Makalah Tafsir
Makalah Tafsir
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, dan tak lupa pula kami mengirim salam dan salawat kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawakan kami suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Membangun Jiwa Anak
Didik” ini dengan lancar.
Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan yang diperoleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan filsafat ilmu serta infomasi dari media internet yang
berhubungan dengan tema.
Penulis berharap, makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, dapat
menambah wawasan mengenai perkembangan dari tafsir tarbawi dalam kehidupan modern.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Nafs (jiwa) merupakan sesuatu yang unik, menarik untuk diketahui oleh siapapun.
Semua orang membutuhkan pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang berada dalam
lingkungannya apabila menginginkan kebahagiaan, ketenangan dan kesuksesan. Dalam teori
pendidikan masalah jiwa menjadi objek kajian yang sangat penting. Karena pendidikan
merupakan proses mengasah dan mengembangkan kemampuan jiwa untuk mengenali,
mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain,
dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerja sama sebagai tim yang mengacu
pada produktivitas.
Bagaimana dengan Al-Qur’an yang menjadi sumber dan landasan hidup manusia
memandang konsep pendidikan jiwa? Dimana ia memuat kata nafs dalam berbagai bentuk
kata jadiannya mencapai lebih dari 304 kali. Bagaimana pula implementasi konsep
pendidikan jiwa dalam perspektif Al-Qur’an?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian. Dalam bentuk mufrad,
nafs disebut 77 kali, 65 kali dalam bentuk idlafah. Dalam bentuk jamak nufus disebut 2
kali, dan dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali, sedangkan kata tanaffasa, yatanaffasu
dan al-mutanaffisu masing-masing hanya disebut satu kali (Muhammad Abd. Baqi, 1981: h.
881 - 885).
Sastra Arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut dari atau seseorang,
sementara kata ruh digunakan untuk menyebut nafas dan angin. Pada masa awal turunnya Al-
Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh
digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru
pada periode sesudah Al-Qur’an secara keseluruhan, kata nafs digunakan oleh literatur Arab
untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang, serta keduanya digunakan untuk menyebut
ruhani, malaikat dan jin.
Makna nafs dalam Al-Qur’an yang mengisyarahkan makna manusia antara lain
sebagai berikut:
“barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya”
Dalam hal membunuh nafs (jiwa), pengertiannya adalah jiwa sebagai totalitas
manusia, karena akibat pembunuhan itu menyebabkan hilangnya seorang manusia. Hilangnya
manusia atau melenyapkan seorang manusia secara keseluaruhan, jasadnya akan lapuk kebali
2
ke asalnya, yakni tanah, sementara ruhnya akan kembali kepada Dzat yang menciptakannya
Allah swt.
“Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul
maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah
nyawamu"
Kata ِ أ َ ْنفُسannafs, dalam ayat di atas seperti dijelaskan oleh para ahli tafsir
dimaksudkan adalah ruh-ruh orang-orang yang zhalim. Mereka tidak mau keluar dengan
sukarela dari jasadnya ketika sakarat al-maut karena melihaat adzab yang ada di depan
matanya. Sehingga untuk mengeluarkannya harus dipaksa (Ar-Razi, Juz VI, hlm. 379).
Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-
3
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, dan kemudian interaksi beliau dengan para sahabatnya, tektual maupun
kontektualnya merupakan proses pembelajaran nafs (jiwa).
Nafs (jiwa) sebagai totalitas manusia, diciptakan dan diturunkan di bumi ini untuk
menjadi wakil-wakil Allah, menjadi khalifah fi al-ardh (QS. Albaqarah/2: 30 dan Shad/38:
26). Untuk menjadi khalifah diperlukan bekal yang cukup dalam berbagai kemampuan, sebab
itu pula jiwa perlu didik sehingga potensi-potensinya dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimana mestinya sesuai yang dikehendaki oleh Sang Penciptanya.
Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, tektual maupun kontektualnya menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji
secara terus-menerus apabila kita menginginkan pendidikan nafs sebagai totalitas manusia
dapat sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam paper ini, setidaknya penulis sudah mendapatkan data-data awal dapat
dianalisis terkait dengan konsep pendidikan Nafs (jiwa) dalam perspeltif Al-Qur’an dan
Hadis. Dan supaya analisis kajian konsepnya mudah difahami dan sistematis, juga
memungkinkan untuk diaplikasikan dalam pendidikan sekarang, maka penulis gunakan
kerangka sistem pembelajaran yang terdiri dari tujuan pendidikan, bahan ajar (kurikulum),
pendidik, peserta didik, dan sarana pendidikan.
4
1. Tujuan Pendidikan Nafs (jiwa)
Tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan nafs (jiwa), seperti ditegaskan dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. adalah sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri,
yakni membentuk totalitas manusia sebagai makhluk yang sempurna. Menjadi hamba Allah
swt. (Q.S. Adz-Dzariyat/52: 56 ) yang bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 21), khalifah di
muka bumi (Q.S. Al-Baqarah/2: 30), ulama (Q.S. Ali Imran/3: 7), uluL al-bab (Q.S. Ali
Imran/3: 7, dan 190), berjiwa tenang (QS al-Fajr/89: 27). Dengan kata lain tujuan
pendidikan nafs (jiwa) adalah membentuk jiwa yang sempurna (kamil).
Bahan ajar atau materi pembelajaran yang dipelajari oleh peserta didik hendaknya
materi yang belum diketahuinya dan mengandung nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Dari mulai materi keimanan, akhlak dan syari’ah. Sebagai bahan kajian yang dapat
didiskusikan secara mendalam adalah bagaimana wahyu Al-Qur’an dilihat dari sejarah
turunnnya.
Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril As., dimulai dengan
perintah membaca. Lengkapnya sebagai berikut:
Rasulullah saw. ketika pertama kali menerima wahyu dari Jibril as. tersebut di atas,
Beliau belum bisa membaca, masih ummi (Al-‘Araf/7: 157 dan 158). Dan pada itulah Jibril
5
as. mengajarinya berulang-ulang sampai Nabi saw. dapat membaca. Dengan demikian sejak
itu dapat difahami bahwa dengan sifat fathnah dan pengajaran dari Jibril as, Rasulullah saw
sudah dapat membaca, bukan ummi lagi. Adapun gelar ummi tersebut yang tetap melekat
pada diri Beliau adalah untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah,
bukan hasil gubahan beliau seperti yang disangkakan oleh orang-orang kafir.
6
Nafs (jiwa), sebagai peserta didik (murid, thalabah) dalam Al-Qur’an dan Hadis
dipandang sebagai subjek atau pelaku atas bimbingan dan arahan pendidik. Dalam hal
ini, peserta didik yang baik adalah yang dapat mengerti arahan dan bimbingan gurunya
sekagus dapat mentaatinya. Ketaatan ini harus dilandasi keyakinan mendalam bahwa yang
dianjurkan atau diperintahkan oleh gurunya adalah kebenaran dan kebaikan,
serta memberikan manfaat semua pihak, karena ketaatan yang mutlak hanya milik Allah dan
Rasul-Nya (QS. Al-Ahzab/33: 38). Dalam pada itu, apabila yang diperintahkan untuk
dikerjakan adalah sesuatu yang belum diketahui kebenarannya seorang murid tidak
dibolehkan untuk mengerjakannya (QS. Al-Isra’/17: 36, Lukman/31: 15).
Sejalan dengan tujuan pendidikan nafs (jiwa), yakni membentuk manusia yang
sempurna (kamil), seperti yang telah dituangkan di atas, maka peserta didik sebagai subjek
pembelajaran mempunyai peran penting untuk merealisasikan tujuan tersebut. Betapapun
pendidik atau guru sudah melakukan upaya yang maksimal, apabila diimbangi dengan
langkah-langkah yang serius oleh peserta didik, maka proses pembelajaran akan sia-sia.
Sebab itu dalam rangka menata pembentukan generasi yang handal dan Qur’ani, peserta didik
kiranya dapat melakukan proses pembekalan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw. dan genersai permana Umat Islam yakni generasi shahabat.
Jiwa-jiwa muda yang kelak akan menjadi ulama’ pewaris para nabi harus terus
melakukan kegiatan-kegiatan belajar seperti yang dilakukan para sahabat Nabi
saw. Kegiatan-kegiatan pembinaan diri yang terus harus dilakukan adalah sebagai berikut;
Pertama, mereka harus terus melakukan kegiatan belajar dengan membaca, baik
membaca sesuatu yang sudah tertulis dalam berbagai bentuk, maupun membaca segala
sesuatu yang masih ada di alam bebas berupa sunnatullah. Dan dalam melakukan kegiatan
ini, haruslah mereka dapat menghadirkan Rabnya yang menciptakan dan mengaturnya.
Semua kegiatan belajar harus dimulai dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan rida-Nya.
Inilah ruh dari gerakan pencerahan umat yang dimulai dari perintah membaca dengan
menyertakan nama Rabb yang Menciptakan manusia (QS. Al-Alaq/96: 1- 5 )
7
Ketiga, melakukan pembinaan diri melalui kegiatan Qiyam al-Lail, dengan shalat
tahajjud, dzikir dan membaca Al-Qur’an secara tartil. Dan juga berlatih kesabaran bukan
hanya dalam beribadah mahdhah tetapi juga dalam menghadapi berbagai permasalahan
sosial. Hidup dan kehidupan beragama memerlukan perjuangan dan pengorbanan (QS. Al-
Muzammil/73: 1 – 20). Dengan mendirikan shalat Tahajjud di tengah malam di mana
kebanyakan manusia sedang tidur terlelap akan menempa sikap militan. Membaca Al-Qur’an
di keheningan malam akan mengasilkan pandangan-pandangan kebenaran Al-Qur’an yang
berbuah pada ucapan dan nasehatnya menjadi berbobot. Karena setiap ucapannya merupakan
pemahamannya yang mendalam tentang firman-firman Allah yang Maha segalanya.
BAB III
8
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui kajian pendidikan nafs dalam Al-Qur’an dan Hadis yang sederhana ini,
kiranya dapat menjawab dua persoalaan penting seperti yang telah dirumuskan dalam bagian
awal paper ini. Kedua jawaban tersebut adalah:
Pertama, secara hakiki Nafs (jiwa) adalah totalitas diri manusia yang terdiri dari
unsur-unsur jasmani (sisi luar) yang berupa fisik, raga, atau badan dan unsur batin (sisi
dalam) yang terdiri dari, qalb, ruh, bashirah, 'aql, fu'ad, fithrah. Nafs (jiwa) ini digolongkan
dalam tiga tingkatan, yakni: An-Nafs Al-Ammarah, An-Nafs Al-Lawwamah, dan An-
Nafs Al-Mutmainnah
Kedua, konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah semestinya
dikaji secara sistematis, sehingga dapat dan diimplementasikan secara nyata. Dengan
demikian potensi nafs dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuannya yakni
membentuk nafs (jiwa) yang sempurna. Kajian pendidikan nafs (jiwa) secara sistematis dapat
dianalisis melalui unsur-unsur pokok yang mesti ada dalam proses pembelajaran yaitu; tujuan
pendidikan, bahan ajar (kurikulum), pendidik, peserta didik, dan sarana pendidikan.
Konsep pendidikan nafs (jiwa) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis secara utuh
adalah model bagaimana Al-Qur’an melalui Jibril as., melakukan kegiatan pembelajaran
terhadap Rasulullah saw., selama masa kerasulannya, sehingga beliau mencapai derajat An-
Nafs Al-Mutmainnah, menjadi figur manusia yang sempurna (Insan Kamil). Proses Jibril as.
sebagai pendidik menyampaikan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
peserta didik, tektual maupun kontektualnya menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji
secara terus-menerus apabila kita menginginkan pendidikan nafs sebagai totalitas manusia
dapat sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
9
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir Al-Jami baina Fanai Al-Riwayah wa Al-Dirayah min Ilm Al-
Tafsir, Maktabah Syamilah, tt
Ghazaliy, Abu Hamid Muhammad, Ihya ‘Ulumi al-Diin, Semarang, tt: Toha Putra.
Khatib, Muhammad Ajjaj, ‘Ilmu Ushul al-Hadits, Damaskus, 1975: Dar al-Fikr
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, 1993
--------, Mukjizat Al-Qu’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarah Ilmiyah, dan
Pemberitaan Gaib, Bandung, 1998: Mizan, cet. ke-3
Muhammad At-Tamimi, Huquq Al-Nabiy saw. ‘ala Ummatihi fi Dha’i Al-Kitab wa Sunnah
Juz I, Riyadh, 1997: Adwa As-Salaf
10