Anda di halaman 1dari 8

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Lingkungan

Kelas G Pengampu Bapak Pius Triwahyudi , SH, M.Si.

Oleh :

Dwi Lestari

E0012125

Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

2013
ANALISIS KASUS LINGKUNGAN LUMPUR LAPINDO SIDOARJO DI LOKASI PENGEBORAN LAPINDO
BRANTAS INC

A. Gambaran Awal Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo

Kasus lumpur lapindo Sidoarjo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi
semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo,
sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan
Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150
meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo
Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur
panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di
sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama,
semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran.
Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang
belum diketahui. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di
sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi
semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-
Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk
mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing )
yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation
loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dankick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam
sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Sesuai dengan desain awalnya,
Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada
1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki
(Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari
kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang
rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan
Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan
membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan
mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah
formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
Alhasil, mereka merencanakan memasang casingsetelah menyentuh target yaitu batu gamping
formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang
karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran,
lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos
(blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici). Setelah kedalaman
9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung
sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik.

Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan
untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi
Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke
luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur
standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera
ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan
tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah
terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface
casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil &
kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan.
Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan
BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang
lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface
blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap
tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang masangan casing sudah
disetujui oleh BP MIGAS. Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan
di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008,
merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum
Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga)
ahli dari Indonesia mendukung gampa Yogyakarta sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua)
suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan
kombinasi Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli
menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal
29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Dampak kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo yang dilakukan Bappenas
dengan melibatkan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jawa Timur, memperkirakan
kerugian total mencapai Rp27,4 triliun selama sembilan bulan terakhir, yang terdiri atas
kerugian langsung sebesar Rp11,0 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4 triliun. Laporan
awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo yang
diperoleh ANTARA News, Rabu (10/4), menyebutkan bahwa angka kerugian itu berpotensi
meningkat menjadi Rp44,7 triliun, sedangkan akibat potensi kenaikan kerugian dampak tidak
langsung menjadi Rp33,7 triliun.sedangkan dampak sosial, pemerintah melakukan, antara lain,
meminta untuk menuntaskan pembayaran uang muka cash and carry 20 persen kepada korban
di empat desa (Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo) yang masuk dalam peta
dampak lumpur 4 Desember 2006. Setelah itu menuntaskan pembayaran kepada seluruh
warga yang masuk peta terdampak lumpur 22 Maret 2007 (warga Perum TAS I, Desa
Gempolsari, Kalitengah, sebagian Kedungbendo).

Kondisi tersebut di atas, akibat pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc
berdasarkan undang-undang 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup pasal 20 :
Baku Mutu Lingkungan, dan pasal 21 : Kriteri Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dinyatakan
telah merusak lingkungan hidup berupa berubahnya kondisi tanah, air, udara, dan ekosistem
pada lokasi pengeboran tersebut. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18
tahun 1999 tentang baku mutu dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-unsur
kimiawi telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Pada 27 November
2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak gugatan legal standing Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas menyemburnya lumpur
panas. Hakim menyatakan munculnya lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta Pusat
menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Hakim beralasan, Lapindo sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi semburan
lumpur dan membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji
materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.

B. Analisis dari Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo Berdasarkan Undang – undang No. 32 Tahun
2009

Kasus ini termasuk salah satu bencana nasional di Indonesia. Menurut analisis saya berdasarkan
data yang ada, ditinjau dari Undang – undang No. 32 Tahun 2009, begitu banyak pelanggaran
yang terjadi terhadap ketentuan hukum lingkungan. Seperti yang diuraikan dibawah ini :

1. Pemanfaatan Sumber Daya Alam ( SDA ) tidak memperhatikan Lingkungan Hidup

Mengingat Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL maka berdasarkanUU No. 32 Tahun 2009
pasal 12 ayat ( 1 ), pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Dan dalam
pasal 12 ayat ( 2 ) dikatakan bahwa dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum tersusun, pemanfaatan sumber

daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan
memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas
lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan kasus
ini telah membuktikan bahwa Lapindo Brantas Inc. karena kelalaiannya telah menyebabkan
pencemaran.

2. Tidak Adanya Pengendalian Baik Oleh Pemerintah Maupun Penanggungjawab Usaha

Dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 13 ayat ( 1 ), pengendalian pencemaran dan/atau


kerusakanlingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dan dalam ayat ( 2 ) tertulis bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan. Dalam ayat (3) dikatakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan
tanggung jawab masing-masing. Lapindo Brantas Inc. tidak melakukan pengendalian ini dan
pemerintah sebelum terjadi semburan juga tidak melakukan upaya pengendalian yang
maksimal hingga Lapindo Brantas Inc. yang tidak memiliki AMDAL dapat melakukan eksplorasi
sumber daya alam di Sidoarjo saat itu.

3. Lapindo Brantas Inc. Tidak Memiliki AMDAL

Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ), selama melakukan usaha
pertambangannya, Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL. Hal tersebut tentu saja
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pasal 14 dan 22 UU
No. 32 Tahun 2009. Mengingat bahwa AMDAL merupakan prasyarat mutlak dalam
memperoleh izin usaha, dalam hal ini adalah kuasa pertambangan.

4. Lapindo Brantaas Inc. Berperan Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup

Lumpur sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg) air raksa,
misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini
menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa
menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan
gangguan ginjal. Ini tidak sesuai dengan Pasal 20 UU No. 1 Tahun 2009 mengenai baku mutu
lingkungan hidup.
5. Tidak Maksimalnya Usaha Pemulihan Karena Putusan Pengadilan Yang Tidak Sesuai Dengan
Aspek Kebenaran Hukum

Gugatan WALHI ditolak seluruhnya oleh Putusan PN Jakarta Selatan, kemudian di tingkat
banding juga ditolak berdasarkan Putusan PT Jakarta yang menguatkan Putusan PN Jakarta
Selatan yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas Lapindo disebabkan karena bencana
alam. WALHI tidak mengajukan kasasi atas putusan PT Jakarta sehingga dianggap bahwa
Putusan PT Jakarta telah in kracht. Selain WALHI, YLBHI juga mengajukan gugatannya kepada
PN Jakarta Pusat, 27 November 2007, namun Putusan PN Jakarta Pusat mengatakan bahwa
Pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum. YLBHI
mengajukan banding dan kasasi, yang masing-masing hasil putusannya juga menolak gugatan
pihak YLBHI dan menyatakan bahwa Pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak bersalah.

Dari putusan itu, dipertanyakan bagaimana identifikasi dari bencana alam dan bukan bencana
alam. Kebenaran umum banyak membuktikan bahwa ini disebabkan kelalaian dari Lapindo
Brantas Inc., namun apabila ini diputus sebagai bencana alam maka pertanggungjawabannya
serta pemulihan menjadi dialihkan kepada Negarasesuai pasal 54 UU No. 32 Tahun 2009.
Dengan itu apabila memang Lapindo Brantas Inc. yang menjadi penyebab dari pencemaran, ini
berarti ia bebas untuk tidak bertanggungjawab atas kelalaiannya

6. Pembuangan Lumpur Ke Laut Tidak Sesuai Dengan Pengelolaan Limbah B3

Lumpur yang menyembur di Sidoarjo, bukan lumpur biasa melainkan lumpur panas yang
mengandung banyak bahan berbahaya. Apabila dibuang kelaut maka dapat mencemari
ekosistem laut. Selain itu ini melanggar pasal 59 Undang – undang No. 32 Tahun 2009.

7. Pemerintah tidak melaksanakan PPLH dalam pasal 63, Lapindo Brantas Inc melanggar hak –
hak dalam pasal 65, tidak melaksanakan kewajiban pada pasal 67 – 69, Pemerintah tidak
melakukan pengawasan dan sanksi administrative.

C. Saran Atas Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo

1. Meskipun berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan seperti pembangunan tanggul


penahan lumpur, pelaksanaan kajian sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Namun, dinilai kurang
efektif untuk menanggulangi dampak semburan yang kian hari kian meluas. Sebaiknya, coba
kita pandang sisi analisis ilmiah yang sifatnya progresif daripada kandungan unsur-unsur yang
terkandung didalam lumpur lapindo ini, sehingga diperlukan kajian mendalam yang bisa
menggali kandungan apa saja yang terdapat pada lumpur tersebut, barulah setelah itu dicari
tahu sisi efektif untuk mengatasinya secara ilmiah dan kontruktif yang memiliki tingkat resiko
yang cukup rendah bagi setiap elemen tergabung didalamnya.
2. Pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini perlu memberikan
dukungan penuh secara finansial serta non finansial, salah satunya perihal alokasi dana
anggaran untuk progres proses penanggulangan lumpur lapindo, pemerintah pun perlu
berkonsilidasi dengan beberapa pakar ahli dibidang ini, serta pembayaran pelunasan ganti rugi
harta serta tempat tinggal korban, namun dalam hal pelunasan ganti rugi korban pemerintah
perlu cermat dan selektif memilah korban yang sungguh dirugikan sesuai dengan nominal yang
dibuktikan serta bukti administrasi yang kompleks dan jelas.

3. Dalam pemberian ganti rugi, diperlukan pengawasan terinci dari pihak aparat yang
bertanggungjawab untuk hal ini dan bekerja secara professional supaya tersalurkan secara
cepat dan tepat sasaran.

4. Pemerintah harus memikirkan jalan keluar dari dampak yang ditimbulkan karena adanya
semburan ini. Seperti dampak social, masalah kesehatan, pendidikan, perekonomian, dsb.

5. Untuk selanjutnya pemerintah diharapkan lebih ketat dalam perizinan. Sehingga izin ke
perusahaan yang tidak Qualited fight (tidak mumpuni) instansi pemerintah daerah maupun
pusat perlu mengetahui resikonya maka pihak pemberi izin pun harus tahu juga seberapa besar
kekuatan perusahaan tersebut bila terjadi dampak negatif.

6. Meskipun tidak terbukti dalam persidangan bahwa Lapindo Brantas Inc. bersalah dalam
kasus ini. Namun pemerintah harus tetap melakukan sanksi administrative sesuai dengan pasal
76 UU No. 32 Tahun 2009, bahwa “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan
ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.
DAFTAR PUSTAKA

Undang – undang :

 Undang – undang No. 32 Tahun 2009.

Internet :

 http://herdianaherman.wordpress.com/2012/06/05/masalah-penegakan-hukum-
lingkungan-kasus-lapindo/

 http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-lingkungan-analisis-putusan-ma.html

Anda mungkin juga menyukai