Anda di halaman 1dari 5

Kemiskinan dan Pengangguran Masih Menjadi Masalah Utama Pembangunan di Aceh

Kemiskinan dan Pengangguran Masih Menjadi Masalah Utama Pembangunan di AcehKemiskinan dan
Pengangguran Masih Menjadi Masalah Utama Pembangunan di Aceh
KBRN,Takengon : Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran masih menjadi permasalahan utama
pembangunan yang dihadapi oleh Pemerintah Propinsi Aceh hingga memasuki tahun 2019 ini.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bappeda Aceh Azhari, pada kegiatan Musrenbang Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Aceh Tengah tahun 2020, di Gedung Oproom Setdakab setempat,
Senin (25/3/2019).
Dijelaskan, hingga tahun 2018 kemarin angka kemiskinan di Aceh berada pada kisaran 15,68 persen,
sehingga menempatkan propinsi paling barat Indonesia itu sebagai yang termiskin di Pulau Sumatera.
Sedangkan untuk jumlah pengangguran terbuka sebut Azhari, Aceh menduduki posisi kedua tertinggi di
Sumatera dengan 3,36 persen setelah Kepulauan Riau, serta menempati peringkat ketujuh secara nasional.
“Untuk angka kemiskinan kita nomor satu di Sumatera, kemudian penggangguran kita nomor Dua di
Sumatera, jadi Dua hal ini yang masih menjadi permasalahan utama di Aceh, sampai sekarang,” katanya.
Dalam upaya menekan angka kemiskinan, pengangguran dan sejumlah hal lain yang berkiatan dengan
sektor ekonomi, Pemerintah Aceh telah memiliki Enam prioritas pembangunan untuk tahun 2020
mendatang.
Priorotas tersebut yakni hilirisasi komoditas dan peningkatan daya saing produk, Pembangunan
insfrastruktur terintegrasi, serta Peningkatan kualitas lingkungan dan penurunan resiko bencana.
“Selain itu juga terdapat Pembangunan sumber daya manusia, Refomasi birokrasi dan pengutan
perdamaian, serta adanya penguatan penerapan dinul Islam dan budaya Aceh,” sebut Azhari.
………………
Sistem kekerabatan Suku Aceh
HomepageSuku bangsa
Bagi masyarakat Aceh, perkawinan adalah suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama Islam. Karena itu
setiap orang pria maupun wanita yang telah dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya.
Dalam mencari dan menetapkan jodoh membutuhkan syarat-syarat, antara lain :
Mencari jodoh itu adalah pihak orang tua masing-masing.
Pemilihan jodoh berdasarkan keturunan dan fungsi sosial dari keluarga si gadis dan pria (sedapat mungkin
seimbang segalanya).
Setelah utusan pihak si pria (seulangke) diterima, selanjutnya diadakan pertunangan dengan pemberian
tanda ikatan atau yang disebut kongnarit, yang biasanya berupa emas dan diberikan kepada pihak wanita.
Menjelang pernikahan, akan ditetapkan besarnya mas kawin (jeunamee) oleh orang tua si gadis, yaitu
berkisar antara 50-100 gram emas. Setelah penentuan selesai, selang beberapa bulan baru diadakan
pernikahan resmi secara besar-besaran.
Setelah kawin, suami harus tinggal di rumah isteri (matrilokal) sampai keduanya dibuatkan rumah dan
diberi tanah garapan oleh orang tua si gadis. Pemberian ini di sebut “peunulang”.
Dalam masyarakat Aceh, perceraian jarang sekali terjadi, tetapi kawin poligini (seorang suami memiliki
beberapa isteri sekaligus) biasa terjadi
Sekilas Sejarah Bangsa Maya
Suku Maya adalah kelompok suku yang tinggal di semenanjung Yucatan, Amerika Tengah yang
berbatasan dengan…
Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia - Suku dayak,adalah suku yang sangat fenomenal yang…
Sejarah Awal Adanya Suku Aborigin di Australia - Australia adalah negara terbesar ke-enam di dunia…
Dalam kelompok kekerabatan berlaku sistem bilateral, tetapi ibu punya peranan yang besar dalam rumah
tangga. Mereka bekerja di sawah, di kebun atau berdagang secara aktif dan tidak lekas tunduk kepada
suami.
Kadang-kadang ibu lebih ditakuti oleh anak-anak daripada ayah. Hal ini karena warisan sejarah masa
lampau di mana wanita Aceh banyak yang menjadi pahlawan pemberani dan yang menjadi ratu Aceh
(Safiatuddin).
Lalu bagaimana sistem kemasyarakatannya? Silahkan baca di artikel Sistem kemasyarakatan Suku Aceh
Jika ingin tahu seberapa luas wilayah Aceh, silahkan baca: Peta Aceh Lengkap
Kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga batih. Dalam 1 rumah kadang-kadang terdapat
beberapa keluarga batih, karena anak-anak dan menantu masih berkumpul.
…………
Keadaan Sosial dan Budaya Aceh
Jejak Pendidikan- Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda
wujudnya dengan kebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan
warna Islam yang kental, maka budaya Aceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni,
melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan
arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di nusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan
pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam batas tertentu telah tersebar dan
teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaur dengan unsur
India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh.
Namun dalam pelaksanaannya, masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi/adat
istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya, Islam dan
budaya Aceh menyatu sehingga sulit untuk dipisahkan. Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M,
banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh, bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada
pepatah yang berbunyi: Hukom ngo adat lagee zatg ngo sipheuet (hukum dengan adat seperti benda
dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum Islam yang
diajarkan oleh para ulama.
Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah,
tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamu’alaikum (selamat, tuan) dan
jawabannya wa’alaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang
menerima pemberian dari orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi
Allah). Apabila mendengar ada orang meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji’uun (semua kita milik Allah dan kita semua akan kembali kepada-Nya).
Sistem kemasyarakatan Aceh juga sangat erat berkaitan dengan Islam. Masyarakat Aceh merupakan suatu
masyarakat yang bertingkat dan tersusun dalam golongan-golongan. Golongan tersebut adalah golongan
bangsawan, kaum alim ulama, golongan rakyat umum dan juga kelompok-kelompok lain seperti orang
pendatang atau orang asing. Memang suatu kenyataan bahwa kaum bangsawan dan alim ulama pada
umumnya menduduki tingkatan atas, akan tetapi dari kalangan rakyat umum pun tidak kurang yang
mendapat kehormatan dan berada di tingkat yang tinggi, misalnya saja orang-orang yang sudah
menunaikan ibadah Haji, dan kaum saudagar.
Sebelum Aceh diperintah oleh Belanda, penggolongan masyarakat adalah:
Golongan Hulubalang (ulebalang), yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula
juga merupakan rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian,
kecakapan dalam mengatur dan memimpin maka ia diangkat menjadi kepala rakyat.
Golongan ulama/golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari rakyat biasa. Tetapi karena
ketukunannya belajar, mereka memperoleh berbagai ilmu pengetahuan.
Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya. Golongan ini pun berasal dari rakyat biasa yang
mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka mendapatkan kekayaan.
Golongan tani, golongan inilah yang terbanyak.
Golongan terpelajar/pegawai, yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah mereka yang telah mengenyam
pendidikan barat, lalu diangkat menjadi pegawai pemerintah.
Golongan buruh.
Dari berbagai golongan ini nantinya timbul perbedaan keinginan dalam penyelesaian kasus Aceh ini.
Golongan pelajar, buruh, tani dan ulama menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan
uleebalang hanya menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.
Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke (suku) atau Kawon (kaum)
penggolongan atas kawon ini didasarkan atas keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat
istiadatnya. Kawon terdiri dari 4, yaitu:
Kawon Imeuet Peut (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari orang Hindu yang telah
memeluk islam.
Kawon Lherentoih (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang mantir dan batak.
Kawon Tok Baru adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti orang Arab, orang parsi dan
orang Turki.
Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing.
Masing-masing kawon ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendiri-sendiri dan disebut Panglima
Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun, kalau Panglima Kawon yang baru sudah dipilih harus
disahkan oleh Ule balang yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah
penguasa sebuah Nangroe (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para Ulebalang menerima
kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka memerintah secara turun temurun dan setiap
penggantian pimpinan harus disyahkan oleh Sultan.
Adapun sistem kekeluargaan di Aceh adalah parental, kecuali di daerah Gayo Alas. Parental adalah
kekerabatan yang menghubungkan kekerabatan melalui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak.
Oleh karena itu, sesuai dengan hukum Islam, orang boleh menikah dengan saudara sepupunya baik dari
pihak ayah atau ibu. Demikian pula hukum warisan, sejak zaman Iskandar Muda sampai sekarang, yang
dipakai adalah hukum islam baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan agama.
Satuan wilayah terkecil di Aceh adalah Gampong (dalam bahasa melayu: kampung) yaitu, pekarangan
yang sebagian ditata untuk kebun, dengan satu rumah atau lebih yang satu sama lain terpisah dengan
pagar dan jalan kampung (jurong).
Di Gampong atau di dekatnya selalu akan ditemukan bangunan yang ditata sebagai rumah, namun tanpa
kamar, lorong atau pembagian lain. Di dekat tangga bangunan yang disebut Meunasah ini terdapat
cadangan air, apakah hanya berupa galian di tanah atau dibuat dari batu, pipa atau saluran bambu yang
miring dari sumur yang berdekatan yang bermuara di tempat cadangan air untuk memudahkan pengisian
air setiap hari daripada menimba dari sumur. Meunasah berasal dari Bahasa Arab Madrasah yang berarti
tempat belajar atau sekolah. Memang Meunasah itu mempunyai multi fungsi, diantaranya sebagai tempat
belajar membaca Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari Meunasah itu adalah sebagai
tempat shalat lima waktu untuk kampung tersebut. Dalam hubungan ini, diatur pula letak meunasah itu
harus berbeda dengan letak rumah untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan
sekaligus juga orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.
Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa tiang, namun memakai
pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi semen tangga dari batu untuk memasuki tempat
ibadah, namun gedungnya sendiri selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu
(Mehrab/Merab) untuk menunjukkan kiblat ke ka’bah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan tempat
ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan yang lebih megah itu disebut
Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.
Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan
daerah tetangga dan asing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-
bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar ini memperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan
kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalam terbentuknya kebudayaan nasional
Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telah mengalami perkembangan
lebih lanjut.
Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo
Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus
digunakan oleh penduduk di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di
daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara
lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat.
Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu provinsi Aceh memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebahagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah
peleburan antara nilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan
sebuah komunitas plural Islam yang berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja
yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembang dengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang
sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan dari tempat yang lebih jauh lagi. Istana
dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula tamantaman.
Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh
bukan karya yang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering
dianggap merupakan inti kesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan
benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengan sajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama
pengarangnya.
Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat,
yang mulia dan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan
sejak beberapa abad yang lalu dan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan
mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh
mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan dari dalam masyarakat Aceh
sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula
dengan kebudayaan nasional.

Anda mungkin juga menyukai