Penyusunan strategi dan perencanaan pengembangan infrasruktur,
terutama jaringan irigasi, termasuk saluran tersier dan cacing.
Kemampuan jaringan irigasi mengatur dan mendistribusikan air akan
mengurangi risiko pertanian akibat banjir dan kekeringan.
 Evaluasi tata ruang, mencakup pengaturan penggunaan lahan untuk
menyesuaikan jenis dan verietas tanaman dengan daya dukung lahan.
Komoditas strategis, namun rentan terhadap perubahan iklim, seperti
pada umumnya tanaman pangan dialokasikan pada lahan-lahan yang
infrastrukturnya memadai.
 Peningkatan kapasitas SDM dalam pemahaman perubahan iklim dan
penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Untuk
Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif,
terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam,
penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/
banjir, salinitas, dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian,
teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air,diversifikasi pangan dan lain-
lain. Sedangkan program mitigasi lebih difokuskan pada aplikasi
teknologi rendah emisi baik pada tanaman pangan, perkebunan, dan
hortikultura serta peternakan seperti pengembangan varietas unggul dan
jenis tanaman yang rendah emisi dan atau dengan kapasitas absorbsi
karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan
pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, bio pestisida dan
pakan ternak rendah emisi GRK.
 Pengembangan sistem informasi dan peringatan dini banjir dan
kekeringan.
 Pengembangan sistem asuransi pertanian risiko iklim.
 Penyusunan dan penyebarluasan panduan umum antisipasi perubahan
iklim yang mencakup blue print banjir & kekeringan, wilayah prioritas
penanganan dan kalender tanam.
 Penyusunan dan penerapan (enforcement) peraturan perundangan
mengenai tata guna lahan dan metode pengelolaan lahan, misalnya
larangan pembakaran di lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, Chay . 2002. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Bargumono. 2012. Agro Klimatologi. Fakultas Pertanian UPN Veteran
Yogyakarta. Yogyakarta.
Habibie Najib., Sasmito Achmad, Kurniawan. 2011. Kajian Potensi energi Angin
di Wilayah Sulawesi dan Maluku. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol
12 (2), September 2011 : 181-187.
Hanum. 2009. Penuntun Praktikum Agroklimatologi. Program Studi Agronomi.
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra, A.G. 2006. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan
Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.
Kurniawati, F. 2012. Pengetahuan Dan Adaptasi Petani Sayuran Terhadap
Perubahan Iklim. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas
Padjajaran . Bandung.[Tesis]
Las, I. 2008. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim bagi Pemantapan Produksi
Padi Nasional pada Era Revolusi Hijau Lestari. Pengembangan Inovasi
Pertanian, Vol 1(2), 2008: 83-104
Las, I., Astu Unadi dan Eleonora Runtunuwu. 2010. Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Pramudia, A., Y. Koesmaryono., I. Las., T. June., I W. Astika., dan E.
Runtunuwu. 2008. Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan
Teknik Analisis Jaringan Syaraf di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan
Banten. Jurnal Tanah dan Iklim, Vol, 3(27):11-20 .BBSDLP. Bogor.
Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. ITB. Bandung.
Swarinoto, Yunus dan Sugiyono. 2011. Pemanfaatan Suhu Udara dan
Kelembapan Udara dalam Persamaan Regresi Uuntuk Simulasi Prediksi
Total Hujan Bulanan di Bandar Lampung. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika, Vol 12( 3): 271- 281.

Anda mungkin juga menyukai