Anda di halaman 1dari 11

PEULARAN TRANSOVARIAL VIRUS JAPANESE

ENCEPHALITIS MELAUI VECTOR


NYAMUK DI INDONESIA

ADE MAHENDRA, S. KH

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
2

ABSTRAK

ADE MAHENDRA. Penularan Transovarial virus Japanese Encephalitis Melalui


Vector Nyamuk Di Indonesia

Japanese encephalitis (JE) adalah penyakit viral yang bersifat zoonosis dan
menyebabkan peradangan otak pada manusia usia muda (5-9 tahun) yang
ditularkan melalui vektor nyainuk . Keberadaan virus penyebab JE, vektor dan
hewan reservoar di berbagai wilayah Indonesia, menyebabkan perlunya
kewaspadaan terhadap kemungkinan mewabahnya penyakit ini . Keberadaan JE
pada inanusia di Indonesia telah diungkapkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan serologis, dan perkembangan terakhir kejadian JE di Bali telah
menjadi hiperendemik (yang biasanya sporadik) . Pada hewan kejadian JE hanya
ditemukan berdasarkan serologis dan isolasi virus penyebabnya, sedangkan
keberadaan vektor berupa nyamuk telah ditemukan berbagai spesies nyamuk yang
potensial menularkan JE karena virus penyebab JE berhasil diisolasi dari nyamuk
. Upaya pencegahan dan pengendalian JE dapat dilakukan dengan melakukan
sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat untuk melakukan pemutusan rantai
penularan (antara virus JE, vektor nyamuk dan induk semang/reservoar) termasuk
merelokasi peternakan terutama babi ke wilayah yang tidak padat penduduk dan
pemberantasan vektor .
Kata kunci : Japanese encephalitis, diagnosis, vector, hewan, manusia

ABSTRACT
ADE MAHENDRA. Transmission of Japanese Encephalitis
Transovarial Virus Through Mosquito Vector in Indonesia

Japanese encephalitis (JE) is a zoonotic viral disease which causes encephalitis in


children (5-9 years old) . The disease is transmitted by mosquitoes . The presence
of JE virus, vector and reservoir host in Indonesia, will increase the concern of the
possibility of JE outbreak in Indonesia . JE infection in human was reported by
clinical and serological findings. Recently, JE
case in Bali was declared as hyperendemic (usually sporadic) . In animals, JE
infection has been confirmed by serology and viral isolation, while JE vector had
been found in different species of mosquitoes by successful viral isolation from
those mosquitoes .The prevention and control of JE are conducted by socialization
about JE to the society, by cutting the JE transmission cycle (virus, vector and
host), including pig farm relocation .
Keywords : Japanese encephaliti, vector , animals, human
3

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh Arthropodborne virus dari Grup B yang
disebut virus Japanese Encephalitis dari famili Flaviviridae. Japanese B
Encephalitis merupakan penyakit yang bersifat zoonosis dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat
menularkan penyakit ini; paling sering ialah Culex tritaeniorhynchus, yang
banyak dijumpai di daerah persawahan, rawa-rawa dan genangan air. Babi dan
unggas yang hidup di air seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus
ini. Selain itu sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, kera, ayam dan kucing juga
dapat berperan sebagai reservoir virus JE.

Manifestasi neurologik penyakit JE yang disebabkan oleh flavivirus


bervariasi, mulai dari adanya sedikit perubahan dalam tingkah laku hingga
masalah yang serius termasuk kebutaan, ataksia, kelemahan, dan gangguan
gerakan tubuh. Angka kematian berkisar antara 20% hingga 30%. Penyakit ini
dapat dicegah dengan vaksinasi, Pencegahan dan pemberantasan JE virus
ditujukan pada manusia, vektor nyamuk Culex beserta larvanya, dan reservoir
babi.

Gejala klinik J.E. sulit dibedakan dengan penyakit encephalitis lainnya,


sehingga diagnosis klinik perlu ditunjang dengan pemeriksaan serologi atau
isolasi. Hal ini menyebabkan hambatan untuk mengetahui besarnya jumlah kasus
J.E. di Indonesia secara pasti. Di Indonesia, virus JE pertama kali diisolasi dari
nyamuk pada tahun 1972 di daerah Bekasi. Endemisitas JE ditemukan di hampir
seluruh provinsi di Indonesia, dimana umumnya masyarakat hidup berdekatan
dengan hewan ternak mereka. Data dari Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia (Kemkes RI) tahun 1993-2000 menunjukkan spesimen positif JE
ditemukan di 14 Provinsi (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Papua)

Rumusan Masalah
Bagaimana vector nyamuk dapat membawa penyakit Japanese encephalitis (JE)?
4

Tujuan
Mengetahui cara vector nyamuk membawa dan mentransmisikan penyakit
Japanese encephalitis (JE)

Manfaat
Dapat memberikan wawasan mengenai cara mekanisme terjadinya
penyakit Japanese Encephalitis yang disebabkan oleh virus JE dan tindakan
pencegahan terjadinya penyakit Japanese Encephalitis yang disebabkan oleh virus
JE pada hewan reservoir
5

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi
Japanese Encephalitis biasa disebut ”Brain Fever”. Penyebab JE adalah
virus RNA dari famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Virus JE mempunyai
kedekatan antigenik dengan virus West Nile, Murray Valley dan St. Louis
ensefalitis. Masing-masing menyebabkan penyakit pada manusia, tapi hanya JE
yang menyebabkan penyakit yang signifikan pada hewan. Virus dapat tumbuh
dalam telur ayam berembrio melalui inokulasi ke dalam kantong kuning telur.
Disamping itu berbagai biakan sel seperti sel fibroblast embrio ayam, sel ginjal
kera, babi, dan hamster dapat pula digunakan untuk isolasi virus (Soeharsono,
2002).
Flavivirus terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 45-60 nm yang
mempunyai genom RNA positif untai tunggal, berukuran 10,7 kb. Amplop virus
mengandung dua glikoprotein, memiliki tiga atau empat polipeptida struktural,
dua terglikosilasi. Flavivirus memasuki sel dengan cara endositosis, bereplikasi
dalam sitoplasma secara lambat dan matang melalui perantaraan membran
intrasitoplasma (terutama retikulum endoplasma). Replikasi menyebabkan
proliferasi yang khas pada membran intraseluler. Secara parsial, virus ini menutup
sintesis protein dan RNA dari sel hospes mamalia tapi tidak pada nyamuk. Pada
hospes vertebrata yang sesuai, perkembangbiakan primer virus terjadi baik di sel-
sel myeliod maupun limfoid atau di endotel pembuluh darah. Perkembangbiakan
di dalam susunan saraf pusat tergantung kemampuan virus untuk menembus
barier darah otak dan untuk menginfeksi sel saraf. Virus JE telah ditemukan
hampir di semua negara Asia, termasuk Indonesia (Sendow, 2005).

Gejala klinis
Babi merupakan reservoir JE yang paling baik. Walaupun demikian gejala
klinis penyakit ini pada babi jarang ditemukan. Pada babi dewasa antibodi dapat
terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan syaraf umumnya tidak
nampak. Pada anak babi gejala klinis kadang dapat terlihat. Apabila induk babi
yang sedang bunting terinfeksi virus JE, dapat mengakibatkan fetus yang lahir
mengalami kematian, keguguran, dan mumifikasi. Anak babi lahir dalam keadaan
lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala gangguan syaraf yang kemudian
disertai dengan kematian. Sering juga terlihat adanya kelainan pada anak babi
yang dilahirkan. Kelainan tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema
subkutan dan kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi (Sendow &
Bahri, 2005).
6

Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada
testis, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat
diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena
banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa
tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan. Pada ternak lain seperti
kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE sering
tidak tampak, walaupun antibodi terhadap JE tetap dapat terdeteksi (Sendow &
Bahri, 2005).
Diagnosa
Diagnosis infeksi virus JE pada ternak, terutama babi dan manusia dapat
dilakukan berdasarkan data epidemio-logik, gejala klinis, uji serologik, virologik,
patologik dan histopatologik. Dari data epidemiologik dapat diketahui apakah
daerah tersebut termasuk daerah endemis atau bukan. Apabila daerah tersebut
termasuk daerah endemis, maka dapat memperkuat diagnosa JE. Gejala klinis JE
seperti telah diuraikan di atas. Uji serologik meliputi ELISA, hema-glutinasi
inhibisi (HI), serum netralisasi, imunofluoresensi, dan uji pengikatan (fiksasi)
komplemen yang dalam hal ini diperlukan serum pasangan (paired sera) untuk
mengetahui adanya kenaikan titer antibodi JE. Serum pasangan tersebut diambil
dengan selang waktu satu hingga dua minggu. Apabila kenaikan titer lebih besar
dari tiga kali, maka penderita tersebut dinyatakan telah terinfeksi virus JE. Reaksi
silang di antara virus Flavivirus sering terjadi, terutama bila menggunakan uji HI,
fiksasi komplemen atau ELISA, sehingga uji lanjutan yang lebih spesifik masih
perlu dilakukan untuk menentukan apakah antibodi yang ditimbulkannya benar-
benar merupakan akibat infeksi virus JE (Zhang et al., 1990; Widjaja et al., 1995;
Sendow et al., 1997),

Pengobatan
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit JE.
Tindakaan yang dilakukan hanya pemberian obat-obatan secara simptomatis
seperti antipiretik, antikonvulsi, cairan elektrolit, gamma globulin, interferon atau
kortikosteriod perlu dilakukan (Sitepoe M. 2000).

Tindakan Pencegahan dan Pengawasan


Untuk mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia,
maka pemutusan rantai penularan (virus, vektor nyamuk, dan induk semang) perlu
dilakukan. JE dapat menjadi masalah yang sangat serius pada manusia karena
vektor dan virus banyak terdapat di sekitar pemukiman manusia. Babi merupakan
sumber penularan virus JE yang paling baik dibandingkan dengan hewan lain,
sehingga vaksinasi yang efektif dan aman sangat diperlukan. Infeksi JE pada babi
bunting dapat mengakibatkan keguguran, yang akan merugikan peternak. Namun
7

masalah kesehatan masyarakat lebih menonjol, yang dalam hal ini gejala klinis
yang ditimbulkan pada manusia dapat berakibat fatal.

Pengendalian dan pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan 3


pendekatan, Pendekatan pertama, dengan me-lakukan vaksinasi JE pada hewan
dan manusia. Pendekatan kedua, dengan meng-hambat populasi vector.
Pendekatan ketiga, yang merupakan cara yang lebih aman dan efektif untuk
mencegah terjadinya transmisi dari nyamuk ke manusia atau hewan adalah dengan
memindahkan lokasi peternakan babi jauh dari lokasi persawahan.
8

PEMBAHASAN

Virus JE termasuk dalam genus flavivirus, single-stranded ribonucleid


acid (RNA) dan merupakan salah satu etiologi ensefalitis arboviral yang paling
signifikan. Virus JE ditransmisikan ke manusia lewat gigitan nyamuk Culex yang
terinfeksi, paling sering ialah nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Vektor Culex
lainnya ialah Culex vishnui, Culex gelidus dan Culex fuscocephala. Nyamuk
tersebut sangat aktif pada sore dan malam hari sehingga risiko infeksi JE paling
tinggi pada waktu tersebut. Namun dari semua spesies tersebut, hanya beberapa
spesies yang telah terbukti dapat memainkan peranan sebagai transmiter yang
paling baik untuk menularkan JE baik dari hewan ke hewan seperti C.
bitaeniorhynchus (Banerjee et al., 1978); maupun dari hewan ke manusia, seperti
C. tritaeniorhynchus (Somboon et a1., 1989). Diyakini pula bahwa di samping
kedua spesies Culex tersebut bertindak sebagai vektor yang paling potensial,
spesies Culex lainnya juga dapat bertindak sebagai vektor infeksi JE seperti C.
vishnui, C. gelidus, dan C. Antigen atau virus JE dapat dideteksi dengan
"polymerase chain reaction" (PCR), immunofluoresensi atau secara isolasi virus.
Dengan cara tadi dapat dibuktikan bahwa antigen atau virus JE telah ditemukan
pada pool Culex sp., Aedes sp., dan Anopheles sp. (Hasegawa et al., 1975; Van
Peenen et al., 1975a,b; Olson et al., 1985; Somboon et al 1989; Vythilingam et
al., 1995). Nyamuk berkembang biak di tempat-tempat penampungan air terutama
daerah persawahan sehingga meningkatkan risiko infeksi pada daerah pedesaan.
Manusia dan mamalia lainnya seperti kuda merupakan inang terakhir dimana
terjadi low grade viremia dan jangka pendek. Babi dan burung akuatik ialah inang
perantara dimana terjadi high grade viremia dan persisten serta menjadi reservoir
utama virus JE.

Nyamuk menyimpulkan bahwa perbanyakan virus JE terutama terjadi


pada sel-sel epitel usus tengah bagian posterior, sel-sel lemak jaringan lainnya
merupakan penunjang sehingga sel-sel kelenjar ludah menjadi terinfeksi virus
secara berat dan permanent. Virus juga berkembang biak dalam sel-sel ovaria
nyamuk ini. Secara eksperimental terbukti bahwa virus JE dapat ditularkan secara
transovarial pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes togoi. Fluktuasi musiman dari
populasi nyamuk baik yang pradewasa maupun yang dewasa erat kaitannya
dengan fluktuasi epidemi JE. Oleh karena itu penguasaan bionomik suatu vektor
merupakan kunci penting dalam mempelajari epidemiologi penyakit yang
ditularkan vektor dan membuat perencanaan pengendaliannya.

Virus JE awalnya memperbanyak diri di daerah gigitan dan nodus limfa


regional. Dua karakteristik seluler yang penting dalam patogenesis yaitu protein
M yang mengandung domain hidrofobik yang membantu untuk penempelan virus
9

ke dalam sel inang dan protein E yang memiliki fitur imunogenik utama dan
diekspresikan ke dalam membran sel yang terinfeksi. Protein E memediasi fusi
membran antara envelope virus dengan membran sel sehingga virus dapat masuk
ke dalam sel inang. Siklus replikasi virus JE dimulai dari interaksi virus JE
dengan reseptor sel inang, kemudian endositosis yang diperantarai oleh reseptor,
fusi dari membran virus dan sel inang, pelepasan genom virus sitoplasmik dan
dilanjutkan oleh proses transkripsi dan pre-translasi. Maturasi partikel virus
terjadi di dalam kompleks Golgi, diikuti oleh pelepasan virus JE. Pada tingkat sel,
setelah virus JE menempel dengan sel inang, terjadi kerusakan membran lokal
sehingga menyebabkan masuknya virus JE ke dalam sel, kemudian terjadi
viremia pertama yang umumnya berlangsung sebentar dan sangat ringan. Bila
viremia pertama tetap berlangsung maka akan terjadi penyebaran melalui aliran
darah dan menimbulkan perubahan inflamatorik pada jantung, paru, hati, sistem
retikuloendotelial dan SSP yang dapat menimbulkan penyakit subklinis. Di dalam
organ-organ tersebut virus JE akan berkembang biak kemudian akan dilepaskan,
masuk kedalam peredaran darah, dan menimbulkan gejala penyakit sistemik.
Virus JE dapat meningkatkan terjadinya patologi sistem saraf pusat karena efek
neurotoksik langsung ke sel-sel otak dan kemampuannya untuk mencegah
perkembangan sel-sel baru dari sel neuron (neural stem/progenitor cells) sehingga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Pengendalian dan pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan
pendekatan yaitu, dengan melakukan vaksinasi JE. Vaksinasi umumnya diberikan
lebih dari satu kali dan diulang setiap 3 tahun, terutama bagi yang tinggal di
daerah endemik. menghambat populasi vector Populasi vektor dapat dihambat
dengan pemberian insektisida, larvasida, dan predator. Insektisida dan larvasida
dapat digunakan di sekitar pemukiman, kandang ternak, dan sawah yang
merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk yang baik.
10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
JE merupakan penyakit virus yang bersifat zoonosis yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia. Hewan yang merupakan reservoir yang baik bagi virus JE
di antaranya babi, sehingga penempataan lokasi peternakan babi sebaiknya jauh
dari pemukiman penduduk dan persawahan. Untuk mencegah penyakit JE,
pemberian vaksinasi dan babi dara di daerah endemik perlu dilakukan disamping
melakukan pemberantasan sarang-sarang nyamuk. Penetapan relokasi peternakan
yang jauh dari pemukiman penduduk yang padat untuk menghindari kontak
dengan vector. Penerapan sistem karantina yang ketat dengan cara memperketat
pengawasan lalu lintas ternak (khususnya babi) di setiap daerah point of entry.
Pemasukan babi dari negara atau daerah positif JE ke Indonesia secara illegal
perlu diwaspadai. Pemberian larvasida misalnya abate pada air menggenang,
seperti bak air.

Saran
ntuk mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia, maka
pemutusan rantai penularan (virus, vector, nyamuk dan induk semang) perlu
dilakukan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan,
11

DAFTAR PUSTAKA

Adiani. S. podung, J. Albert. 2018. Prevalensi Japanese Enephalitis pada Ternak


Babi Di beberpa Lokasi Peternakan di Sulawesi Utara. Fakultas
peternakan Universitas Ratulangi, Manado.
Banerjee, K., P.K. Deshmukh, M.A. Ilkal, and V. Dhanda. 1978. Transmission of
Japanese encephalitis virus by Culex bitaeniorhynchus giles. Indian J.
Med. Res. (67): 889-893.
Halstead SB, Jacobson J. Japanese Encephalitis. Adv Virus Res 2003;61:103-38.
Unni SK, Ružek D, Chhatbar C, Mishra R, Johri MK, Singh SK. Japanese
encephalitis virus: from genome to infectome. Microbes Infect.
2011;13(4): 312-21.
Sendow, I., S. Bahri, dan A. Sams& 1997. Ancaman infeksi virus JE di
Indonesia. Rapat koordinasi sistem penyakit hewan, Balai Penyidikan
Penyakit Hewan Wilayah IV, Yogyakarta. 27 Juli - 1 Agustus 1997.
Suwasono, H. 1997. Berbagai cara pemberantasan larva Aedes aegypti. Cermin
Dunia Kedokteran. (119): 32-34.
Somboon, P., W. Choochote, C. Kham Boonrwang, P. Keha, P. Swanphanit, K.
Sukontasan, and P. Chaivong. 1989. Studies on the Japanese
encephalitis vectors in Amphoe Muang, Chiang Mai, Northern
Thailand. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 20(1): 9-17.
Zhang, H.L., H.F. Shi, Z.Q. Mi, Z.D. Gong, Z.M. Gou, Z.X. Li, Zr, D.Y. Jia, L.,
H.B. Dao, Z.N. Li, and X.M. Dai. 1990. Natural infection of bats with
Japanese encephalitis virus. Chinese. J. Virol. 6(3): 269-271.

Anda mungkin juga menyukai