Anda di halaman 1dari 4

De jong jilid 3

Hiperplasia Prostat

Hiperplasia prostat merupakan kelainan yang sering dtemukan. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang
tepat karena yang terjadi sebenarnya hiperplasia kelenjar periureteral yang mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Gambar 40.34)

1. Etiologi
Dengan bertanmbahnya usia, akan terjadi akan terjadi ketidak seimbangannya hormon
testosteron dan estrogen karena produksi testosteron yang menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa perifer. Berdasarkan autopsi, perubahan
mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi. Pada lelaki
usia 50 tahun, angka kejadian sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga
terjad perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembengkakan prostat, resistensi pada leher
vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Serat
mukosa serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase penebalan otot dinding. Apabila keadaan berlanjut,
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidakmampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
2. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih adalah penderita harus menuggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis
miksi,. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yang mengakibatkan
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi
terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
dengan cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat yang
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga sering berkontraksi meskipun
belum penuh.gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan beratnya keluhan klinis.
Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas
pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total
sehingga penderita tidak mampu lagi untuk miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka,
pada suatu saat kandung kemih tidak dapat menampung urin sehingga tekanan di kandung
kemih terus meningkat. Apabila tekanan kandung kemih lebih tinggi dibandingkan sfingter
dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat jika terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus sering mengedan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu di kandung kemih. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut juga dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (lihat gambar40.30
Patofisiologi).
3. Gambaran klinis
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan didalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
colok dubur perlu diperhatikan konsistensi dari prostat (pada pembesaran prostat jinak
konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat
diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang
konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih
keras. Dengan colok dubur dapat ditemukan juga batu prostat bila ditemukan krepitasi.
Derajat beratnya obstruksi dapat diukur juga dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin dapat ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat
keluar dengan kateterisasi. Sisa urin juga dapat ditentukan dengan ultrasonografi kandung
kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk
indikasi melakukannya intervensi pada hiperplasia prostat.
Derajat berat obstruksi juga dapat diukur dengan mengukur pancaran urin pada saat
miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih yaitu rata-rata 10-12 mL/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 mL/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun hingga 6-8
mL/detik, sedangkan pancaran maksimal menjadi 15 mL/detik atau kurang. Kelemahan
detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran
kemih.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan penyulit harusdilakukan
secara teratur. (lihat tabel 40.22)
4. Pemeriksaan pencitraan
Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan pielografi intravena,
dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat
dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada sistogram tampak terangkat atau ujung distal
ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga
ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter secara menetap, dapat
dilakukan sistogram retrograd.
Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transrektal (transretal
ultrasonography, TRUS). Selain ultrasonografi dapat juga dengan menentukan volume buli-
buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikulum, tumor, dan batu.
Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi
yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula ditentukan dengan ultrasonografi suprapubik.
CT-scan atau MRI jarang dilakukan.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesa ditemukan hematuria arau
pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas
bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu,
sistoskopi juga dapat memberikan gambaran ukuran prostat dengan mengukur panjang
uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat kedalam uretra.
5. Daignosis banding
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisistas leher
kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap kesulitan miksi
disebabkan oleh salah satu dari keriga faktor tersebut (lihat tabel 40.23). kelemahan detrusor
bisa disebabkan kelainan saraf (kandung kemih neurologik), misalnya lesi di medula
spinalis, neuropati diabetik, bedah radikal yang mengorbankan persarafan didaerah pelvis,
penggunaan obat penenang, oleh penghambat reseptor ganlion, dan parasimpatomimetik.
Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan retensi uretra disebabkan
oleh pembesaran prostat jinak dan ganas, tumor dileher kandung kemih, dan batu uretra,
atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan menggunankan sistoskopi.
6. Tata laksana
Penderita datang ke dokter bila hiperplasia telah menimbulkan keluhan klinis.
Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat berdasarkan penemuan pada colok dubur
dan sisa volume urin (lihat tabel 40.24)
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang
disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini dapat dihitung berdasarkan
jawaban penderita terhadap delapan pertanyaan mengenai miksi (lihat tabel 40.25)
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan
melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Didalam praktik pembagian besar prostat derajatt I-IV digunakan untuk menentukan
cara penanganan. Penderita derajat satu biasanya belum membutuhkan tindak bedah dan
mendapatkan penanganan konservatif, misalnya pemberian penghambat adrenoreseptor alfa
seperti, alfazosin, prazosin, tetrazosin, dan tramsulosin. Keuntungan obat penghambat
adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak memengaruhi
proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection, TUR). Mortalitas TUR sekitar
1% morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Pada derajat tiga, resesksi endoskopi dapat dikerjakan oleh pembedahn yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan
selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal.
Pada operasi melalui kandung kemih, dibuat sayatan perut bagian bawah menurut
Pfannenstiel; kemudian prostat dienukleasidari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini
adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau divertelektomi apabila ada
divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut Milin dikerjakan
melalui sayatan kulit Pfannenstiel dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung
kemih, kemudian prostat di enukliasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa
membuka kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti membuka vesika.
Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan didalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah
dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa
memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku (lihat gambar 40.35B, C,
dan D). Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.
Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total degan memasang kateter atau sistotomi.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis, kemudian terapi
definitifdengan TUR atau dengan pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Efek lain obat ini adalah hipotensi, seperti pusing lemas,
palpitasi, dan rasa lemas.
Pengobatan konservatif lain adalah dengan pemberian antiandrogen yang menekan
produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa lama obat harus
diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemanasan prostat dengan gelombang
mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter.
Dengan cara ini disebut transurethral microwave thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh
hasil perbaikan kira-kira 75% untuk gejala objektif.
Peda penangulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral ultrasound
gude laser induced prostatektomy (TULIP) digunakan cahaya laser. Dengan cara ini,
diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga dilatasi dengan balon yang dikembangkan
didalamnya (transurethral baloon dilatation, TUBD). TUBD ini biasanya memberikan
perbaikan yang bersifat sementara.

Anda mungkin juga menyukai