Anda di halaman 1dari 38

Refereat

DEMENSIA PADA ALZEIMER

Oleh:
Nurfrida Aini, S. Ked
71 2017 065

Pembimbing:
dr. Meidian Sari, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Demensia pada Alzeimer

Oleh
Nurfrida Aini, S. Ked
71 2017 065

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan

Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Jiwa Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, Januari 2020


Pembimbing,

dr. Meidian Sari,Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Demensia pada Alzeimer” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Jiwa Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Salawat beriring
salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual.
3. dr. Meidian Sari,Sp.KJ selaku pembimbing referat.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan
kasus ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.
Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 1

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Epilepsi .................................................................................... 2
2.1.1 Definisi............................................................................. 2
2.1.2 Epidemiologi .................................................................... 2
2.1.3 Etiologi............................................................................. 3
2.1.4 Patofisiologi ..................................................................... 4
2.1.5 Klasifikasi ........................................................................ 7
2.1.6 Gejala dan Tanda ............................................................. 10
2.1.7 Diagnosis ......................................................................... 14
2.1.8 Tatalaksana ...................................................................... 19
2.1.9 Prognosis .......................................................................... 22
2.2 Status Epileptikus…. ............................................................... 23
2.2.1 Definisi............................................................................. 23
2.2.2 Epidemiologi .................................................................... 23
2.2.3 Klasifikasi ........................................................................ 24
2.2.4 Diagnosis ......................................................................... 24
2.2.5 Tatalaksana ...................................................................... 27

BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 31


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1


Negara Indonesia termasuk dalam salah satu dari lima negara dengan
jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Berdasarkan sensus penduduk
pada tahun 2010 jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa, pada tahun
2014 jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia mencapai 18,781 juta jiwa dan
diperkirakan pada tahun 2025 jumlah lansia diperkirakan akan mencapai 36 juta
jiwa (Kemenkes RI, 2015).
Perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh terjadi seiring dengan
pertambahan usia seseorang. Perubahan yang mungkin terjadi pada lansia
diantaranya adalah perubahan fisik, psikologis, dan perubahan spiritual (Meiner,
2015). Akibat dari perubahan yang terjadi pada lansia adalah menurunnya fungsi
kognitif (Lopes, 2016). Gangguan fungsi kognitif pada lansia terjadi umumnya
disebabkan oleh gangguan pada sistem saraf pusat yang meliputi gangguan suplai
oksigen ke otak, degenerasi, penyakit alzheimer dan malnutrisi (Maryati et al,
2013). Gangguan fungsi kognitif meliputi atensi, kalkulasi, visuospasial, bahasa,
dan memori dapat berakibat terjadi perubahan kepribadian, gangguan memori,
orientasi, dan sulit mengambil keputusan. Jika hal ini berlanjut secara progresif
maka dapat terjadi demensia (William, 2012). Di Indonesia prevalensi penderita
demensia mencapai 606.100 pada tahun 2005, diperkirakan akan meningkat
1.016.800 pada tahun 2020 dan 3.042.000 pada tahun 2050 (Rees, Chye, & Lee,
2006). Demensia dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, riwayat keluarga,
diabetes mellitus (DM), hiperkolesterol, obesitas, merokok, alkohol. Penyakit
Alzheimer adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai pada pasien lanjut usia
yang ditandai dengan demensia yang biasanya dimulai dengan penurunan daya
ingat, penurunan kemampuan mengenali sesuatu yang perlahan menjadi semakin
parah akibat gangguan di dalam otak yang sifatnya progresif atau perlahan-lahan
hingga akhirnya penderita menjadi tidak mampu mengingat dan mengenali sesuatu.

1
Tanda lainya yaitu kebingungan, penilaian yang buruk, gangguan berbicara, agitasi,
penarikan diri, dan halusinasi (Aguila, et al., 2015).
Pada tahun 2007 1 dari 85 orang di seluruh dunia hidup dengan memiliki
penyakit alzheimer2 . Jumlah penderita alzheimer diproyeksikan meningkat hampir
dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta pada tahun 2030 dan 115,4 juta
pada tahun 2050. Sebagian besar kenaikan tersebut disebabkan oleh peningkatan
jumlah penderita Alzheimer di negara berpenghasilan menengah dan rendah. Pada
tahun 2010, 57,7% penderita alzheimer tinggal di Indonesia yang termasuk ke
dalam negara berpenghasilan menengah dan rendah, proporsi ini diperkirakan
meningkat menjadi 63,4% pada tahun 2030 dan 70,5% pada tahun 2050.
(Brookmeyera, et al., 2007; Mayeux, R and Yaakov Stern, 2012; Tanna, 2015).
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi
A. Definisi Konseptual
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.2
B. Definisi Operasional
Penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai
berikut:
a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan
refleks yang berselang lebih dari 24 jam
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek
dengan adanya kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko
rekurensi sama dengan dua bangkitan tanpa provokasi
(setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10 tahun ke depan
(Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi
oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitif, dan somatomotorik)
c. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi2

2.1.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara
maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak

3
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun
(81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada
anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40
kasus per 100.000. 3

2.1.3 Etiologi
a. Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar
40% diseluruh dunia. Penyebab abnormalitas neuroanatomi maupun
neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi idiopatik terjadi pada bayi,
anak, remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang normal dan
tidak ada riwayat kelainan medis yang bermakna sebelumnya.
Terdapat predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik
memiliki distribusi autosomal dominan yang mengakibatkan adanya
gangguan pada kanal ion.4,5
b. Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas
struktur otak yang mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi
yang mendasari. Yang termasuk kategori ini adalah kelainan
perkembangan dan kongenital baik akibat genetik maupun didapat,
dan juga kondisi yang didapat. Sebagai contoh: cedera kepala,
infeksi SSP, lesi desak ruang, gangguan peredaran daeah otak,
toksik, metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.4,5
c. Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari
namun masih belum dapat diidentifikasi. Termasuk disini adalah
sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.4

4
2.1.4 Patofisiologi
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara
berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi
motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada
beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa
Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP
dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan
menimbulkan kejang.

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan


sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-Amino-
Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya
listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini
aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-
neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).

5
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Otak

GABA

Menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik syaraf

sinaps

neurotransmiter

N. Eksidatif

Epileptogen

Depolarisasi belahan hemisfer

kejang

tanpa hilang kesadaran

Substansia retikularis

kejang

penurunan kesadaran

6
Sel saraf di otak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia.
Ada keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan
eksistasi dan inhibisi aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku,
banyak sel saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah
kecil kumpulan sel saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada
sel didekatnya atau pada sel yang memilik hubungan erat dengannya.
Pada kejang, sejumlah besar kumpulan sel saraf tereksitasi bersamaan
(hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas tubuh berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang
menginhibisi sel eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau
mungkin dikarenakan produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang
menyebabkan sel mengeluarkan sinyal listrik yang abnormal.
Neurotransmitter eksitasi juga dilepasakan berlebihan dan mengganggu
bendungan listrik sel saraf yang normalnya membatasi penyebaran sinyal
listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-neurotarsmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin,
sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA).
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi
lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti
peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan
oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan
asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi
berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu
meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf
yang irreversibel.

7
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan
mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,
tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan
keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus
thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam
zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui
reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan
merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

8
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk
kejang epilepsi :
Tabel 2.2. Klasifikasi Kejang Epilepsi6
No Klasifikasi Kejang Epilepsi
1 Kejang Parsial Kejang parsial • Kejang parsial
sederhana sederhana dengan
gejala motorik
• Kejang parsial
sederhana dengan
gejala
somatosensorik atau
sensorik khusus
• Kejang parsial
sederhana dengan
gejala psikis
Kejang parsial • Kejang parsial
kompleks kompleks dengan
onset parsial
sederhana diikuti
gangguan kesadaran
• Kejang parsial
kompleks dengan
gangguan kesadaran
saat onset
Kejang parsial • Kejang parsial
yang menjadi sederhana menjadi
kejang generalisata kejang umum
sekunder • Kejang parsial
kompleks menjadi
kejang umum
• Kejang parsial
sederhana menjadi
kejang parsial
kompleks dan
kemudian menjadi
kejang umum
2 Kejang Umum • Kejang absans
• Absans atipikal
• Kejang mioklonik
• Kejang klonik
• Kejang tonik-klonik
• Kejang atonik

9
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk
sindroma epilepsy :6
Tabel 2.4. Klasifikasi Sindroma Epilepsi
No Klasifikasi sindroma epilepsi
1 Berkaitan dengan Idiopatik • Epilepsi anak
letak fokus benigna dengan
gelombang paku di
sentrotemporal
(Rolandik 14
benigna)
• Epilepsi anak
dengan paroksimal
oksipital
Simtomatik • Lobus temporalis
• Lobus frontalis
• Lobus parietalis
• Lobus oksipitalis
• Kronik progresif
parsialis kontinu
Kriptogenik
2 Epilepsi umum Idiopatik • Kejang neonates
familial benigna
• Kejang neonates
benigna
• Epilepsi
mioklonik benigna
pada bayi
• Epilepsi absans
pada anak
(pyknolepsy)
• Epilepsi absans
pada remaja
• Epilepsi
mioklonik pada
remaja
• Epilepsi dengan
serangan tonik-
klonik saat terjaga
Kriptogenik atau • Sindroma West
simtomatik (spasme bayi)
• Sindroma Lennox-
Gastaut
• Epilepsi dengan
kejang mioklonik-
astatik

10
• Epilepsi dengan
mioklonik absans
Simtomatik • Etiologi non
spesifik
- Ensefalopati
mioklonik neonatal
- Epilepsi
ensefalopati pada
bayi
- Gejala epilepsi
umum lain yang
tidak dapat
didefinisikan
• Sindrom spesifik -
Malformasi serebral
- Gangguan
metabolisme
3 Epilepsi dan Serangan fokal dan • Kejang neonatal
sindrom yang tidak umum • Epilepsi
dapat ditentukan mioklonik berat
fokal atau pada bayi
generalisata Tanpa gambaran • Epilepsi dengan
tegas fokal atau gelombang paku
umum kontinu selama
gelombang rendah
tidur (Sindroma
Taissinare)
• Sindroma Landau-
Kleffner
4 Sindrom Khusus Kejang Demam
Status epileptikus
Kejang berkaitan dengan gejala metabolik
atau toksik akut
Sumber : (PERDOSSI,2014)

2.1.6 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.

11
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks


Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.

12
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian
besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi
pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya
menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

13
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat
singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

14
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.

15
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya
sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.7

2.1.7 Diagnosis2
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)
sudah dapat ditegakkan.
A. Anamnesis
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi,
yaitu sebagai berikut:
1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan
klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan
klasifikasi ILAE 1989 (PERDOSSI,2014).

16
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal hal dibawah ini
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca
bangkitan :
• Sebelum bangkitan/gejala prodromal:
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan
akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan
perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
• Selama bangkitan/iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan
pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari
deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, otomatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih
baik bila keluarga dapat diminta untuk
menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya?
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain video
game, berkemih, dan lain-lain.
• Pasca bangkitan/ post iktal:
o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.

17
b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur,
hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, kesadaran
antar bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap
OAE sebelumnya:
• Jenis obat anti epilepsi (OAE)
• Dosis OAE
• Jadwal minum OAE
• Kepatuhan minum OAE
• Kadar OAE dalam plasma
• Kombinasi terapi OAE.
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit
neurologik, psikiatrik maupun sistemik yang
mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran,
dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang deman
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf
pusat (SSP), dll.
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik umum Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
• Trauma kepala,
• Tanda-tanda infeksi,
• Kelainan kongenital,
• Kecanduan alkohol atau napza,
• Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
• Tanda-tanda keganasan.

18
Pemeriksaan neurologis :
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan maka akan tampak tanda pasca bangkitan
terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
lokalisasi, seperti:
• Paresis Todd
• Gangguan kesadaran pascaiktal
• Afasia pascaiktal
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan
obat anti epilepsi (OAE).

19
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan
melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
c. Laboratorium :
• Darah Hematologi Lengkap
• Ureum, kreatinin
• SGOT/SGOT
• Profil lipid
• GDP/GD2PP
• Faal hemostasis
• Asam urat
• Albumin
• Elektrolit (Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium)
• Lumbal Pungsi
• EKG
• Kadar Obat Anti Epilepsi dalam darah
d. Pemeriksaan Radiologi
• Rontgen Thoraks
• BMD
• MRI otak
e. Pemeriksaan Neurobehavior (Fungsi Luhur)

20
2.1.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan2
A. Pertolongan pertama
a. Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah dari sesuatu yang
keras dan tajam seperti sudut meja
b. Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ketanah agar
air ludah tidak masuk ke jalan nafas dan mencegah lidah
menutup jalan nafas
c. Longgrkan baju, lepaskan kaca mata tetapi kontak lens
biarkan saja
d. Jangan berusaha memasukkan apapun kedalam mulut pasien,
lidah tak dapat berfungsi untuk menrlan sehingga akan
menyebabkan tersedak
e. Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan
(restrain) pasien, hal ini akan mengakibatkan perlawanan
atau agitasi pasien.
f. Hindari pemberian obat oral, minuman atau makanan
sebelum pasien pulih 100% kesadarannya.
B. Terapi farmakologis
Prinsip Pemberian OAE
- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
- Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan dan efek sampingnya
- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah
dihindari

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan


sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat
dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.8 Pemilihan obat anti epilepsi (OAE)

21
sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu
juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal
dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan
oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.

Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari

Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi


dalam 3 kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera) Bila terdapat lesi
struktural, seperti :
a) Tumor otak
b) AVM
c) Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
a) Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
tua) b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
b) Riwayat bangkitan simpomatik
c) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP
d) Status epilepstikus pada awitan kejang
2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan) Pada
bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor
resiko diatas
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin
diperlukan)
a) Kecanduan alkohol
b) Ketergantungan obat obatan

22
c) Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemia)
d) Bangkitan segera setelah benturan di kepala
e) Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam,
BECT.
f) Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur

Tabel 2.5 Pemilihan OAE berdasarkan tipe bangkitan epilepsi


Tipe Bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua
Bangkitan Fenitoin, Acetazolamide, clobazam,
parsial karbamasepin clonazepam,ethosuximide,
(sederhana atau (terutama untuk felbamate, gabapentin,
kompleks) CPS), asam valproat lamotrigine,levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
phenobarbital, pirimidone
Bangkitan lena Asam valproat, Acetazolamide, clobazam,
ethosuximide (tidak clonazepam, lamotrigine,
tersediadi phenobarbital, pirimidone
Indonesia)
Bangkitan Asam Valproat Clobazam, clonazepam,
mioklonik ethosuximide,lamotrigine,
phenobarbital, pirimidone,
piracetam

2.1.9 Prognosis2
• Ad vitam : dubia adbonam
• Ad Sanationam : dubia adbonam
• Ad Fungsionam : dubia adbonam

23
2.2 Status Epileptikus
2.2.1 Definisi
- Definisi Konseptual
Bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua
bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran.
- Definisi operasional status epileptikus konvulsif
Adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan
berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
- Definisi status epileptikus non konvulsif
Adalah bangkitan epileptik berupa perubahan kesadaran maupun
perilaku tanpa disertai manifestasi motorik yang jelas namun didapatkan
aktivitas bangkitan elektrografik pada perekaman elektroensefalografi (EEG).2

2.2.2 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang men
galami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obt antikonvlsn.10
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen
, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan stat
us epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epilept
ikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Ep
ileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfu
ngsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian ya
ng tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.11

24
2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan klinis:
1. SE fokal
2. SE general

Berdasarkan durasi:
1. SE Dini( 5-30 menit)
2. SE menetap/ Established(>30 menit)
3. SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga
jenis
4. antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua


kelompok utama:

1. SE-NK Umum
2. SE-NK fokal12

2.2.4 Diagnosis2
A. Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal hal dibawah ini

a. Terdapat serangan bangkitan berulang tanpa diikuti


pulihnya kesadaran
b. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :

 Sebelum bangkitan/gejala prodromal:


o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku,
perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif, dan lain-lain.

25
 Selama bangkitan/iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
o Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
otomatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan
dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan
lebih baik bila keluarga dapat diminta untuk menirukan
gerakan
o bangkitan atau merekam video saat bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya? Aktivitas penyandang saat terjadi
bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain
video game, berkemih, dan lain-lain.

• Pasca bangkitan/ post iktal:


Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
c. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
d. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
e. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE
sebelumnya:
o jenis obat anti epilepsi (OAE)
o dosis OAE
o jadwal minum OAE
o kepatuhan minum OAE
o kadar OAE dalam plasma

26
f. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit
neurologik, psikiatrik maupun sistemik yang mungkin
menjadi penyebab maupun komorbiditas.
g. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
h. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan
tumbuh kembang
i. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang deman
j. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), dll.

B. Pemeriksaan Fisik dan Neurologi


Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ ,
koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks
tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia,
gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan
adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena
efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang
terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang
makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di
lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004,
Sisodiya, Duncan 2000).

C. Kriteria Diagnosis
Status epileptikus konvulsif. Bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya

27
kesadaran diantara bangkitan. Status epileptikus non konvulsif.
Bangkitan epileptik berupa perubahan kesadaran maupun perilaku
tanpa disertai manifestasi motorik yang jelas namun didapatkan
aktivitas bangkitan elektrografik pada perekaman elektroensefalografi
(EEG), dapat didahului oleh status epileptikus konvulsivus.

2.2.5 Tatalaksana
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan dua tahap tindakan:13
I. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki
fungsi vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah
memastikan jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen
melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu
diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat
yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin.
Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis
metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi
dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa
iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.

28
Gambar 9. Penanganan status epileptikus

II. Menghentikan Kejang14


a. Status Epileptikus Konvulsif
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
menit) - Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi
bila perlu
Stadium II (10-60 - Pemeriksaan status neurologic
menit) - Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
- Monitor status metabolic, AGD dan status hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl
0,9%. Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati,
kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap hematologi,

29
waktu pembekuan dan kadar OAE), pemeriksaan lain
sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg dengan
kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat diulang bila
kejang masih berlangsung setelah 5 menit
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien
alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0- - Menentukan etiologi
60/90 menit) - Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian
lorazepam / diazepam, beri phenytoin iv 15 – 20 mg/kg
dengan kecepatan < 50 mg/menit. (monitor tekanan darah
dan EKG pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg dengan
kecepatan < 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat
pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila
diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30/90 - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, pasien
menit) dipindah ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB bolus iv,
diulang bila perlu) atau Thiopenton (100-250 mg bolus iv
pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu
dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan

Tabel 2. Penanganan Status Epileptikus Konvulsif

30
b. Status Epileptikus Non Konvulsif
Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin Valproate IV
IV/Oral
SE Parsial Klobazam Oral Lorazepam/Fenintoin/Fenobarbital IV
Complex
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin, Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif Fenitoin IV atau Anastesi dengan tiopenton,
pada pasien koma Fenobarbital Penobarbital,Propofol atau Midazolam

Tabel 3. Penanganan Status Epileptikus Non Konvulsif

c. Status Epileptikus Refrakter


- Terapi bedah epilepsy
- Stimulasi N.Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE

Kombinasi OAE Indikasi


Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium Bangkitan Parsial Kompleks
valproate
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/ Bangkitan
Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan
Umum
Tabel 4. Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi refrakter

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit
ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Maka diharapkan prognosis
pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan


Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148.
2. PDSS Indonesia. 2016. Panduan Praktis Klinis Neurologi. Jakarta :
PERDOSSI.
3. WHO.2015.http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_i
ntrodion.pdf. Diakses pada tanggal 1 maret 2019
4. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis
Banding. In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair; 2014.p.19-32
5. Stafstrom CE. Recognizing Seizures and Epilepsy: Insights from
Pathophysiology. In: Miller JW, Goodkin HP, editors. Neurology in
Practice: Epilepsy. New Jersey: Wiley Blackwell; 2014.p. 3-20
6. PERDOSSI. 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi Kelima. Surabaya
: Airlangga University Press.
7. Harsono. 2001. Epilepsi Edisi 1. Yogyakarta: GajahMada University Press
8. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis
Banding. In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair; 2014.p.19-32
9. Swisher CB, Radtke RA. Principles of Treatment. In: Husain MA, editor.
Practical Epilepsy. New York: Demosmedical; 2016.p.254-9
10. Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical
Assessment,Investigation and Natural History, Medicine
International,00(4);36-41.
11. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48
(Suppl.8):13-16

33
12. Prasetyo, A, Prasetyo, BH. 2018. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi
Gawat darurat. Pontianak: Kalbemed
13. Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The
Management of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591
14. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.

34

Anda mungkin juga menyukai