Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM ISLAM

Tentang “ Kajian Teoritis Sumber-Sumber Hukum Islam, Hukum Adat dan Isu Modern”

Disusun Oleh:

Kelompok 5

1. ANDRE MASAYURO (1080574201065)


2. DILEANDO PUTRA SINAMBELA (180574201088)
3. DWI ANGGA NOVANTO (180574201094)
4. SAID HADI ANDRIAN (180574201063)

Dosen Pembimbing: Dr. Suryadi, S.H,.M.H.

ILMU HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
DAFTAR ISI
Cover...........................................................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................................ii

Kata Pengantar..........................................................................................................................iii

Bab I Pendahulua........................................................................................................................4

a. Latar Belakang.........................................................................................................4
b. Rumusan Masala.....................................................................................................6
c. Tujuan.......................................................................................................................6

Bab II Isi.....................................................................................................................................7

A. Pengertian Sumber Hukum Islam............................................................................7.


B. Macam Macam Sumber Hukum Islam....................................................................7.
C. Eksistensi Hukum Islam dan Hukum adat.............................................................12
D. Isu Hukum Islam dan Hukum Adat........................................................................14

Bab III Penutup........................................................................................................................16

Daftar Pustaka..............................................................................................................18
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami pada
akhirnya bisa menyelesaikan makalah kajian teoritis hukum islam tepat pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Tanjung Pinang 23 Feb 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

A. .Sumber hukum islam


Sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sumber hukum Islam
materil yakni sumber hukum yang bentuk hukum dalam sebuah negara dan sumber hukum
formil yaitu sumber isi hukum yang menentukan corak isi hukum. Sumber hukum formil
inilah yang kemudian disebut sebagai mashadir al-ahkam, sementara aladillah asy-syar‟iyyah
merupakan sumber hukum materil.

Istilah mashadir al-ahkam sendiri tidak dikenal dalam catatancatatan para ahli hukum
masa klasik. Karena pada umumnya para ahli hukum klasik menggunakan istilah al-adillah
asy-syar‟iyyah. Secara umum kedua istilah ini memiliki mengertian yang berbeda antara satu
sama lain. Mashadir berarti sumber, yakni wadah yang darinya digali norma-norma hukum
tertentu, sedangkan al-adillah berarti dalil, yakni petunjuk yang akan membawa kepada
hukum tertentu.

Membicarakan pengkatagorian untuk sumber hukum Islam, maka akan banyak


spekulasi pambagian. Ada yang mengatakan empat (Alquran,Hadis, Ijmak dan qiyas), ada
pula yang mengatakan hanya tiga (tanpa mengikutkan qiyas). Namun yang pasti dan diakui
untuk semua kalangan adalah dua yakni Alquran dan Hadis. Sedangkan untuk dua lainnya,
masih menjadi perdebatan dan memerlukan kajian yang lebih dalam.

B. Eksistensi hukum islam dan hukum adat dalam sistem hukum nasional
Ketika politik hukum kolonial menempatkan kedudukan Hukum Islam sebagai bagian
dari Hukum Adat, dalam perkembangannya pasca-kemerdekaan Republik Indonesia
bermunculan teori-teori yang membantah masunya Hukum Islam kedalam bagian Hukum
Adat. Politik hukum penguasa Indonesia pasca-kemerdekaan turut mendorong kenyataan
yang berkembang, seperti penghapusan peradilan adat (adatrechspraak) secara
berangsurangsur. Hapusnya pengadilan Adat telah merusak dan menggerus kekuatah hukum
Adat sebagai suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya Hukum Islam
memperlihatkan penguatan peradilan agama yang terakhir ini diatur berdasarkan UU No. 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Eksistensi Hukum Islam semakin menguat dengan berlakunya sejumlah peraturan


perundang-undangan dalam bidang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk),
Perbankan Syariah, Pengelolaan Haji, Pengelolaan Zakat, dan lain-lainnya, dan sebagai suatu
sistem hukum, Hukum Islam yang mengusung nilai-nilai Islami (Prinsip-prinsip Syariah),
semakin memberi arti dalam pola perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
meskipun secara konstitusional ditegaskan bahwa Negara Indonesia bukan Negara
berdasarkan atas dasar Hukum Islam, namun dalam tataran implementatif, kedudukan dan
peran Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional dihadapkan pada berbagai
tantangan, apakah nantinya Hukum Islam, tetap eksis atau akan mengalami nasib yang sama
seperti Hukum Adat, apalagi di era globalisasi dan menguatnya demokratisasi dan HAM
yang membutuhkan jawaban terhadap berbagai masalah dan isu kontemporer.
B. Rumusan Masalah
 Apasih yang dimaksud sumber hukum islam?
 Apa – apa saja yang termasuk kedalam sumber hukum islam?
 Bagaimana eksistensi hukum adat dan hukum islam
 Isu hukum islam apa yang sedang hangat di indonesia?

C. Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui apa itu hukum islam
 Untuk mengetahui apa saja sumber hukum islam
 Mengetahui isu hukum islam serta mempelajarinya.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber Hukum Islam adalah rujukan pengambilan keputusan untuk menghukumi
suatu perbuatan (misal, wajib) dalam syariat Islam dengan cara yang dibenarkan. Semua
hukum perbuatan dalam Islam selalu merujuk kepada empat macam rujukan yang disepakati
oleh mayoritas kaum muslimin (dari yang paling utama): Alquran, sunnah, ijmak, dan qiyas.

B. Macam-Macam Sumber Hukum islam


A. Al-Quran
Adapun secara istilah yang banyak disepakati oleh para ulama Alquran adalah kalam
Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan
perantaraan malaikat Jibril yang tertulis dalam mushhaf, diriwayatkan secara mutawatir, yang
membacanyanya dinilai ibadah, diawali dengan surat al Fatiha dan dan diakhiri dengan surat
an-Nas.

Setelah menjelaskan definisi Alquran baik secara bahasa maupun istilah, maka ada
beberapa hal yang perlu untuk digaris bawahi terhadap soal Alquran, yakni:

o Alquran tidak tersusun atas masalah-masalah hukum.


o Legislasi Alquran bersifat prinsip umum.
o Dari keseluruhan ayat Alquran, hanya 5,8 % saja yang merupakan ayat-ayat hukum,
yakni ibadah sebanyak 140 ayat, hukum keluarga sebanyak 70 ayat, ekonomi dan
kontrak sebanyak 70 ayat, pidana sebanyak 30 ayat, peradilan sebanyak 13 ayat, hak
dan kewajiban warga negara 10 ayat, hubungan ummat muslimin dengan non-muslim
sebanyak 25 ayat, hubungan kaya dengan miskin sebanyak 10 ayat.
o Dari ayat-ayat hukum tersebut hanya 80 ayat saja yang secara eskplisit menggunakan
kata hukum.
o Sanksi dari pelanggaran hukum-hukum yang ditetapkan oleh Alquran adalah bersifat
moral, hanya ada beberapa yang bersifat konkrit seperti potong tangan dan rajam.
o Dalam beberapa ayat, seperti pada pelarangan riba‟, substansi pelarangannya adalah
larangan mengambil keuntungan dari kesusahan orang lain, bukan pelarangan
perlipatan jumlah secara eksplisit. Melihat beberapa hal di atas, maka akan terasa
sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Ahmad an Na‟im bahwa Alquran
bukanlah kitab hukum maupun kitab kumpulan hukum. Namun akan lebih pantas bila
dikatakan sebagai kitab petunjuk untuk standar moral prilaku manusia, daripada
dikatakan sebagai kitab penetapan hak dan kewajiban seseorang.

B. Sunnah
Sunnah yang merupakan kata bahasa Arab berakar dari kata kerja sanna-yasunnu-
sunnatan, yang berarti jalan yang sering dilalui, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi. Konsep dari
arti sunnah ini secara bahasa adalah sesuatu yang sering dikerjakan dan telah mapan.

Makna sunnah dalam bentuk yang asli inilah yang selalu dipahami kaum Muslimin
secara konseptual dan teori. Tetapi bagi para Muhaddisin, „sunnah Nabi‟ dipahami sebagai
segala informasi "verbal" mengenai diri Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, sikap, sifat-
sifat alamiah (khalqiyah) dan etik (khulqiyah), baik yang terjadi sesudah (telah diangkat
menjadi Nabi), atau sebelumnya.

Selain kata sunah, terdapat istilah lain yang kerap kali digunakan dan bahkan
terkadang terkesan seperti sinonim dari kata sunnah, yakni Hadis.

Namun tidak selamanya apa yang dikatakan Hadis hanyalah yang melengkapi
perbuatan-perbuatan pada Rasul semata. Kalangan ulama seperti at-Tibby berpendapat
bahwa, Hadis itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau, melengkapi perbuatan-
perbuatan sahabat Nabi, sebagaimana pula melengkapi perkataan, perbuatan al-tabiin disebut
juga dengan Hadis.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang
sama, yaitu sama-sama segala berita yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir Nabi. Pendapat lain mengatakan bahwa pemakaian kata Hadis
berbeda dengan sunnah. Kata Hadis dipakai untuk menunjukkan segala berita dari Nabi
secara umum. Sedang kata sunnah dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari
Nabi yang berkenaan dengan hukum syara‟. Atau dengan kata lain sunnah lebih kepada hasil
deduksi hukum yang bersumber dari Hadis. Jadi Hadis adalah media pembawa sunnah. Klaim
ini dapat dibuktikan dengan istilah uswah yang dikatagorikan sebagai sunnah.
C. Ijmak
Seperti yang disinggung sebelumnya, adalah mengherankan untuk memasukkan ijmak
ke dalam sumber hukum. Karena ijmak sebagaimana yang dipahami dalam literatur-literatur
filsafat hukum Islam hanyalah metode dalam mengambil keputusan hukum. Akan tetapi
posisi ijmak sebagai sumber hukum menjadi jelas seperti yang dikemukakan oleh Ahmad an-
Naim.

Pengertian ijmak sebagai sumber hukum harus dipahami dari konsep awal ijmak
tersebut. Ketika sunnah dikonotasikan dengan sunnah Nabi, maka tradisi hidup sahabat dan
beberapa generasi setelahnya diturunkan derajatnya sebagai sumber hukum Islam yakni
sebagai sumber ketiga. Semuanya diakumulasi dalam ijmak.

Meskipun ijmak telah diterima sebagai sumber hukum Islam sejak masa dini, akan
tetapi masih banyak perdebatan di dalamnya, baik terkait defenisi, cakupan dan batasan.
Kontroversi ini merupakan akibat dari tidak memadainya perangkat metodologi yang
mengantarkan ummat Islam kepada ijmak ke berbagai masalah. Kritiik modern terhadap
ijmak menyatakan bahwa defenisi ijmak telah gagal untuk menjadi jalan keluar untuk
berbagai persoalan karena terlalu lamban. Kritik awal ijmak diajukan oleh ad-Dahlaw³ yang
berpendapat ijmak seharusnya merupakan relativitas. Dengan kata lain ijmak bukanlah
konsensus bersama tapi hanya berupa kesepakatan orang atau institusi yang berwenang di
sebuah tempat saja. Iqbal juga berpendapat bahwa sungguh mengherankan kenapa ijmak ini
tidak menjadi otoritas sebuah institusi yang mapan.

Apakah ijmak harus bersyarat kesepakatan bulat adalah masalah yang sungguh berat
yang dihadapi ijmak dengan defenisi yang beredar sekarang. Banyak alasan untuk
menyatakan bahwa ijmak tidak akan pernah tercapai dan bahkan tidak perlu ada. Para
mujtahid cukup untuk mengkaji sumber-sumber hukum dengan metode lain yang layak.
Beberapa tokoh yang berpendapat bahwa ijmak tidak akan mungkin terpastikan ada adalah
seperti anNa§§±m, A¥mad b. ¦anb±l dan beberapa tokoh az-¨±hir³.³ Mereka lebih cenderung
untuk menyatakan ijmak sebagai konsensus para sahabat dan penduduk Madinah. Dengan
begitu memang ijmak dapat diterima sebagai sumber hukum. Menurut al- Ghazali³ hanya
surah an-Nisa ayat 15 yang bisa dijadikan dalil. Memang gagasan ijmak ini muncul dari
konsep persatuan masyarakat Arab dalam masalah politik
Lebih dasar lagi, bahkan dasar ijmak tidak bisa dibuktikan dengan jelas dan kuat.
Semua dalil-dalil ijmak lebih condong kepada perpaduan dan kesatuan ummat bukan dalam
masalah memutskan hukum. Selain itu ternyata tidak ada defenisi yang jelas tentang konsep
ijmak, ummat dan jama‟ah pada masa awal.

Bila ijmak didefenisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu
priode setelah wafatnya Muhammad, maka tidak ada alasan yang tepat untuk
memasukkannya sebagai sumber hukum, ia lebih kepada metode pengambilan hukum.
Meskipun banyak persoalan yang menyoal ijmak, sumbangannya terhadap perkembangan
hukum Islam sungguh besar. Ia tidak hanya dianggap sebagai sumber hukum akan tetapi juga
sebagai dalil intrepretasi.

D. Qiyas
Sumber yang sering ditempatkan sebagai sumber ke-empat adalah Qiyas. Qiyas
merupakan perluasan dari hukum yang ada. Qiyas merupakan wadah bagi akal dalam sebagai
peran dalam pengambilan hukum. Qiyas ini pada mulanya merupakan ikatan dan batasan
terhadap penggunaan ra‟yu yang telah marak hingga zaman Syafi‟i. ³ Dengan tujuan
menyandarkan hukum kepada Alquran maupun sunnah, maka qiyas inipun diatur dalam
sistem metode pengambilan hukum. Ijmak dan qiyas merupakan sumber hukum yang
disepakati pada abad ke-2 dan 3 H.

Seperti disinggung sebelumnya, apakah qiyas memang sumber hukum ataukah


metode adalah permasalahan yang jarang dikaji. Banyak literatur filsafat hukum Islam hanya
menyebutnya sebagai sumber, ada juga yang menyatakannya sebagai teknik, tapi
mengkajinya dalam bab yang sama dengan sumber hukum.

Penulis tidak meragukan bahwa qiyas adalah metode pengambilan hukum. Qiyas ini
baru bisa menjadi sumber hukum bila yang dimaksud adalah hasil deduksi dari qiyas tersebut.
Akan tetapi itu tidak mungkin. Seorang mujtahid tidak bisa mengambil hukum baru dari hasil
deduksi qiyas, ia harus berqiyas kembali dari Alquran atau Sunnah.
E. Beberapa Sumber Lain.
Yang menjadi bagian dari sumber lain yang dimaksud sebenarnya bukanlah sesuatu
hal yang baru. Karena sebenarnya diawal telah dibahas, namun disini ingin mempertegas
kembali akan eksistensinya sebagai sumber hukum Islam. Adapun beberapa sumber lain yang
dimaksudkan tersebut adalah:

yang ternyata tidak dapat ditinggalkan oleh para mujtahid. Karena pengetahuan
sahabat yang jauh lebih banyak terhadap hukum-hukum apa yang dimaksud oleh

Rasulullah, yang mungkin tidak terekam dalam kitab-kitab Hadis.tidak hanya sahabat,
pendapat-pendapat tabi‟I dan tabi‟I tabi‟iin juga memiliki tempat yang istimewa. Meskipun
tidak ada alasan yang kuat bahwa menggunakapendapat mereka lebih pantas daripada
pendapat tokoh yang berkualitas zaman sekarang.

Baik tradisi Arab maupun tradisi apapun. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
Alquran yang merupakan kitab standar moral, maka tidak aka nada masalah dari mana hukum
itu diambil, baik dari tradisi suatu masyarakat, kitab hukum Barat, atau kitab suci agama lain,
asalkan sesuai dengan nilainilai universal Alquran. Maka akan wajar jika ditemui adanya
hukum Islam yang bercorak keIndonesian, kesukuan tertentu. Karena memang jarang sekali
corak hukum Islam itu dekat dengan keseragaman dari dulu hingga sekarang. Yang
terpenting adalah bahwa yang seragam adalah syari‟atnya yakni nash-nash Alquran.
C. Eksistensi Hukum Islam dan Hukum Adat
Kedua sistem hukum di Indonesia tersebut saling pengaruh-mempengaruhi yang
menunjukkan sebagai sistem terbuka, namun dalam perkembangannya terjadi penggerusan
dan pelemahan terhadap kedudukan Hukum Adat sebagai suatu sistem hukum baik terhadap
substansi hukumnya maupun terhadap struktur hukumnya.Sedangkan pada Hukum Islam
terjadi justru sebaliknya, dan Hukum Islam semakin mempersiapkan dan melengkapi dengan
berbagai substansi hukum maupun struktur hukumnya.

Suatu sistem hukum senantiasa terdapat tiga unsur atau komponennya menurut
Lawrence M. Friedman (dalam Achmad Ali, 2009), yakni unsur struktur hukum, substansi
hukum dan kultur hukum. Dalam Hukum Adat, bagian dari substansi hukumnya seperti
penghapusan pengadilan adat dan dengan demikian penghapusan pula terhadap struktur
hukumnya, telah berlangsung pasca-kemerdekaan Indonesia. Padahal, putusan-putusan
pengadilan adat menjadi bagian penopang eksistensi Hukum Adat.

Ketika berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan


Kehakiman, ditentukan penghapusan peradilan adat dalam Pasal 39, dan berdasarkan
penjelasan atas Pasal 39 ini disebutkan bahwa berdasarkan pada UU No. 1 Drt. Tahun 1961
tentang tindakan sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan, Kekuasaan dan
Acara Peradilan, Sipil, pada Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara berangsurangsur
telah menghapuskan Pengadilan Adat/Swapraja di seluruh Bali, Sulawesi, Lombok,
Sumbawa, Timor, Kalimantan dan Jambi. Dengan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966
tentang Penghapusan.Pengadilan Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negara di
Irian Barat.Peraturan Presiden tersebut berdasarkan UU No. 5 Tahun 1969 telah ditingkatkan
menjadi UU.

Hukum Islam justru sebaliknya. Ketika Pengadilan Adat tidak dikenal sekarang ini
sebagai bagian dari sistem peradilan nasional, maka Hukum Islam, khususnya melalui
Peradilan Agama telah diberikan landasan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu lingkungan peradilan (Pasal 24
ayat (2)). Ketentuan konstitusional yang menunjukkan dasar hukum Peradilan Agama
tersebut kemudian diturunkan dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan diatur dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta menentukan bahwa Peradilan Agama
adalah peradilan negara.
Justru penguatan Peradilan Agama sebagai sistem hukum di Indonesia semakin
bertambah dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mendukung dan
memperkuat kewenangan Peradilan Agama, antara lain dalam Pengelolaan Zakat,
Pengelolaan Haji, Perbankan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk), yang
memperlihatkan suatu formalisasi Hukum Islam ke dalam Hukum Perundang-undangan

Pengaruh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) melalui sistem hukum
Indonesia menunjukkan ciri posotivistik yang mampu diterima dan diterapkan dalam sistem
Huku Islam melalui formalisasi Hukum Islam. Sementara itu, sistem Hukum Adat yang juga
diatur dan dikembangkan lebih lanjut dari hukum perundang-undangan, justru
memperlihatkan kontroversi seperti pengakuan hak masyarakat adat khususnya hak ulayat
dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU No. 19 Tahun 2004 tentang
Kehutanan, karenahak ulayat masyarakat adat sebenarnya telah hilang dan upaya
mengembalikannya bukanlah suatu hal yang mudah.

Sistem Hukum Adat juga menunjukkan gradasinya, dari semula Hukum Adat ke
Hukum Kebiasaan, akhirnya hanya menjadi adat-istiadat (adat-kebiasaan) yang ditemukan
dalam praktik-praktik perkawinan adat, pakaian adat, dan lain-lainnya, yang sekedar upaya
mengembalikan jatidiri agar eksistensi Hukum Adat masih ditemukan dalam masyarakat dan
sistem hukum nasional.
D. D. ISU-ISU KONTEMPORER ISLAM
Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas setelah Perang
Dingin berakhir pada era 1990-an. Pengertian mengenai isu-isu global kontemporer terkait
erat dengan sifat dari isu-isu tersebut yang tidak lagi didominasi oleh hubungan Timur-Barat,
seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-
Leninisme dan diplomasi krisis. Masyarakat internasional kini dihadapkan pada isu-isu global
yang terkait dengan “Tatanan Dunia Baru” (New World Order). Isu-isu mengenai persoalan-
persoalan kesejahteraan ini berhubungan dengan Human Security antara negara-negara maju
(developed) dengan negara-negara berkembang (developing countries) serta masalah
lingkungan.

Isu-isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman
keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin menjadi suatu
“Agenda Global Baru” (New Global Agenda). Ancaman dalam bentuk baru ini bukan berupa
“serangan militer” yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain tetapi tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan ditujukan kepada state actor maupun
individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (Human Security).

Ancaman tersebut dapat berupa tindakan terorisme atau kejahatan transnasional yang
terorganisir (Transnational Organized Crime/TOC), kesejahteraan (kemiskinan), degradasi
lingkungan, konflik etnis dan konflik komunal yang berdimensi internasional, hutang luar
negeri, dan sebagainya. Berkembangnya isu-isu global merupakan akibat dari perkembangan
ancaman dan berbagai persoalan kontemporer yang bersifat nonkonvensional,
multidimensional, maupun transnasional tersebut. Meluasnya persoalan global kontemporer
ini juga didorong oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dalam era
globalisasi pasca Perang Dingin. Dengan demikian, isu-isu global kontemporer dengan sifat-
sifat utamanya tersebut telah mengalami transformasi yang menggeser persepsi mengenai
ancaman keamanan yang bersifat konvensional.
BAB III

PENUTUP
Sumber sumber hukum islam terbagi atas 4 yaitu Alquran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Alquran adalah sumber hukum yang paling utama karena Dari keseluruhan ayat Alquran,
hanya 5,8 % saja yang merupakan ayat-ayat hukum, yakni ibadah sebanyak 140 ayat, hukum
keluarga sebanyak 70 ayat, ekonomi dan kontrak sebanyak 70 ayat, pidana sebanyak 30 ayat,
peradilan sebanyak 13 ayat, hak dan kewajiban warga negara 10 ayat, hubungan ummat
muslimin dengan non-muslim sebanyak 25 ayat, hubungan kaya dengan miskin sebanyak 10
ayat.

Sunnah menjadi sumber hukum islam yang kedua dan diakui dikarenakan, sunnah
adalah segala jati diri Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, sikap, sifat-sifat alamiah
(khalqiyah) dan etik (khulqiyah), yang baik untuk kita contoh, baik yang terjadi sesudah
(telah diangkat menjadi Nabi), atau sebelumnya.

Ijma menjadi sumber hukum urutan ketiga dan tidak semua mengakui bahwa ijma
termasuk kedalam sumber hukum islam dikarenakan Seperti yang disinggung sebelumnya,
adalah mengherankan untuk memasukkan ijmak ke dalam sumber hukum. Karena ijmak
sebagaimana yang dipahami dalam literatur-literatur filsafat hukum Islam hanyalah metode
dalam mengambil keputusan hukum. Akan tetapi posisi ijmak sebagai sumber hukum
menjadi jelas seperti yang dikemukakan oleh Ahmad an-Naim.

Sumber yang sering ditempatkan sebagai sumber ke-empat adalah Qiyas. Qiyas
merupakan perluasan dari hukum yang ada. Qiyas merupakan wadah bagi akal dalam sebagai
peran dalam pengambilan hukum. Qiyas ini pada mulanya merupakan ikatan dan batasan
terhadap penggunaan ra‟yu yang telah marak hingga zaman Syafi‟i. ³ Dengan tujuan
menyandarkan hukum kepada Alquran maupun sunnah, maka qiyas inipun diatur dalam
sistem metode pengambilan hukum. Ijmak dan qiyas merupakan sumber hukum yang
disepakati pada abad ke-2 dan 3 H.

Sistem hukum nasional dibangun atas dasar Sisteh Hukum Islam, Sistem Hukum
Adat, dan Sistem Hukum Barat, yang belakangan ini meningkat pula pengaruh Sistem
Common Law sejalan dengan era globalisasi dan liberalisasi. Sistem-sisteh Hukum sebagai
Sistem Hukum Nasional tersebut telah saling berjuang untuk tampil eksis dan memberi arti
dalam pembentukan hukum nasional. Walaupun demikian, dibandingkan Hukum Adat, maka
Hukum Islam lebih mampu menunjukkan eksistensinya, mampu menerima masukan dan
berkolaborasi dengan hukum perundang-undangan.Oleh karena itu, upaya untuk
meningkatkan eksistensi Hukum Adat hendaknya perlu ditinjau kembali politik hukum yang
tidak menunjukkan kemauan politik (political will) yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
 Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 14 No. 2 Tahun 2016 Institut Agama Islam Negeri
(IAIN Manado)
 1Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
82.
 Qurais Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
 Alquran dan Terjemahan (Jakarta: Departemen Agama, 2001). QS al-Qiyamah:
 4Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan Fi Ulum al-Quran, terj. Muhammad
Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Quran Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h.3.
 Muhammad Hashim Kamali, Prinsip danTeori-Teori Hukum Islam, terj. (Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 1996 ), h. 17
 Hashim Kamali, Prinsip danTeori-Teori Hukum Islam, h. 245.
 Hashim Kamali, Prinsip danTeori-Teori Hukum Islam, h. 256
 https://www.nahimunkar.org/hukum-cambuk-wali-kota-banda-aceh-tegaskan-
penegakan-syariat-tidak-bisa-diintervensi/

Anda mungkin juga menyukai