OLEH :
NI DESAK MADE AYU DWIJAYANTHI (P07120018081)
I PT WAHYU ARSANDI (P07120018088)
NI LUH MADE SUARTINI ARTHA (P07120018091)
NI LUH PUTU PERMATA PUTRI S (P07120018094)
NI PUTU SUGIARTINI (P07120018098)
NI GST AYU WIDYA ASTUTI (P07120018099)
KADEK WIDI PRATIWI (P07120018113)
KADEK WULANDARI (P07120018114)
I.A DIAH AMRITHA VIGNESWARI (P07120018116)
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkatrahmat-Nya kami dapat menyusun paper ini dengan baik dan tepat waktu.
Paper ini disusun untuk memenuhi kurikulum pembelajaran dan digunakan sebagai
acuan pembelajaran di kelas.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada :
Kami menyadari bahwa paper ini sangat jauh dari sempurna, maka dari itu
kami mohon maaf jika ada salah kata dan penulisan dalam paper ini, kami
mengharapkan pembaca dapat memberi kritikan dan saran demi kemajuan dalam
penyusunan paper yang lebih baik.
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER................ ..............................................................................................i
ii
2.4 Pengertian Psikofarmaka.............................................................................30
2.4.1 Jenis Obat Psikofarmaka .........................................................................33
2.4.2 Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarma .........................................36
2.4.3 Evaluasi Pemberian Obat Psikofarmaka .................................................42
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
LATAR BELAKANG
1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah-masalah yang dibahas
diantaranya :
1. Apakah pengertian dari PPDGJ ?
2. Apakah pengertian dari Tindakan Terapi Modalitas?
3. Apakah pengertian dari Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)?
4. Apakah pengertian dari psikofarmaka ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari rumusan masalah tersebut sebai berikut :
1. Tujuan Umum
Mahsiswa memahami pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa.
2. Tujuan Khusus
- Mahasiswa mengetahui perkembangan pedoman penggolongan gangguan
jiwa
- Mahasiswa memahami pengertian, konsep dan diagnosis gangguan jiwa
- Mahasiswa mengetahui Diagnosis Multiaksial dan Klasifikasi dan Urutan
Hierarki Blok gangguan jiwa
- Mahasiswa mengetahui pengertian obat psikofarmaka
BAB II
2
KAJIAN PUSTAKA
3
3.Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari yang biasa dan diperlakukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup ( mandi berpakian, makan, kebersihan diri )
Perbadingan Penggolongan Diagnostik
No PPDGJ-I PPDGJ-II PPDG-III
F10 - F29
Gg. Waham
F30 – F39
(“mood” / afektif)
4
Gg. Kepribadian, Gg. Kepribadian Gg. Somatoform Dan
Gg. Jiwa nonpsikosa Dan gg. Mental non Gg. Terkait stres
psikotik lainnya.
317 F50 – F59
307. 19 – 307. 92
Kondisi yang terkait Sindrom Perilaku
pada Kebudayaan Penomena dan
Berhubungan Dengan
Setempat Sindrom yang
Gg. Fisiologis dan
Berkaitan
Faktor fisik
Dengan faktor
F60 – F69
Sosial budaya di
Gg. Kepribadian
Indonesia.
Dan perilaku
Masa dewasa.
5
Remaja.
6
Aksis IV : Psiko-sosial
Aksis V : Taraf fungsi
4. Terapi
Farmakoterapi
Psikoterapi
Terapi sosial
Terapi okupasional
Terapi lainnya
5. Tindak lanjut
Evaluasi terapi
Evaluasi diagnosis
7
Urutan hierarki blok diagnosis gangguan jiwa berdasarkan PPDGJ-III:
I = Gangguan mental organik dan simtomatik (F00-F09).
= Gangguan mental dan prilaku akibat zat psikoaktif (F10-F19)
Ciri khas : etiologi organic atau fisik jelas, primer atau skunder
II = Skizoprenia, gangguan skizopital dan gangguan waham (F20-F29)
Ciri khas : gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas
III = Gangguan suasana perasaan (mood atau afektif) (F30-F39)
Ciri khas: gejala gangguan afek (psikotik dan non psikotik)
IV = Gangguan neurotik, gangguan stomatoform dan gangguan stres (F40-F48)
Ciri khas: gejala non psikotik, etiologi non organik
V = Sindrom prilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik (F50-F59)
Ciri khas: gejala disfungsi biologis, etiologi non organik
VI = Gangguan kepribadian dan prilaku masa dewasa (F60-F69)
Ciri khas: gejala prilaku, etiologi non organik
VII = Retardasi mental (F70-F79)
Ciri khas: gejala perkembangan IQ, onset masa kanak
VIII = Gangguan perkembangan psikologis (F80-F89)
Ciri khas: gejala perkembangan khusus, onset masa kanak
IX = Gangguan prilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja
(F90-F98)
Ciri khas: gejala prilaku atau emosional, onset masa kanak
X = Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis (Kode Z)
Ciri khas: tidak tergolong gagguan jiwa
2.1.4 Diagnosis multiaksial
Aksis I : 1.Gangguan klinis
2. Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Meliputi
1. Gangguan klinis :
8
F00-F09 = Gangguan mental organik + simtomatik
F10-F19 = Gangguan mental dan prilaku = zat psikoaktif
F19-F29 = skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan
waham
F30-F39 = Gangguan Suasana Perasaan (Mood [afektif])
F40-F48 = Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan
Gangguan Terkait Stres
F50-F59 = Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan
Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik
F62-F68 = Perubahan kepribadian –non organik- gangguan
impuls, gangguan seks
F80-F89 = Gangguan perkembangan psikologis
F90-F98 = Gangguan prilaku dan emosional onset kanak-
remaja
F99 = Gangguan jiwa YTT
2. Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis :
Z03.2 = Tidak ada diagnosis aksis I
R69 = Diagnosis aksis I tertunda
Aksis II : 1. Gangguan kepribadian
2. Retardasi mental
Meliputi
1. Gangguan kepribadian :
F60 Gangguan kepribadian khas
F60.0 gangguan kepribadian paranoid
F60.1 gangguan kepribadian skizoid
F60.2 gangguan kepribadian dissosial
F60.3 gangguan kepribadian emosional tak stabil
F60.4 gangguan kepribadian hestrionik
F60.5 gangguan kepribadian anankastik
9
F60.6 gangguan kepribadian cemas (menghindar)
F60.7 gangguan kepribadian dependen
F60.8 gangguan kepribadian khaslainnya
F60.9 gangguan kepribadian YTT
F61 Gangguan kepribadian campuran dan lainnya
F61.0 gangguan kepribadian campuran
F61.1 gangguan kepribadian yang bermasalah
2. Retardasi mental
F70-F79 Retardsi mental
Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II
R46.8 Diagnosis aksis II tertunda
Aksis III : Kondisi medik umum
Meliputi
1) Bab I A00 – B99 Penyakit infeksi dan parasit tertentu
2) Bab II C00 –D48 Neoplasma
3) Bab IV E00 – G90 Penyakit endokrin, Nutrisi, dan metabolik
4) Bab VI G00 – G99 Penyakit susunan syaraf
5) Bab VII H00 – H59 Penyakit Mata & adneksa
6) Bab VIII H60 – H95 Penyakit telinga & Prosesus Mastoid
7) Bab IX I00 – I99 Penyakit sistem sirkulasi
8) Bab X J00 – J99 Penyakit sistem Pernafasan
9) Bab XI K00 – K93 Penyakit sistem Pencernaan
10) Bab XII L00 – L99 Penyakit kulit & jaringan subkutan
11) Bab XIII M00 –M99 Penyakit sistem musculoskeletal dan
Jaringan. ikat
12) Bab XIV N00 – N99 Penyakit sistem genito-urinaria
13) Bab XV O00 – O99 Kehamilan, kelahiran anak dan masa Nifas
14) Bab XVII Q00 – Q99 Malformasi congenital, deformasi.
15) Bab XVIII R00 – R99 Gejala, tanda dan temuan klinis-lab.
10
16) Bab XIX S00 – T98 Cedera, keracunan dan akibat kausa ekst
17) Bab XX V01 – V98 Kausa eksternal dari Morb. dan mort.
18) Bab XXI Z00 – Z99 Faktor status kesehata dan Pelayanan
kesehatan
11
40-31 : Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan
komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi
30-21 : Disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu
berfungsi dalam hampir semua bidang
20-11 : Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi dan mengurus diri
10-01 : Persisten dan lebih serius
0 : Informasi tidak adekuat
12
pasien, situasi keluarga, dan masyarakat juga memengaruhi terjadinya gangguan
jiwa.(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
Terapi modalitas merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam menangani
pasien dengan gangguan jiwa. Terapi modalitas merupakan suatu pendekatan yang
digunakan oleh tenaga kesehatan dalam menangani pasien dengan gangguan
jiwa.(Handayani, Sriati, & Widianti, n.d.)
Terapi modalitas merupakan terapi yang memfokuskan cara pendekatan
dengan pasien gangguan jiwa yang bertujuan untuk mengubah prilaku pasien
gangguan jiwa yang tadinya berprilaku maladaptif menjadi adaptif.(Mutya,
Keperawatan, Kesehatan, & Surakarta, 2018)
Maramis mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari masalah fisik,
kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan). Apabila gangguan
jiwa disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan keseimbangan
neurotransmiter yang mengendalikan perilaku manusia, maka pilihan pengobatan
pada farmakologi. Apabila penyebab gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka
dapat diselesaikan secara psikologis. Apabila penyebab gangguan karena masalah
lingkungan sosial, maka pilihan terapi difokuskan pada manipulasi lingkungan.
Dengan demikian, berbagai macam terapi dalam keperawatan kesehatan jiwa
dapat berupa somatoterapi, psikoterapi, dan terapi lingkungan (Maramis, 1998).
13
(a) Terapi Modalitas
Konsep terapi modalitas dalam keperawatan kesehatan jiwa terus mengalami
perkembangan disesuaikan dengan masalah yang dialami pasien, intervensi
keperawatan disesuaikan dengan penyebab utama terjadinya masalah keperawatan.
Pada kelompok psikoterapi, perawat dapat memberikan berbagai upaya
pencegahan dan penanganan perilaku agresif, intervensi krisis, serta mengembangkan
terapi kognitif, perilaku, dan berbagai terapi aktivitas kelompok. Pada kelompok
terapi lingkungan, perawat perlu mengidentifikasi perlunya pelaksanaan terapi
keluarga, terapi lingkungan, terapi okupasi, dan rehabilitasi.
Bagan berikut menggambarkan sinkronisasi berbagai alternatif terapi medis dan
keperawatan, yang sering disebut dengan istilah terapi modalitas.
14
Terapi Modalitas
Pemilihan terapi yang akan dilaksanakan bergantung pada kondisi pasien
dengan berbagai macam latar belakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi
dapat dikombinasikan dengan terapi lain. (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
2.2.1Tujuan Terapi Modalitas
Tujun dilaksanakannya terapi modalitas dalam keperawatan jiwa adalah:
1. Menimbulkan kesadaran terhadap salah satu perilaku pasien
2. Mengurangi gejala gangguan jiwa
3. Memperlambat kemunduran
4. Membantu adaptasi terhadap situasi sekarang
5. Membantu keluarga dan orang-orang yang berarti
6. Mempengaruhi keterampilan merawat diri sendiri
7. Meningkatkan aktivitas
15
8. Meningkatkan kemandirian (Prabowo,2014).
16
kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya
pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu,
dinamika kelompok tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan
mengurangi perilaku maladaptif. Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai
berikut.
1. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2. Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
3. Merupakan proses menerima umpan balik
TAK adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien
yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai
terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi
dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi
laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
perilaku lama yang maladaptive. (Rahayuningsih & Muharyari, 2016)
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah
perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif
karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling
memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui
bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat
interaksi, interelasi, dan interdependensi. (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
1) Terapeutik
Meningkatkan kemampuan pasien, memfasilitasi proses interaksi,
membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan
afektif, serta mempelajari cara baru dalam mengatasi masalah dan
melakukan sosialisasi.
2) Rehabilitatif
17
Meningkatkan kemampuan mengekspresikan diri, kemampuan
berempati, meningkatkan kemampuan sosial, serta tanggung
jawabnya dalam hubungan interpersonal.(Yusuf, A.H & ,R &
Nihayati, 2015)
18
sikap terbuka (open mindedness) dari masing- masing
pihak.(Fasya & Supratman, 2018)
Diasumsikan bahwa disfungsi atau komunikasi tidak efektif
dalam kelompok akan menyebabkan ketidakpuasan anggota
kelompok, umpan balik tidak adekuat, dan kohesi atau keterpaduan
kelompok menurun. Dengan menggunakan model ini, pemimpin
berperan memfasilitasi komunikasi efektif, masalah individu atau
kelompok dapat diidentifikasi dan diselesaikan. Pemimpin
mengajarkan pada kelompok bahwa:
a. Perlu komunikasi di dalam kelompok;
b. Anggota harus bertanggung jawab terhadap apa yang
diucapkan;
c. Komunikasi berada dalam semua level, misalnya komunikasi
verbal, nonverbal, terbuka, dan tertutup;
d. Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain;
e. Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam
membantu satu dan yang lain untuk melakukan komunikasi
efektif.
Model ini bertujuan membantu meningkatkan keterampilan
interpersonal dan social anggota kelompok. Selain itu, teori
komunikasi membantu anggota merealisasikan bagaimana mereka
berkomunikasi secara nonverbal dan mengajarkan cara
berkomunikasi lebih efektif. Selanjutnya, pemimpin juga perlu
menjelaskan secara singkat prinsip-prinsip komunikasi dan cara
menggunakan di dalam kelompok, serta menganalisis proses
komunikasi tersebut
3. Model Interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa semua tingkah laku (pikiran,
perasaan, dan tindakan) digambarkan melalui hubungan
19
interpersonal. Contohnya, interaksi dalam kelompok dapat
dipandang sebagai proses sebab akibat, yang perasaan dan tingkah
laku satu anggota merupakan akibat dari tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok.
Anggota kelompok belajar dari interaksi antaranggota dan
terapis. Melalui proses ini, kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan
perilaku sosial yang efektif dipelajari. Perasaan cemas dan
kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan
mengubah perilaku. Contohnya, tujuan salah satu terapi aktivitas
kelompok untuk meningkatkan hubungan interpersonal.
Pada saat konflik interpersonal muncul, pemimpin
menggunakan situasi tersebut untuk mendorong anggota untuk
mendiskusikan perasaan mereka dan mempelajari konflik yang
membuat anggota merasa cemas, serta menentukan perilaku yang
digunakan untuk menghindari atau menurunkan cemas pada saat
terjadi konflik.
4. Model Pesikodrama
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting
sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang lalu.
Anggota memainkan peran sesuai dengan peristiwa yang pernah
dialami. Contoh, pasien memerankan ayahnya yang dominan atau
keras. Psikodrama ini dilakukan secara spontan dan memberi
kesempatan pada anggota untuk berakting di luar situasi spesifik
yang pernah terjadi.
20
prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja kelompok, dan fase terminasi
kelompok.
1. Fase Prakelompok
Hal penting yang harus diperhatikan saat mulai membangun
kelompok adalah merumuskan tujuan kelompok. Tercapai atau
tidaknya suatu tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin
kelompok. Pemimpin kelompok harus melakukan persiapan
dengan penyusunan proposal.
2. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuk kelompok yang
baru dan peran yang baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia
(2005) membagi fase ini menjadi tiga fase lagi, yaitu fase orientasi,
konflik, dan kohesif
a. Tahap orientasi
Pada tahap ini pimpinan kelompok lebih aktif dalam
memberi pengarahan. Pemimpin mengorientasikan anggota
pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri atas
tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan, struktur, dan aturan
komuniksi (hanya satu orang bicara pada satu saat). Norma
perilaku dan rasa memiliki atau kohesif antara anggota
kelompok diupayakan terbentuk fase orientasi.
b. Tahap konflik
Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini.
Sebagian pemimpin ingin sebagai pengambil keputusan, serta
ada pula yang hanya mengarahkan dan anggota nantinya yang
akan memutuskan. Selain itu, ada pula anggota yang netral dan
hanya membantu penyelesaian konflik peran yang terjadi.
Perasaan bermusuhan yang ditampilkan baik antaranggota
21
kelompok maupun antara anggota dan pimpinan dapat terjadi
pada tahap ini. Pimpinan perlu memfasilitasi ungkapan
perasaan baik positif maupun negatif dan membantu kelompok
mengenali penyebab konflik, serta mencegah perilaku yang
tidak produktif, misalnya saling mengambinghitamkan.
c. Tahap kohesif
Setelah melalui tahap konflik, anggota kelompok akan
merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif
akan semakin saling diungkapkan. Anggota merasa bebas
membuka diri tentang informasi dan lebih intim dengan
anggota yang lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan
kemampuan anggota kelompok dalam penyelesaian masalah.
Pada akhirnya, anggota kelompok akan belajar bahwa
perbedaan tidak perlu ditakutkan. Semua persamaan dan
perbedaan tetap dapat mewujudkan tujuan menjadi suatu
realitas.
3. Fase kerja kelompok
Fase ini kelompok sudah menjadi sebuah tim yang stabil dan
realistis. Bekerja keras tetapi tetap menyenangkan dan menjadi suatu
tantangan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Tugas pimpinan
kelompok pada fase ini membantu kelompok mencapai tujuan dan
mengurangi dampak dari hal-hal yang dapat menurunkan produktivitas
kelompok. Pemimpin akan bertindak sebagai konsultan. Beberapa
anggota akan sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian
pemimpin kelompok, tidak ada lagi kerahasiaan, dan keinginan untuk
berubah. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pimpinan kelompok
agar segera melakukan strukturisasi. Di akhir fase, anggota akan
menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai
percaya diri dan kemandirian.
22
4. Fase terminasi kelompok
Terminasi dapat sementara atau permanen. Terminasi dapat
pula terjadi karena anggota kelompok atau pimpinan keluar dari
kelompok. Pada fase ini dilakukan evaluasi yang difokuskan pada
pencapaian kelompok dan individu. Terminasi yang sukses ditandai
oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok dapat digunakan secara
individual pada kehidupan sehari-hari.
2.3.4 Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
23
Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu
yang ada di sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara
bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa. Aktivitas yang
diberikan antara lain sebagai berikut.
a. Sesi I : menyebutkan jati diri.
b. Sesi II : mengenali jati diri anggota kelompok.
c. Sesi III : bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
d. Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan.
e. Sesi V : menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi dengan orang lain.
f. Sesi VI : bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok.
g. Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat
kegiatan TAK sosialisasi yang telah dilakukan.
24
b. Sesi I I : membaca majalah, artikel/koran
c. Sesi III : gambar
d. Sesi IV :
-. Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
-. Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik.
-. Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
-. Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum
obat.
-. Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Peningkatan Harga Diri
Pasien dilatih untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri
sehingga mampu menghargai diri sendiri. Kemampuan pasien
dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini,
pasien diharapkan mampu merumuskan suatu tujuan hidup yang
realistis. Aktivitas yang diberikan adalah sebagai berikut.
a. Sesi I : identifikasi hal positif diri.
b. Sesi II : menghargai hal positif orang lain.
c. Sesi III : menetapkan tujuan hidup yang realistis.
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol
Halusinasi
Pasien dilatih untuk dapat mengenal halusinasi yang
dialaminya dan dilatih cara mengontrol halusinasi. Kemampuan
persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam
proses ini, respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan diharapkan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan
yaitu sebagai berikut.
a. Sesi I : mengenal halusinasi
b. Sesi II : mengontrol halusinasi dengan menghardik
25
c. Sesi III : mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal
kegiatan
d. Sesi IV : mengontrol halusinasi dengan minum obat yang
benar
e. Sesi V: mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
26
b. Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan
perilaku pasien.
c. Memberikan umpan balik pada kelompok.
Perawat dapat bertugas sebagai pimpinan, pembantu pimpinan, fasilitator,
dan
observer. Namun untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara
teratur, pasien yang sudah kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai
pembantu pimpinan, fasilitator, observer bahkan sebagai pimpinan. Perawat
sebagai terapis perlu mengarahkan.
Jumlah anggota kelompok berkisar antara 7 sampai 10 orang sedangkan
lamanyaaktivitas 45 sampai 60 menit. Sebelum memulai terapi, aktivitas
kelompok perlu menyusun proposal sebagai pedoman pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok.(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
2.3.6 Program Antisipasi Masalah Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Masalah yang mungkin timbul dalam TAK antara lain sebagai berikut.
5) Adanya subkelompok.
6) Keterbukaan yang kurang.
7) Resistansi baik individu maupun kelompok.
8) Adanya anggota kelompok yang drop out.
9) Penambahan anggota baru.
Cara mengatasi masalah ini bergantung pada jenis kelompok terapis,
kontrak, dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.
Program antisipasi masalah merupakan intervensi keperawatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat gawat darurat
dalam terapi yang dapat memengaruhi proses pelaksanaan TAK.
Misalnya, pasien meninggalkan permainan, maka intervensi yang
diberikan panggil nama pasien, serta tanyakan alasan meninggalkan
tempat dan beri penjelasan.(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
27
2.4 Pengertian Psikofarmaka
Psikofarmaka disebut juga sebagai obat psikotropika, atau obat psikoaktif atau
obat psikoteraputik. Penggolongan obat ini didasarkan atas adanya kesamaan efek
obat terhadap penurunan atau berkurangnya gejala. Kesamaan dalam susunan
kimiawi obat dan kesamaan dalam mekanisme kerja obat. Obat psikofarmaka adalah
obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama
terhadap aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs),digunakan
untuk terapi gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Obat psikofarmaka
sebagai salah satu zat psikoaktif bila digunakan secara salah (misuse) atau
disalahgunakan (abuse) beresiko menyebabkan gangguan jiwa. Menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) penyalahgunaan obat
psikoaktif digolongkan kedalam gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat
psikoaktif. Gangguan mental dan perilaku tersebut dapat bermanifestasi dalam
bentuk:
1. Intoksikasi akut (tanpa atau dengan komplikasi) Kondisi ini berkaitan dengan dosis
zat yang digunakan (efek yang berbeda pada dosis yang berbeda). Gejala
intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat dan dapat terjadi efek
paradoksal.
2. Penggunaan yang merugikan (harmful use) Kondisi ini merupakan pola
penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan (dapat berupa fisik dan atau
mental). Pada kondisi ini belum menunjukkan adanya sindrom ketergantungan
tetapi sudah berdampak timbulnya kelemahan/hendaya psikososial sebagai
dampaknya.
3. Sindrom ketergantungan (dependence syndrome) Kondisi ini ditAndai dengan
munculnya keinginan yang sangat kuat (dorongan kompulsif) untuk menggunakan
zat psikoaktif secara terus menerus dengan tujuan memperoleh efek psiko aktif
dari zat tersebut. Pada kondisi ini individu tidak mampu menguasai keinginan
untuk menggunakan zat, baik mengenai mulainya, menghentikannya, ataupun
membatasi jumlahnya (loss of control).Pengurangan dan penghentian penggunaan
28
zat ini, akan menimbulkan keadaan putus zat, yang akan mengakibatkan
perubahan fisiologis yang sangat tidak menyenangkan, sehingga memaksa orang
tersebut menggunakannya lagi atau menggunakan obat lain yang sejenis untuk
menghilangkan gejala putus obat tersebut. Untuk memperoleh efek yang sama
(gejala toleransi), individu harus meningkatkan dosis penggunaan zat psikoaktif
dan terus menggunakannya walaupun individu tersebut, menyadari adanya akibat
yang merugikan kesehatannya
4. Keadaan putus obat (withdrawal state) Adalah gejala-gejala fisik dan mental yang
timbul pada saat penghentian penggunaan zat yang terus menerus dalam jangka
waktu panjang atau dosis tinggi. Gejala putus obat, sangat tergantung pada jenis
dan dosis zat yang digunakan. Gejala putus zat,akan mereda bila pengguna
meneruskan penggunaan zat. Ini merupakan salah satu indikator dari sindrom
ketergantungan.
5. Gangguan psikotik Merupakan sekumpulan gejala-gejala psikotik yang terjadi
selama atau segera setelah penggunaan zat psikoaktif. Gejala psikotik ditandai
dengan adanya halusinasi, kekeliruan identifikasi, waham dan atau ideas of
reference (gagasan yang menyangkut diri sendiri sebagai acuan) yang seringkali
bersifat kecurigaan atau kejaran. Selain itu timbul gangguan psikomotor
(excitement atau stupor) dan afek abnormal yang terentang antara ketakutan yang
mencekam sampai pada kegembiraan yang berlebihan. Variasi gejala sangat
dipengaruhi oleh jenis zat yang digunakan dan kepribadian pengguna zat
6. Sindrom amnestik adalah hendaya/gangguan daya ingat jangka pendek (recent
memory) yang menonjol. Pada sindrom ini juga kadang-kadang muncul gangguan
daya ingat jangka panjang (remote memory), sedangkan daya ingat segera
(immediate recall) masih baik. Fungsi kognitif lainnya biasanya relative baik.
Adanya gangguan sensasi waktu (menyusun kembali urutan kronologis, meninjau
kejadian berulangkali menjadi satu peristiwa). Pada kondisi ini, kesadaran individu
kompos mentis, namun terjadi perubahan kepribadian yang sering disertai apatis
dan hilangnya inisiatif, serta kecenderungan mengabaikan keadaan
29
2.4.1. Jenis Obat Psikofarmaka
1. Obat anti-psikosis
Obat anti-psikosis merupakan sinonim dari neuroleptics,major
transqualizer,ataractics, antipsychotics, antipsychotic drugs, neuroleptics. Obat-
obat anti-psikosis merupakanantagonis dopamine yang bekerja menghambat
reseptor dopamine dalam berbagai jaras otak. Sedian obat anti-psikosis yang ada di
Indonesia adalah chlorpromazine, haloperidol, perphenazine, fluphenazine,
fluphenazine decanoate, levomepromazine, trifluoperazine, thioridazine, sulpiride,
pinozide, risperidone.
Indikasi penggunaan obat ini adalah syndrome psikosis yang ditAndai
dengan adanya hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas, fungsi
mental, dan fungsi kehidupan sehari-hari.
2. Obat anti-depresi
Obat anti-depresi sinonim dari thymoleptic, psychic energizers, anti
depressants, anti depresan. Sediaan obat anti-depresi di Indonesia adalah
amitriptyline, amoxapine, amineptine, clomipramine, imipramine, moclobemide,
maprotiline, mianserin, opipramol, sertraline, trazodone, paroxetine, fluvoxamine,
fluoxetine. Jenis obat anti-depresi adalah anti-depresi trisiklik, anti-depresi
tetrasiklik, obat anti-depresi atipikal, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),
dan inhibitor monoamine okside (MAOI).
Indikasi klinik primer penggunaan obat-obat anti-depresi adalah sindrom
depresi yang dapat terjadi pada a. Sindrom depresi panic, gangguan afektif bipolar
dan unipolar. Gangguan distimik dan gangguan siklotimik. b. Sindrom depresi
organik seperti hypothyroid induced depression, brain injury depression dan
reserpine. c. Sindrom depresi situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
depresi, grief reaction, dll; dan sindrom depresi penyerta seperti gangguan jiwa
dengan depresi (gangguan obsesi kompulsi, gangguan panic, dimensia), gangguan
fisik dengan depresi (stroke, MCI, kanker, dan lain-lain).
30
3. Obat anti-mania
Obat anti-mania merupakan sinonim dari mood modulators, mood
stabilizers, antimanics. Sediaan obat anti-mania di Indonesia adalah litium
carbonate, haloperidol, carbamazepine. Indikasi penggunaan obat ini adalah
sindrom mania ditAndai adanya keadaan afek yang meningkat hampir setiap hari
selama paling sedikit satu minggu. Keadaan tersebut disertai paling sedikit 4 gejala
seperti peningkatan aktivitas, lebih banyak berbicara dari lazimnya, lompat
gagasan, rasa harga diri yang melambung, berkurangnya kebutuhan tidur, mudah
teralih perhatian, keterlibatan berlebih dalam aktivitas, bermanifestasi dalam gejala
seperti penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin.
4. Obat anti-ansietas
Obat anti-ansietas merupakan sinonim psycholeptics, minor transqualizers,
anxiolytics, antianxiety drugs, ansiolitika. Obat anti-ansietas terdiri atas golongan
benzodiazepine dan nonbenzodiazepin. Sediaan obat anti-ansietas jenis
benzodiazepine adalah diazepam, chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam,
bromazepam, oxasolam, clorazepate, alprazolam prazepam. Sedangkan jenis
non benzodiazepine adalah sulpiride dan buspirone. Indikasi penggunaan obat ini
adalah sindrom ansietas seperti :
a. Sindrom ansietas psikik seperti gangguan ansietas umum, gangguan panik,
gangguan fobik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress paska
trauma
b. Sindrom ansietas organic seperti hyperthyroid, pheochromosytosis,
sindrom ansietas situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas dan gangguan cemas perpisahan
c. Sindrom ansietas penyerta seperti gangguan jiwa dengan ansietas
(skizofrenia, gangguan paranoid, dll),
d. Penyakit fisik dengan ansietas seperti pada klien stroke, Myocard Cardio
Infac (MCI) dan kanker .
31
5. Obat anti-insomnia
Obat anti-insomnia merupakan sinonim dari hypnotics, somnifacient,
hipnotika. Sediaan obat anti-insomnia di Indonesia adalah nitrazepam, triazolam,
estazolam, chloral hydrate. Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom insomnia
yang dapat terjadi pada
a. Sindrom insomnia psikik seperti gangguan afektif bipolar dan unipolar
(episode mania atau depresi, gangguan ansietas (panic, fobia); sindrom
insomnia organic seperti hyperthyroidism, putus obat penekan SSP
(benzodiazepine, phenobarbital, narkotika), zat perangsang SSP (caffeine,
ephedrine, amphetamine);
b. Sindrom insomnia situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas/depresi, sleep, wake schedule (jet lag, workshift), stres
psikososial;
c. Sindrom insomnia penyerta seperti gangguan fisik dengan insomnia (pain
producing illness, paroxysmal nocturnal dyspnea),
d. Gangguan jiwa dengan insomnia (skizofrenia, gangguan paranoid).
6. Obat anti-obsesif kompulsif
Obat anti-obsesif kompulsif merupakan persamaan dari drugs used in
obsessivecompulsive disorders. Sediaan obat anti-obsesif kompulsif di Indonesia
adalah clomipramine, fluvoxamine, sertraline, fluoxetine, paroxetine. Indikasi
penggunaan obat ini adalah sindrom obsesif kompulsi. Diagnostik obsesif
kompulsif dapat diketahui bila individu sedikitnya dua minggu dan hampir setiap
hari mengalami gejala obsesif kompulsif, dan gejala tersebut merupakan sumber
penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas sehari-hari (disability).
7. Obat anti-panik
Obat anti-panik merupakan persamaan dari drugs used in panic disorders.
Sediaan obat anti-panik di Indonesia adalah imipramine, clomipramine,
alprazolam, moclobemide, sertraline, fluoxatine, parocetine, fluvoxamine.
Penggolongan obat anti-panik adalah obat anti-panik trisiklik (impramine,
32
clomipramine), obat anti-panik benzodiazepine (alprazolam) dan obat anti-panik
RIMAreversible inhibitors of monoamine oxydase-A (moclobmide)serta obat anti-
p atau anik SSRI (sertraline, fluoxetine,paroxetine, fluvoxamine). Indikasi
penggunaan obat ini adalah sindrom panik. Diagnostik sindrom panik dapat
ditegakkan paling sedikit satu bulan individu mengalami beberapa kali serangan
ansietas berat, gejala tersebut dapat terjadi dengan atau tanpa agoraphobia. Panik
merupakan gejala yang merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas sehari-hari (phobic avoidance)
2.4.2 Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka
A. IDENTIFIKASI MASALAH KLIEN DALAM PEMBERIAN OBAT
PSIKOFARMAKA
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi masalah
pemberian obat psikofarmaka. Identifikasi masalah dalam pemberian psikofarmaka
dimulai dari pengkajian dengan melakukan pengumpulan data yang meliputi diagnosa
medis, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, jenis obat
yang digunakan, dosis, waktu pemberian serta program terapi yang lain yang diterima
oleh pasisen dan memahami serta melakukan berbagai kombinasikan obat dengan
terapi Modalitas. Selain itu perawat juga harus melakukan pendidikan kesehatan
untuk klien dan keluarga tentang pentingnya minum obat secara teratur dan
penanganan efek samping obat dan monitoring efek samping penggunaan obat.
Melalui pengkajian yang komprehensif, perawat dapat mengidentifikasi
permasalahan yang sedang dialami pasien. Masalah kesehatan jiwa yang dialami
pasien dalam program pemberian obat psikofarmaka dapat dikelompokkan sebagai
berikut : psikosis, gangguan depresi, gangguan mania, gangguan ansietas, gangguan
insomnia, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik Selain mengidentifikasi
peran diatas, perawat memiliki peran yang sangat penting yaitu mampu
mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota tim sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai antara klien, keluarga dan tim kesehatan sehingga
33
tujuan perawatan dapat berjalan sesuai tujuan yang diharapkan, untuk itu perawat
dituntut mampu bekerja didalam suatu sistem dan budaya kerja yang tinggi.
B. CARA PENGGUNAAN OBAT PSIKOFARMAKA
Perawat harus memahami 5 prinsip benar dalam pemberian obat psikofarmaka
seperti jenis, manfaat, dosis, cara kerja obat dalam tubuh, efek samping, cara
pemberian, kontra indikasi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai cara pemberian
obat psikofarmaka
1. Obat anti-psikosis
Pada dosis ekivalen semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (klinis)
yang sama, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping). Pemilihan jenis
obat antipsikosis harus mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat.Pengantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat anti-
psikosis tertentu sudah sudah diberikan dalam dosis optimal dan dalam jangka waktu
yang memadai tetapi tidak memberikan efek yang optimal maka dapat diganti dengan
obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekivalen, dimana profil efek samping belum tentu sama. Apabila klien memiliki
riwayat penggunaan obat anti-psikosis yang terbukti efektif dan efek samping obat
mampu ditolerir dengan baik maka obat tsb dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Dengan dosis yang efektif, onset efek primer didapatkan setelah 2-4
minggu pemberian obat, sedangkan efek sekunder (efek samping) sekitar 2-6 minggu.
Waktu paruh obat anti-psikosis adalah 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari). Dosis
pagi dan malam bisa berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosisi
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga kualitas hidup klien tidak terganggu.
Dosis awal diberikan dalam dosis kecil, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari hingga
dosis efektif (mulai timbul peredaan sindrom psikosis). Evaluasi dilakukan setiap 2
minggu dan bila diperlukan dosis dinaikkan hingga mencapai dosis optimal, dan dosis
pemberian dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi).Pemberian obat dengan
dosis efektif dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun. Setelah waktu tersebut dosis
diturunkan tiap 2-4 minggu dan stop. Pemberian obat anti-psikosis yang bersifat
34
“long acting” sangat efekti diberikan pada klien yang tidak mau atau sulit minum obat
secara teratur ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Sebelum
penggunaan secara parenteral sebaiknya pemberian obat dilakukan secara oral
terlebih dahulu dalam beberapa minggu, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat efek hipersensitivitas. Pemberian obat anti-psikosis “long acting” hanya
diberikan pada klien skizoprenia yang bertujuan untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan. Kontra indikasi penggunaan obat anti-psikosis adalah penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan
alkohol, penyakit susunan saraf pusat (parkinson, tumor otak), gangguan kesadaran.
2. Obat anti-depresi
Pada dasarnya semua obat anti-depresi mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek
samping). Pemilihan jenis obat anti-depresi tergantung pada toleransi klien terhadap
efek samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi klien (usia, penyakit
fisik tertentu, jenis depresi). Sangat perlu mempertimbangkan efek samping
penggunaan obat golongan ini, terutama penggunaan pada sindrom depresi ringan dan
sedang.Berikut ini adalah urutan penggunaan obat anti depresi untuk meminimalisir
efek samping langkah pertama pemberian obat golongan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), , langkah kedua golongan trisiklik, langkah ketiga golongan
tetrasiklik, golongan atipikal, golongan MAOI dan inhibitor monoamine okside
(MAOI)reversible. Penggunaan litium dianjurkan untuk “unipolar recurrent
depression” penggunaan obat golongan ini bertujuan untuk mencegah kekambuhan,
sebagai “mood stabilizer”. Pemberian Dosis perlu mempertimbangkan onset efek
primer sekitar 2-4 minggu, onset efek skunder sekitar 12-24 jam, dan waktu paruh
12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari). Dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal
diberikan malam hari (single dose one hour before sleep)terutama untuk golongan
trisiklik dan tetrasiklik. Golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah
sarapan pagi. Pemberian obat anti-depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh
karena potensial adiksinya sangat minimal. Kontra indikasi pemberian obat anti-
35
depresi adalah penyakit jantung koroner, MCI (myocard infark, khususnya pada usia
lanjut); glaucoma, retensi urine, hipertropi prostat, gangguan fungsi hati, epilepsy;
Sedangkan kontra indikasi penggunaan obat litium adalah kelainan fungsi jantung,
ginjal dan kelenjar tiroid.
36
Golongan benzodiazepine merupakan obat anti ansietas yang sangat efektif
karena memiliki khasiat yang sangat tinggi dan efek adiksi serta toksisitas yang
rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau phenobarbital. Benzodiazepin adalah
obat pilihan dari semua obat yang mempunyai efek anti-ansietas, disebabkan
spesifikasi, potensi, dan keamanannya. Dosis obat efektif bila kadar obat dalam darah
dengan eksresi obat seimbang. Kondisi ini tercapai setelah 5-7 hari dengan dosis 2-3
kali per hari. Pemberian obat dimulai dari dosis awal (dosis anjuran), selanjutnya
dosis dinaikkan setiap 3-5 hari sampai mencapai dosis optimal, dan dosis
dipertahankan selama 2-3 minggu, selanjutnya dosis diturunkan 1/8 x setiap 2-4
minggu sampai dosis minimal yang efektif. Apabila terjadi kekambuh dosis obat
dapat dinaikan kembali dan bila efektif dosis dipertahankan hingga 4-8 minggu
selanjutnya diturunkan secara gradual. Lama pemberian obat pada sindrom ansietas
yang disebabkan faktor situasi eksternal, pemberian obat tidak boleh melibihi waktu
1-3 bulan. Pemberian sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila sindrom ansietas dapat
diantisipsi kejadiaanya.klien dengan hipersensitivitas terhadap benzodiazepine,
glaucoma, myasthenia grafis, insufisiensi paru kronis, penyakit renal kronis dan
penyakit hepar kronis merupakan kontra indikasi pemberian obat anti-ansietas.
5. Obat anti-insomnia
Obat anti-insomnia disesuaikan dengan jenis gangguan tidur, bila sulit masuk
ke dalam proses tidur maka obat yang dibutuhkan adalah golongan benzodiazepine
short acting; bila proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit untuk masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya maka obat yang dibutuhkan adalah golongan heterosiklik
anti-depresan (trisiklik dan tetrasiklik); bila siklus proses tidur yang normal tidak
utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, maka obat yang dibutuhkan adalah
golongan Phenobarbital atau golongan benzodiazepine long acting. Pengaturan dosis,
pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum tidur. Dosis awal dapat
dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu,
kemudian secepatnya diturunkan secara gradual untuk mencegah timbulnya rebound
dan toleransi obat. Penggunaan obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja,
37
tidak lebih dari 2 minggu agar resiko ketergantungan kecil. Kontra indikasi
penggunaan obat antiinsomnia adalah “sleep apnoe syndrome”, “congestive heart
failure”, dan chronic respiratory disease”.
38
tidak menimbulkan efek yang diharapkan, obat ini dapat dikombinasi dengan obat
anti depresan lain. Perlunya pendidikan kesehatan untuk klien mengenai cara
memantau kadar litium.
5. Penggunaan anti psikotik harus mempertimbangkan pedoman sebagai berikut
bahwa dosis anti psikotik sangat bervariasi untuk tiap individu. Dosis diberikan
satu kali sehari,
39
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak
mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness/mental desease). Gangguan jiwa
merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia sedemikian rupa sehingga
mengganggu kemampuan individu itu untuk berfungsi secara normal didalam
masyarakat maupun dalam menunaikan kewajibannya sebagai insan dalam
masyarakat itu (Dep Kes RI, 1997)
Terapi modalitas adalah berbagai macam alternatif terapi yang dapat diberikan
pada pasien gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk
penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya,
diperlukan pengkajian secara mendalam untuk mendapatkan faktor pencetus dan
pemicu terjadinya gangguan jiwa. Selain itu, masalah kepribadian awal, kondisi fisik
pasien, situasi keluarga, dan masyarakat juga memengaruhi terjadinya gangguan
jiwa.(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
Terapi aktifatas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat
kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target
asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling
membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang
adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptive. (Rahayuningsih &
Muharyari, 2016)
Obat psikofarmaka adalah obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP)
dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku (mind and
40
behavior altering drugs),digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik
(psychotherapeutic medication)
3.2 Saran
Paper ini hanyalah bersifat pendahuluan. Untuk itu, perlu dilakukan
penyempurnaan oleh semua pihak yang berkecimpung dalam bidang akademik.
Demikian pula penyempurnaan dari segala aspek perlu dilakukan demi kesempurnaan
paper ini
41
DAFTAR PUSTAKA
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM – 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya
Keliat, B.A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN - Basic
Course). Jakarta: EGC
YUSUF, A., Rizki, F., Nursalam, & Iskandar. (2007). Terapi Aktivitas Kelompok (
TAK) Modifikasi Sebagai Alternatif Pengendalian Halusinasi Dengar Pada
Klien Skizofrenia. Ners, 2(1), 1–4
42