Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


SINDROME NEFROTIK
Dosen Pembimbing : Ns. Ana Fitria Nusantara S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 9
1. Maharani hariri (14201.07.150113)

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG
PAJARAKAN-PROBOLINGGO
TAHUN AKADEMIK 2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH
SINDROME NEFROTIK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar


SISTEM PERKEMIHAN

Mengetahui,
Dosen Mata Ajar

Ns. Ana Fitria Nusantara S.Kep.,M.Kep

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala
limpah rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada proklamator sedunia,
pejuang tangguh yang tak gentar menghadapi segala rintangan demi umat manusia, yakni
Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Sistem Kardiovaskular
yang disusun dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul “Sindrome nefrotik” dan dengan
selesainya penyusunan makalah ini, kami juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM sebagai pengasuh pondok pesantren
Zainul Hasan Genggong.
2. Ns. Iin Aini Isnawaty, S.Kep.,M.Kes. sebagai Ketua STIKES Hafshawaty Zainul
Hasan Genggong.
3. Ana Fitria Nusantara, S.Kep, Ns,. M. Kep sebagai Ketua Prodi S1 Keperawatan.
4. Ana Fitria Nusantara, S.Kep, Ns,. M. Kep Sebagai Dosen mata ajar Sistem
Perkemihan.
5. Santi Damayanti,A.Md. sebagai Ketua perpustakaan STIKES Hafshawaty Zainul
Hasan Genggong.
6. Teman-teman kelompok sebagai anggota penyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesemprnaan. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati mengharap kritik dan saran dari pihak dosen dan para audien untuk
perbaikan dan penyempurnaan pada materi makalah ini.

Probolinggo, 27 februari 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.............................................................................................. i
Halaman Pengesahan....................................................................................... ii
Kata Pengantar................................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................................ iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat.................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi................................................................................ 4
2.2 Definisi................................................................................................ 14
2.3 Etiologi................................................................................................ 15
2.4 Patofisiologi......................................................................................... 16
2.5 Manifestasi Klinis................................................................................ 17
2.7 Pemeriksaan Diagnostik...................................................................... 17
2.8 Penatalaksanaan................................................................................... 20
2.9 Komplikasi........................................................................................... 22
BAB 3 ASUHAN KEPEPERAWATAN TEORI
3.1 Pengkajian............................................................................................ 24
3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................ 25
3.3 Intervensi Keperawatan...................................................................... 25
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.......................................................................................... 28
4.2 Saran.................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sindrom nefrotik dapat merupakan manifestasi sejumlah kesatuan klinis. Sindrom
nefrotik ditandai dengan awitan edema yang tersembunyi desertai proteinuria masif,
hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom nefrotik primer, penyakit ini
terbatas pada ginjal, sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi selama perjalanan
penyakit sistemik. Kriteria klinis yang dapat diterima untuk memastikan proteinuria masif
adalah : (a) kehilangan protein melalui urine sebanyak 40 mg/m2 /jam, atau (b) rasio
protein urine : kreatinin urine lebih dari 1,0 pada sekali pemeriksaan urine. Rasio yang
kurang dari 0,15 adalah normal; rasio yang lebih dari 1,0 memberi kesan proteinuria pada
rentang – nefrotik; dan rasio lebih dari 2,5 merupakan diagnostik pada sindrom nefrotik.
Anak –anak biasanya mengalami edema ketika kadar serum albumin kurang dari 2,7 g/dl.
Penyebab sindrom nefrotik primer pada anak – anak adalah sindrom nefrotik dengan
perubahan minimal, sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik dengan proliferasi
mesangial difus, glomerulosklerosisfokal dan segmental, glomerulo nefritis
membranoproliferatif, dan glomerulonefritis kresenterik.
Sindrom nefrotik dengan perubahan minimal merupakan lebih dari 75% kasus
sindrom nefrotik pada anak – anak. Kelainan ini ditandai dengan adanya respons yang
baik terhadap terapi kortikosteroid dan tidak adanya lesi glomerular yang signifikan pada
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Pada pemeriksaan mikroskop elektron
menunjukkan adanya fusi difus pada tonjolan kaki epitel, Insidensi kelainan ini kira – kira
2 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dan 2 kali lebih banyak pada anak laki – laki
daripada anak perempuan. Awitan paling sering terjadi antara usia 2 dan 7 tahun
Pasien biasanya mengalami edema, letargi, anoreksia, dan penurunan volume urine.
Tekanan darah biasanya normal atau menurun; akan tetapi, pada 5-10% kasus terdapat
peningkatan tekanan darah. Hematuria terjadi pada sebagian kecil kasus, biasanya
hematuria mikroskokopis. Kadar hemoglobin dapat meningkat secara sekunder akibat
hemokonsentrasi, dan terdapat peningkatan laju endap darah. Azotemia prarenal ringan
dapat terjadi sekunder akibat pengurangan volume intravaskular. Laju filtrasi glomerulus
normal kecuali jika terdapat hipovolemia berat. Hiperkolesterolemia terjadi sekunder
akibat peningkatan sintesis protein (dirangsang oleh hipoalbuminemia) dan penurunan
bersihan lemak dari sirkulasi.

1
Kebanyakan komplikasi serius sindrom nefrotik adalah infeksi atau trombosit. Pasien
lebih rentan terhadap infeksi bakteri sebagai akibat hipogamaglobulinemia pada semua
subtipe imunoglobulun G; hilangnya proaktifator C3 (Faktor B) di dalam urine, yang
menyebabkan terganggunya opsonisasi; gangguan aktifitas kemotaksis leukosit; dan
terganggunya sistem pertahanan tubuh akibat terapi streoid. Peritonitis dan selulitis
sering dijumpai. Organisme yang paling sering menyebabkan peritonitis adalah
Streptococcus pneumoniae. Pasien sindrom nefrotik memiliki predisposisi terhadap
berkembangnya trombosis vena. Keadaan hiperkoagulabilitas terjadi akibat keluarnya
antitrombin III melalui urine, peningkatan kadar fibrinogen, hiperagregasi trombosit yang
terjadi sekunder akibat hiperagregasi trombosit yang terjadi sekunder akibat
hiperlipidemia, dan hiperviskositas. Penggunaan diuretik dapat berkaitan dengan trobosis.
Sindrom nefrotik yang tejadi pada tahun pertama kehidupan memerlukan
pertimbangan khusus. Sebagian kecil pasien sindrom nefrotik dengan perubahanminimal
atau glomerulosklerosis fokal dapat datang untuk evaluasi pada usia tahun pertama,
biasanya setelah usia 6 bulan. Nefropati membranosa dapat terjadi pada usia 6 bulan
pertama sebagai akibat sifilis congenital. Biasanya di jumpai tanda dan gejala sifilis
congenital lain. Gangguan ginjal sembuh dengan terapi anti sifilis. Sindrom nefrotik
congenital adalah kondisi autosomal resesif dan berkaitan dengan plasenta yang
membesar, prematuritas, dan peningkatan kadar α-fetoprotein. Lesi yang patognomonik
adalah dilatasi kistik pada tubulus proksimal. Tidak ada terapi selain nefrektomi dan
transplantasi ginjal yang diketahui efektif. Penyakit ini biasanya fatal dalam usia 2 tahun
pertam kehidupan.
Pasien sindrom nefrotik yang tidak berespons terhadap terapi steroid memerlukan
biopsi ginjal. Glomerulosklerosis focal dapat mewakili satu aspek spektrum sindrom
nefrotik dengan perubahan minimal ; tetapi kurang berespons terhadap terapi dan
memberikan prognosis yang lebih buruk. Glomerulopati membranosa terhitung kurang
dari 5 % kasus sindrom nifrotik pada anak. Awitan biasanya di mulai setelah usia 10
tahun. Respons terhadap kortikosteroid umumnya buruk. Glomerulonefritis
membranoproliferatif juga biasanya muncul setelah usia 10 tahun dengan hematoria,
azotemia, dan hipertensi. Kadar komplemen serum menurun. Prognosis buruk, karena 30-
50% pasien mengalami penyakit ginjal stadium akhir.
Sindrom nefrotik sekunder dapat terjadi pada vaskulitis seperti purpura henoch
schonlein, atau malaria kuartana, infeksi virus hepatitis B, atau infeksi HIV. Kadang-
kadang, glomerulonefritis poststreptokokus, seperti sindrom nefrotik.

2
Nefritis Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema awitan mendadak, hematuria,
azotemia, dan hipertensi yang beratnya bervariasi. Keluaran urin dapat menurun hingga
kurang dari jumlah yang diiperlukan untuk mengeskresi beban solud minimal. Oliguria
serta retensi garam dan air merupakan faktor penyebab edema, kongesti sirkulasi,
hipertensi, serta gangguan asam basa dan elektrolit. Proteinuria dapat bervariasi dari yang
ringan hinngga rentang nefrotik, ekresi protein urin biasanya kurang dari 1,0 g/ 24 jam.
Hematuria dapat diteksi hanya dengan pemeriksaan mikroskopik, atau dapat terlihat
secara makroskopis dengan urin yang berwarna seperti teh. Urinalisi secara khas
menunjukkan adanya silinder campuran, granular, dan eritrosit.
Glomerulonefritis akut poststreptokokus merupakan penyebab tersering
glomerulonefritis akut. Kejadian pencetus adalah infeksi pada faring dan kulit oleh strain
nefritogenik sreptokokus β-hemolitikus grup A. Awitan terjadi tiba – tiba, nefritis yang
terjadi setelah infeksi faring terutama mengenai anak – anak diawal usia sekolah; setelah
awitan infeksi streptokokus dalam waktu 9 – 11 hari. Rasio anak laki – laki yang terkena
dan anak perempuan yang terkena adalah 2:1. Nefritis yang terjadi setelah impetigo
streptokokus paling sering mengenai anak usia prasekolah dan terjadi palinh sedikit 3
minggu setelah awitan infeki kulit. Insidensi sama pada kedua jenis kelamin. Sebagai
catatan, setelah faringitis, diserum dapat ditemukan antibody terhadap nikotinamid adenin
di nukleotidase streptokokus, atau NAD ( Disebut sebagai anti NADase), anti streptolisin
(ASO), dan deoksiribonuklease streptokokus; akan tetapi, setelah impetigo, respon ASO
dan anti NADase lemah. Oleh karena itu, tes anti DNase B sebaiknya digunakan pada
evaluasi nefritis yang terjadi setelah infeki kulit atau ketika sumber infeksi tidak
terindentifikasi. Pemeriksaan anti Dnase B dapat dilakukan sebagai komponen tes
streptozime. Terdapat juga penurunan kadar C3 serum, yang akan kembali normal dalam
4 – 6 minggu. Derajat beratnya gejala klinis sangat bervariasi. Gejala yang serius terjadi
akibat insuvisiensi ginjal akut, hipertensi, dan beban sirkulasi yang berlebihan.
Diagnosis banding meliputi segala kondisi yang menyebabkan hematuria, hipertensi,
oliguria, atau edema. Dokter sebaiknya mempertimbangkan adanya sindro uremik
hemolitik, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis intertisial akut, eksaserbasi
akut glomerulonefritis kronis, atau nefritis yang berkaitan dengan gangguan sistemik
seperti lupus eritematosus sistemik atau purpura Henoch Schonlein.

1.1 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien penderita Syndrome Nefrotik?

3
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien penderita
Syndrome Nefrotik
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi Syndrome Nefrotik.
2. Untuk mengetahui penyebab penyakit Syndrome Nefrotik.
3. Untuk mengetahui klasifikasi Syndrome Nefrotik.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Syndrome Nefrotik.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis Syndrome Nefrotik.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik Syndrome Nefrotik.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan Syndrome
Nefrotik
8. Untuk megetahui komplikasi dari Syndrome Nefrotik.
9. Untuk mengetahui tindakan keperawatan yang tepat, yang diberikan pada
penderita Syndrome Nefrotik.

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien
Syndrome Nefrotik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

4
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan melakukan
eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh. Selain mempunyai fungsi eliminasi, sistem
perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu sebagai berikut:
1. Meregulasi volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan sejumlah
cairan ke dalam urine dan melepaskan eritropoietin, serta melepaskan renin.
2. Meregulasi konsentrasi plasma dari sodium, potasium, klorida, dan mengontrol
kuantitas kehilangan ion-ion lainnya ke dalam urine, serta menjaga batas ion
kalsium dengan menyintesis kalsitrol.
3. Mengonstribusi stabilisasi ph darah dengan mengontrol jumlah keluarnya ion
hydrogen dan ion bikarbonat ke dalam urine.
4. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara ekskresi pengeluaran nutrisi
tersebut pada saat proses eliminasi produk sisa, terutama pada saat pembuangan
nitrogen seperti urea dan asam urat.
5. Membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan, deaminasi
asam amino yang dapat merusak jaringan.
Aktivitas sistem perkemihan dilakukan secara hati-hati untuk menjaga komposisi
darah dalam batas yang bisa diterima. Setiap adanya gangguan dari fisiologis di atas akan
memberikan dampak yang fatal.
Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Untuk
menjaga fungsi ekskresi, sistem perkemihan memiliki dua ginjal. Organ ini memproduksi
urine yang berisikan air, ion-ion, dan senyawa-senyawa solute yang kecil. Urine
meninggalkan kedua ginjal dan melewati sepasang ureter menuju dan ditampung
sementara pada kandung kemih. Proses ekskresi urine dinamakan miksi, terjadi ketika
adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih menekan urine untuk keluar melewati
uretra dan keluar dari tubuh.
1. Ginjal
Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada setiap sisi dari kolumna tulang belakang
antara T12 dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibanding ginjal kanan.

5
Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung, pancreas, jejunum, dan sisi fleksi
kolon kiri. Permukaan superior setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal.
Posisi dari kedua ginjal di dalam rongga abdomen dipelihara oleh (1) dinding
peritoneum, (2) kontak dengan organ-organ visceral, dan (3) dukungan jaringan
penghubung. Ukuran setiap ginjal orang dewasa adalah panjang 10 cm; 5,5 cm pada sisi
lebar; dan 3 cm pada sisi sempit dengan berat setiap ginjal berkisar 150 gr.
Lapisan kapsul ginjal terdiri atas jaringan fibrous bagian dalam dan bagian luar.
Bagian dalam memperlihatkan anatomis dari ginjal. Pembuluh-pembuluh darah ginjal
dan drainase ureter melewati hilus dan cabang sinus renal. Bagian luar berupa lapisan
tipis yang menutup kapsul ginjal dan menstabilisasi struktur ginjal. Korteks ginjal
merupakan lapisan bagian dalam sebelah luar yang bersentuhan dengan kapsul ginjal.
Medula ginjal terdiri atas 6-18 piramid ginjal. Bagian dasar piramid bersambungan
dengan korteks dan di antara pyramid dipisahkan oleh jaringan kortikal yang disebut
kolum ginjal.

a. Nefron
Ada sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal dimana apabila dirangkai akan mencapai
panjang 145 km. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada
keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara
bertahap dimana jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10
tahun, jadi pada usia 80 tahun jumlah nefron yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada
usia 40 tahun. Penurunan fungsi ini tidak mengancam jiwa karena perubahan adaptif sisa
nefron dalam mengeluarkan produk sisa yang tepat (Guyton, 1997 dalam buku Arif
Muttaqin & Kumala Sari, 2012).
Nefron terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk difiltrasi dari
darah dan tubulus yang panjang dimana cairan yang difiltrasi diubah menjadi urine
dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal.
Perkembangan segmen-segmen tubulus dari glomerulus ke duktus pengumpul. Setiap
tubulus pengumpul menyatu dengan tubulus-tubulus pengumpul lain untuk membentuk
duktus yang lebih besar.
Glomerulus tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan
beranastomosis, mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila
dibandingkan dengan jaringan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel
epitel dan seluruh glomerulus dibungkus dalam kapsula Bowman.

6
Cairan yang difiltrasi dari kapiler gromerulus mengalir ke dalam kapsula Bowman
dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari
tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke dalam medulla renal.
Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden. Binding/ikatan cabang
desenden dan ujung cabang asenden yang paling rendah sangat tipis, oleh karena itu,
disebut bagian tipis dari ansa Henle. Ujung cabang asenden tebal merupakan bagian tebal
yang pendek, yang sebenarnya merupakan plak pada dindingnya, dan dikenal sebagai
macula densa. Setelah macula densa, cairan memasuki tubulus distal, yang terletak pada
korteks renal, seperti tubulus proksimal.

Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus rektus dan tubulus koligentes
kortikal, yang menuju ke duktus koligentes tunggal besar yang turun ke medulla dan
bergabung membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang akhirnya mengalir
menuju pelvis renal melalui ujung papilla renal.
Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen seperti yang digambarkan di
atas, tetapi tetap terdapat perbedaan, bergantung pada berapa dalamnya letak nefron pada
massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di luar korteks disebut
nefron kortikal; nefron tersebut mempunyai ansa Henle pendek yang hanya menembus
ke dalam medulla dengan jarak dekat. Setiap segmen-segmen distal nefron bertanggung
jawab terhadap (1) reabsorpsi seluruh substrat organik yang masuk tubulus, (2)
reabsorpsi 90% lebih dari air yang difiltrasi, dan (3) sekresi air dan produk sisa ke
tubulus yang hilang pada saat proses filtrasi.
Kira-kira 20-30% nefron mempunyai gromerulus yang terletak di korteks renal
sebelah dalam dekat medulla dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini mempunyai
ansa Henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medulla. Pada beberapa tempat
semua berjalan menuju ujung papilla renal.
Struktur vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan yang
menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sitem tubulus dikelilingi oleh
jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen panjang
akan meluas dari gromerulus turun ke bawah menuju medulla bagian luar dan kemudian
membagi diri menjadi kapiler-kapiler peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang
meluas ke bawah menuju medulla dan terletak berdampingan dengan ansa Henle. Seperti
ansa Henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam vena
kortikal.

7
b. Aliran Darah Ginjal
Ginjal menerima sekitar 1200 ml darah per menit atau 21% dari curah jantung. Aliran
darah yang sangat besar ini tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang
berlebihan, tetapi agar ginjal dapat secara terus menerus menyesuaikan komposisi darah.
Dengan menyesuaikan komposisi darah, ginjal mampu mempertahankan volume darah,
memastikan keseimbangan natrium, klorida, kalium, kalsium, fosfat, dan ph, serta
membuang produk-produk metabolisme sebagai urea.
Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter dan vena renalis,
kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri
skuata, asteri interlobularis (juga disebut arteri radialis), dan arteriol aferen, yang menuju
ke kapiler glomerulus dalam gromerulus dimana sejumlah besar cairan dan zat terlarut
(kecuali protein plasma) difiltrasi untuk memulai pembentukan urine.
Ujung distal kapiler dari setiap gromerulus bergabung untuk membentuk arteriol
aferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular yang mengelilingi
tubulus ginjal.
Sirkulasi ginjal ini bersifat unik karena memiliki dua bentuk kapiler, yaitu kapiler
glomerulus dan kapiler peritubulus, yang diatur dalam suatu rangkaian dan dipisahkan
oleh arteriol eferen yang membantu untuk mengatur tekanan hidrostatik dalam kedua
perangkat kapiler. Tekanan hidrostatik yang tinggi pada kapiler gromerulus (kira-kira 60
mmHg) menyebabkan filtrasi cairan yang cepat, sedangkan tekanan hidrostatik yang
lebih jauh lebih rendah pada kapiler peritubulus (kira-kira 13 mmHg) menyebabkan
reabsorpsi cairan yang cepat. Dengan mengatur resistensi arteriol aferen dan eferen,
ginjal dapat mengatur tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus,
dengan demikian mengubah laju filtrasi glomerulus dan/atau reabsorpsi tubulus sebagai
respons terhadap kebutuhan homeostatic tubuh (Guyton, 1997 dalam buku Arif Muttaqin
& Kumala Sari, 2012)
Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh sistem vena, yang
berjalan secara parallel dengan pembuluh arteriol dan secara progresif membentuk vena
interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris, dan vena renalis yang meninggalkan ginjal
di samping arteri renalis dan ureter.

c. Pembentukan Urine

8
Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga proses
ginjal, yaitu (1) filtrasi gromerulus, (2) reabsorpsi zat dari tubulus renal ke dalam darah,
dan (3) sekresi zat dari darah ke tubulus renal.
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein
dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali
untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus
dalam kapsula Bowman hampir sama dengan dalam plasma. Ketika cairan yang telah
difiltrasi ini meninggalkan kapsula Bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan
diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik yang kembali ke dalam darah atau
oleh sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ked lam tubulus.
Produksi urine akan memelihara homeostasis tubuh dengan meregulasi volume dan
komposisi dari darah. Proses ini berupa ekskresi dan eliminasi dari berbagai larutan,
terutama hasil sisa metabolisme yang meliputi Urea, Kreatinin, Asam Urat.
Produk sisa harus diekskresi dalam larutan sehingga proses eliminasi juga akan
mengalami kehilangan air. Kedua ginjal mampu memproduksi konsentrasi urine dengan
konsentrasi osmotik 1200 sampai 1400 mOsm/L, melebihi empat kali konsentrasi
plasma. Apabila kedua ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan produk filtrasi dan
filtrasi gromerulus, kehilangan cairan yang banyak akan berakibat fatal dimana terjadi
dehidrasi pada beberapa jam kemudian. Untuk memenuhi hal tersebut, ginjal
memerlukan tiga proses berbeda, yaitu sebagai berikut:
1) Filtrasi. Pada saat filtrasi, tekanan darah akan menekan air untuk menembus
membrane filtrasi. Pada ginjal, membran filtrasi terdiri atas glomerulus,
endothelium, lamina densa, dan celah filtrasi.
2) Reabsorpsi. Reabsorpsi adalah perpindahan air dan larutan dari filtrate, melintasi
epitel tubulus dan ke dalam cairan peritubular. Kebanyakan material yang diserap
kembali adalah nutrient gizi yang diperlukan tubuh. Dengan kata lain, elektrolit,
seperti ion natrium, klorida, dan bikarbonat, direabsorpsi dengan sangat baik
sehingga hanya sejumlah kecil saja yang tampak dalam urine. Zat nutrisi tertentu,
seperti asam amino dan glukosa, direabsorpsi secara lengkap dari tubulus dan tidak
muncul dalam urine meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler
glomerulus.
3) Sekresi. Sekresi adalah transportasi larutan dari peritubulus ke epitel tubulus dan
menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting sebab filtrasi tidak
mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma. Sekresi menjadi metode

9
penting untuk membuang beberapa material, seperti berbagai jenis obat yang
dikeluarkan ke dalam urine.
Pada saat yang sama, kedua ginjal akan memastikan cairan yang hilang tidak berisi
substrat organik yang bermanfaat, seperti glukosa, asam amino yang banyak terdapat di
dalam plasma darah. Material yang berharga ini harus diserap kembali dan ditahan untuk
digunakan oleh jaringan lain.
Setiap proses filtrasi gromerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur
menurut kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, jika terdapat kelebihan natrium dalam tubuh,
laju filtrasi natrium meningkat dan sebagian kecil natrium hasil filtrasi akan direabsorpsi,
menghasilkan peningkatan ekskresi dalam urine.
Pada banyak zat, laju filtrasi dan reabsorpsi relatif sangat tinggi terhadap laju
ekskresi. Oleh karena itu, pengaturan yang lemah terhadap filtrasi atau reabsorpsi dapat
menyebabkan perubahan yang relatif besar dalam ekskresi ginjal. Sebagai contoh,
kenaikan laju filtrasi gromerulus (GFR) yang hanya 10% (dari 180 menjadi 198
liter/hari) akan menaikan volume urine 13 kali lipat (dari 1,5 menjadi 19,5 liter/hari) jika
reabsorpsi tubulus tetap konstan.
d. Filtrasi Gromerulus
Filtrasi glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang masuk ke kapiler
glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang intertisium, kemudian ke dalam
kapsula Bowman. Pada ginjal yang sehat, sel darah merah atau protein plasma hampir
tidak ada yang mengalami filtrasi.

Proses filtrasi menembus glomerulus serupa dengan yang terjadi pada proses filtrasi
di seluruh kapiler lain. Hal yang berbeda pada ginjal adalah bahwa kapiler glomerulus
sangat permeable terhadap air dan zat-zat terlarut yang berukuran kecil. Tidak seperti
kapiler lain, gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus kapiler glomerulus ke
dalam kapsula Bowman lebih besar daripada gaya yang mendorong reabsorpsi cairan
kembali ke kapiler. Dengan demikian, terjadi filtrasi bersih cairan ke dalam ruang
Bowman. Cairan ini kemudian masuk dan berdifusi ke dalam kapsula Bowman dan
memulai perjalanannya ke seluruh nefron. Pada glomerulus, adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan osmotatik koloid pada kedua sisi kapiler menyebabkan terjadinya
perpindahan cairan.
2. Ureter

10
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine
dari pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Pada orang dewasa, panjangnya kurang
lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-
otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik
(berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke kandung kemih.
Jika karena sesuatu sebab terjadi sumbatan pada aliran urine, terjadi kontraksi otot
polos yang berlebihan yang bertujuan untuk mendorong/mengeluarkan sumbatan tersebut
dari saluran kemih. Kontraksi itu dirasakan sebagai nyeri kolik yang datang secara
berkala, sesuai dengan irama peristaltik ureter.
Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum
kandung kemih. Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa
sentimenter menembus kandung kemih yang disebut dengan ureter intramural kemudian
berlanjut pada ureter submukosa. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung
kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urine dari
kandung kemih saat terjadi tekanan di kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang
terjadi sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang
menembus kandung kemih membuka dan memberi kesempatan kandung urine mengalir
ke dalam kandung kemih.

3. Kandung Kemih
Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam
menampung urine, kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal, dimana pada orang
dewasa besarnya adalah ±300-450 ml. Pada saat kosong, kandung kemih terletak di
belakang simfisis pubis dan pada saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat
dipalpasi dan diperkusi.
Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang
saling beranyaman. Pada dinding kandung kemih terdapat 2 bagian yang besar. Ruangan
yang berdinding otot polos adalah sebagai berikut:
a) Badan (korpus) merupakan bagian utama kandung kemih dimana urine
berkumpul.
b) Leher (kolum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan
secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan

11
dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra
posterior karena hubungannya dengan uretra.
Serat-seratnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat meningkatkan
tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg, dengan demikian,
kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih.
Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik
berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi
dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot yang berikutnya
sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih.
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas bagian leher dari kandung kemih,
terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Bagian terendah dari apeks
trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk ke dalam
uretra posterior dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut tertinggi di
trigonum.
Trigonum sangat dikenal dengan mukosanya, yaitu lapisan paling dalam kandung
kemih yang memiliki testur paling lembut dibandingkan dengan lapisan-lapisan lainnya
yang berlipat-lipat berbentuk rugae. Masing-masing ureter pada saat memasuki kandung
kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor dan kemudian melewati 1 sampai 2
sentimeter lagi di bawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam
kandung kemih.
Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 sampai tiga sentimeter, dan
dindingnya terdiri atas otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan
elastis. Otot pada daerah ini disebut sfingter internal. Sifat tonusnya secara normal
mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar kosong dari urine, dan
oleh karena itu mencegah pengosongan kandung kemih sampai pada saat tekanan puncak
yang dilakukan oleh otot-otot kandung kemih dalam mendorong urine keluar melalui
uretra.
Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang
mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini
merupakan otot lurik yang berbeda dengan otot pada badan dan leher kandung kemih,
yang hanya terdiri atas otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di bawah kendali sistem
saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan miksi (berkemih)
bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.

12
Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan
medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medulla spinalis
segmen S2 dan S3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf motorik. Serta
sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda
regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk
mencetuskan reflex yang menyebabkan kandung kemih melakukan kontraksi pada proses
miksi.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat
ini berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih, saraf
postganglion pendek, kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi
kandung kemih. Hal yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus
pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih, yang mempersarafi dan mengontrol
sfingter otot lurik pada sfingter. Selain itu, kandung kemih juga menerima saraf simpatis
dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama hubungan dengan segmen
L2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah
dan sedikit memengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga
berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa
penuh dan pada beberapa keadaan terasa nyeri.
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani.
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan
uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh system simpatik sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik
yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat BAK, sfingter ini
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan urine.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang
lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan
pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas

13
uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan uretra
pars membranasea. Pada bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan
veromontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari verumontanum ini terdapat
Krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat
di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di
dalam duktus prostatikus yang terbesar di uretra prostatika (Brunner and Suddarth’s.
2000).

2.2 PENGERTIAN

Nefrotik sindrom adalah gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein urine
(proteinuria), edema , penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), dan kelebihan
lipid dalam darah (hiperlipedemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma
protein ke dalam urine karena peningkatan permeabilitas membrane kapiler glomerulus.
(nursalam dkk, 2009)

Penyakit ini terjadi tiba-tiba , terutama pada anak. Biasanya berupa oliguria dengan urin
bewarna gelap atau urin yang kental akibat proteurinaria berat.

Syndrome nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas proteinuria massif
(lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/m2/hari pada anak), hipoalbuminnemia
(<2,5 g/dL), edema dan hiperlidimia . manifestasi dari ke empat kondisi tersebut yang sangat
merusak membrane kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus.

Sindrom nefrotik adalah gangguan yang mengarah ke hiperlipidemia. L-karnitin dan


genistein dapat berpengaruh pada metabolisme lipid ( Mottaghi A.2012).

2.3 ETIOLOGI

Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu infeksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi
etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan

14
Sindrom nefrotik bawaan atau sindrom nefrotik primer 90% disebut sindrom nefrotik
idiopatik, diduga ada hubungan dengan genetik, imunoligik dan alergi.Diturunkan
sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap
pengobatan. Gejalanya adalah edema pada massa neonatus. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupanna.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
 Malaria kuartana atau parasite lainnya
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid
 Glumerulonefritis akut atau kronik.
 Thrombosis vena renalis
 Bahan kimia seperti trimetadion , paradion , penisilamin, garam emas , air
raksa
 Amyloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia , nefritis membranopoliferatif
hipokomplementik
3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
Berdasarkan hispatologi yang tampak pada biospi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskopi biasa dan mikroskopi electron, churg dan kawan-kawan membagi dalam 4
golongan yaitu:
A. Kelainan minimal
Dengan mikroskopi biasa glomurulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskopi electron tampak foot processu sel epitel terpadu. Dengan cara
imunofluoresensi teryanta tidak terdapat 1gb atau imunoglobulin beta IC pada
dinding kapiler glomerulus.
B. Nefropati membranosa
Semua glumerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik
C. Glumerulusnefritis proliferatif
Glumerulusnefrotik proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infitrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakkan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
D. Glumerulosklerosis fokal segmen
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glumerulus. Sering ditandai dengan
atrofi tubulus Prognosis buruk (Rusepno, 2000).

2.4 KLASIFIKASI
a. Sindrome Nefrotik congenital.
Factor herediter syndrome nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena syndrome nefrotik, usia pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria.
Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun
pertama kehidupan bayi jika dilakukan dialysis.

15
b. Sindrome Nefrotik primer
Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan syndrome nefrotik pada anak
usia sekolah.
c. Sindrome Nefrotik sekunder
Terjadi selama pajanan penyakit vaskuler, kolagen, seperti lupus eritematous sistemik dan
purpura anafilaktoid, glomerulonefritis, infeksi system endikarditis, bakterialis dan
neoplasma limfoproliferatif (Betz , 2009).

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada nefrosis lipid , glomelurus tampak normal dengan pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan sebagian tubulus renal mengandung endapan lipid yang meningkat
jumlahnya. Glomerulonefrosis membranosa ditandai oleh kompleks imun yang terlihat
sebagai endapan padat dalam membrane basalis glomerulus dan penebalan yang seragam
pada membaran basalis tersebut. Bentuk glomerulonefritis ini pada akhirnya berlanjut
menjadi gagal ginjal.
Glomerulosklerosis local dapat terjadi spontan pada segala usia, dapat terjadi sesudah
transplantasi ginjal, atau dapat disebabkan oleh penyuntikan heroin. Sepuluh persen anak
hampir 20% dewasa yang menderita syndrome nefrotik akan mengalami keadaan ini. Lesi
pada pada mulanya mengenai sebagian glomerulus yang letaknya lebih dalam dengan
menimbulkan sklerosis hiakin. Glomerulus super fisial terkena belakangan. Lesi ini
biasanya menyebabkan kemunduran fungsi ginjal yang berjalan progresif lambat kendati
pada anak-anak dapat remisi.
Glomerulonefritis membranoproliferatif menyebabkan lesi progresif lambat didaerah
subendotel membrane basalis. Gangguan ini dapat terjadi sesudah infeksi, khususnya
infeksi streptokokus, dan terutama ditemukan pada anak-anak serta dewasa muda.
Terlepas dari pnyebabnya, membram filtrasi glomerulus yang mengalami cidera akan
menyebabkan hilangnya protein plasma, khusunya albumin dan imunoglobin. Di samping
itu , gangguan metabolic, biokimiawi, ataupun fisiokimiawi dalam membrane basalis
glomerulus mengakibatkan hilangnya muatan negative dan penigkatan permeabilitas
terhadap protein. Hipoalbuminemia bukan hanya terjadi karena kehilangan albumin lewat
urine, tetapi juga karena berkurangnya sintesis albumin. Hipoalbuminemia menstimulasi
hati untuk mensintesis lipoprotein dengan terjadinya hiperlipidemia sebagai sebagai
konsekuensi dan factor pembekuan. Penurunan asupan protein dari makanan bersama
dengan anoreksia, malnutrisi, atau penyakit lain yang menyertai turut menimbulkan
penurunan kadar albumin plasma. Kehilangan imunoglobin juga meningkatkan
kerentanan pasien terhadap infeksi.

16
Proteinuria yang ekstensif ( lebih dari 3,5 g?hari) dan kadar albumin serum yang serta
terjadi sekunder karena albumin serum yang rendah serta terjadi sekunder karena
kehilangan albumin lewat ginjal meyebabkan tekanan osmotic koloid serum yang rendah
dan edema. Kadar albumin serum yang terjadi serum yang rendah juga menimbulkan
hipovolemia dan retensi garam serta air sebagai kompensasi. Hipertensi yang diakibatkan
dapat memicu gagal jantung pada pasien yang fungsi jantung nya sudah terganggu
(Kowalak, 2011).

17
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Pada penderita sindrom nefrotik, edema merupakan gejala klinik yang menonjol. Kadang-
kadang mencapai 40% dari berat badan dan didapatkan edema anasarka. Pasien sangat
rentan terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria,
azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85-95%)
sebanyak 10-15 gram per hari. Selama edema masih banyak biasanya produksi urin
berkurang, berat jenis urin meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa torak hialin,
granula , lipoid, terdapat pula sel darah putih.
Mansjoer menyatakan bahwa gejala utama yang ditemukan pada penderita nefrotik
sindrom adalah:
1. proteinuria > 3,5 gr/hari
2. hipoalbuminemia <30 gr/dl
3. edema anasarka
4. hipertensi
5. pada kasus berat dapat di temukan gagal ginjal
Menurut Betz, Cecily L
1. penurunan jumlah urin , urin gelap, berbusa
2. wajah pucat
3. anoreksia dan diare yang disebabkan karena edema mukosa usus
4. sakit kepala, nyeri abdomen, nerat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi
5. gagal tumbuh dan pelisutan oto (jangka panjang)
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Urinalisis
Didapatkan secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin. Keadaan ini juga terjadi
akibat mneigkatkannya permeabilitas membrane glomelurus.

Nitrogen urea darah


Urea adalah produk akhir metabolism protein dan asam amino yang mengandung
nitrogen. Salah satu tugas penting ginjal adalah mengeliminasi zat yangberpontesi toksit
ini dari tubuh. Pada penurunan fungsi ginjal, kadar nitrogen urea darah ( blood urea
nitrogen, BUN) meningkat. Dengan demikian, pengukuran BUN memberikan petunjuk
menganai keadaan kesehatan ginjal.

18
BUN tidak hanya ditentukan oleh fungsi ginjal. BUN juga dapat dipengaruhi oleh
keadaan yang tidak berkiatan dengan ginjal, misalnya peningkatan atau penurunan asupan
protein dalam makanan,atau setiap peningkatan penguraian protein yang tidak lazim
misalnya cedera otot. Demikian juga, penyakit hati dapat menyebabkan peneurunan BUN
karena hati mengubah ammonia menjadi urea. Karena kadar BUN karena hati mengubah
ammonia menjadi urea. Karena kadar BUN karena hati mengubah ammonia menjadi
urea. Karena kadar BUN dipengaruhi oleh factor-faktor lain ini, BUN adalah sesuatu
indicator yang kurang tepat untuk mengikat ginjal. Dengan demikian yang lebih sering
dilaporkan adalah rasio BUN terhadap kreatinin serum. Dalam keadaan normal, BUN dan
kreatinin berbeda-beda, sehingga rasionya berkisar 10:1, namun, jika BUN dipengaruhi
oleh factor selain ginjal, maka rasio ini dapat merubah. Rasio yang lebih besar daripada
15:1 mengisyaratkan peningkatan urea yang disebabkan oleh factor diluar ginjal. Rasio
yang kursnag dari 10:1 terjadi pada penyakit hati.

Kreatinin serum
Kreatinin adalah suatu produk penguraian otot. Kreatinin dieksresikan oleh ginjal melalui
kombinasi filtarsi daan sekresi. Konsentrasi kreatinin dalam plasma relative tetap dari hari
ke hari. Konsentrasi tersebut bervariasi sedikit dari sekitar 0,7 mg per 100 ml darah
seorang wanita bertubuh kecil sampai1,5 mg per 100 ml pada seorang pria berotot. Kadar
yang lebih besarlebih besar daripada nilai tersebut mengisyaratkan ginjal tidak
membersihkan kreatinin dan menunjukkan adanya penyakit ginjal. Kreatinin serum
merupakan indicator kuat bagi fungsi ginjal. Sebagai petunjuk kasar, peningkatan dua kali
lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan penurunan fungsi ginjal sebesar 50%.
Demikian juga, peningkatan kadar kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan
fungsi ginjal sebesar 75% . klirens kreatinin dapat digunakan untuk memperkirakan GFR.

Urinalisis
Sampel urine dapat diperoleh dengan mudah dan dievaluasi untuk melihat adanya sel
darah merah, protein, glukosa, dan leukosit, yang dalam keadaan normal tidak ditemukan
atau sedikit jumlahnya di dalam urine. Silinder urine, yang muncul apabila terdapat
terdapat protein dalam jumlah besar di urine, juga dapat diamati pada beberapa keadaan
penyakit atau cedera ginjal. Osmolalitas ( berat jenis spisifik) urine dapat di ukur dan
harus berada di antara 1,015 dan 1,025. Dehidrasi menyebabkan peningkatan osmolalitas
urine karena lebih banyak air yang direabsorpsi kembali masuk ke kapiler peritubulus.
Hidrasi berlebihan menyebabkan penurnan osmolalitas urine.

19
Sistoskopi
Sistoskopi adalah suatu proses dimasukkannya teropong cahaya ( sistoskop) ke uretra
hingga kandung kemih. Lesi di kandung kemih,batu, dan sampel biopsy adalah indikasi
sistoskopi.

Voiding cystourehtrography
Voiding cystourethrography adalah kateterisasi kandung kemih dan infuse pewarna
radioaktif untuk melihat ukuran dan bentuk kandung kemih. Prosedur ini dapat digunakan
untuk mendeteksi dan memeriksa stadium refluks vesikoureteral. Jika digunakan tidak
tepat, sistouretrografi dapat menyebarkan suatu infeksi kandung kemih yang tidak dapat
disembuhkan ke ureter atau ginjal.

Urografi intravena
Urografi intravena adalah suatu teknik disuntikkannya pewarna radiologi secara intravena
dan dilakukan foto sinar-x secara berturut-turut saat pewarna tersebbut menyebar di
ginjal. Dapat dilihat sumbatan terhadap aliran di glomerulus atau tubulus,refluks
vesikuler , dan batu. Kerugian pemakaian teknik ini adalah ditemukannya berapa individu
yang mengalami alergi terhadap pewarna dan dapat menderita suatu reaksi anafilatik.
Dosis radiasi yang tingga digunakan pada teknik ini.

Ultrasound ginjal
Ultrasound ginjal menggunakan reflek gelombang suara untuk mengidentifikasikan
kelainan pada ginjal, di antaranya kelainan structural,batu ginjal, tumor, dan massa yang
lain. Teknik ini sering digunakan mengevaluasi fungsi ginjal pada anak yang menderita
infeksi saluran kemih karena sifatnya yang tidak invasive dan tidak membutuhkan
pajanan radiasi. Namun , ultrasound ginjal memberikan detail yang memadai untuk
mengevaluasi refluks vesikouretral pembentukan jaringan parut di ginjal, atau
peradangan.

2.8 PENATALAKSANAAN

Adapun penatalaksanaan medis untuk sindroma nefrotik mencakup komponen berikut ini:
 Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan
glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien

20
dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi
direkomendasikan karena tidak memberikan proges yang baik.
 Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan pada
Sindrom Nefrotik yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena
pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau
edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.
Pemberian spiironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih
dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema menetap dengan
pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.
Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.
Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke
dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang
mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
 Dietetik
Jenis obat yang direkomendasikan adalah diet seimbangan dengan protein dan kalori
yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 -2 g/kg, namun anak-anak dengan
proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein
2-2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak. Kardohidrat diberikan
dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin.
 Infeksi
Penderita sindromnefrotik sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering adalah
selulitis dan peritonitis hal ini di sebabkan karena pengeluaran imunoglobin G, protein
faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.
Pemakaian imunosupresif menambah resiko terjadinnya infeksi. Pemeriksaan fisik
untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan. Selulitis umumnya disebabkan oleh
kuman stafilokokus, sedang sepsis pada SN sering disebabkan oleh kuman Gram
negatif. Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan
streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, sepertisefatoksin atau
seftriakson selama 10-14 hari.
 Hipertensi
Hipertensi pada sindrom nefrotik dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus,
atau terjadi akibat efek samping steroid. Pengobatan hipertensi pada sindrom nefrotik
dengan golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers,
atau beta adrenergic blockers.
 Hipovolemia

21
Komplikasi hipovolumia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak
terkontrol, terutama kada kasus yang disertai dengan sepsis, diera, dan muntah. Gejala
dan tanda hipovolumia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi
keluhan nyeri abdomen. Hopovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisioligis dan
plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg betar badan.
 Tromboemboli
Resiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskuler, keadaan
hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah
antara lain faktor v, vII, vIIi, x serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan
konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin
 Hiperlipidimia
Hiperlipidimia pada sindrom nefrotik meliputi peningkatan kolesterol, trigserida,
fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat , namun
kadar trigserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria.
Penatalaksanaan perawatan dan pencegahan
Pada umunya peratawatan dan pencegahan pada nefrotik syndrome adalah untuk
mengurangi gejala dan mencegah pemburukan fungsi ginjal yaitu sebagai berikut :
 Pengaturan minum : hal ini dilakukan untuk pegobatan penyakit dasar dan
pengobatan cairan dan eletrolik, yaitu pemberian cairan intravena sampai dieresis
cukup maksimal.
 Pengendalian hipertensi : tekanan darah harus dikendalikan dengan obat-obatan
golongan tertentu, tekanan darah data diturunkan tanpa menurunkan fungsi ginjal,
misalnya dengan betabloker , methyldopa, vasodilator,juga mengatur pemasukan
garam.
 Pengendalian darah : peningkatan kalium darah dapat mengakibatkan kematian
mendadak, ini dapat dihindari dengan hati-hati dalam pemberian obat-obatan dan
diet buah-buahan, hiperkalemia dapat diagnosis dengan pemeriksaan EEG dan
EKG, bila hiperkalemia sudah terjadi maka dilakukan pengurangan intake kalium,
pemberian natrium bicharbonate secara intra vena, pemeberian cairan parental
(glukosa) dan pemberian insulin.
 Penanggulangan anemia : anemia merupakan keadaan yang sulit ditanggulangi
pada gagal ginjal kronis, usaha pertama dengan mengatasi factor defisiensi, untuk

22
anemia normakrom trikositik dapat diberikan pada keadaan mendesak mislanya
insufisiensi karena anemia dan payah jantung.
 Penanggulangan Asidosis: pada umumnya asidosis baru timbul pada tahap lanjut
dari nefrotik sindrom. Sebelum memberikan pengobatan khusus, faktor lain yang
harus diatasi dulu misalnya rehidrasi. Pemberian asam melalui makanan dan obat-
obatan harus dihindari. Pengobatan natrium bikarbonat dapat diberikan melalui
peroral dan perenteral, pada permulaan diberi 100 mg natrium bicarbonate,
diberikan melalui intravena secara perlahan-lahan. Tetapi lain dengan dilakukan
dengan cara hemodialisis dan dialysis peritoneal.
 Pengobatan dan pencegahan infeksi: ginjal yang sedemikian rupa lebih mudah
mengalami infeksi, hal ini dapat memperburuk faal ginjal. Obat-obatan
antimikroba diberikan bila ada bakteriunria dengan memperhatikan efek
nefrotoksik, tindakan katerisasi harus sedapat mungkin dihindari karena dapat
mempermudah terjadinya infeksi.
 Pengaturan diit dan makanan: gejala ureum dapat hilang bila protein dapat
dibatasi dengan syarat kebutuhan energi dapat terpenuhi dengan baik, protein yang
diberikan sebaiknya mengandung asam amino yang esensial, diet yang hanya
mengandung 20 gram protein yang dapat menurunkan nitrogen darah, kalori
diberikan sekitar 30 kal/kgBB dapat dikurangi apabila didapat obesitas (Betz. Et
al, 2009).

2.9 KOMPLIKASI

 Malnutrisi
 Infeksi
 Gangguan pembekuan
 Oklusi vaskluler akibatb tromboemboli ( khususnya pada paru-paru dan tungkai)
 Aterosklerosis yang diperpecat
 Anemia hipokromik akibat ekskresi transferin yang berlebihan kedalam urine.
 Gagal ginjal akut(Kowalak, 2011).

23
BAB III

Pengkajian

Secara umum pengkajian yang perlu dilkukan klien pada anak dengan syndrome
nefrotik (Donna L, wong , 200:550) sebagai berikut :
a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema.
b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan
penambahan berat badan saat ini., disfungsi ginjal .
c. Observasi adanya manifestasi syndrome nefrotik :
1) Penambahan berat badan
2) Edema
3) Wajah sembab :
a. Khususnya disekitar mata
b. Timbul pada saat bangun pagi.
c. Berkurang disiang hari.
4) Pembengkakan abdomen (asites)
5) Kesulitan pernfasan (efusi pleura)
6) Edema mukosa usus yang menyebabkan :
a. Diare
b. Anoreksia
c. Absorbsi usus buruk pucat kulit ektrim (sering)
7) Pembengkakan labial (scrotal)
8) Peka rangsangan
9) Mudah lelah
10) Letargi
Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Berupa hal – hal yang dirasakan oleh klien dan menjadi penyebab utama klien
berinisiatif melakukan pemeriksaan, pengobatan hingga masuk rumah sakit. Keluhan
tersebut dapat berupa bengkaknya tubuh dan juga nyeri.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada neonates antara lain pemberian makan yang buruk, gagal tumbuh kembang,
menagis saat berkemih, dehidrasi, kejang, dan demam. Paa bayi antara lain semua

24
yang terlihat pada neonates, ditambah dengan ruam popok yang menetap, urin berbau
busuk, dan mengejan saat berkemih. Pada anak – anak yang lebih besar antara lain
nafsu makan yang buruk, mudah rasa haus berlebihan urgensi, disuria, keletihan,
demam, nyeri pinggang, abdomen, atau panggul.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat prenatal antara usia ibu yang masih muda, usia ibu yang terlalu tua, dan
miltiparitas. Riwayat pascanatal anta lain infeksi saluran urine afebril (tanpa demam)
yang berulang, penggunaan kateter yang menetap toilet training yang belum
sempurna, retensi urine, diabetes, konstipasi, imunokompresi, infeksi streptococcus
berulang
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Faktor resiko keluarga antara lain penyakit ginjal congenital atau didapat, hipertensi,
dan masalah – masalah lain yang terkait dengan disfungsi ginjal.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Head to toe
a. Tanda – tanda vital
 Mengukur tinggi dan berat badan tanda – tanda retardasi pertumbuhan
 Memantau suhu : Hipertemia
 Mengukur tekanan darah : penurunan tekanan darah ringan atau normal
 Memantau frekuensi pernapasan : anak mungkin terlihat pucat dan
mengalami gawat nafas
b. Inspeksi
 Mengamati tanda – tanda kongesti sirkulasi: sianosis perifer, waktu
pengisian kapiler memanjang, pucat edema perifer, kulit mengkilat, dan
vena menonjol
 Mengamati adanya distensi abdomen
 Mengamati adanya tanda – tanda awal enselopati uremik, mencakup
letargi, konsentrasi yang buruk, bingung
 Mengamati adanya tanda – tanda anomali kongenital : hipospodia,
epispodia, abnormalitas telinga (telinga dan ginjal terbentuk pada saat
yang bersamaan di dalam uterus), hidung seperti berparuh, dan dagu kecil
c. Palpasi
 Palpasi ginjal untuk adanya nyeri tekan dan pembesaran
 Palpasi kandung kemih untuk adanya distensi
 Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri pinggang, abdomen, atau panggul.

3.2 Diagnosa Keperawatan

25
1. Actual/ risiko kelebihan cairan b.d penurunan volume cairan urine, retensi cairan
dan natrium.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d untake nutrisi yang
tidak adekuat efek sekunder dari anoreksia, mual, muntah.
3. Hambatan mobilitas fisik b.d edema ektremitas, kelemahan fisik secara umum.
4. Kecemasan b.d prognosis penyakit, anacaman, kondisi sakit, dan perubahan
kesehatan.

3.2 Intervensi Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urine,


retensi cairan dan natrium sekunder.
Tujuan : setelah di lakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam kekurangan volume
cairan teratasi.
Kriteria hasil :
 Klien menunjukkan keseimbangan intake dan output
 Turgor kulit baik
 Membrane mukosa lembab
 Nadi perifer teraba
 BB dan TTV dalam batas normal
 Elektrolit dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Ukur intake & output cairan, 1. Membantu memperkirakan
hitung IWL yang akurat. kebutuhan penggantian cairan.
2. Berikan cairan sesuai Pemasukan cairan harus
indikasi. memperkirakan kehilangan
3. Awasi tekanan darah, melalui urine,
perubahan frekuansi jantung, nasogastrik/drainase luka, dan
perhatikan tanda-tanda kehilangan tak kasat mata.
dehidrasi. 2. Fase diuretik GGA dapat
4. Kontrol suhu lingkungan. berlanjut pada fase oliguria
5. Awasi hasil Lab : elektrolit bila pemasukan cairan tidak
Na. dipertambahkan atau terjadi

26
dehidrasi nokturnal.
3. Hipotensi ortostatik dan
takikardia indikasi
hipovolemia. Kekurangan
volume cairan ekstraselular
menyebabkan haus menetap
tidak hilang dengan minum air.
4. Menurunkan diaforesis yang
memperberat kehilangan
cairan.
5. Memantau perubahan status
cairan dan elektrolit.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat
efek sekunder dari anoreksia, mual, muntah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi
dapat terpenuhi.

Kreteria hasil :
 Intake nutrisi klien meningkat
 Menghabiskan porsi makan yang disediakan sesuai diet yang dianjurkan

27
 Berat badan meningkat

Intervensi Rasional

1. Kaji pola nutrisi, intake dan output 1. Mengetahui status nutrisi pasien
klien serta catat perubahan yang berguna untuk pemberian tindakan
terjadi. yang efektif.
2. Timbang berat badan klien secara 2. Mengetahui perubahan berat badan
periodik. pasien.
3. Lakukan pemerikasaan fisik 3. Mengetahui kondisi peristaltik usus.
4. Porsi kecil tapi sering digunakan
abdomen (palpasi,perkusi,dan
untuk memenuhi nutrisi pasien.
auskultasi).
4. Berikan porsi kecil tapi sering. 5. Untuk membantu dalam
5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain menentukan diet yang sesuai dan obat-
dalam penentuan diet dan kebutuhan obatan
medikasi klien.

3. Hambatan mobilitas fisik b.d edema ektremitas, kelemahan fisik secara umum.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien dapat melakukan ADL secara mandiri.
Criteria hasil
 Mampu melaksanankan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
 Mampu berpinda dengan atau tanpa bantuan alat.
 Pertukaran gas dan ventilasi adekuat.

28
Intervensi Rasional

1. Perhatikan persepsi pasien terhadap 1. Rujuk keperawat spesialis psikitrik


imobilisasi klinik/ahli terapi sesuai indikasi
2. Dorong partisipasi pada aktivitas
2. Memberikan kesempatan untuk
terapeutik/rekreasi
mengeluarkan energy.
3. Bantu /dorong perawatan
diri/kebersihan 3. Meningkatkan kekuatan otot dan
( contohmandi,mencukur). sirkulasi.
4. Konsul dengan ahli terapi fisik 4. Berguna dalam membuat aktivitas
/okupasidan/ atau rehabilitasi spesialis individual/program latihan
5. Rujuk keperawat spesialis psikitrik 5. Pasien/orang terdekat memerlukan
klinik/ahli terapi sesuai indikasi tindakan intensif lebih untuk menerima
kenyataan kondisi/prognosis.
Imobilisasi lama mengalami kehilangan
control.

BAB IV
PENUTUP

1.1 KESIMPULAN

Syndrome nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh pengningkatan


permeabilitas glomelurus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbumniemia, hiperlipidemia dan edema. Sifat khusus penyakit ini adalah sering
kambuh, sering gagalnya pengobatannya.

29
Pasien biasanya mengalami edema, letargi, anoreksia, dan penurunan volume
urine. Tekanan darah biasanya normal atau menurun; akan tetapi, pada 5-10% kasus
terdapat peningkatan tekanan darah
1.2 Saran
Mengenai makalah yang kami buat, bila ada kesalahan maupun ketidaklengkapan
materi Sindrome Nefrotik., kami mohon maaf. Kamipun sadar bahwa makalah
yang kami buat tidaklah sempurna. Oleh karena itu kami mengharap kritik dan
saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Haryono, Rudi. 2013. Keperawatan medical bedah system perkemihan.jakarta : andi


publisher.
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Salema Medika
M. Nurs, Nursalam. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system
perkemihan. Jakarta: selemba medika
Wiliam dan wilkin. 2011. Kapita selekta penyakit dengan implikasi keperawatan edisi 2.
Jakarta: EGC.

30
31

Anda mungkin juga menyukai