Anda di halaman 1dari 3

SERI SEJARAH NUSANTARA: Ekspedisi Siboga (1899-

1900) : Perjalanan Max Weber di Hindia Timur

Ekspedisi Siboga adalah ekspedisi terakhir dan terpenting yang dilakukan


oleh Max Weber, seorang ahli ilmu hewan (zoologist) yang menjadi
anggota sebuah komunitas riset dan sains untuk koloni-koloni Belanda
(saat ini komunitas tersebut dinamakan “Treub Maatschappij”). Siboga
sendiri adalah nama kapal perang Belanda yang ditumpangi oleh Max
Weber untuk melakukan penelitiannya di nusantara khususnya flora dan
fauna di kepulauan bagian timur atau Indo-Australia.

Max Carl Wilhem Weber lahir 5 Desember 1852 dengan seorang Ibu yang
berkebangsaan Belanda dan ayah yang berkebangsaan Jerman. Namanya
di dunia ilmu pengetahuan sering tumpang tindih dengan seorang sosiolog
Jerman yang memiliki nama hamper mirip, Maximilian Weber. Tahuin 1875
ia belajar dengan seorang ahli ilmu hewan yang cukup terkenal di kota
Berlin yang bernama Eduard von Martens dan mendapatkan gelar Ph.D-nya
dua tahun kemudian.

Pada Tanggal 7 Maret 1899, kapal Siboga yang memiliki panjang sekitar 50
m memulai perjalanannya dari Surabaya. Total awak yang ikut serta
berjumlah 63 orang yang terdiri dari : 10 orang perwira angkatan laut
Belanda, 6 orang ilmuwan dimana ikut serta pula istri Max Weber, Anna
Weber, 45 pelaut (kebanyakan orang jawa) dan 2 orang pembantu pribadi
dari Weber. Dengan tujuan utama adalah mengeksplorasi fauna laut dalam
yang berada di nusantara, khususnya bagian timur.

Weber secara khusus tertarik dengan kedalaman laut di selat Lombok,


yaitu selat yang memisahkan antara Pulau Bali dengan Pulau Lombok,
dimana sebelumnya Wallace menyatakan bahwa selat antara Pulau Bali
dan Pulau Lombok menjadi tanda pemisah bagi fauna yang bercirikan Asia
dan fauna yang bercirikan Australia. Tetapi penemuan Weber
mengindikasikan bahwa kedalaman laut di Selat Lombok hanya sekitar 312
m yang berarti selat Selat Lombok tidak begitu dalam

Sehingga demikian setelah ditelaah lebih dalam lagi, terutama kondisi


fauna di kepulauan Indonesia Timur khususnya di Celebes dan Maluku,
menurut Weber, garis pemisah yang kuat antara fauna Asia dan Australia
tidaklah ada, akan tetapi semakin menuju ke arah timur dari kepulauan
nusantara, maka fauna bercirikan Asia semakin berkurang, dan sebaliknya,
fauna yang bercirikan Australia semakin banyak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weber ini oleh sebagian peneliti
dianggap telah memindahkan garis Wallace lebih ke arah timur yang mana
kemudian garis ini dinamakan dengan “Garis Weber”, meski Weber sendiri
tidak begitu menyetujui garis imajiner pemisah sebagaimana garis imajiner
Wallace. Garis imajiner Weber dipopulerkan oleh Paul Pelseneer di tahun
1904.

Dalam pandangan modern secara umum dapat diterima bahwa antara


garis Wallace dan garis Weber merupakan zona transisi yang disebut
“Wallacea”. Ilmuwan dapat memberikan gambaran bahwa garis Wallace
antara Borneo dan Celebes merupakan ujung dari lempengan benua Asia,
sedangkan garis Weber antara Celebes dan Kepulauan Maluku
mencerminkan keseimbangan fauna antara fauna yang bercirikan Asia
dengan Australia. Sekembalinya Weber dari penjelajahan di Hindia Timur,
ia menerbitkan hasil penelitiannya dalam suatu publikasi ilmiah yang
berjudul “Zoologische Ergebnisse einer Reise in Niederländisch Ost-Indien”.

Secara umum, titik utama penelitian Weber adalah tentang biologi kelautan
yang difokuskan pada jalur migrasi invertebrate laut dan ikan-ikan pelagis
(yang menghuni lapisan laut menengah dan atas). Dalam melakukan
penelitia, ia bersama teman-temannya menemukan cukup banyak ikan-
ikan dan hewan laut jenis baru, contohnya seperti kerang lentera (filum
Brachiopoda), yang ditemukan di beberapa kepualauan di bagian timur
nusantara seperti di daerah Banda, Ambon, Seram, Kei, Sulawesi, Sulu dan
Selayar.

Sedangkan menurut Tomascik (1997), ekspedisi Siboga di nusantara


berhasil menemukan sebanyak 70 spesies dan 27 genera karang
ahermatypic, termasuk 3000 spesies sponge (rumput laut). Selain itu peta
batimetri (peta konfigurasi dasar laut) yang pertama untuk nusantara
dihasilkan pula dari ekspedisi ini.

Penelitiannya juga memberikan andil kepada pengembangan teori


“Katadromisme” dan “Anadromisme” pada biota laut eurihalin, yaitu biota
laut yang memiliki toleransi besar terhadap salinitas media. Biota katadrom
memiliki naluri kuat untuk selalu kembali ke laut, tempat dahulu dimana
dipijahkan (dikawinkan) dan sebaliknya bagi biota laut anadrom.
Sumber Bacaan :

1. Keanekaragaman Hayati dan Degradasi Ekosistem Terumbu Karang,


Sunarto, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran,
2006.
2. Peran Hidrobiologi dalam Pengembangan Perikanan Pantai, Sutrisno
Anggoro, Universitas Diponegoro, 2001.
3. Sekilas tentang Kerang Lentera, Mudjiono dan Maryoto Suparman,
Oseana, Vol. XVII, no. 4, 1992.
4. http://www.science.uva.nl/library/MaxWeber/Siboga.htm
5. http://www.science.uva.nl/library/MaxWeber/MaxWeber.htm

Anda mungkin juga menyukai