Disusun Oleh:
Kelompok C11
PPDH Periode 1 Tahun 2020/2021
Anamnesa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paras et al. (2019), kucing yang
berjumlah 60 ekor diperoleh dari ambulans veteriner untuk hewan kecil
“MIMCOOP”, Banja Luka. Anamnesa diperoleh berdasarkan keterangan subjektif
dari pemilik kucing. Sebanyak 40 dari 60 ekor kucing yang diamati menderita
CRF, dan 20 ekor kucing lainnya dinyatakan sehat atau tidak menderita CRF.
Kucing yang didiagnosis mengalami CRF sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan sampel darah (hematologi), serta dilakukan
monitoring selama tiga tahun. Sampel darah diambil dari vena cephalica
antebrachii kemudian dianalisis menggunakan VETSCIL analyser. Parameter
yang digunakan dalam pemeriksaan hematologi yaitu jumlah eritrosit, trombosit,
total leukosit, total perhitungan diferensial leukosit, limfosit, monosit, granulosit,
eosinofil, konsentrasi haemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, MCHC, dan
level kreatinin serta urea.
Sinyalemen
Kucing yang menderita CRF dalam penelitian oleh Paras et al. (2019)
mengalami penurunan nafsu makan sehingga tampak kurus. Kucing terlihat
apatis, tidak menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan, dan mudah
mengantuk. Udara saat kucing bernapas memiliki bau seperti urin.
Latar belakang
TINJAUAN KASUS
Etiologi
Chronic Renal Failure (CRF) merupakan salah satu penyakit yang biasa
diderita oleh hewan tua (Plotnick 2007). Penyakit ini juga merupakan penyakit
mematikan pada hewan kesayangan. Prevalensi penyakit ini akan mengingkat
sering dengan pertambahan umur hewan, dimana gejala utama penyakit ini ialah
azotemia, memiliki prevalensi sebesar 15% pada kucing yang berusia 15 tahun ke
atas (Syme et al. 2006).
CRF dapat didefinisikan sebagai hilangnya fungsi ginjal secara progresif
dan bersifat ireversibel selama jangka waktu yang relatif lama. Hilangnya fungsi
ginjal ini disebabkan rusaknya nefron pada ginjal. Rusaknya nefron pada ginjal
dapat sebanyak 2/3 sampai 4/5, nefron yang tersisa akan berusaha
mempertahankan homeostatis tubuh. Perubahan dari hasil laboratorium urin dan
darah juga dapat dipengaruhi oleh rusaknya sebagian besar nefron (Hughes et al.
2002). Rusaknya ginjal berkali-kali tanpa penyebab yang tidak diketahui membuat
nefron menjadi rusak (Plotnick 2007).
Deteksi awal dari CRF sangat sulit untuk dilakukan. Pada subklinis, nefron
mulai rusak, hewan tidak memnunjukan gejala klinis. Serta, pada gejala klinis
yang parah tidak selalu sesuai dengan hasil dari tes laboratorium karena hasilnya
berubah-ubah di setiap tahap CRF (Hughes et al. 2002). Namun, CRF masih dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, mild, moderate, dan severe dengan melihat
gejala klinis yang ditemukan dan hasil tes laboratorium dengan menghitung kadar
konsentrasi kreatin pada urin. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan karena sulit
untuk memperbaiki nefron yang telah rusak kecuali dengan transplantasi ginjal
(Plotnick 2007).
Kausa
Gejala Klinis
Gejala klinis sering tidak muncul pada tahap awal atau subklinis dan lebih
sering muncul saat penyakit sudah parah, sehingga mempersulit dokter untuk
melakukan terapi yang dapat dilakukan. Azotemia merupakan gejala klinis utama
yang jelas ditampilkan hewan saat CRF sudah berada di tahap lanjut dengan
bantuan tes laboratorium pada urin untuk melihat jumlah konsentrasi kreatinin
pada urin (Plotnick 2007). Selain itu, gejala klinis lain yang dapat timbul ialah
berat badan yang turun, nafsu makan turun, lethargy, dehidrasi, vomiting, dan
uremia. Tidak banyak gejela yang dapat diamati dan spesifik dari penyakit ini,
karena penyebab CRF dapat bermacam-macam (Hughes et al. 2002).
International Renal Interest Society (IRIS) membagi CRF dengan 4 tahap
berdasarkan konsentrasi kreatin dan gejala klinis yang ditimbulkan. Tahap 1,
hewan pernah terkena penyakit ginjal, non-azotemic (konsentrasi kreatin < 1,6
mg/dl), dan tanpa menunjukkan gejala. Tahap 2, penyakit ginjal mulai berjalan
dan filtrasi di glomerulus menurun, mild azotemia (konsentrasi kreatin 1,6-2,8
mg/dl), kadang menimbulkan gelaja klinis seperti polyuria and polydipsia. Gejala
ini akan muncul jika 66% nefron rusak. Tahap 3 dan 4 setidaknya 75% nefron
pada ginjal sudah rusak, hewan menunjukan gejala disfungsi ginjal, azotemia,
primary glomerular disease dengan nilai bj urin diatas 1,035. Pada Tahap 3
mengalami moderate azotemia (konsentrasi kreatin 2,9-5 mg/dl), sedangkan pada
tahap 4 mengalami severe azotemia (konsentrasi kreatin >5 mg/dl) (Plotnick
2007). Penyakit CRF juga termasuk penyakit degeneratif dimana dengan sering
umur hewan bertambah, kondisi jaringan dan beberapa fungsi organ akan
menurun. Karena itu fungsi ginjal akan secara alami menurun (Elliott et al. 2000).
Differensial Diagnosa
Chronic Renal Failure dengan gejala klinis yang awalnya tidak timbul dan
tidak khas menimbulkan banyak differensial diagnosa, yang merupakan kausa dari
penyakit tersebut seperti diabetes milletus, glomerulonephritis, rheumatoid
arthritis, dan intoksikasi.
Prognosa
Chronic renal failure pada kucing dan anjing memiliki progonosa infausta
atau tidak dapat disembuhkan karena kerusakan yang terjadi pada bagian nefron
bersifat irreversibel (O’Neill et al. 2013). Tingkat kepulihan tergantung pada
tingkat keparahan penyakit, seberapa cepat pengobatan dilakukan, dan nutrisi
selama pengobatan. Pengobatan simptomastis dan pengaturan pakan dapat
mengurangi tanda-tanda klinis yang muncul dan memperlambat perkembangan
penyakit (Paras et al. 2019).
PEMBAHASAN
Diagnosa
Diagnosa dari penyakit ginjal kronis dimulai dengan pemeriksaan klinis dari
kucing, seperti anamnesis dari pemilik. Kucing yang mengalami penyakit ginjal
kronis memiliki gejala kehilangan nafsu makan, mudah mengantuk, sedikit
minum dan mulut bau seperti urin. Diagnosa penyakit ginjal didukung dengan
pemeriksaan hematologi dan biokimiawi darah, serta menggunakan USG pada
daerah abdomen untuk melihat morfologi dari parenkim ginjal (Paras et al. 2019).
Gejala klinis akan muncul setelah 75% ginjal mengalami kerusakan (Ettinger dan
Feldman 2005; Grauer 2005). Pemeriksaan fisik dari hewan yang mengalami
penyakit ginjal kronis dapat menunjukkan hipertensi, bahkan prevalensi hipertensi
pada kucing yang mengalami CRF mencapai 60% menurut Kobayashi et al.
(1990).
Selain diagnosa dari pemeriksaan fisik, Kucing penderita CRF memiliki
kadar kreatinin yang sangat tinggi dalam darah, diikuti dengan kadar ureum dalam
darah yang tak kalah tingginya. Hal ini disebabkan karena pada kondisi CRF
ginjal tidak dapat menyaring dengan sempurna kreatinin dan ureum dalam darah
untuk dikeluarkan melalui urin, sehingga jumlahnya terus meningkat dalam darah.
Menurut Elliot dan Barber (1998), konsentrasi kreatinin dalam plasma darah dapat
menjadi indikator awal dari kejadian CRF, semakin parah kondisi kerusakan dari
ginjal, konsentrasi kreatinin dan ureum dalam plasma semakin tinggi. hasil
Hematologi dari pasien CRF dapat menunjukkan keadaan anemia, karena salah
satu fungsi ginjal adalah menghasilkan eritropoetin untuk merangsang produksi
sel darah merah pada sumsum tulang. Ginjal yang rusak akan sedikit dan bahkan
tidak menghasilkan eritropoetin (Cook dan Lothrop 1994).
Hasil dari pengamatan gejala klinis yang dialami pasien dapat didukung
dengan pemeriksaan lanjutan dari uji hematologi dan urinalisis. Semua gejala
yang dialami merupakan konsekuensi dari kerusakan ginjal yang merupakan salah
satu organ vital pada tubuh yang memiliki pengaruh yang sistemik. Hasil diagnosa
yang tepat dapat membuat harapan hidup pasien membaik.
Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan untuk CRF ini seumur hidup karena CRF
bersifat irreversible sehingga dilakukan manajemen terapi yang bisa dilakukan
seumur hidup pasien. Manajemen terapi yang diberikan dapat berupa kontrol diet
renal. Diet pakan renal komersial memiliki palatabilitas yang rendah akrena
memiliki sedikit kandungan protein, P dan Na tetapi tinggi serat terlarut, kapasitas
asam dan basa, vitamin B kompleks, antioksidan dan asam lemak omega-3.
Palatabilitas yang rendah dapat memperburuk keadaan pasien, sehingga
pemberian pakan ini harus diberikan secara bertahap agar hewan beradaptasi pada
pakan baru (Markovich et al. 2015). Pengobatan lain nya bersifat simptomatis
tergantung gejala yang dialami hewan.
Terapi cairan sangat penting dilakukan karena hewan dapat mengalami
kondisi hipovolemik dan hipotensi akibat kurangnya cairan dalam tubuh
(Maddison dan Syme 2010). Pemberian terapi cairan pengganti diharapkan dapat
mengembalikan volume cairan tubuh sehingga dapat mengurangi gejala klinis dari
uremia yang terjadi (Lees 2005). Pemberian cairan dapat dilakukan melalui oral
jika memungkinkan. Aplikasi parenteral dilakukan jika pemberian secara oral
tidak dapat dilakukan. Pemberian secara parenteral dapat dilakukan melalui IV
atau SC, namun pemberian secara SC tidak dapat menurunkan kadar BUN dan
kreatinin tetapi cenderung untuk membuat nyaman hewan penderita (Adams
2013).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adams LG. 2013. How I treat anorexia in cats with chronic kidney disease. Proc
World Small Animal Veterinary Assoc Congress Proc.
Boyd LM, Langston C, Thompson K, Zivin K, Imanishi M. 2008. Survival in cats
with naturally occurring chronic kidney disease (2000-2002). Journal of
Veterinary Internal Medicine. 22(5):1111-1117.
Clifforde EL. 2018. Chronic renal disease in dogs and cats: anesthesia
considerations. Veterinary Nursing Journal. 33(5):131-137.
Cook SM, Lothrop CD. 1994. Serum eritropo-etin concentrations measured by
radioimmuno-assay in normal, polycythemic, and anemic dogs and cats. J
Vet Intern Med. 8:18-25.
Dean R, Downes M. 2015. Renal diets in cats with chronic kidney disease.
VetRec. 4(14):360-371.
Elliott J, Rawlings JM, Markwell PJ, Barber PJ. 2000. Survival of cats with
naturally occurring chronic renal failure: effect of dietary management.
Journal of Small Animal Practice. 41(6): 235-242.
Ettinger SJ, Feldman EC. 2005. Textbook of Veterinary Internal Medicine
Volume II, VI ed. St.Louis: Elsvier Saunders. 622-630.
Grauer GF. 2005. Early detection of renal damage and disease in dogs and cats.
Vet Clin North Am Small Anim Pract. 35:581–596.
Henderson J, Henderson IW. 1994. The endocrine functions of the kidney.
Journal of Biological Education. 28(4):245-254.
Hughes KL, Slater MR, Geller S, Burkholder WJ, Fitzgerald C. 2002. Diet and
lifestyle variables as risk factors for chronic renal failure in pet cats.
Preventive Veterinary Medicine. 55(1): 1-15.
Kobayashi, D. L., Peterson, M. E., Graves, T. K., Nichols, C. E., & Lesser, M.
(1990). Hypertension in cats with chronic renal failure or hyperthyroidism.
Journal of Veterinary Internal Medicine, 4(2): 58-62.
Lees GE, Brown SA, Elliott J, Grauer GE, Vaden SL. 2005. Assessment and
management of proteinuria in dogs and cats: 2004 ACVIM Forum
Consensus Statement (small animal). J Vet Intern Med. 19(3):377-385.
Maddison J, Syme H. 2010. Chronic kidney disease in dogs and cats II: Principles
of management continue education. Irish Veterinary Journal. 63(2):106-
109.
Markovich JE, Freeman LM, Labato MA, Cailin R. 2015. Survey of dietary and
medication practices of owners of cats with chronic kidney disease. J Feline
Med Surg. 17:979-983.
Meyer HP. 2004. The diagnosis and treatment of chronic renal failure in the dog
and cat. World Small Animal Veterinary Association World Congress
Proceeding. 2006 Oct 6-9;. Rhodes, Greence.
O’Neill DG, Elliott J, Church DB, McGreevy PD, Thomson PC, Brodbelt DC.
2013. Chronic kidney disease in dogs in UK veterinary practices:
prevalence, risk factors, and survival. J Vet Intern Med. 27(4):814–821.
Paras S, Paras G, Lukac B, Cegar I. 2019. Haematological status in cats with
chronic renal failure: effect of renal diet. Veterinary Journal of Republic of
Srpska (Banja Luka). 19(1):13-19.
Plotnick A. 2007. Feline chronic renal failure: long-term medical management.
Compendium Veterinary. 1(1):1-10.
Syme HM, Markwell PJ, Pfeiffer D, Elliott J. 2006. Survival of cats with naturally
occurring chronic renal failure is related to severity of proteinuria. Journal
of Veterinary Internal Medicine. 20(3):528-535.