Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

Pemantauan Terapi Obat Pada Kasus Geriatri

Dosen Pengampu :
Samuel Budi Harsono, S.Farm., M.Si., Apt

Disusun oleh :
Muhammad Arofan (23175090A)
Rizaldi (23175330A)
Muhammad Savitra (23175361A)
Galih Diah Saputri (23175362A)
Dani Wirawan (23175363A)
Ahmad Naufal S (23175364A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020
PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi banyak tantangan dalam


meningkatkan derajat kesahatan rakyatnya. Berdasarkan data Survey Penduduk antar Sensus
(Supas) 2015, Jumlah lanjut usia Indonesia sebanyak 21,7juta atau 8,5%. Dari jumlah
tersebut, terdiri dari lansia perempuan 11,6 juta (52,8%) dan 10,2 juta (47,2%) lanjutusia laki-
laki (BPS, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang akan
memasuki erapenduduk menua (ageing population), karena jumlah penduduk yang berusia 60
tahun ke atas telah melebihiangka 7,0%.

Farmasi sebagai salah satu tenaga kesehatan seyogyanya juga selaras dengan
pemerintah bersama-sama berupaya meningkatkan derajat hidup maysarakat lanjut usia.
Berbagai pertimbangan perlu ditegakkan seorang farmasis sebelum memutuskan melakukan
penyerahan obat bagi pasien lanjut usia, mengingat fungsi anatomi dan fisiologi yang
dimilikinya sudah tidak berfungsi secara masksimal. Tulisan ini bermaksud memberikan
sedikit pandangan bagi seorang farmasis mengenai aspek-aspek pada obat yang perlu
mendapatkan perhatian khusus bagi pasien lanjut usia.
TINJUAN FARMAKOLOGI KLINIS 2

Ada beberapa isu penting terkait Farmakologi dan non-Farmakologi dalam


mempengaruhi keamanan dan keefektifan penggunaan obat pada pasien lanjut usia. Hal ini
bisa jadi disebabkan karena sejumlah perubahan yang terjadi dengan bertambahnya usia,
termasuk anatomi, fisiologi, psikologi juga sosiologi. Meskipun semua perubahan tersebut
berperan penting dalam pelayanan untuk pasien lanjut usia, namun yang paling utama adalah
menitik-beratkan pada perubahan-perubahan yang memberikan efek secara langsung pada
penatalaksanaan obat.

Aspek Farmakokinetik

Perubahan fisiologis pada pasien lanjut usia mempengaruhi proses farmakokinetika


obat lewat penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Efek dari perubahan fungsi
fisologis ini sangat variatif dan sulit untuk diprediksi. Beberapa perubahan fisiologis ini hanya
disebabkan oleh penuaan, namun beberapa perubahan fisiologis lainnya kemungkinan besar
disebabkan oleh efek gabungan dari usia, penyakit, dan lingkungan. Meskipun bertambahnya
usia sering disertai dengan penurunan fungsi fisiologis pada banyak sistem organ juga tetap
bergantung dari dampak penyakit yang diderita, namun perubahan tersebut tidak seragam.
Ada perbedaan substansial pada satu individu dengan individu lain, sehingga membuat pasien
lanjut usia lebih rentan daripada yang pasien pada usia lain.

Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang terjadi pada pasien lanjut
usia membuat tenaga kesehatan harus mempertimbangkan secara farmakologis risiko
kerentanan pasien lansia terhadap efek obat. Sayangnya, hasil studi epidemiologi yang
mengeksplorasi hubungan ini tidak memberikan gambaran yang jelas, karena minimnya
jumlah pasien lanjut usia yang termasuk dalam studi premarketing kesehatan harus
mempertimbangkan secara farmakologis risiko kerentanan pasien lansia terhadap efek obat.
Sayangnya, hasil studi epidemiologi yang mengeksplorasi hubungan ini tidak memberikan
gambaran yang jelas, karena minimnya jumlah pasien lanjut usia yang termasuk dalam studi
premarketing relatif terhadap populasi pasien yang mungkin akan mengonsumsi obat.

Hasil uji coba dan efek samping yang dilaporkan sering terbatas pada pasien lanjut
usia dengan beberapa penyakit yang mengonsumsi beberapa obat. Secara umum,
pertimbangan kondisi masing-masing pasien, seperti keadaan fisiologis (hidrasi, nutrisi, dan
curah jantung), dan bagaimana status ini mempengaruhi farmakologi obat tertentu lebih
penting dalam peresepan obat dibandingkan setiap perubahan spesifik yang berkaitan dengan
usia.

Absorpsi
Proses Absorpsi pada obat terjadi via difusi pasif, dan hanya sedikit perubahan dengan
bertambahnya usia. Perubahan ini penting pada beberapa rute pemerian obat. Contonhya
antasida menurunkan absorpsi oral dari cimetidine, dan alkohol mempercepat absorpsi dari
kloral hidrat.

Distribusi
Tidak seperti proses absorpsi, distribusi obat dipengaruhi oleh perubahan usia pada kondisi
klinis yang amat penting. Pada pasien lanjut usia, lemak di tubuhnya relatif meningkat dan
massa tubuhnya yang menurun memengaruhi Distribusi obat, sehingga obat yang larut 3 lemak
terdistribusi lebih luas dan obat yang larut air terdisbursi cenderung lebih sempit.
Meningkatnya distribusi obat larut lemak juga dapat menunda eliminasi obat tersebut dan
menghasilkan perpanjangan waktu kerja dari dosis tunggal obat. Efek ini pada obat-obatan
hipnotik dan analgetik, yang diberikan sejumlah dosis tunggal, pada waktu intermitten.
Sebagai contoh, volume distribusi dari diazepam meningkat dua kali lipat pada pasien lanjut
usia, dan waktu paruh eliminasi nya diperpanjang dari 24 jam pada pasien muda dan hampir
90 jam pada pasien lansia.

Tabel 2. Pengaruh Volume Distribusi pada obat-obat yang sering diresepkan

Meningkat Volume Distibusinya Meningkat Volume Distibusinya


Acetaminophen Cimetidine
Chlorodiazepoxide Digoxin
Diazepam Gentamicin
Oxazepam Meperidine
Salicylates Phenytoin
Thiopental Quinine
Tolbutamide Theophylline

Sebaliknya, volume distribusi dari obat yang larut air kadar obat
yang mencapai target plasma, menurun. Demikian juga, sebab volume
distribusi menurun, loading dosis dari aminoglikosida kurag pada pasien
lanjut.
Untuk obat yang berikatan dengan protein serum, terjadi kesetimbangan
antara obat terikat atau bagian yang tidak aktif dan obat tidak terikat atau
bagian aktif Obat-obat asam yang terikat kuat dengan dengan albumin
konsentrasi plasmanya kemungkinan besar dan berhubungan dengan efek
farmakologisnya. Meskipun kadar albumin pada lansia hanya terjadi sedikit
penurunan, namun ketika sakit kadar albuminnya akan terus berkurang. Hal
ini bisa menghasilkan kadar obat
4

bebas akan meningkat pada pasien lansia sepanjang dia sakit, dan meningkatkan
petonsi toksik. Perubahan ini siginifkan pada obat-obat tiroid hormone, digoxin,
warfarin, dan fenitoin.

Secara keseluruhan pada proses distribusi, perubahan ikatan protein serum merupakan
pertimbangan penting ketika awal pemberian obat, ketika dosis berubah, ketika kadar
protein serum berubah, atau ketika obat menggeser obat yang telah terikat protein
sebelumnya. Karena bagian bebas obat (tidak terikat protein serum) umumnya lebih
kecil dibandingkan bagian obat yang terikat protein serum, sehingga mekanisme
normal dalam metabolisme dan ekskresinya adalah menghilangkan bagian obat yang
bebas (tidak terikat protein serum). Jika salah satu fungsi hati atau ginjal terganggu
karena usia atau penyakit, proses ini akan melambat.
Metabolisme

Meskipun penelitian in vitro pada aktivitas enzim pemetabolisme obat dari sampel
biopsi hati manusia belum menunjukkan adanya perubahan dengan penuaan, beberapa
peneliti berspekulasi bahwa penurunan ukuran hati pada lansia dapat mengakibatkan
kapasitas metabolisme menurun. Penurunan yang signifikan terhadap laju aliran darah
menuju hati terjadi pada lansia, dengan pengurangan 25% sampai 47% dilaporkan
pada orang antara usia 25 dan 90 tahun. Penurunan aliran darah menuju hati secara
klinis penting karena metabolisme hati adalah rate limiting step yang menentukan
clearans obat. Perubahan ini sangat relevan untuk obat yang mengalami metabolisme
hepatik cepat
5

(misalnya, propranolol). Juga, obat-obatan yang mengalami metabolisme lintas


pertama kemungkinannya untuk mencapai tinggi pada kadar plasma darah menurun
jika aliran darah menuju hati menurun.
Hati memetabolisme obat melalui dua sistem yang berbeda. Metabolisme Fase I
melibatkan oksidasi, reduksi, dan hidrolisis obat dan metabolisme Fase II melibatkan
glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan metilasi. Metabolisme Fase I dikatalisis terutama
oleh sistem sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus di sel hati.
Enzim CYP adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat mikrosomal yang
penting dalam biosintesis dan degradasi senyawa endogen seperti steroid, lipid, dan
vitamin, serta metabolisme obat yang paling umum digunakan. Aktifitas Metabolisme
Fase I menurun secara drastis pada lansia. Obat-obatan yang dimetabolisme melalui
fase I akan memiliki waktu paruh yang diperpanjang akibat lansia. Contoh obat yang
metabolismenya melambat akibat perubahan usia pada metabolisme hepatik tercantum
dalam kotak 1 berikut;

Kotak 1
Obat umum diresepkan & mengalami perpanjangan metabolisme hepatic
Paracetamol Meperidin
Amitriptilin Nortriptilin
Barbiturat Fenitoin
Chlordiazepok Prazosin
sid Propranolol
Diazepam Quinidin
Diphenhidrami Salisilat
n Teofilin
Flurazepam Tolbutamid
Ibuprofen Warfarin
Labetalol
Lidokain
6

Perubahan terkait usia pada metabolisme fase I ditambah dengan penggunaan


beberapa obat, menempatkan pasien lansia pada peningkatan risiko efek samping
obat. Reaksi obat yang merugikan terjadi baik karena penghambatan atau induksi
enzim CYP, terutama CYP3A, yang diyakini terlibat dalam memetabolisme lebih
dari satu setengah dari obat yang umum diresepkan (2,3). Hasil klinis
memperlihatkan potensi inhibitor CYP3A (sedang vs berpotensi), ketersediaan jalur
alternatif, dan keseriusan gejala. Sebuah obat dianggap sebagai potensial inhibitor
CYP3A jika menyebabkan peningkatan lebih dari 5 kali lipat dibanding konsentrasi
plasma obat lain yang bergantung pada CYP3A untuk metabolismenya (4).
Metabolisme hati Fase II melibatkan konjugasi obat atau metabolitnya
menjadi senyawa organik. Eliminasi obat yang mengalami metabolisme fase II
melalui proses konjugasi (seperti, asetilasi, glukouronidasi, sulfatisi, dan konjugasi
glisin) umumnya sedikit berubah pada lansia. Dengan demikian, obat yang hanya
memerlukan metabolisme fase II untuk diekskresi (misalnya, triazolam) tidak
mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien lansia. Obat ini kontras dengan
obat-obatan seperti diazepam yang mengalami kedua fase metabolisme dan memiliki
metabolit intermediate yang aktif. Meskipun pengaruh penuaan pada metabolisme
obat di hati bevariasi, namun metabolisme fase I adalah proses yang paling mungkin
berkurang pada lansia.
Munculnya berbagai pengaruh usia pada metabolisme obat mungkin
disebabkan fakta bahwa usia hanyalah salah satu dari banyak faktor yang
mempengaruhi metabolisme obat. Misalnya, merokok, konsumsi alkohol, modifikasi
diet, obat-obatan, penyakit virus, asupan kafein, dan faktor lain yang tidak diketahui
juga mempengaruhi laju metabolisme obat.
Induksi metabolisme obat dapat terjadi pada orang tua. Tingkat eliminasi
teofilin meningkat dengan merokok dan dengan fenytoin baik orang muda maupun
pada tua (1). Dengan demikian, respon adaptif ini tidak dipengaruhi usia. Tidak
semua isoenzim metabolisme diinduksi sama pada orang muda dan orang tua.
7

Sebagai contoh, eliminasi antipyrine.


meningkat setelah pretreatment dengan dichlorolphenazone pada pasien yang lebih
muda tetapi tidak pada pasien yang lebih tua.

Eliminasi
Perubahan farmakokinetik penting yang terjadi pada orang usia lanjut adalah bahwa
adanya pengurangan eliminasi obat ginjal (Kotak 2). Perubahan ini adalah hasil perubahan
fungsi yang berhubungan dengan usia pada tingkat filtrasi glomerulus dan fungsi tubular.
Obat yang bergantung pada fungsi glomerulus (misalnya, gentamisin) dan obat- obatan
yang bergantung pada sekresi tubular (misalnya penisilin) untuk eliminasi ekskresi
keduanya berkurang pada pasien yang lebih tua. Karena eliminasi obat berkorelasi dengan
kreatinin klirens (CrCl), pengukuran kreatinin klirens sangat membantu dalam
menentukan dosis pemeliharaan. Di ginjal, rata-rata kreatinin menurun sebesar 50% dari
usia 25 sampai usia 85 tahun meskipun kadar kreatinin serumnya tetap tidak berubah pada
sekitar 1,0 mg / dL. Karena kreatinin serum (SCr) cenderung terekspresi lebih pada
kreatinin klirens yang sebenarnya pada orang tua, formula yang sering dikutip dirancang
oleh Cockroft dan Gault dapat digunakan untuk memperkirakan kreatinin (CrCl) pada
orang dewasa yang lebih tua :

Kotak 2

Obat yang mengalami penurunan eliminasi ginjal pada pasien lansia


• Amantadi • Hydrochlorothiazid
• Ampiciln • Kanamycin
• Atenolol • Gentamicin
• Ceftriaxon
• Cephradin
• Cimetidin
• Digoxin
• Doxycyclin
• Furosemid
8

• Lithium • Phenobarbital
• Pancuroniu • Procainamid
m • Ranitidin
• Penicillin • Sotalol
• Triamteren

Pada wanita, nilai estimasi adalah 85% dari nilai yang dihitung pada
konsentrasi kreatinin dengan berat badan dan serum yang sama. Meskipun persamaan
ini berguna dalam penyesuaian usia, berat badan, dan kadar serum kreatinin terukur,
namun tidak memperhitungkan variasi individu. Formula ini telah divalidasi pada
pasien rawat jalan dan rawat inap, tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa hal itu
mungkin tidak akurat bila diterapkan pada pasien panti jompo yang lemah (5).
Perubahan klirens ginjal menyebabkan dua konsekuensi klinis yang relevan: (1) waktu
paruh obat diekskresi melalui ginjal yang diperepanjang, dan (2) kadar serum obat ini
meningkat. Untuk obat dengan indeks terapeutik besar (misalnya, penisilin), ini tidak
terlalu signifikan secara klinis, tetapi untuk obat dengan indeks terapeutik sempit
(misalnya, digoxin, cimetidine, aminoglikosida), efek samping dapat terjadi pada
pasien lansia jika pengurangan dosis tidak segera dilakukan . Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa digoxin adalah obat yang paling sering menyebabkan efek
samping pada orang tua, terutama jika dosisnya melebihi 0,125 mg / hari (6).
Untuk persyaratan dosis lebih lanjut, pemantauan terapeutik obat juga harus dilakukan
untuk obat dengan indeks terapeutik rendah.
9

Aspek Farmakodinamik

Selain faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat di tempat kerja


(farmakokinetik), efek obat juga tergantung pada sensitivitas organ target terhadap
obat tersebut. Pengaruh biokimia dan fisiologis obat dan mekanisme kerjanya
(farmakodinamik) terhadap penuaan belum diketahui dengan jelas. Penelitian
Farmakodinamik pada pasien lansia kurang dilakukan dibanding dengan penelitian
farmakokinetik. Sulit menggeneralisasi akan pengaruh usia dengan kepekaan terhadap
berbagai obat antara obat yang dipelajari dan respon yang diukur. Perbedaan-
perbedaan sensitivitas terjadi karena tidak adanya pengurangan senyawa yang dikenali
dalam metabolisme obat dan senyawa yang terkait. Dengan demikian, sensitivitas
terhadap efek obat kemungkinan dapat meningkat atau menurun dengan bertambahnya
usia.

Misalnya, pasien lansia tampaknya lebih sensitif terhadap efek sedatif dengan kadar
obat benzodiazepin dalam darah yang diberikan (misalnya diazepam) tetapi kurang
sensitif terhadap efek obat oleh β Reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol,
propranolol). Meskipun penurunan afinitas reseptor hormon diduga berhubungan
dengan usia, namun data menunjukkan perubahan seperti ini jarang terjadi. Penjelasan
lain mengatakan bahwa perbedaan ini terjadi akibat perubahan dalam fungsi second-
massenger dan perubahan dalam respon sel dan nukleus.

Karena respon dari pasien lansia untuk setiap obat yang diberikan adalah berbeda dan
tidak dapat diramalkan, semua obat harus digunakan secara tepat, dan bijaksana pada
pasien lansia, dan dokter harus berfikir
10

ulang untuk penggunaan obat umumnya. Secara umum, pengetahuan tentang


farmakologi dari obat yang diresepkan, batasan pada jumlah obat yang digunakan,
preparasi dan dosis obat berdasarkan kondisi umum pasien dan kemampuan pasien
untuk menangani obat yang diberikan, dikombinasikan dengan penyesuaian penurunan
dosis yang berpengaruh terhadap hati atau gangguan ginjal, dan pengawasan untuk
efek yang tak diinginkan akan meminimalkan risiko penggunaan obat pada pasien
lansia.

Resiko Terapi: Sebuah Pertimbangan Khusus bagi Pasien Lansia

Kepatuhan terhadap terapi obat

Meskipun menjadi pertimbangan oleh praktisi klinis perubahan yang berkaitan


dengan usia dan mungkin interaksi antara obat-obat dan obat-penyakit, manfaat dari
obat tidak diperoleh jika pasien tidak mengonsumsi obat yang diresepkan. Kepatuhan
adalah sejauh mana perilaku pasien sepakat dengan petunjuk yang disediakan oleh
dokternya. Ketidakpatuhan dengan resep obat adalah masalah umum pada pasien dari
segala usia dan tidak hanya terjadi pada pasien lansia (7). Tetapi karena pasien lansia
menggunakan lebih banyak obat dibanding pasien yang lebih muda, dan
ketidakpatuhan meningkat secara proporsional akibat banyaknya obat yang digunakan,
sehingga ketidakpatuhan lebih umum pada pasien lansia.
Ketidakpatuhan terhadap terapi obat dilaporkan terjadi sebanyak sepertiga sampai
setengah dari pasien lansia.

Biaya pengobatan dan jaminan asuransi dapat memengaruhi kepatuhan dalam berbagai
cara. Pasien mungkin tidak membeli obat jika mereka tidak mampu membayar dengan
biaya tunai. Di sisi lain, obat mahal kadang-kadang dianggap lebih kuat dan lebih
memperoleh manfaat. Jika pasien tidak menebus obat mereka karena manfaat asuransi
mereka, maka kepatuhan terhadap obat yang lebih mahal akan meningkat.
Salah satu penyebab kepatuhan yakni, penjelasan yang cermat oleh paramedis
11

mengenai tujuan dari penggunaan obat penting bagi pasien lansia (8). Komunikasi
yang buruk dengan dokter yang meresepkan, ditambah dengan penurunan kemampuan
kognitif, membuat pasien lansia sangat rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan.
12

Orang dengan demensia ringan mungkin lupa untuk mengonsumai obat meskipun
mereka dinyatakan mampu hidup tanpa pengawasan keluarganya. Bahkan, sebagian
besar atau 90% dari kasus ketidakpatuhan mengambil bentuk ketidakterlalupatuhan
atau mengonsumsi terlalu sedikit dari obat yang diresepkan (9). Alarm untuk
mengingatkan pasien dalam mengonsumsi obat, panggilan pengingat dari anggota
keluarga atau teman, dan tindakan menyediakan obat harian membantu dalam
meningkatkan kepatuhan pasien. Jika memungkinkan, akan sangat membantu jika
meresepkan obat yang dapat diambil lebih jarang. Bahkan, pasien yang lebih tua dapat
mencapai tingkat kepatuhan setinggi 80% sampai 90% jika mereka diberikan instruksi
tertulis dan lisan dengan jelas, jadwal dosis sederhana, dan berkurangnya jumlah obat
(10).

Komplikasi serius dapat timbul jika dokter salah asumsi bahwa pasien sudah patuh
pada terapi. Ketika obat tampaknya tidak efektif, dokter sering meningkatkan dosis
atau memberikan obat yang lebih kuat. Perubahan situasi, seperti meningkatnya
pengawasan dari lembaga panti jompo atau anggota keluarga atau rumah sakit, dapat
berujung kepada keracunan.
Masalah lain dari kepatuhan terapi berhubungan peran makanan dalam penyesuaian
obat diuretik dan agen hipoglikemik oral. Awalnya obat ini sering diresepkan di rumah
sakit, di mana makanan pasien dapat dikontrol dengan ketat. Namun, ketika pasien
dipulangkan ke lingkungan yang kurang mendapat pengawasan di mana ia tidak
mematuhi
13

pembatasan konsumsi garam atau karbohidrat, serangan gagal jantung kongestif atau
hiperglikemia mungkin dapat terjadi. Jenis efek samping merugikan ini dapat dihindari jika
obat disesuaikan dengan makanan saat pasien masih di rumah sakit.

Pengetahuan Dasar Mengenai Keamanan dan Efikasi Obat

Terapi obat pada pasien lansia lebih rumit karena banyak faktor yang unik untuk kelompok
usia ini. Beberapa kondisi yang mendukung seperti, kondisi lingkungan, variasi genetik,
dan efek fisiologis dari penuaan semua berinteraksi satu sama lain untuk mempengaruhi
disposisi obat pada orang tua. Meskipun penggunaan obat yang bijaksana sangat dapat
mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada banyak penyakit lansia, penggunaan obat
yang tepat terhambat oleh kurangnya data. Meskipun begitu terdapat sedikit data tentang
hubungan antara efek dan bertambahnya usia di tempat kerja obat, dan juga informasi
kurang tentang disposisi obat dan respon obat pada pasien yang sangat tua, yakni usianya
lebih dari 85 tahun (11). Pasien lansia sering menjadi maksud terapi obat baru, namun
biasanya tidak direkrut untuk berpartisipasi dalam uji coba obat klinis, sehingga
ekstrapolasi pada dosis dan kemungkinan efek samping obat mungkin sesuai atau mungkin
tidak sesuai.

Resiko Reaksi Efek Samping Obat

Reaksi obat yang merugikan didefinisikan sebagai kerugian langsung yang disebabkan
oleh obat. Pasien yang lebih tua berada pada
14

peningkatan risiko menimbulkan reaksi merugikan dari golongan obat tertentu. Primum
non nocere ("pertama tidak membahayakan") adalah sebuah frase yang berlaku terutama
ketika meresepkan obat untuk orang tua. Reaksi obat merugikan yang paling sering
dikonfirmasi adalah penyakit iatrogenik. Kejadian reaksi obat yang merugikan pada pasien
rawat inap meningkat dari sekitar 10% pada pasien usia 40 sampai 50 tahun dan 25% pada
pasien yang lebih tua dari 80 tahun. Dalam prosesi rawat jalan, Gurwitz dan rekannya (12)
menemukan bahwa tingkat keseluruhan kejadian efek samping obat adalah 50,1 per 1.000
orang pertahun, dengan tingkat 13,8 efek samping obat dapat dicegah per 1.000 orang
pertahun. Dari kejadian efek samping obat, 578 (38,0%) dikategorikan serius, mengancam
jiwa, atau fatal; 244 (42,2%) dari peristiwa yang lebih parah dianggap dapat dicegah.
Kesalahan yang terkait dengan reaksi efek samping obat dapat dicegah pada tahap
peresepan dan pengawasan, namun kejadian efek samping obat yang berhubungan dengan
kepatuhan pasien juga masih umum. Obat kardiovaskular, diuretik, analgesik nonopioid,
hypoglycemics, dan antikoagulan adalah golongan obat yang paling umum terkait dengan
kejadian obat yang dapat dicegah. Di panti jompo, Gurwitz dan rekan (13) menemukan
bahwa tingkat keseluruhan kejadian efek samping obat adalah 9,8 per 100 penduduk/bulan,
dengan tingkat 4,1 dapat efek sampingnya dicegah per 100 penduduk/perbulan. Kesalahan
yang terkait dapat dicegah terjadi pada tahap pemesanan dan pemantauan terapi.
15

Banyak obat yang biasa diresepkan untuk pasien lansia berpotensi mengancam hidup atau
bisa juga meniadakan reaksi merugikan (Tabel5). Obat kardiovaskular dan psikotropika
adalah agen paling sering dikaitkan dengan efek samping yang serius pada orang tua. Fakta
ini berasal dari kombinasi jendela terapi yang sempit, perubahan fisiologis akibat
bertambahnya usia seperti berkurangnya ekskresi ginjal dan durasi lama terapi, dan
pengaruh pasien lansia terhadap reaksi yang merugikan obat. Dalam uji coba klinis obat
umumnya tidak diuji dalam populasi yang pada akhirnya akan menerima obat tersebut
(seperti, pasien yang lebih tua dengan satu atau penyakit yang lebih serius), rasio risiko
dan manfaat kebanyakan obat tidak jelas pada pasien lansia. Reaksi obat yang merugikan
sering tidak diketahui karena gejalanya tidak spesifik atau meniru gejala penyakit lain.
Seringkali obat lain yang diresepkan untuk mengobati gejala-gejala ini, menyebabkan
dikeluarkan resep polifarmasi dan meningkatkan kemungkinan reaksi obat yang
merugikan. Efek ini dapat diperparah ketika pasien mengunjungi beberapa dokter yang
meresepkan obat berbeda satu sama lain. Obat-obatan yang umumnya diresepkan untuk
pasien lansia dan berinteraksi satu sama lain dijelaskan
pada Tabel 6.

Tabel 5. Contoh reaksi obat yang merugikan

Jenis Obat Efek samping umum


Aminoglycos cs
ides
Antiarrhythm
ics

Anticholiner
gics

Antipsychoti
16

Gagal ginjal, retensi urin (Disopyramide)


gangguan Mulut kering, konstipasi, retensi urin, delirium
pendengaran Delirium, sedasi, hipotensi, gangguan
Diare
(quinidine);
17

gerakan
Diuretics Dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia,
inkontinensia
Narcotics Sembelit
Sedative- Sedasi berlebihan, delirium, gangguan
hypnotics
gait

Tabel 6. Contoh potensi interaksi obat-obat yang penting

Contoh Intera
Antasida Mengganggu Efektivitas obat
dengan digoxin, penyerapan menurun
isoniazid obat
(INH), dan
antipsikotik

Simetidin Perubahan Penurunan klirens obat,


dengan metabolisme peningkatan risiko
propranolol, toksisitas
teofilin,
fenitoin
(Dilantin)

Lithium Perubahan ekskresi


dengan toksisitas dan ketidakseimbangan elektrolit
diuretik
18

Oral warfarin Pergeseran Peningkatan efek dan


dengan ikatan protein risiko toksik
hipoglikemik,
aspirin,
chlora

Meskipun terdapat asosiasi mengenai meningkatnya reaksi obat yang merugikan dengan
usia yang lebih tua, namun banyak penelitian belum bisa menunjukkan efek tersebut
bergantung usia. Apa yang diketahui adalah bahwa polifarmasi berkorelasi kuat dengan
kejadian reaksi obat yang merugikan dan, seperti yang disebutkan sebelumnya, pasien
yang lansia mengonsumsi obat lebih banyak daripada rekan-rekan mereka yang lebih
muda. Pasien lansia juga memiliki karakteristik yang membuatnya rentan pada reaksi obat
yang merugikan. Diantaranya keparahan penyakit, beberapa komorbiditas, ukuran tubuh
yang lebih
19

kecil, perubahan metabolisme hati dan ekskresi ginjal, dan reaksi dengan obat sebelumnya.
Reaksi merugikan yang paling umum pada pasien lansia adalah penggeseran obat dari
ikatan protein dengan obat lain yang lebih kuat terikat dengan protein, induksi atau inhibisi
metabolisme obat lain, dan efek aditif dari obat yang berbeda pada tekanan darah dan
fungsi mental . Selain itu, beberapa obat juga berinteraksi dengan kondisi medis yang
dialami pasien lansia sehingga terjadi interaksi "obat-penyakit" (Tabel7Tabel 7). P
samping yang umum dialami, ketika
mereka melakukan monitoring.

Tabel 7. Beb

Lansia

Penyakit Obat

Kelainan Antidepressan Trisiklik


konduksi
jantung

PPOK β-Blo

Kerusakan AINS, Aminoglikosida


kronis ginjal
β-Bloker, verapamil
Gagal jantung akut
Jantung
Kongestif
20

Dementia Meningkatkan Obat


antiepileptic Kebingungan,
delirium
Depresi
sentra, alkohol, Presiptasi atau
exaserbasi pada
21

benzodizepin, kortikosteroid depresi

Diabetes Melitus Diure


Hipertensi AINS

Hypokalemia
Penyakit β-Bloker
pembuluh
darah perifer

Prostatik hyperplasia Agen

Terapi Obat yang “Tepat” pada Pasien Lansia

Pada tahun 1991, Beer dan rekan-rekan mengembangkan sebuah daftar obat yang disusun
oleh kelompok multidisiplin ahli pada bidangnya tentang obat yang tidak boleh digunakan
secara rutin oleh pasien lansia.Obat ini dikenal sebagai "Daftar Beer" yang memuat bahan-
bahan obat yang berpotensi menimbulkan masalah pada pasien lansia (14) (Tabel 8).
Bahan obat yang dimaksud termasuk didalamnya obat penghilang rasa sakit tertentu,
benzodiazepin kerja panjang, agen antikolinergik, agen antihipertensi. Setiap pasien
kemungkinan dapat mentolerir satu atau lebih dari agen ini, terutama dalam pengaturan
penggunaan jangka panjang; Namun, jika terapi obat baru dimulai pada pasien lansia ,
"Daftar Beer" dapat membantu mengidentifikasi guna menghindari bahan ini sebagai
terapi lini pertama.
Tabel 8. Obat-obat yang termasuk Daftar Beer
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Obat pelengkap dan alternatif

Penggunaan obat-obatan pelengkap dan alternatif (Complementary and alternative


medications / CAM) meningkat pada pasien lansia. Dalam laporan terbaru, hampir dua
pertiga pasien lansia rawat jalan menggunakan setidaknya satu bentuk CAM, tetapi
penggunannya bukan atas saran dokter. CAM berkaitan dengan beberapa efek samping
(Tabel
9) dan terdapat interaksi antara obat dengan CAM dan dengan terapi obat-obat yang biasa
digunakan untuk pasien lansia (Tabel 10). Riwayat pengobatan pada pasien lansia juga
harus mencakup penyelidikan penggunaan CAM (15,16).
Tabel 9. Potensi efek samping dari obat herbal dan kandungan utamanya
34

Tabel 10. In
35
36

II.8. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI (2003) y
terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia
ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang
berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang
tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Karakteristik Lansia

Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan
pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari
rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari
kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam
dkk, 2008).
Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009):

Masa balita =0-

Masa kanak-kanak =5-

Masa remaja Awal =12 -

Masa remaja Akhir =17 -

Masa dewasa Awal =26-


37

Masa dewasa Akhir =36-

Masa Lansia Awal = 46-

Masa Lansia Akhir = 56 -

Masa Manula = 65 -

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia
pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua
(old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut
Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan
lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan
tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari.
Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok
umur yang mencapai tahap praenisium pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan
daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan
timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya. Demikian juga batasan lanjut usia yang
tercantum dalam Undang-Undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan
penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang
berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan
bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Namun demikian masih terdapat
perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam
penduduk lanjut usia.
38

Dalam penelitan ini digunakan batasan umur 56 tahun untuk menyatakan orang lanjut usia.
9 Konversi dosis usia lansia

Usia orang lanjut usia dan keadaan fisiknya sudah mulai menurun, pembagian dosisnya
harus lebih kecil dari dosis maksimum. Dapat dikonversikan ke dalam (17) :
60-70 tahun : 4/5 d

70-80 tahun : 3/4 d

80-90 tahun : 2/3 d

90 tahun keatas : 1/2 dosis dewasa


39

BAB III KESIMPULAN


Penting bagi penyedia layanan kesehatan untuk menyadari isu-isu dalam menggunakan
terapi obat pada pasien lansia, karena pasien lansia adalah pasien yang paling rentan
terhadap efek samping obat. Meskipun untuk pengambilan keputusan klinis pada terapi
obat untuk pasien lansia diperlukan lebih banyak data, namun beberapa pertimbangan
sederhana dapat membuat penggunaan obat lebih aman dan lebih efektif. Perhatian lebih
kepada faktor-faktor yang memiliki efek besar pada peningkatan kualitas hidup,
penggunaan obat, dan keseluruhan biaya perawatan kesehatan pada populasi rentan ini.
40

DAFTAR PUSTAKA

Cusack BJ: Pharmacokinetics in older persons. Am J Geriatr Pharmacother 2004;2:274-


302.
Wilkinson GR: Drug metabolism and variability among patients in drug response. N Engl J
Med 2005;352:2211-2221.
Ray WA, Murray KT, Meredith S, et al: Oral erythromycin and the risk of sudden death
from cardiac causes. N Engl J Med 2004;351:1089- 1096.
CYP3A and drug interactions. Med Lett Drugs Ther 2005;47:54-55.
Drusano GL, Munice HL Jr, Hoopes JM, et al: Commonly used methods of estimating
creatinine clearance are inadequate for elderly debilitated nursing home patients. J Am
Geriatr Soc 1988;36:437- 441.
Nolan L, O’Malley K: Prescribing for the elderly. Part I: Sensitivity of the elderly to
adverse drugreactions. J Am Geriatr Soc 1988;36:142- 149.
Osterberg L, Blaschke T: Adherence to medication. N Engl J Med 2005;353:487-497.
Becker MH: Patient adherence to prescribed therapies. Med Care 1985;23:539-555.
Cooper JK, Love DW, Raffoul PR: Intentional prescription onadherence (noncompliance)
by the elderly. J Am Geriatr Soc 1982;30:329- 333.
Black DM, Brand RJ, Greenlick M, et al: Compliance to treatment for hypertension in
elderly patients: The SHEP pilot study. Systolic Hypertension in the Elderly Program. J
Gerontol 1987;42:552-557.
Gurwitz JH, Col NF, Avorn J: The exclusion of the elderly and women from clinical trials
in acute myocardial infarction. JAMA 1992;268:1417-1422.
Gurwitz JH, Field TS, Harrold LR, et al: Incidence and preventability of adverse drug
events among older persons in the ambulatory setting. JAMA 2003;289:1107-1116.
Gurwitz JH, Field TS, Judge J, et al: The incidence of adverse drug events in two large
academic long-term care facilities. Am J Med 2005;118:251-258.
41

Fick DM, Cooper JW, Wade WE, et al: Updating the Beers criteria for potentially
inappropriate medication use in older adults: Results of a U.S. consensus panel of experts.
Arch Intern Med 2003;163:2716-2724.
Cohen RJ, Ek K, Pan CX: Complementary and alternative medicine (CAM) use by older
adults: A comparison of self-report and physician chart documentation. J Gerontol A Biol
Sci Med Sci 2002;57:M223-M227.
de Smet PA: Herbal remedies. N Engl J Med 2002;347:2046-2056.
Syamsuri, Apt. 2002. Ilmu Resep.penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
42

HASIL DISKUSI
Bagaimana penanganan bagi pasien geriatric yang mengalami tekanan hidup, sehingga
mengalami depresi dan harus diterapi dengan antipsikotik ?
Jawab :
Untuk masalah diatas kita tidak memiliki wewenang dalam penanganan tekanan hidupnya.
Seorang apoteker hanya bias menyarankan untuk segera mengkonsultasikan ke psikiater,
kecuali untuk obat-obatnya kita harus memberikan penjelasan bagaimana
dalam penggunaannya.
Apa yang harus dilakukan seorang apoteker agar mencapai terapi yang

baik pada pasien geriatric Jawab :


Sebaiknya sebagai seorang apoteker, kita harus memperbaiki komunikasi dengan pasien
apalagi dengan kondisi geriatric. Selain menjelaskan masalah penggunaaan obat yang baik,
kita juga harus memberikan perhatian yang khusus kepada pasien tersebut, jika perlu
lakukan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau penggunaan dan
keberhasilan terapinya.
Bagaimana mekanisme dari metabolisme fase I dan fase II? Jawab :
Metabolisme Fase I melibatkan oksidasi, reduksi, dan hidrolisis obat dan metabolisme
Fase II melibatkan glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan metilasi. Metabolisme Fase I
dikatalisis terutama oleh sistem sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus
di sel hati. Enzim CYP adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat mikrosomal
yang penting dalam biosintesis dan degradasi senyawa endogen seperti steroid, lipid, dan
vitamin, serta metabolisme obat yang
43

paling umum digunakan. Aktifitas Metabolisme Fase I menurun secara drastis pada lansia.
Obat-obatan yang dimetabolisme melalui fase I akan memiliki waktu paruh yang
diperpanjang akibat lansia.
Metabolisme hati Fase II melibatkan konjugasi obat atau metabolitnya menjadi senyawa
organik. Eliminasi obat yang mengalami metabolisme fase II melalui proses konjugasi
(seperti, asetilasi, glukouronidasi, sulfatisi, dan konjugasi glisin) umumnya sedikit berubah
pada lansia. Dengan demikian, obat yang hanya memerlukan metabolisme fase II untuk
diekskresi (misalnya, triazolam) tidak mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien
lansia. Obat ini kontras dengan obat-obatan seperti diazepam yang mengalami kedua fase
metabolisme dan memiliki metabolit intermediate yang aktif. Meskipun pengaruh penuaan
pada metabolisme obat di hati bevariasi, namun metabolisme fase I adalah proses yang
paling mungkin berkurang pada lansia.
Apa hubungan umur dengan kepatuhan pasien pada pasien geriatric

dan apa saja yang mempengaruhi kepatuhan pasien? Jawab :


Umur dikatakan tidak berpengaruh pada kepatuhan pasien karena hal ini dapat
ditanggulangi dengan memberikan keprcayaan kepada eluarga untuk selalu mendampingi
si pasien dalam menggunakan obatnya, disamping itu peran seorang apoteker untuk selalu
memonitoring goal terapinya. Beberapa factor di bawah ini yang dapat mempengaruhi
kepatuhan pasien, adalah :

Faktor Penga

Umur Tidak
44

Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Tidak ada Pengaruh


Etnis Tidak ada Pengaruh
Status Keuangan Keparahan Penyakit Tidak ada Pengaruh
Efektivitas atau toksisitas obat Tidak ada Pengaruh
Kepercayaan oleh pasien bahwa Tidak ada Pengaruh
penyakit yang sedang diderita serius Tidak ada Pengaruh
Kepercayaan oleh pasien bahwa obat Tidak ada Pengaruh
akan mengobati atau mencegah
penyakit atau kondisi serupa Meningkat
Penjelasan Rinci oleh dokter dari
tujuan penggunaan obat
Jumlah obat yang digunakan Durasi Meningkat
terapi yang lama Jadwal konsumsi
yang rumit Penutup Botol obat Menurun Menurun
Menurun Menurun

Apa prinsip pengobatan pada pasien lansia ? Jawab :


Tidak ada perbedaan prinsip pengobatan antara lansia dengan pasien yang masih muda.
Namun perlu digarisbawahi bahwa seorang pasien lansia harus diberikan perhatian khusus
terutama dalam kepatuhannya menggunakan obat untuk mencapai efek terapi yang
diharapkan.
Tidak semua penyakit pada pasien lansia disebabkan karena fungsi organnya yang
menurun tapi bisa saja karena penyakit yang sejak muda di derita, bagaimana
penanganannya jika diberikan obat
polifarmasi? Jawab :
Pemberian polifarmasi pada pasien geriatric sebisa mungkin dihindari. Mengingat fungsi
fisiologis yang semakin menurun, sehingga kemampuan metabolism fase I maupun fase II
yang tidak sempurna. Beberapa perubahan ini mengubah farmakokinetik, dimana bagi para
45

ahli farmakologi dan klinisi, perubahan yang terpenting dari segala perubahan
46

tadi ada penurunan fungsi ginjal. Beberapa perubahan serta penyakit yang menyertai
lainnya dapat mengubah karakteristik farmakodinamik obat tertentu pada beberapa pasien.

Apa saran anda pada penggunaan obat pelengkap ? Jawab :


Penggunaan obat-obatan pelengkap dan alternatif (Complementary and alternative
medications / CAM) meningkat pada pasien lansia. Dalam laporan terbaru, hampir dua
pertiga pasien lansia rawat jalan menggunakan setidaknya satu bentuk CAM, tetapi
penggunannya bukan atas saran dokter. Namun perlu diketahui bahwa penggunaan CAM
bias saja terjadi efek samping seperti
47

dan terdapat interaksi antara obat dengan CAM dan dengan terapi obat-obat yang biasa
digunakan untuk pasien lansia, seperti
48

Anda mungkin juga menyukai