Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI KLINIK
yang dilaksanakan di
PRAKTEK DOKTER HEWAN BERSAMA (PDHB)
DRH. CUCU K. SAJUTHI JAKARTA UTARA

KASUS PENYAKIT DALAM I


“Chronic Kidney Disease pada Anjing Pomeranian”

Oleh:
Getty Amura Lafali, S.KH
160130100011033

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

10
KASUS PENYAKIT DALAM I
“Chronic Kidney Disease pada Anjing Pomeranian”
I. Sinyalemen dan Anamnesa

Gambar 1. Anjing Miki (Dokumentasi pribadi, 2017).

Pada hari Rabu tanggal 3 Mei 2017 anjing pomeranian coklat bernama
Miki yang berjenis kelamin jantan, berumur 13 tahun dengan berat badan 5,35
Kg datang ke klinik PDHB Sunter 1 dengan anamnesa mengalami muntah
berwarna kuning sejak tanggal 1 mei 2017 (dua hari sebelumnya), terlihat
lemas, pucat, mulutnya mengelurkan bau yang tidak enak, serta bagian
kakinya terlihat mengalami masalah.
II. Temuan Klinis
Hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa anjing Miki tampak lemah,
pucat, dan selalu menundukkan kepala. Pasien juga mengalami karang gigi
dan beberapa giginya sudah mulai tanggal serta saat diperiksa bagian mulut
berbau ureum. Saat pemeriksaan suhu tubuh didapat suhu tubuhnya 38,6 ºC
dengan frekuensi nafas 60 kali/menit dan frekuensi nadi 124 kali/menit. Saat
dilakukan pemeriksaan pada bagian thorak dengan cara auskultasi didapatkan
suara pernafasan yang dalam dimana inspirasi lebih besar dari ekspirasi
dengan tipe pernafasan thorako-abdominal. Sedangkan saat dilakukan
pemeriksaan sistem peredaran darah diketahui adanya suara murmur dengan
frekuensi jantung 84 kali/menit dengan ritme yang aritmia. Anjing Miki juga
mengalami inkoordinasi gerak dimana kaki belakang tidak bisa berdiri tegak
dan berjalan sempoyongan.
III.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini antara lain
pemeriksaan laboratorium untuk hematologi, kimia darah serta pemeriksaan
urin. Tes darah yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal meliputi

11
Blood Urea Nitrogen (BUN), dan konsentrasi kreatinin. Karena hanya ginjal
yang menghilangkan urea dan kreatinin dari tubuh, peningkatan konsentrasi
urea dan kreatinin menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Selain mengukur
fungsi ginjal, tes lainnya digunakan untuk mengevaluasi anemia dan kelainan
elektrolit. Urinalisis dapat membantu menentukan apakah ginjal bisa
membentuk urin terkonsentrasi, dan memberikan bukti adanya masalah
saluran kemih lainnya seperti infeksi saluran kemih.
Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya peningkatan
jumlah leukosit yaitu 30,7x10^3 /µl. Peningkatan jumlah sel darah putih
(leukositosis) merefleksikan adanya respon terhadap inflamasi ataupun infeksi
di dalam sistem atau organ. Selain itu, leukositosis terjadi biasanya sebagai
akibat dari adanya peningkatan jumlah neutrofil yang bersikulasi. Hal ini
terlihat dari jumlah granulosit yang meningkat yaitu 27,9x10^3/ µl. Sedangkan
penurunan limfosit (limfopenia) dapat terjadi karena stres atau
hiperadrenokortism (glukokortikoid endogen), inflamasi akut, infeksi virus,
maupun imunodefisiensi konginetal (Cowell, 2004).
Pada pemeriksaan ini juga didapatkan penurunan sel darah merah
(RBC), hemoglobin (Hb), hematokrit (HCT), limfosit, serta peningkatan MCH
dan trombosit. Hasil tersebut menunjukkan kondisi anjing Miki terjadi
anemia. Anemia merupakan pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan volume padat sel darah merah atau hematokrit. Kondisi
anemia pada kasus Miki yaitu anemia normositik normokromik, kondisi
tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan fungsi ginjal yang
berlangsung beberapa minggu yang menyebabkan depresi tulang belakang
karena adanya penyakit ginjal yang bersifat kronis. Anemia ini disebabkan
oleh perubahan pada sintesis erythropoietin, yaitu hormon yang mengatur
eritropoiesis pada ginjal. Eritropoietin berfungsi merangsang sumsum tulang
untuk memproduksi sel darah merah, eritropoietin merupakan regulator utama
pembentukan eritrosit (Sasaki, 2003). Anemia yang dialami anjing Miki telah
berakibat pada terganggunya sistem sirkulasi, sehingga menyebabkan adanya
suara endokard atau murmur jantung. Murmur yang terjadi merupakan
murmur fungsional atau ekstrakardial yang berkaitan erat dengan anemia.

12
Ketika darah bersirkulasi kekurangan eritrosit yang berimbas pada kekurangan
hemoglobin, maka kemampuan darah untuk mengangkut O2 dari paru-paru ke
jaringan-jaringan ragawi berkurang, akan tetapi jaringan harus mendapatkan
O2 yang cukup pada jangka waktu tertentu. Maka sebagai kompensasinya
darah harus mengalir cepat dari biasanya. Hal inilah yang menimbulkan suara
sewaktu darah melewati katup-katup jantung dan pembuluh darah-pembuluh
darah besar (Widodo et al., 2011).
Adanya trombositosis pada kasus anjing Miki dikarenakan adanya
peningkatan jumlah trombosis dalam sirkulasi darah. Trombositosis berkaitan
dengan peningkatan resiko thrombosis (pembekuan) dalam sistem pembuluh
darah. Trombositosis primer dapat terjadi pada leukimia atau polisitemia vera
dan penyakit sumsum tulang, sedangkan trombositosis sekunder, antara lain
infeksi, kelebihan exercise, stres, dan ovulasi (Corwin, 2009).
Pada pemeriksaan kimia darah menunjukkan terjadi peningkatan pada
nilai Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin Transaminase (ALT).
Enzim ALT merupakan enzim yang spesifik terdapat dalam sitoplasma
hepatosit sedangkan enzim AST terdapat dalam sitosol dan mitokondria pada
hepar dan muskulus (Salasia dan Hariono, 2010). Peningkatan AST dapat
disebabkan oleh kerusakan otot skeletal, kerusakan otot jantung dan penyakit
pada hepar. Peningkatan ALT dapat disebabkan oleh hepatic lipidosis,
hepatitis, toksin bakteri, neoplasia, hipoksia berat, hyperadenocortism, obat,
dan bahan kimia yang bersifat hepatotoksik (Thrall et al., 2004). Peningkatan
nilai AST dan ALT pada kasus anjing Miki ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya gangguan pada muskulosteletal. Peningkatan nilai Alkaline
Phospatase (ALP) pada kasus ini sebesar 176 U/L. ALP adalah enzim dalam
kanalikuli bilier, ginjal, dan usus halus. Peningkatan ALP dapat disebabkan
oleh penggunaan obat antikonvulsan, peningkatan kortikosteroid, kolestasis,
penyakit pada hepar yang disertai kolestasis, neoplasia hepar, penyakit pada
tulang, penyakit paratiroid dan penyaksit hipertiroid (Latimer, 2011).
Peningkatan ALP sebanyak 2-3 kali biasanya dikarenakan oleh gangguan pada
tulang, sedangkan peningkatan diatas 3 kali nilai normal biasanya disebabkan
karena adanya gangguan pada hepar dan kolestasis (Whalan, 2014).

13
Peningkatan ALP pada anjing Miki belum sampai 3 kali dari batas normal
yang menunjukkan bahwa kemungkinan peningkatan ALP anjing Miki
disebabkan oleh adanya gangguan pada tulang dan hal ini terlihat pada gejala
klinis anjing miki yaitu susah untuk bangun.
Hasil pemeriksaan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin
mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 486,1 mg/dL dan 12,8 mg/dL
pada pemeriksaan pertama (Tabel L1). Kadar normal BUN dan kreatin dalam
darah berkisar antara 10-20 mg/dL dan 1-2 mg/dL. Hal ini dibuktikan oleh bau
ureum yang tercium pada mulut anjing Miki. Tingginya kadar ureum dan
kreatinin dalam darah mengindikasikan adanya kerusakan organ ginjal. Untuk
melihat tingkat keparahan ginjal ini, perlu dilakukan pemeriksaan darah ulang.
Hasil pemeriksaan darah cepat (I-start 1) dalam pemeriksaan kimia darah,
kadar BUN dan kreatinin masih tinggi yaitu >140 mg/dL dan 12,3 mg/dL
(Tabel L3), menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi pada ginjal sudah
parah dan berlangsung kronis. Namun untuk memastikan bagian ginjal mana
yang rusak perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan
ultrasonografi (USG). Hal ini penting untuk mengetahui lokasi kerusakan,
apakah terjadi nefritis, glumerulonefritis, atau nefrolitiasis.
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatin merupakan produk akhir
nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya dieksresikan dalam urin
(Price and Wilson, 2006). Kreatinin merupakan indikator untuk mengukur
Glomerulus Filtration Rate (GFT) dan fungsi ginjal (Heine and Lefebvre,
2007). Peningkatan kadar BUN terjadi akibat adanya dehidrasi, penurunan
perfusi ginjal, gagal jantung, peningkatan konsumsi protein dan keadaan
katabolik (seperti demam, trauma, pendarahan gastrointestinal). Sedangkan
peningkatan kadar kreatinin dapat terjadi akibat kerusakan fungsi ginjal dan
hiperglikemi (Rosner and Bolton, 2006).
Pada pemeriksaan urinalisis hasil menyatakan bahwa kondisi berat
jenis urin pada anjing Miki yaitu 1.013 atau dalam kondisi isosthenuria.
Kondisi isosthenuria adalah kondisi dimana urin berada pada berat jenis
1.008-1.015 dan apabila dalam kasus ini terjadi azotemia maka terdapat
kerusakan atau abnormalitas pada fungsi ginjal (Isrina dan Hariono, 2016).

14
Selanjutnya, pada kondisi gagal ginjal terjadi gangguan metabolisme kalsium
dan phospor. Kedua kadar elektrolit tersebut memiliki mekanisme kerja yang
berlawanan. Peningkatan kadar phospor dan penurunan kadar kalsium ini yang
dapat menyebabkan penurunan filtrasi dan ekskresi pada ginjal (Matsell,
1998). Penurunan ekskresi pada ginjal menyebabkan muatan asam (H+) tidak
di keluarkan oleh tubuh dan akan terus meningkat, selain itu ginjal juga tidak
dapat mensekresikan amonia (NH3+) serta mengabsorbsi natrium bikarbonat
(HCO3-) yang mengakibatkan tingginya akumulasi asam dalam tubuh yang
biasa disebut dengan asidosis metabolisme. Maka akumulasi dari phospor
yang tinggi dan asam yang tinggi (asidosis metabolik) ini yang menyebabkan
nilai anion GAP meningkat. Nilai anion GAP menjadi sangat penting dalam
penentuan status asam basa di dalam tubuh hewan (Anna dkk., 2012).
Peningkatan BUN dan kreatinin yang signifikan pada kasus anjing
Miki ini kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan pada ginjal. Tabel 1
menunjukkan stadium penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) berdasarkan
nilai kreatinin. Anjing Miki termasuk dalam stadium IV atau stadium end
stage sehingga dapat dikategorikan bahwa penyakit ginjal anjing Miki bersifat
kronis. Peningkatan kadar BUN dan kreatin pada anjing Miki mengakibatkan
kondisi azotemia. Azotemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan
konsentasi urea dan kreatin pada cairan ekstraseluler (Sodikoff, 2012).
Azotemia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pre-renal azotemia, renal
azotemia, dan post-renal azotemia. Pada pre-renal azotemia yaitu terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal karena dehidrasi, hipovolemia, dan
insufisiensi jantung (Salasia dan Hariono, 2010). Penyebab pre-renal azotemia
dapat didasarkan dari hasil pemeriksaan phospor yang juga meningkat selain
peningkatan ureum dan kreatinin, atau bisa dikarenakan diet tinggi protein,
dehidrasi maupun shock (Willard and Tvendten, 2012). Renal azotemia
disebabkan oleh penurunan GFR dan >75% nefron tidak berfungsi, sedangkan
post-renal azotemia disebabkan oleh gangguan eliminasi urin dari tubuh
karena adanya obstruksi atau ruptur vesika urinaria (Kahn, 2010). Kondisi
azotemia pada kasus Miki ini kemungkinan merupakan azotemia pre-renal
yang ditandai dengan peningkatan kadar phospor, ureum, dan kreatin.

15
Tabel 1. Stadium CKD pada anjing dan kucing berdasarkan nilai kreatin
(International Renal Interest Society/IRIS, 2013)
Jumlah Kreatinin mg/dL
Stadium
Anjing Kucing
I < 1,4 < 1,6
II 1,4 - 2,0 1,6 – 2,8
III 2,1 – 5,0 2,9 – 5,0
IV > 5,0 > 5,0

Tingginya kadar ureum dalam darah dapat menjadi toksin yang dapat
menyebabkan beberapa gangguan yaitu uremic gastropathy (gejala klinis
berupa muntah dan anoreksia), uremic stomatitis (gejala klinis berupa
stomatitis, nekrosa lidah, dan nafas bau ureum), uremic enterocolitis (gejala
klinis berupa diare) (Vaden, 2010). Toksin akibat tingginya kadar ureum juga
dapat menyebabkan uremic pneumonia dan uremic enchelopathy yang dapat
mempengaruhi saraf (Elliot and Grauer, 2007). Pada kasus anjing Miki, kadar
ureum dan kreatin yang tinggi menyebabkan beberapa kasus uremic diatas
yang ditandai dengan gejala klinis berupa muntah, anoreksia, adanya ulcer
pada lidah gusi serta bibir, nafas bau ureum, diare, hingga gangguan saraf
seperti jalan yang sempoyongan atau inkoordinasi pada anggota gerak.
IV. Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan lanjutan
yaitu pemeriksaan darah, kimia darah, urin, dan elektrolit didapatkan bahwa
anjing Miki diduga mengalami Chronic Kidney Disease. Gejala klinis yang
tampak pada kasus anjing miki yaitu dehidrasi, anoreksia, kurus, lemah, lesu,
mukosa dan selaput lendir pucat serta adanya stomatitis. Selain itu dari
pemeriksaan darah ditemukan terjadinya anemia (karena RBC, hemoglobin
dan hematokrit yang menurun). Dalam pemeriksaan urin juga ditemukan
kadar BUN dan kreatin yang tinggi yang dapat mengindikasikan bahwa terjadi
kerusakan ginjal yang bersifat kronis.
V. Pembahasan Chronic Kidney Disease
Ginjal atau ren (reno) merupakan salah satu organ yang berperan
dalam pemeliharaan homeostasis melalui pengaturan keseimbangan asam
basa, pemeliharaan isotonis, pengaturan pH darah dan pembuangan metabolit
atau produk akhir dari seluruh rangkaian metabolisme atau sebagai sistem
filtrasi di dalam tubuh (Widodo, dkk., 2011). Ginjal terdiri dari ratusan hingga

16
ribuan sel-sel nefron yang fungsinya menyaring produk sisa dari aliran darah
yang diekskresikan dalam bentuk urin, dan juga berfungsi memproduksi
beberapa hormon seperti erythropoietin yang menstimulasi produksi sel darah
merah, maka ketika terjadi abnormalitas pada ginjal, produksi sel darah pun
ikut menurun yang akhirnya menyebabkan terjadinya anemia. Anemia
merupakan permasalahan umum yang terjadi pada anjing dengan kondisi
penyakit ginjal. Tingkat keparahan anemia sebanding dengan tingkat
keparahan penyakit ginjal yang terlihat pada nilai BUN dan kreatinin
(Aspinall dan O’Reilley, 2004).
Gagal ginjal dibagi menjadi dua gilongan, yaitu Acute Kidney Disease
(AKD) adalah suatu sindrom akibat kerusakan metabolik atau patologik pada
ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam
waktu beberapa hari atau beberapa minggu dengan atau tanpa oligura sehingga
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tubuh, sedangkan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
menahun, berlangsung progresif yang akhirnya akan mencapai gagal ginjal
terminal (Dunn, 2000). Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu
kondisi dimana ginjal mengalami penurunan kinerja secara progresif sehingga
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan
dan elektrolit, dimana penyakit ini bersifat persisten dan irreversibel
(Suhardjono, 2001). Perbedaan antara Acute Kidney Disease (AKD) dan
Chronic Kidney Disease (CKD) dapat dilihat pada Tabel 2 (Nelson and Couto,
2003).
Tabel 2. Perbedaan Acute Kidney Disease (AKD) dan Chronic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease
Perbedaan Acute Kidney Disease (AKD)
(CKD)
Riwayat Iskemia, paparan toksik Gangguan ginjal (PUPD)
Eritrosit Normal/peningkatan Anemia nonregeneratif
hematokrit
Ukuran Pembesaran ginjal/normal Atropi ginjal
Ginjal
Kadar Hyperkalemia (dengan Normal/Hypokalemia
Kalium oligouria)
Berat Badan Stabil Penurunan BB
Volume Urine Berubah-ubah Polyuria

17
Penyebab terjadinya CKD tidak diketahui. Penyebab yang mendasari
CKD bermacam-macam seperti penyakit glumerulus baik primer maupun
sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis, dan obstruksi saluran kemih
(Suhardjono, 2001). Menurut Steven (2002), beberapa penyebab yang
berpotensi menyebabkan terjadinya CKD yaitu usia, genetik, lingkungan,
malformasi konginetal ginjal, (cacat lahir), infeksi bakteri kronis ginjal dengan
atau tanpa batu ginjal (pielonefritis), tekanan darah tinggi (hipertensi),
penyakit yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh (seperti
glomerulonefritis, systemic lupus), penyakit ginjal akut dan obat-obatan
tertentu seperti NSAID. Jika dilihat dari rekam medisnya, anjing Miki tidak
memiliki riwayat penyakit yang dapat menyebabkan kejadian CKD. Pada
kasus anjing Miki, CKD kemungkinan disebabkan karena faktor usia yang
sudah tua, yaitu 13 tahun, sehingga fungsi ginjal sudah menurun.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua mekanisme
kerusakan, yaitu mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan
selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonefritis, atau paparan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstinum. Mekanisme yang kedua yaitu mekanisme kerusakan progresif
yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Ginjal memiliki ± 1 juta nefron, dan masing-masing memiliki
kontribusi terhadap total Glomerulo Filtrat Rate (GFR). Pada saat terjadinya
renal injury karena etiologi penyebab CKD, pada awalnya ginjal masih
memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya
nefron sehat yang tersisa akan mengalami kegagalan dalam mengatur
autoregulasi tekanan glomerular dan akan menyebabkan hipertensi siskemik
dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan
hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini
akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia
akibat sekresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini
akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat
progresi dari gagal ginjal. Reabsorbsi protein pada sel tubuloepitelial dapat

18
menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth factor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi
dan fibrosis tubulointerstitial melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ekstraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi
kolagen tubulointesstitial, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal
yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi
penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron. Kerusakan struktur ginjal
tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-
ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan
ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, dan hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah
bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoietin (EPO),
menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem
imun, dan sistem reproduksi.
Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai menjadi angiotensin II
dikenal dengan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). Sistem tersebut
memegang peranan penting dalam patogenesa hipertensi baik sebagai salah
satu penyebab timbulnya hipertensi, maupun dalam perjalanan penyakitnya.
RAAS merupakan sistem hormonal yang kompleks berperan dalam
mengontrol sistem kardiovaskular, ginjal, kelenjar adrenal, dan regulasi
tekanan darah. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan
tekanan interglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara
lokal di ginjal dan merupakan vasokontriktor kuat yang akan mengatur
tekanan interglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent.
Angitensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adhesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi Chronic Kidney
Disease (Kostova, 2005).
Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan ginjal tidak mampu
mengekskresikan zat-zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul

19
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menimbulkan FGF-23, growth factor
ini akan menyebabkan inhibisi 1-α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam
sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun
akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback
negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon
parathormon. Akhirnya akan menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang
sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoietin yang akan
menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan
menyebabkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa
cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan oedem dan hipertensi. Penurunan ekskresi kalium ini akan
menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya cardiac
arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD,
ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal
untuk mengekskresi asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion-anion lain
yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat
menyebabkan gangguan metabolisme protein. Pada CKD, juga dijumpai
penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia.
Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum,
kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar
keseluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf
pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan
resiko perdarahan spontan terutama pada saluran pencernaan dan dapat
berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak benar. Uremia bila
sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal-gatal. Pada CKD akan
terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem

20
imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula
darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya
aterosklerosis, yang pada akhirnya menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
Munculnya bau khas yang keluar dari mulut, disebabkan karena ureum yang
berlebih pada air liur. Oleh bakteri di mulut, ureum akan diubah menjadi
amoniak, sehingga nafas dan mulut bau amoniak. Selain itu juga dapat
menyebabkan timbulnya luka-luka kecil pada bibir.
Gejala klinis anjing yang mengalami CKD yaitu poliuri (PU),
Polidipsia (PD), anoreksia, dehidrasi, lethargi, penurunan berat badan, vomit,
nafas bau ureum (O’neil et al., 2013). Chronic Kidney Disease (CKD) dapat
menyebabkan timbulnya berbagai manifestasi yang kompleks diantaranya
penumpukan cairan, edema paru, edema perifer, kelebihan toksik uremik,
hipokalemia, hiponatremia, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
kalsium fosfat semakin lama mengakibatkan demineralisasi tulang neuropati
perifer, pruritus, pernafasan dangkal, anoreksia, vomit dan lethargi (Suwitra,
2007).
Tanda-tanda yang terlihat pada kasus anjing miki sesuai dengan
literature, diantaranya yaitu dehidrasi, lemah, anoreksia, nafas bau ureum,
mukosa dan slaput lender pucat, vomit. Pada gagal ginjal kronik, produk akhir
metabolism protein yang normalnya di ekskresikan ke dalam urin tertimbun
dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat.
Diagnosa terhadap penyakit CKD dapat dilihat dari temuan klinis yang
didapat saat memeriksa hewan dengan ditunjang beberapa hasil pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan biokimia darah, urinalisis, radiografi pada
abdomen, USG, renal biopsy, fine needle aspirasi, dan juga sitologi
(Suhardjono, 2001). Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang dilakukan

21
adalah pemeriksaan darah dan urin. Kelainan yang tampak pada pemeriksaan
darah dan urin meliputi:
a. Anemia tanpa respon tubuh terhadap penurunan eritrosit (anemia non-
regeneratif)
b. Azotemia yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatin dan BUN
pada pemeriksaan kimia darah
c. Peningkatan fosfor
d. Kalsium sering normal tetapi dapat meningkat pada beberapa kasus
CKD
e. Konsistensi urin yang encer
f. +/- protein atau bakteri dalam urin
Rendahnya kadar limfosit disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
adalah kekurangan gizi, stres berlebihan, dan anemia akibat terganggunya sel-
sel darah di sumsum tulang. Adanya stres ini dapat menyebabkan limfosit
terlambat masuk ke sirkulasi darah dan akhirnya tetap di jaringan tubuh.
Selain itu limfopenia juga dapat disebabkan karena penyakit hati, penyakit
ginjal, penyakit pencernaan, obstruksi pada saluran urinasi, respirasi, empedu,
trauma, dan pasca operasi (Menkes, 2011).
Sedangkan pada hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan
terjadinya peningkatan yang cukup nyata dari kadar BUN dan kreatinin di
dalam darah. Kenaikan kadar BUN dan kreatinin dalam darah juga
menunjukkan bahwa anjing Miki mengalami azotemia. Azotemia merupakan
peningkatan konsentrasi urea dan kreatinin pada cairan ekstraseluler. Urea dan
kreatinin tersebut merupakan produk endogen non protein nitrogen yang di
ekskresikan di ginjal, sehingga terjadinya peningkatan urea dan kreatinin yang
nyata merujuk pada gangguan ginjal (Bartges dan Polzin, 2011). Kreatinin
merupakan produk sisa dari perombakan kreatin fosfat yang terjadi di otot.
Kreatin adalah zat racun dalam darah, terjadi pada pasien yang ginjalnya
sudah tidak berfungsi dengan normal, akumulasi ureum di dalam sirkulasi
menyebabkan toksisitas pada berbagai organ, termasuk hati. Induksi toksin
menyebabkan kerusakan subletal pada hepatosit dan mengakibatkan
terbebasnya enzim-enzim hati (Thrall et al., 2012).

22
VI. Terapi
Terapi CKD bertujuan untuk mencegah penurunan fungsi ginjal lebih
lanjut, mengobati efek yang menyertai gagal ginjal dan memperlambat
penurunan fungsi ginjal (Polzin, 2011). Terapi diet pakan untuk CKD yaitu
rendah protein, fosfor, sodium, mengandung vitamin B dan fiber yang tinggi,
mengandung omega-3 dan antioksidan (Polzin, 2013). Peranan terapi diet
rendah protein bertujuan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia
(Sukandar, 2006). Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremia (Suwitra, 200). Menurut Chew et al. (2011), terapi untuk
CKD yaitu diet pakan renal untuk renoprotection, H2-receptor bloker/proton
pump inhibitor untuk mengatasi vomit (famotidine, ranitidine, omeprazol),
calcium channel blocker (amlodopine) dan ACE-inhibitor (enalapril,
benazepril) untuk terapi hipertensi, calcimimetics untuk mengobati toxin
uremia, appetide stimulants (mirtazapine, cyproheptadine).
Terapi yang diberikan pada anjing miki adalah pemberian obat-obatan
yang bersifat suportif, diet pakan dan terapi cairan. Pemberian terapi cairan
yaitu dengan cairan ringer lactate. Pemberian diet pakan yaitu Royal canin
Veterinary Diet® Renal SupportTM, yang mendukung fungsi ginjal melalui
kandungan kadar protein rendah dan fosfor yang rendah serta mengandung
asam lemak omega-3 yang membantu menurunkan tekanan glomerulus dan
memperlambat penurunan progresif GFR.
Terapi yang diberikan pada anjing miki untuk kidneyprotective
menggunakan Ornipural yang mengandung Betaine 15 mg, Arginine 33,3 mg,
Ornithine 11,8 mg, Citrulline 10 mg, Sorbitol 200 mg, Metacresol 3 mg.
Suplemen ini diberikan untuk stimulasi aktivitas hepatodigestive pada
gangguan pencernaan dan gagal ginjal pada anjing miki. Suplemen ini
diberikan sebanyak 2 ml secara IM, SC atau IV. Terapi antibiotik pada anjing
miki menggunakan Ampisilin (ampicillin) yaitu antibiotik golongan beta
laktam termasuk keluarga penisillinum yang mempunyai spectrum luas, aktif
terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif. Ampisilin adalah
bakteriocidal yang bekerja dengan cara menghambat secara irreversible
aktivitas enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sintesis dinding sel

23
bakteri. Ampisilin secara spesifik menghambat proses sintesis dinding sel
bakteri yang merupakan awal dari kehancuran sel bakteri tersebut. Antibiotik
ampisilin ini menurut aturan diberikan dengan dosis 10-20 mg/kg berat badan
dan anjing miki ini diberikan antibiotik 0,09 ml secara intramuskular sebagai
pencegahan adanya infeksi sekunder pada anjing miki.
Terapi untuk mengobati vomit pada anjing miki yaitu Ondansetron dan
inpepsa®. Ondansentron adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan
mengobati mual dan muntah pada anjing miki. Mual dan muntah disebabkan
oleh senyawa alami tubuh yang bernama serotonin. Serotonin akan bereaksi
terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak dan membuat
terjadinya rasa mual. Ondansentron akan menghambat serotonin bereaksi pada
reseptor 5HT3 sehingga membuat tidak terjadinya mual dan berhenti muntah.
Dosis pada anjing yaitu 0,1-1mg/kg, pada anjing miki diberikan dosis 0,5mg.
Inpepsa mengandung sukralfat berfungsi sebagai (Tennant, 2002). Sukralfat
dapat berfungsi untuk menurunkan kadar fosfat pada pasien gangguan ginjal
yang mengalami hiperfosfatemia (Plumb, 2011). Dosis yang diberikan pada
anjing miki yaitu 5 ml.
Pemberian multivitamin pada anjing miki yaitu Neurobion, memiliki
komposisi beberapa vitamin B, antara lain vitamin B1, vitamin B6, dan
vitamin B12. Neurobion digunakan untuk memperbaiki metabolisme tubuh
dan memenuhi kebutuhan sehari-hari akan vitamin B komplek. Khusus untuk
vitamin B6 dan B12, vitamin ini diperlukan dalam pembentukan dan
kematangan sel darah merah. Obat ini digunakan dalam mencegah terjadinya
anemia pada anjing miki dengan dosis 20ug/kg dan diberikan secara IM atau
SC. Terapi diare untuk anjing miki menggunakan Lacbon. Lacbon yang berisi
lactobacilus sporogenes > 50 juta, merupakan obat untuk saluran cerna
(Setyabudi, 2008). Obat ini digunakan untuk mengurangi diare yang dialami
oleh anjing miki. Terapi probiotik suplemen digunakan untuk mengurangi
azotemia yang terjadi (McCain et., all, 2011), pada anjing miki menggunakan
Azodyl.
Kondisi anjing miki selama perawatan tidak menunjukkan
perkembangan progesif ke arah sehat, dan pada tanggal 7 Mei 2017 anjing

24
miki meninggal. Hal ini kemungkinan akibat penyakit anjing miki sudah
dalam stadium end stage.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Sudarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Penerbit


Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

25
Chew DJ, S,P Dibartola. 2011. Canine and Feline Nephrology and Urology. 2nd
Edition. Elsevier Saunders: USA.
Gitawati, Retno. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media
Litbang Voolume XVII Nomor IV hal : 4.
McCain et., al. 2011. The Effect A Probiotic On Blood Urea Nitrogen And
Creatinine Concentrations in Large Felids. Journal of Zoo and Wildlife
Medicine 42(3): 426-429.
Pasquini A, E Luchetti. 2008. Plasma lipoprotein concentrations in the dog: the
effect of gender, age, breed and diet. J Anim Physiol Anim Nutr
(Berl).92(6): 718-722.
Plumb DC. 2011. Veterinary Drug Hanbook. 7th Edition. Pharma Vet Inc:
Stockholm, Wisconsin.
Polzin DJ. 2011. Chronic Kidney Disease in Small Animal. J Vet Clin Small Anim,
41: 15-30
Polzin DJ. 2013. Evidence-based step-wise approach to managing chronic kidney
disease in dogs and cats. J Vet Emergc and Crits Car. 23(2):205-215.
Sukandar E. 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unpad: Bandung.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
Tennant B. 2002. BSAVA Small Animal Formulary 4th Edition. British Small
Animal Veterinary Association: UK.
O’Neill DG, J Elliott. 2013. Chronic Kidney Disease in Dogs in UK veterinary
practices: prevalence, risk factors, and survival. J Vet Intern Med.
27(4):814-821.
IRIS. 2016. IRIS staging CKD. international renal interest society. USA

LAMPIRAN I
Hasil Physical Examination
A. Signalement

Nama : Miki
Jenis hewan : Anjing

26
Ras/breed : Pomerian campur
Nama Pemilik : Tini Pohari
Alamat : Jln. Palem Sirai Raya No. 2, Palem Sari, Karawaci,
Tangerang
Warna rambut : Cream
Jenis kelamin : Jantan
Usia : 13 tahun
Berat badan : 5,35 kg
B. Status Present
1. Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Gizi : Baik
Sikap berdiri : Tidak bisa berdiri, lemah
Suhu per rektal : 38,60C
Frekuensi nadi : 124 kali/menit
Frekuensi nafas : 60 kali/menit
2. Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Halus
Kerontokan : Tidak ada kerontokan
Kebotakan : Tidak ada kebotakan
Turgor kulit : Kurang dari 2 detik
Permukaan kulit : Pigmentasi normal, tidak ada perubahan
Bau kulit : Khas kulit
3. Kepala dan Leher
a. Inspeksi
Ekspresi wajah : Lesu dan lemah
Pertulangan wajah : Kompak
Posisi tegak telinga : Telinga tegak tidak simetris
Posisi kepala : menunduk
b. Palpasi
Mata dan Orbita Kiri
Palpebrae : Membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Melengkung
Konjunktiva : Pucat
Membran nictitans : Terlihat
Mata dan Orbita Kanan
Palpebrae : Membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Melengkung
Konjunktiva : Pucat
Membran nictitans : Terlihat
Bola Mata Kiri
Sklera : Putih
Kornea : Jernih
Iris : Tidak ada kelainan, berwarna coklat

27
Refleks pupil : Baik
Vasa injeksio : Ada
Lensa : Jernih
Limbus : Rata, tidak bergerigi
Bola Mata Kanan
Sklera : Putih
Kornea : Jernih
Iris : Tidak ada kelainan, berwarna coklat
Refleks pupil : Baik
Vasa injeksio : Ada
Lensa : Jernih
Limbus : Rata, tidak bergerigi
Hidung dan sinus
Bentuk : Simetris
Aliran udara : Aliran udara bebas di kedua cavum
Mulut dan rongga mulut
Defek bibir : Tidak ada
Mukosa mulut : Pucat
Telinga
Posisi : Keduanya tegakk
Bau : Khas serumen
Daun telinga : Bersih
Krepitasi : Tidak ada
Reflek panggilan : Tidak ada reflek
Leher
Perototan : Kompak
Trachea : Teraba, tidak ada reflek batuk
Esofagus : Tidak teraba
Kelenjar Pertahanan
Ln. Retropharyngeal : Teraba
Ln. Mandibularis : Teraba
Ln. Axilaris : Teraba
Ln. Inguinalis : Teraba
Ln. Poplitea : Teraba
4. Thoraks
a. Sistem pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks: Simetris
Tipe pernafasan : Thracoabdominal
Ritme pernafasan : Ritmis
Intensitas : Cepat dan dangkal
Frekuensi : 60 kali/menit
Trakhea : Teraba
Batuk : Tidak ada

Palpasi
Penekanan rongga thoraks : Tidak ada reflek kesakitan
Penekanan intercostal : Tidak ada reflek kesakitan

28
Auskultasi
Suara pernafasan :
Suara ikutan :
b. Sistem peredaran Darah
Inspeksi
Ictus cordi : tidak ada
Auskultasi
Frekuensi : 84 kali/menit
Intensitas : sedang
Suara ikutan : Murmur
Ritme : Aritmia
5. Abdmen dan Organ Pencernaan
Inspeksi
Ukuran rongga abdomen : Tidak ada pembesaran
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi
Tegangan isi perut : Tegang
Auskultasi
Suara peristaltic usus : Tidak terdengar
Anus
Daerah sekitar anus : Kotor
Refleks sphincter ani : Ada reflek
Kebersihan perineal : Kotor
6. Sistem Urogenital (Jantan)
Inspeksi dan Palpasi
Preputium : Bersih tidak ada pembesaran
Scrotum : Bersih monorchid
Mukosa penis : Bersih tidak ada kelainan
7. Alat Gerak
Inspeksi
Perototan kaki depan : Kompak
Perototan kaki belakang: Kompak
Spasmus/Tremor otot : Tidak ada spasmus
Kuku kaki : Tidak ada kelainan
Kesimetrisan : Simetris
Kordinatif gerakan : Sempoyongan
Palpasi
Struktur pertulangan
a. Kaki depan kiri dan kanan : Tidak ada kelaianan
b. Kaki belakang kiri dan kanan : Tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : Padat
Reaksi saat palpasi : Tidak ada reflek sakit
Letak rasa sakit :-
C. Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosa : Chronic Kidney Disease
Diagnosa Banding : Acute Kidney Disease

29
LAMPIRAN II
Data Pemeriksaan Rekam Medis
Tabel L1. Data Pemeriksaan Rekam Medis
Hari, Tanggal Kondisi Umum (Appetite, Stool, Pengobatan
Hydration, Temperature, Improvent,
etc)
Kamis, Pagi  Ampicilin 0,09 cc
4 Mei 2017  Temperatur: 38,4 ºC  Ondansetron 0,5 cc
 Makan: disuap tidak lahap  Neurobion 0,5 cc
 Selaput lendir: pucat  Ornipural 2 cc
 Habitus: lesu  Azodyl
 Muntah: tidak ada, nausea  Inpepsa
 Defekasi: diare (+)  Lacbon
 Blood pressure: 151/92
 MAP: 108
 HR: 113
Sore
 Temperatur: 38 ºC
 Makan: disuap disease rehat blend
sedikit
 Selaput lendir: pucat
 Habitus: lesu
 Muntah: tidak ada, nausea (++)
 Defekasi: diare berwarna kehijauan
 Infus: baik
 Abdomen: tegang
 Pernafasan: ada bersin
 Jantung: cor irregular murmur 2/6

30
Jumat, Pagi  Ampicilin 0,09 cc
5 Mei 2017  Temperatur: 38,2 ºC  Ondansetron 0,5 cc
 Makan: disuap renal blend sedikit  Neurobion 0,5 cc
 Selaput lendir: pucat  Ornipural 2 cc
 Habitus: lesu  Azodyl
 Muntah: ada (+), nausea  Inpepsa
 Defekasi: diare (-)  Lacbon
 Abdomen: tegang
 Jantung: cor irregular murmur
 Infus: baik
Sore
 Temperatur: 38,4 ºC
 Makan: disuap makan
 Selaput lendir: pucat
 Habitus: lesu sekali
 Muntah: nausea
 Infus: baik
 Pernafasan: sesak
Sabtu, Pagi  Ampicilin 0,09 cc
6 Mei 2017  Temperatur: 38,3 ºC  Ondansetron 0,5 cc
 Makan: disuap makan renal blend  Neurobion 0,5 cc
sedikit (tidak lahap), menelan masih  Ornipural 2 cc
baik  Azodyl
 Selaput lendir: pucat  Inpepsa
 Habitus: lesu  Lacbon
 Defekasi: diare
 Pernafasan: sesak
 Infus: baik
Sore
 Temperatur: 38,8 ºC
 Makan: disuap makan sedikit, tidak
lahap
 Selaput lendir: pucat
 Habitus: lesu, berdiri sempoyongan
 Pernafasan: sesak
 Defekasi: diare (-)
 Infus: baik
Minggu. Pagi  Ampicilin 0,09 cc
7 Mei 2017  Temperatur: 38,1 ºC  Ondansetron 0,5 cc
 Makan: disuap makan sedikit, tidak  Neurobion 0,5 cc
lahap  Ornipural 2 cc
 Selaput lendir: pucat  Azodyl
 Habitus: lesu  Inpepsa
 Pernafasan: sesak  Lacbon
 Defekasi: diare (-)  IV Cateter
 Infus: baik
 Anus: iritasi perianal
 Blood pressure: 158/88
 MAP: 110
 Heart Rate: 104
Sore
 Temperatur: 38 ºC

31
 Makan: reflek menelan tidak ada
 Selaput lendir: pucat pasi, lidah biru
 Pernafasan: sesak
 Defekasi: diare
 Anus: iritasi perianal

Meninggal pukul 17.20 WIB

LAMPIRAN III
Pemeriksaan Penunjang
Tabel L2. Pemeriksaan Darah Tanggal 03 Mei 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran Normal Anjing


Hematologi
Sel Darah Putih (WBC) 30,7 10^ 3/µl 6.0-17.0
Sel Darah Merah (RBC) 3,49 10^ 6/ µl 5.5-8.5
Hemoglobin (HB) 8,8 g/dl 12.0-18.0
Hematokrit (HCT) 25,6 % 37.0-55.0
MCV 73,4 Ft 60.0-77.0
MCH 25,2 Pg 19.5-24.5
MCHC 34,4 g/dl 32.0-36.0
Trombosit (PLT) 506 10^3/ µl 200-500
Limfosit 9 % 12.0-30.0
Monosit - % 3.0-10.0
Eosinofil - % 2.0-10.0
Granulosit 91 % 60.0-80.0
Limfosit 2,8 10^ 3/ µl 1.0-4.8
Monosit - 10^ 3/ µl 0.15-1.35
Eosinofil - 10^ 3/ µl 0.01-1.25
Granulosit 27,9 10^ 3/ µl 3.5-14.0
RDW 13 % 12.0-16.0
PCT 0,38 % 0.0-2.9
MPV 7,5 Fl 6.7-11.0
PDW 15,5 % 0.0-50.0
Kimia Darah
AST/SGOT 62 U/L 8.9-48.5
ALT/SGPT 131 U/L 8.2-57.3
Ureum/(BUN) 486,1 mg/dl 10-20
Kreatinin 12,8 mg/dl 1-2

32
Total Protein 6,3 g/gl 5,4-7,5
Albumin 3 g/dl 2.6-4.0
Globulin 3,3 g/dl 2.7-4.4
Ratio A/G 0,91 0.6-1.1
Total Bilirubin 0,129 Mg/dl 0.07-0.61
Alkalin Phospatase (ALP) 176 U/L 10.6-100.7
Glukosa 90,1 Mg/dl 60-100
Tabel L3. Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran Normal Anjing


Urin
Warna Kuning muda
Konsistensi Encer
Berat Jenis 1.013 1.015-1.045
pH 5 5.0-7.0
Lekosit - Leuko/ul
Nitrit - Negatif/positif
Protein 1+ (30) Mg/dl
Glukosa - Mg/dl
Keton - Negatif/positif
Urobilingen - Mg/dl
Bilirubin - Negatif/positif
Darah - Ca.Ery/ul
Hemoglobin - Ca.Ery/ul
Tabel L4. Pemeriksaan Darah Cepat (I-Stat 1) Tanggal 5 Mei 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Kisaran Normal Anjing


Sodium (Na) 145 mmol/L 142-152
Pottasium (K) 4,6 mmol/L 3.9-5.1
Chloride (Cl) 115 mmol/L 110-124
Ionized Calcium 0,94 mmol/L 1.2-1.5
(iCa)
TCO2 16 mmol/L 14-26
Glucosa 98 mg/dl 76-119
Urea Nitrogen (BUN) >140 mg/dl 8-28
Creatinin 12,3 mg/dl 0.5-1.7
Hematocrit (Hct) 21 %PCV 35-57
Hemoglobin (Hb) 7,1 g/dl 11.9-18.9
Anion Gap 20 mmol/L 5-17
Elektrolit:
Phospor 32,6 mg/dL 2.6-6.8

33

Anda mungkin juga menyukai