Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MEMBANGUN JIWA ANAK DIDIK


Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Tafsir II Semester III-A

Dosen Pembimbing :

Ahmad Habin Sagala, MA

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

Danny Agustian ( 1811011213 )

Tika Yuni Hsb ( 1811011239 )

Riskon Jadidah ( 1811011248 )

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AL-WASHLIYAH LABUHANBATU

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, dan tak lupa pula kami mengirim salam dan salawat kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawakan kami suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Membangun Jiwa Anak
Didik” ini dengan lancar.

Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan yang diperoleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan filsafat ilmu serta infomasi dari media internet yang
berhubungan dengan tema.

Penulis berharap, makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, dapat
menambah wawasan mengenai perkembangan dari tafsir tarbawi dalam kehidupan modern.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Makna Nafs (Jiwa) .................................................................................................. 2


B. Konsep pendidikan Nafs (Jiwa) .............................................................................. 3
C. Implementasi Pendidikan Nafs dalam Al Quran .................................................... 4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nafs (jiwa) merupakan sesuatu yang unik, menarik untuk diketahui oleh siapapun.
Semua orang membutuhkan pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang berada dalam
lingkungannya apabila menginginkan kebahagiaan, ketenangan dan kesuksesan. Dalam teori
pendidikan masalah jiwa menjadi objek kajian yang sangat penting. Karena pendidikan
merupakan proses mengasah dan mengembangkan kemampuan jiwa untuk mengenali,
mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain,
dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerja sama sebagai tim yang mengacu
pada produktivitas.

Pentingnya pengetahuan tentang jiwa tersebut mendorong pembahasan tentang jiwa


ini banyak dilakukkan oleh para ahli. Mereka mengupas objek ini sesuai dengan kompetensi
ilmu dan keahlian yang dimilikinya, yakni disiplin ilmu jiwa atau yang dikenal dengan
psikologi. Perkembangan ilmu jiwa ini kemudian merambah memasuki hampir semua
disiplin ilmu sosial, seperti yang kita kenal ada ilmu psikologi pendidikan, psikologi
perkotaan dan psikologi agama.

Bagaimana dengan Al-Qur’an yang menjadi sumber dan landasan hidup manusia
memandang konsep pendidikan jiwa? Dimana ia memuat kata nafs dalam berbagai bentuk
kata jadiannya mencapai lebih dari 304 kali. Bagaimana pula implementasi konsep
pendidikan jiwa dalam perspektif Al-Qur’an?

Makalah ini, akan menjawab masalah-masalah tersebut, melalui metode Tafsir


Maudhu’i (tematik), yakni penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Quran yang
membahas masalah tertentu dari berbagai surah Al-Qur’an sambil memperhatikan asbab
nuzul-nya, munasabah ayat, kemudian menjelaskan masing-masing ayat tersebut yang
mempunyai kaitan atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penafsir dalam satu
kesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Qur’an yang komprehensip
dan menyeluruh menyangkut tema persoalan yang dibahas(M. Quraish Shihab, 1993: 156).

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Nafs (Jiwa)

Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian. Dalam bentuk mufrad,
nafs disebut 77 kali, 65 kali dalam bentuk idlafah. Dalam bentuk jamak nufus disebut 2
kali, dan dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali, sedangkan kata tanaffasa, yatanaffasu
dan al-mutanaffisu masing-masing hanya disebut satu kali (Muhammad Abd. Baqi, 1981: h.
881 - 885).

Sastra Arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut dari atau seseorang,
sementara kata ruh digunakan untuk menyebut nafas dan angin. Pada masa awal turunnya Al-
Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh
digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru
pada periode sesudah Al-Qur’an secara keseluruhan, kata nafs digunakan oleh literatur Arab
untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang, serta keduanya digunakan untuk menyebut
ruhani, malaikat dan jin.

Makna nafs dalam Al-Qur’an yang mengisyarahkan makna manusia antara lain
sebagai berikut:

1. Nafs, dalam arti totalitas manusia;

Surah Al-Maidah [5]: 32

ِ ‫سا ٍد فِي ْاْل َ ْر‬


‫ض فَ َكأَنَّ َما‬ َ َ‫سا بِ َغ ْي ِر نَ ْف ٍس أ َ ْو ف‬
ً ‫س َرائِي َل أَنَّهُ َم ْن قَت َ َل نَ ْف‬ َ ‫ِم ْن أَجْ ِل َٰذَ ِلكَ َكت َ ْبنَا‬
ْ ِ‫علَ َٰى َبنِي إ‬
َ َّ‫قَت َ َل الن‬
‫اس َج ِميعًا‬

“barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya”

Dalam hal membunuh nafs (jiwa), pengertiannya adalah jiwa sebagai totalitas
manusia, karena akibat pembunuhan itu menyebabkan hilangnya seorang manusia. Hilangnya
manusia atau melenyapkan seorang manusia secara keseluaruhan, jasadnya akan lapuk kebali

2
ke asalnya, yakni tanah, sementara ruhnya akan kembali kepada Dzat yang menciptakannya
Allah swt.

2. Nafs, dalam arti ruh atau nyawa.

Surah al-An’am [6]: 93

‫يه ْم‬ ِ ‫ت َو ا لْ َم ََل ئ ِ كَة ُ ب َ ا‬


ِ ‫س طُ و أ َيْ ِد‬ ِ ‫َو ل َ ْو ت َ َر َٰى إ ِ ِذ ال ظَّ ا لِ ُم و َن ف ِ ي غَ َم َر ا‬
ِ ‫ت ا لْ َم ْو‬
‫أ َنْ ف ُسَ ك ُ مُ … …أ َ ْخ ِر ُج وا‬

“Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul
maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah
nyawamu"

Kata ِ‫ أ َ ْنفُس‬annafs, dalam ayat di atas seperti dijelaskan oleh para ahli tafsir
dimaksudkan adalah ruh-ruh orang-orang yang zhalim. Mereka tidak mau keluar dengan
sukarela dari jasadnya ketika sakarat al-maut karena melihaat adzab yang ada di depan
matanya. Sehingga untuk mengeluarkannya harus dipaksa (Ar-Razi, Juz VI, hlm. 379).

B. Konsep Pendidikan Nafs (Jiwa)

Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan


kualitas manusia, baik kemampuan fisik maupun non fisiknya. Sedang Nafs (jiwa) menurut
perspektif Al-Qur’an adalah totalitas diri manusia yang terdiri dari unsur-unsur jasmani (sisi
luar) yang berupa fisik, raga, atau badan dan unsur batin (sisi dalam) yang terdiri dari, qalb,
ruh, bashirah, 'aql, fu'ad, fithrah yang kualitasnya sebagaimana telah dijelaskan di atas terdiri
dari tiga tingkatan, yang tertinggi dinamakan An-Nafs Al-Mutmainnah. Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis sebagai
usaha yang dilakukan dalam rangka menumbuhkembangkan nafs (jiwa) menuju
kesempurnaan, yakni menjadi An-Nafs Al-Mutmainnah yakni jiwa masuk dalam golongan
hamba-hamba Allah yang yang terpilih yang tenang, sempurna keimanan dan
ketakwaannya kepada Allah.

Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-

3
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, dan kemudian interaksi beliau dengan para sahabatnya, tektual maupun
kontektualnya merupakan proses pembelajaran nafs (jiwa).

C. Implementasi Konsep Pendidikan Nafs dalam Al-Qur’an

Nafs (jiwa) sebagai totalitas manusia, diciptakan dan diturunkan di bumi ini untuk
menjadi wakil-wakil Allah, menjadi khalifah fi al-ardh (QS. Albaqarah/2: 30 dan Shad/38:
26). Untuk menjadi khalifah diperlukan bekal yang cukup dalam berbagai kemampuan, sebab
itu pula jiwa perlu didik sehingga potensi-potensinya dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimana mestinya sesuai yang dikehendaki oleh Sang Penciptanya.

Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, tektual maupun kontektualnya menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji
secara terus-menerus apabila kita menginginkan pendidikan nafs sebagai totalitas manusia
dapat sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Untuk menelusuri kronologis pembelajaran Al-Qur’an terhadap Nabi Muhammad


saw. secara pasti bukan perjaan mudah, disebabkan banyaknya data, berupa periwayatan yang
berbeda-beda tentang sejarah turunnya sebuah ayat atau surah dan bahkan ada
yang bertentangan satu dengan yang lain. Untuk itu diperlukan penelitian yang mendalam,
agar ditemukannya periwayatan-periwayatan yang benar mengenai kronologis turunnya ayat
dan surah, sehingga dapat menjelaskan pandangan kita mengenai model pendidikan nafs yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an.

Dalam paper ini, setidaknya penulis sudah mendapatkan data-data awal dapat
dianalisis terkait dengan konsep pendidikan Nafs (jiwa) dalam perspeltif Al-Qur’an dan
Hadis. Dan supaya analisis kajian konsepnya mudah difahami dan sistematis, juga
memungkinkan untuk diaplikasikan dalam pendidikan sekarang, maka penulis gunakan
kerangka sistem pembelajaran yang terdiri dari tujuan pendidikan, bahan ajar (kurikulum),
pendidik, peserta didik, dan sarana pendidikan.

4
1. Tujuan Pendidikan Nafs (jiwa)

Tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan nafs (jiwa), seperti ditegaskan dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. adalah sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri,
yakni membentuk totalitas manusia sebagai makhluk yang sempurna. Menjadi hamba Allah
swt. (Q.S. Adz-Dzariyat/52: 56 ) yang bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 21), khalifah di
muka bumi (Q.S. Al-Baqarah/2: 30), ulama (Q.S. Ali Imran/3: 7), uluL al-bab (Q.S. Ali
Imran/3: 7, dan 190), berjiwa tenang (QS al-Fajr/89: 27). Dengan kata lain tujuan
pendidikan nafs (jiwa) adalah membentuk jiwa yang sempurna (kamil).

2. Bahan Ajar Pendidikan Nafs (Jiwa).

Bahan ajar atau materi pembelajaran yang dipelajari oleh peserta didik hendaknya
materi yang belum diketahuinya dan mengandung nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Dari mulai materi keimanan, akhlak dan syari’ah. Sebagai bahan kajian yang dapat
didiskusikan secara mendalam adalah bagaimana wahyu Al-Qur’an dilihat dari sejarah
turunnnya.

Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril As., dimulai dengan
perintah membaca. Lengkapnya sebagai berikut:

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,


2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Rasulullah saw. ketika pertama kali menerima wahyu dari Jibril as. tersebut di atas,
Beliau belum bisa membaca, masih ummi (Al-‘Araf/7: 157 dan 158). Dan pada itulah Jibril

5
as. mengajarinya berulang-ulang sampai Nabi saw. dapat membaca. Dengan demikian sejak
itu dapat difahami bahwa dengan sifat fathnah dan pengajaran dari Jibril as, Rasulullah saw
sudah dapat membaca, bukan ummi lagi. Adapun gelar ummi tersebut yang tetap melekat
pada diri Beliau adalah untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah,
bukan hasil gubahan beliau seperti yang disangkakan oleh orang-orang kafir.

Perintah membaca dalam ayat-ayat di atas tidak menyebutkan objeknya (maf’ul


bih), ini menunjukkan bahwa perintah membaca tersebut masih bersifat umum, menyeluruh
meliputi yang tersurat, yakni Al-Qur’an dan yang tersirat berupa alam semesta (Salman
Harun, 2009: h. 4). Apa saja yang ada di sekitar kita diperintahkan untuk dibaca dan
dipelajari, dengan menyertakan nama Allah sebagai Rabbnya. Penyertaan nama Allah dalam
setiap kegiatan pembelajaran membaca merupakan batasan, yakni manusia diperintahkan
untuk melakukan kegiatan pembelajaran dari semua bidang pengetahuan kecuali sesuatu yang
dilarang oleh Allah swt.

Manusia yang konsisten menjalankan perintah membaca dan melakukan kegiatan


belajar sepanjang hayatnya dengan selalu meyertakan Allah sebagai Rabbnya seperti di atas,
niscaya mereka akan mendapatkan pengajaran langsung dari Rabbnya itu. Mereka akan
mengetahui dan memahami dirinya dan lingkungannya dengan benar karena akan
mendapatkan hidayah dari Allah berupa pengarajan untuk selalu mengetahui yang
sebelumnya tidak diketahui. Dengan hidayah jiwa manusia yang kecenderungannya berbuat
kejahatan dapat berubah menjadi jiwa mutmainnah (tenang) yang beriman dan istiqamah
dalam keimannya (Q.S. Yusuf/12: 53).

Sebab itu pembentukan jiwa menuju kesempurnaannya haruslah dimulai dengan


materi belajar membaca dengan niat untuk mendapatkan hidayah Allah. Manusia yang terus
melakukan kegiatan belajar dengan membaca dan menyertakan dalam kegiatannya itu
bersama dengan rahmat dan kemuliaan Rabbnya akan mendapatkan pengetahuan yang dapat
merubah konsep dirinya. Dan hakekat perubahan ke arah kebaikan dimulai dari perubahan
konsep diri seseorang dalam memandang dan memaknai sesuatu (Qs. An-Fal/8: 63, Ar-
Ra’d/13: 11).

3. Nafs (Jiwa) sebagai Peserta Didik

6
Nafs (jiwa), sebagai peserta didik (murid, thalabah) dalam Al-Qur’an dan Hadis
dipandang sebagai subjek atau pelaku atas bimbingan dan arahan pendidik. Dalam hal
ini, peserta didik yang baik adalah yang dapat mengerti arahan dan bimbingan gurunya
sekagus dapat mentaatinya. Ketaatan ini harus dilandasi keyakinan mendalam bahwa yang
dianjurkan atau diperintahkan oleh gurunya adalah kebenaran dan kebaikan,
serta memberikan manfaat semua pihak, karena ketaatan yang mutlak hanya milik Allah dan
Rasul-Nya (QS. Al-Ahzab/33: 38). Dalam pada itu, apabila yang diperintahkan untuk
dikerjakan adalah sesuatu yang belum diketahui kebenarannya seorang murid tidak
dibolehkan untuk mengerjakannya (QS. Al-Isra’/17: 36, Lukman/31: 15).

Sejalan dengan tujuan pendidikan nafs (jiwa), yakni membentuk manusia yang
sempurna (kamil), seperti yang telah dituangkan di atas, maka peserta didik sebagai subjek
pembelajaran mempunyai peran penting untuk merealisasikan tujuan tersebut. Betapapun
pendidik atau guru sudah melakukan upaya yang maksimal, apabila diimbangi dengan
langkah-langkah yang serius oleh peserta didik, maka proses pembelajaran akan sia-sia.
Sebab itu dalam rangka menata pembentukan generasi yang handal dan Qur’ani, peserta didik
kiranya dapat melakukan proses pembekalan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw. dan genersai permana Umat Islam yakni generasi shahabat.

Jiwa-jiwa muda yang kelak akan menjadi ulama’ pewaris para nabi harus terus
melakukan kegiatan-kegiatan belajar seperti yang dilakukan para sahabat Nabi
saw. Kegiatan-kegiatan pembinaan diri yang terus harus dilakukan adalah sebagai berikut;

Pertama, mereka harus terus melakukan kegiatan belajar dengan membaca, baik
membaca sesuatu yang sudah tertulis dalam berbagai bentuk, maupun membaca segala
sesuatu yang masih ada di alam bebas berupa sunnatullah. Dan dalam melakukan kegiatan
ini, haruslah mereka dapat menghadirkan Rabnya yang menciptakan dan mengaturnya.
Semua kegiatan belajar harus dimulai dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan rida-Nya.
Inilah ruh dari gerakan pencerahan umat yang dimulai dari perintah membaca dengan
menyertakan nama Rabb yang Menciptakan manusia (QS. Al-Alaq/96: 1- 5 )

Kedua, setelah mereka melakukan kegiatan membaca haruslah diteruskan dengan


kegiatan belajar menulis (QS. Al-Qalam/68: 1). Inilah perintah yang kedua membaca.
Sehingga apa yang telah dibaca dan difahami dapat dipelihara dan dilesestarikan ilmu melalui
tulisan disamping hafalan.

7
Ketiga, melakukan pembinaan diri melalui kegiatan Qiyam al-Lail, dengan shalat
tahajjud, dzikir dan membaca Al-Qur’an secara tartil. Dan juga berlatih kesabaran bukan
hanya dalam beribadah mahdhah tetapi juga dalam menghadapi berbagai permasalahan
sosial. Hidup dan kehidupan beragama memerlukan perjuangan dan pengorbanan (QS. Al-
Muzammil/73: 1 – 20). Dengan mendirikan shalat Tahajjud di tengah malam di mana
kebanyakan manusia sedang tidur terlelap akan menempa sikap militan. Membaca Al-Qur’an
di keheningan malam akan mengasilkan pandangan-pandangan kebenaran Al-Qur’an yang
berbuah pada ucapan dan nasehatnya menjadi berbobot. Karena setiap ucapannya merupakan
pemahamannya yang mendalam tentang firman-firman Allah yang Maha segalanya.

Keempat, setelah cukup membina diri, beranikanlah untuk memberikan peringatan


kepada khalayak ramai. Untuk dapat menjalankan tugas yang berat ini diperlukan keyakinan
yang kuat akan Kemahabesaran Allah swt., membersihkan diri dari hal-hal yang dilarang
oleh-Nya, lahir dan batin, dan semua yang dilakukannya diawali dengan niat yang tulus
hanya untuk mencapai ridha-Nya (QS. Al-Mudatstsir/74: 1 – 7). Kemudian Shabar
dijadikannya sebagai perisai yang membentengi semua bentuk kesulitan dan penderitaan
untuk kemudian bergerak cepat menuju tujuan sampai semuanya dapat diraih dengan
sempurna. Kesabarannya terus-menerus menyertai setiap niat perbuatannya sampai batas
akhirnya, kecuali kematian telah menjemputnya (QS. Ali Imran/3: 146).

BAB III

8
PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui kajian pendidikan nafs dalam Al-Qur’an dan Hadis yang sederhana ini,
kiranya dapat menjawab dua persoalaan penting seperti yang telah dirumuskan dalam bagian
awal paper ini. Kedua jawaban tersebut adalah:

Pertama, secara hakiki Nafs (jiwa) adalah totalitas diri manusia yang terdiri dari
unsur-unsur jasmani (sisi luar) yang berupa fisik, raga, atau badan dan unsur batin (sisi
dalam) yang terdiri dari, qalb, ruh, bashirah, 'aql, fu'ad, fithrah. Nafs (jiwa) ini digolongkan
dalam tiga tingkatan, yakni: An-Nafs Al-Ammarah, An-Nafs Al-Lawwamah, dan An-
Nafs Al-Mutmainnah

Kedua, konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah semestinya
dikaji secara sistematis, sehingga dapat dan diimplementasikan secara nyata. Dengan
demikian potensi nafs dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuannya yakni
membentuk nafs (jiwa) yang sempurna. Kajian pendidikan nafs (jiwa) secara sistematis dapat
dianalisis melalui unsur-unsur pokok yang mesti ada dalam proses pembelajaran yaitu; tujuan
pendidikan, bahan ajar (kurikulum), pendidik, peserta didik, dan sarana pendidikan.

Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, tektual maupun kontektualnya menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji
secara terus-menerus apabila kita menginginkan pendidikan nafs sebagai totalitas manusia
dapat sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

9
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir Al-Jami baina Fanai Al-Riwayah wa Al-Dirayah min Ilm Al-
Tafsir, Maktabah Syamilah, tt

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, 1998: Pustaka Pelajar


Offset, cet. ke-1

Baqi, Muhammad ‘Abd., Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an al-Karim,


Bairut, 1981: Dar al-Fikr

Farmawi, ‘Abd al-Hay, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo, 1976 : Maktabah


Jumhuriah

Ghazaliy, Abu Hamid Muhammad, Ihya ‘Ulumi al-Diin, Semarang, tt: Toha Putra.

Ibnu Al-Yazidi, Gharaib Al-Qur’an wa Tafsiruhu, Bairut, 1987: Al-Muassasah Al-Risalah,


cet. 1

Khatib, Muhammad Ajjaj, ‘Ilmu Ushul al-Hadits, Damaskus, 1975: Dar al-Fikr

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, 1993

--------, Mukjizat Al-Qu’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarah Ilmiyah, dan
Pemberitaan Gaib, Bandung, 1998: Mizan, cet. ke-3

Muhammad At-Tamimi, Huquq Al-Nabiy saw. ‘ala Ummatihi fi Dha’i Al-Kitab wa Sunnah
Juz I, Riyadh, 1997: Adwa As-Salaf

10

Anda mungkin juga menyukai