Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

TB Resisten Obat adalah keadaan dimana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi
dibunuh dengan OAT. TB RO pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB
RO (Kemenkes RI, 2015). Tuberkulosis multidrug resistant disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (M tb) yang resisten terhadap dua obat antituberkulosis (OAT) yaitu isoniazid
(H) dan rifampisin (R). Penyebab resistensi mungkin dari penyedia pelayanan kesehatan,
penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat, faktor bakteri atau dari pasien itu sendiri.
Pengobatan TB MDR membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan OAT lini kedua
yang lebih mahal dan efek samping lebih berat. Konversi biakan dahak merupakan alat
pemantau indikator keberhasilan untuk pengobatan TB MDR. Pengurangan waktu konversi
penting untuk pengendalian infeksi dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan langkah-
langkah pengendalian infeksi.

Kasus tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap pengobatan anti tuberkulosis (OAT)
semakin meningkat di dunia. Hal ini menjadi ancaman terhadap kontrol TB di dunia.
Insidens kasus tuberkulosis multidrug resistant (TB MDR) diantara semua kasus TB baru
sebesar 3,5% di tahun 2013. Kasus TB MDR yang berasal dari kasus dengan pengobatan
sebelumnya lebih tinggi yaitu sekitar 20,5%. Data World Health Organization (WHO) tahun
2013 memperkirakan jumlah kasus baru TB MDR di dunia sebesar 480.000 kasus dan
menyebabkan 210.000 kematian. Hanya 48% pasien TB MDR yang dilaporkan
pengobatannya sukses di tahun 2011. Sebanyak 60% kasus TB MDR di seluruh dunia
terjadi di Cina, India, Rusia, Brazil dan Afrika Selatan. Indonesia menempati urutan ke-10
di dunia dengan estimasi 6.800 kasus/tahun.

Di Indonesia setiap tahunnya kasus tuberkulosis paru bertambah seperempat juta kasus
baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Indonesia termasuk 10 negara
tertinggi penderita kasus tuberkulosis paru di dunia. Menurut WHO dalam laporan Global
Report prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus
baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, total kasus hingga 2013
mencapai sekitar 800.000-900.000 kasusdan angka kematian sebesar 27 kasus per 100.000
penduduk. (www.health.kompas.com/2013)

Insiden TB yang terus meningkat menjadi penyakit re-emerging sehingga WHO pada
tahun 1995 mendeklarasikan TB sebagai suatu global health emergency. Untuk periode
2016-2035 TB termasuk dalam program WHO yang dikenal dengan End TB Strategy and
Sustainable Development Goals (SDGs) dengan tujuan utama pemberantasan epidemik TB
di dunia. Tahun 2018 WHO membuat GDGs (Guideline Development Group) sebagai
kebijakan terbaru untuk menangani kasus TB Resistensi Obat dengan durasi penyuntikan
obat yang lebih singkat dan disain pengobatan utama.

Strategi yang digunakan untuk mengendalikan dan mengobati TB adalah strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Strategy) Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejadian
TB RO adalah pengobatan yang diberikan dokter (provider), tidak adekuat, perilaku
penderita yang tidak patuh berobat, kurangnya pengelolaan program TB (Kemenkes RI,
2014) dan buruknya dukungan keluarga (Sarwani, 2012). Setiap tahunnya terjadi
peningkatan jumlah kasus TB RO yang ditemukan dan diobati. Namun, seiring dengan
pengembangan layanan, terjadi penurunan angka keberhasilan pengobatan, yaitu dari 67,9%
pada tahun 2010 menjadi 51,1% pada tahun 2013, dan peningkatan angka loss to follow
up (LFU) dari 10,7% (2009) menjadi 28,7% (2013). Menurut WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2012 ada 8,7 juta kasus baru tuberkulosis (13% merupakan koinfeksi dengan
HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena tuberkulosis (WHO, 2012). Penderita
tuberkulosis paru yang tertinggi berada pada kelompok usia produktif (15-50 tahun) yaitu
berkisar 75%. Seorang pasien tuberkulosis dewasa diperkirakan akan kehilangan rata-rata
waktu kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat pada kehilangan pendapatan rumah tangganya
yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang meninggal akibat tuberkulosis, maka dia akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis
juga memberikan dampak buruk lainnya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO,
2012). (www.pps.unud.ac.id/2012)

Saat ini, pengobatan TB RO di Indonesia masih menggunakan paduan standar jangka


panjang (paduan konvensional) minimal 20 bulan. Hal ini merupakan salah satu penyebab
tingginya angka putus berobat (loss to follow up), baik sebelum dan selama pengobatan.
Dalam upaya meningkatkan angka keberhasilan pengobatan dan menurunkan angka putus
berobat pada pasien TB RO, Program Penanggulangan TB Nasional akan
mengimplementasi pengobatan jangka pendek untuk TB RR/MDR. Pasien yang tidak bisa
mendapatkan pengobatan jangka pendek, seperti pasien TB pre-/XDR dan pasien dengan
kondisi tertentu lainnya akan mendapatkan pengobatan dengan paduan individual.

Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) telah dilaksanakan di


Indonesia sejak tahun 2009. Pada tahun tersebut, hanya RS Persahabatan dan RS dr.
Soetomo yang menjadi RS rujukan TB resistan obat (TB RO). Dalam perkembangannya,
saat ini layanan TB RO sudah tersedia di 34 provinsi di Indonesia, termasuk salah satunya
RS Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso. Pelayanan TB RO di Rumah Sakit Prof. DR.
Sulianti Saroso dimulai pada Maret 2017, dengan kasus pasien rawat jalan sebanyak 37
pasien dan kasus rawat inap 105 kunjungan sampai dengan Maret 2019 (Rekam Medik
RSPI Sulianti Saroso, 2019).

Jika seorang telah terjangkit bakteri penyebab tuberculosis, akan berakibat buruk, seperti
menurunkan daya kerja atau produktivitas kerja, menularkan kepada orang lain terutama
pada keluarga yang tinggal serumah, dan dapat menyebabkan kematian. Pada penyakit
tuberculosis, jaringan yang paling sering diserang adalah paru-paru. (Sholeh S.Naga,2014).
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka dilakukan suatu penelitian dalam rangka
penerapan asuhan keperawatan pada Klien Tn “B” dengan gangguan sistem pernapasan
Tuberkulosis Paru Resisten Obat di Ruang dahlia 1 RSPI SS.

B. Ruang lingkup penulisan

Ruang lingkup penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn
“B” Dengan Gangguan System Pernafasan “Tuberkulosis Paru Resisten Obat” Di Ruangan
Dahlia 1 RSPI SS.
C. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam studi kasus ini adalah mendapatkan pengalaman
nyata dan menerapkan Asuhan Keperawatan secara komprehensif pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di Ruangan
Dahlia1 RSPI SS.
2. Tujuan khusus
Diperoleh pengalaman nyata dalam :
a. Melakukan pengkajian keperawatan dengan benar pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
b. Menegakkan diagnosa keperawatan dengan benar pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
c. Menyusun perencanaan tindakan keperawatan dengan tepat pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
d. Melakukan implementasi keperawatan dengan benar pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan dengan benar pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
f. Menganalisa kesenjangan antara teori dan kasus nyata pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
g. Melakukan pendokumentasian Asuhan Keperawatan dengan benar pada klien Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS.
D. Manfaat Penulisan

1. Bidang akademik
Sebagai sumber informasi dan bahan bagi Akademik dalam meningkatkan mutu
pendidikan pada masa yang akan datang pada bidang keperawatan.
2. Rumah sakit
Sebagai masukan bagi perawat RSPI SS dalam rangka mengambil kebijakan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya pada pasien yang mengalami
Gangguan System Pernafasan “Tuberculosis Paru Resisten obat”
3. Klien dan Keluarganya
Dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang bagaimana merawat klien
dengan gangguan system pernafasan “Tuberkulosis Paru” khususnya dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya.
4. Mahasiswa
Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan
keperawatan serta mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.

E. Metode Penulisan

1. Tempat dan waktu


Dalam menyusun karya tulis ilmiah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn
“B” dengan gangguan sistem pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di
Ruangan Dahlia1 RSPI SS pada tanggal l7/06/2019 sampai 21/06/2019.
2. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data- data yang dibutuhkan dalam penyusunan karya tulis ilmiah,
metode penulisan yang digunakan antara lain :
a. Studi kepustakaan
Dengan mempelajari berbagai literatur atau referensi yang berhubungan dengan
karya tulis ilmiah ini antara lain buku – buku, internet dan catatan kuliah yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas sebagai dasar teoritis.
b. Studi kasus
Studi kasus dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan dari pengkajian
data, perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi melalui teknik:
1) Wawancara
Untuk mendapatkan data lebih lengkap tentang masalah yang timbul pada
klien, dilakukan dengan cara auto dan allo anamnese.
2) Observasi
Mengamati langsung perubahan yang terjadi pada klien yang
mengalami gangguan system pernafasan “Tuberkulosis paru Resisten Obat”
3) Pemeriksaan fisik
Menunjang data-data yang didapatkan ketika observasi yang dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi pada Gangguan System
Pernafasan “Tuberkulosis Paru”
4) Diskusi
Bila ada masalah atau kendala yang didapatkan dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien, penulis mengkonsultasikan dengan pembimbing atau
tenaga kesehatan yang terkait.
c. Studi Dokumentasi
Melihat dan membaca langsung status Tn “B” dengan gangguan sistem
pernapasan “Tuberculosis Paru Resisten Obat” di Ruangan Dahlia1 RSPI SS.

F. Sistematika Penulisan

Pada bagian ini diuraikan sistematika penulisan yang terdiri dari bab I sampai dengan bab
V dengan susunan sebagai berikut:

Bab I: Pada bab ini berisi pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan

Bab II: Pada bab ini berisi tinjauan teori.

BabIII: Pada bab ini berisi tentang pengkajian diagnose sampai dengan evaluasi asuhan
keperawatan klien dengan TB Resisten Obat.
Bab IV: Pada bab ini membahas tentang kesenjangan antara teori yang didapat

Bab V: Penutup: pada bab ini berisi kesimpulan dan saran

Anda mungkin juga menyukai