Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM DAN PATOLOGI KLINIK

CHRONIC RENAL FAILURE (CRF)

Disusun Oleh:

Kelompok C11
PPDH Periode 1 Tahun 2020/2021

Anggia Murni Wijiati B0901201065


Dewa Ayu Regina Amelia B0901201081
Elvina Nurfadhilah B0901201040
Muhammad Nabil Ramadhan B0901201082
Resma Ismawati B0901201024

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM DAN PATOLOGI KLINIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Anamnesa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paras et al. (2019), kucing yang
berjumlah 60 ekor diperoleh dari ambulans veteriner untuk hewan kecil
“MIMCOOP”, Banja Luka. Anamnesa diperoleh berdasarkan keterangan subjektif
dari pemilik kucing. Sebanyak 40 dari 60 ekor kucing yang diamati menderita
CRF, dan 20 ekor kucing lainnya dinyatakan sehat atau tidak menderita CRF.
Kucing yang didiagnosis mengalami CRF sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan sampel darah (hematologi), serta dilakukan
monitoring selama tiga tahun. Sampel darah diambil dari vena cephalica
antebrachii kemudian dianalisis menggunakan VETSCIL analyser. Parameter
yang digunakan dalam pemeriksaan hematologi yaitu jumlah eritrosit, trombosit,
total leukosit, total perhitungan diferensial leukosit, limfosit, monosit, granulosit,
eosinofil, konsentrasi haemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, MCHC, dan
level kreatinin serta urea.

Sinyalemen

Kucing yang menderita CRF dalam penelitian oleh Paras et al. (2019)
mengalami penurunan nafsu makan sehingga tampak kurus. Kucing terlihat
apatis, tidak menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan, dan mudah
mengantuk. Udara saat kucing bernapas memiliki bau seperti urin.

Latar belakang

Ginjal merupakan organ berpasangan yang tersusun atas glomerulus dan


tubulus dalam suatu nefron. Nefron adalah unit fungsional dari ginjal yang
terkonsentrasi di bagian korteks ginjal (Clifforde 2018). Ginjal berperan penting
dalam proses metabolisme tubuh, yaitu menjalankan fungsi ekskresi sisa
metabolisme, serta mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa
tubuh. Selain itu, ginjal juga berperan dalam fungsi endokrin untuk menghasilkan
hormon seperti eritropoietin, renin, kalsitriol, dan prostaglandin. Hormon-hormon
tersebut mengatur produksi sel darah merah, tekanan darah, homeostasis kalsium,
dan berperan dalam sistem imun (Henderson dan Henderson 1994). Chronic renal
failure (CRF) atau gagal ginjal kronis merupakan sebuah kondisi dimana terjadi
penurunan fungsi ginjal secara kronis yang menyebabkan kerusakan pada struktur
anatomi ginjal sehingga terjadi akumulasi toksin di ginjal. Penurunan fungsi ginjal
dapat terjadi akibat umur hewan yang sudah tua, penyakit infeksius, maupun
penyakit yang berkaitan dengan sistem imun (Dean dan Downes 2015).
Kejadian CRF seringkali menjadi penyebab kesakitan dan kematian pada
hewan kesayangan terutama kucing (Syme et al. 2006). Semua jenis, jenis
kelamin dan umur kucing dapat mengalami CRF namun prevalensinya meningkat
pada kucing geriatrik (tua). Kasus CRF berawal dari insufisiensi fungsi ginjal
yang progresif dalam waktu yang lama yaitu sekitar 1-3 tahun. Hewan kesayangan
termasuk kucing yang menderita CRF dapat bertahan hidup lebih lama tergantung
pada kecepatan saat awal deteksi penyakit, manajemen nutrisi pakan, dan
pemberian terapi. Secara umum, kucing dapat dinyatakan menderita CRF apabila
memiliki level kreatinin sebesar 5 mg/dl atau lebih (Boyd et al. 2008).

TINJAUAN KASUS

Etiologi

Chronic Renal Failure (CRF) merupakan salah satu penyakit yang biasa
diderita oleh hewan tua (Plotnick 2007). Penyakit ini juga merupakan penyakit
mematikan pada hewan kesayangan. Prevalensi penyakit ini akan mengingkat
sering dengan pertambahan umur hewan, dimana gejala utama penyakit ini ialah
azotemia, memiliki prevalensi sebesar 15% pada kucing yang berusia 15 tahun ke
atas (Syme et al. 2006).
CRF dapat didefinisikan sebagai hilangnya fungsi ginjal secara progresif
dan bersifat ireversibel selama jangka waktu yang relatif lama. Hilangnya fungsi
ginjal ini disebabkan rusaknya nefron pada ginjal. Rusaknya nefron pada ginjal
dapat sebanyak 2/3 sampai 4/5, nefron yang tersisa akan berusaha
mempertahankan homeostatis tubuh. Perubahan dari hasil laboratorium urin dan
darah juga dapat dipengaruhi oleh rusaknya sebagian besar nefron (Hughes et al.
2002). Rusaknya ginjal berkali-kali tanpa penyebab yang tidak diketahui membuat
nefron menjadi rusak (Plotnick 2007).
Deteksi awal dari CRF sangat sulit untuk dilakukan. Pada subklinis, nefron
mulai rusak, hewan tidak memnunjukan gejala klinis. Serta, pada gejala klinis
yang parah tidak selalu sesuai dengan hasil dari tes laboratorium karena hasilnya
berubah-ubah di setiap tahap CRF (Hughes et al. 2002). Namun, CRF masih dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, mild, moderate, dan severe dengan melihat
gejala klinis yang ditemukan dan hasil tes laboratorium dengan menghitung kadar
konsentrasi kreatin pada urin. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan karena sulit
untuk memperbaiki nefron yang telah rusak kecuali dengan transplantasi ginjal
(Plotnick 2007).

Kausa

Penyebab dari penyakit Chronic Renal Failure (CRF) sangat kompleks,


bahkan sering kali penyebab penyakit ini tidak diketahui, karena gejala klinis baru
muncul jika penyakit sudah berada di tahap yang parah. CRF juga disebabkan
manifestasi penyakit ginjal yang berkali-kali menyerang ginjal dan membuat
hampir sebagian besar nefron rusak. Selain itu, identifikasi penyebab kasusa untuk
mendiagnosa CRF sulit dilakukan karena tidak terdeteksi sewaktu pemeriksaan
(Hughes et al. 2002).
Beberapa penyakit pada hewan diduga dapat menyebabkan CRF
diantaranya, polycystic renal disease, obstructive ureterolithiasis, renal
lymphoma, pyelonephritis, dan amyloidosis. Kemudian, pada pemeriksaan post
mortem dengan cara biopsi jaringan ginjal sering ditemukan diffuse
tubulointerstitial nephritis pada preparat histopathologi. Serta, penyakit
glomelurus yang merusak nefron dan berkembang menjadi nephrotic syndrome
(Syme et al. 2006).
Renal secondary hyperparathyroidism (RHPTH) merupakan umum
komplikasi CRF pada kucing, dimana terjadi sekresi hormon PTH yang banyak.
Beberapa kasus ditemukan adanya peningkatan konsentrasi calsium dalam
jaringan, jaringan lunak yang mengalamai kalsifikasi, dan meningkatnya kalsium
sistolik selular pada kucing yang menderita CRF. Selain itu, komplikasi metabolik
juga dipekirakan dapat menyebabkan CRF. Namun, pada dasarnya deteksi CRF
sulit dilakukan dikarenakan kurangnya alat penunjang untuk mengetahui fungsi
ginjal pada hewan (Elliott et al. 2000).

Gejala Klinis

Gejala klinis sering tidak muncul pada tahap awal atau subklinis dan lebih
sering muncul saat penyakit sudah parah, sehingga mempersulit dokter untuk
melakukan terapi yang dapat dilakukan. Azotemia merupakan gejala klinis utama
yang jelas ditampilkan hewan saat CRF sudah berada di tahap lanjut dengan
bantuan tes laboratorium pada urin untuk melihat jumlah konsentrasi kreatinin
pada urin (Plotnick 2007). Selain itu, gejala klinis lain yang dapat timbul ialah
berat badan yang turun, nafsu makan turun, lethargy, dehidrasi, vomiting, dan
uremia. Tidak banyak gejela yang dapat diamati dan spesifik dari penyakit ini,
karena penyebab CRF dapat bermacam-macam (Hughes et al. 2002).
International Renal Interest Society (IRIS) membagi CRF dengan 4 tahap
berdasarkan konsentrasi kreatin dan gejala klinis yang ditimbulkan. Tahap 1,
hewan pernah terkena penyakit ginjal, non-azotemic (konsentrasi kreatin < 1,6
mg/dl), dan tanpa menunjukkan gejala. Tahap 2, penyakit ginjal mulai berjalan
dan filtrasi di glomerulus menurun, mild azotemia (konsentrasi kreatin 1,6-2,8
mg/dl), kadang menimbulkan gelaja klinis seperti polyuria and polydipsia. Gejala
ini akan muncul jika 66% nefron rusak. Tahap 3 dan 4 setidaknya 75% nefron
pada ginjal sudah rusak, hewan menunjukan gejala disfungsi ginjal, azotemia,
primary glomerular disease dengan nilai bj urin diatas 1,035. Pada Tahap 3
mengalami moderate azotemia (konsentrasi kreatin 2,9-5 mg/dl), sedangkan pada
tahap 4 mengalami severe azotemia (konsentrasi kreatin >5 mg/dl) (Plotnick
2007). Penyakit CRF juga termasuk penyakit degeneratif dimana dengan sering
umur hewan bertambah, kondisi jaringan dan beberapa fungsi organ akan
menurun. Karena itu fungsi ginjal akan secara alami menurun (Elliott et al. 2000).

Transmisi dan Patogenesa

Kerusakan pada Chronic Renal Failure dapat terjadi di glomerulus, tubular,


vascular, tubular insterstisial, maupun campuran. Kerusakan yang terjadi bersifat
progresif dan fatal hingga mempengaruhi semua kompartemen (Meyer 2004).
Pada saat itulah kapasitas fungsional ginjal menurun. Glomerulus akan bekerja
secara lebih untuk memfiltrasi darah. Terjadi peningkatan aktivitas Renin
Angiotensin Aldosteron System yang meyebabkan hipertensi dan peningkatan
permeabilitas glomerulus yang menyebabkan tidak tersaringnya zat-zat toksik dan
berbahaya bagi tubuh sehingga terjadi nephrotoxic dan fibrosis tubuloinsterstitial
yang akan menurunkan GFR, output urine, dan berkembang menjadi komplikasi
sistemik atau uremia. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus juga
menyebabkan tidak terfiltrasinya protein sehingga terjadi proteinuria. Keadaan
tanpa treatment menyebakan komplikasi pada sistem tubuh lainnya seperti
gangguan kardiovaskuler, penurunan kapasitas paru-paru, dan penurunan
kekebalan tubuh. Derajat keparahan Chronic Renal Failure tergantung pada
tingkat kerusakan ginjal dan sebera cepat terapi diterapkan (Paras et al. 2019).

Differensial Diagnosa

Chronic Renal Failure dengan gejala klinis yang awalnya tidak timbul dan
tidak khas menimbulkan banyak differensial diagnosa, yang merupakan kausa dari
penyakit tersebut seperti diabetes milletus, glomerulonephritis, rheumatoid
arthritis, dan intoksikasi.

Prognosa

Chronic renal failure pada kucing dan anjing memiliki progonosa infausta
atau tidak dapat disembuhkan karena kerusakan yang terjadi pada bagian nefron
bersifat irreversibel (O’Neill et al. 2013). Tingkat kepulihan tergantung pada
tingkat keparahan penyakit, seberapa cepat pengobatan dilakukan, dan nutrisi
selama pengobatan. Pengobatan simptomastis dan pengaturan pakan dapat
mengurangi tanda-tanda klinis yang muncul dan memperlambat perkembangan
penyakit (Paras et al. 2019).

PEMBAHASAN

Diagnosa

Diagnosa dari penyakit ginjal kronis dimulai dengan pemeriksaan klinis dari
kucing, seperti anamnesis dari pemilik. Kucing yang mengalami penyakit ginjal
kronis memiliki gejala kehilangan nafsu makan, mudah mengantuk, sedikit
minum dan mulut bau seperti urin. Diagnosa penyakit ginjal didukung dengan
pemeriksaan hematologi dan biokimiawi darah, serta menggunakan USG pada
daerah abdomen untuk melihat morfologi dari parenkim ginjal (Paras et al. 2019).
Gejala klinis akan muncul setelah 75% ginjal mengalami kerusakan (Ettinger dan
Feldman 2005; Grauer 2005). Pemeriksaan fisik dari hewan yang mengalami
penyakit ginjal kronis dapat menunjukkan hipertensi, bahkan prevalensi hipertensi
pada kucing yang mengalami CRF mencapai 60% menurut Kobayashi et al.
(1990).
Selain diagnosa dari pemeriksaan fisik, Kucing penderita CRF memiliki
kadar kreatinin yang sangat tinggi dalam darah, diikuti dengan kadar ureum dalam
darah yang tak kalah tingginya. Hal ini disebabkan karena pada kondisi CRF
ginjal tidak dapat menyaring dengan sempurna kreatinin dan ureum dalam darah
untuk dikeluarkan melalui urin, sehingga jumlahnya terus meningkat dalam darah.
Menurut Elliot dan Barber (1998), konsentrasi kreatinin dalam plasma darah dapat
menjadi indikator awal dari kejadian CRF, semakin parah kondisi kerusakan dari
ginjal, konsentrasi kreatinin dan ureum dalam plasma semakin tinggi. hasil
Hematologi dari pasien CRF dapat menunjukkan keadaan anemia, karena salah
satu fungsi ginjal adalah menghasilkan eritropoetin untuk merangsang produksi
sel darah merah pada sumsum tulang. Ginjal yang rusak akan sedikit dan bahkan
tidak menghasilkan eritropoetin (Cook dan Lothrop 1994).
Hasil dari pengamatan gejala klinis yang dialami pasien dapat didukung
dengan pemeriksaan lanjutan dari uji hematologi dan urinalisis. Semua gejala
yang dialami merupakan konsekuensi dari kerusakan ginjal yang merupakan salah
satu organ vital pada tubuh yang memiliki pengaruh yang sistemik. Hasil diagnosa
yang tepat dapat membuat harapan hidup pasien membaik.

Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan untuk CRF ini seumur hidup karena CRF
bersifat irreversible sehingga dilakukan manajemen terapi yang bisa dilakukan
seumur hidup pasien. Manajemen terapi yang diberikan dapat berupa kontrol diet
renal. Diet pakan renal komersial memiliki palatabilitas yang rendah akrena
memiliki sedikit kandungan protein, P dan Na tetapi tinggi serat terlarut, kapasitas
asam dan basa, vitamin B kompleks, antioksidan dan asam lemak omega-3.
Palatabilitas yang rendah dapat memperburuk keadaan pasien, sehingga
pemberian pakan ini harus diberikan secara bertahap agar hewan beradaptasi pada
pakan baru (Markovich et al. 2015). Pengobatan lain nya bersifat simptomatis
tergantung gejala yang dialami hewan.
Terapi cairan sangat penting dilakukan karena hewan dapat mengalami
kondisi hipovolemik dan hipotensi akibat kurangnya cairan dalam tubuh
(Maddison dan Syme 2010). Pemberian terapi cairan pengganti diharapkan dapat
mengembalikan volume cairan tubuh sehingga dapat mengurangi gejala klinis dari
uremia yang terjadi (Lees 2005). Pemberian cairan dapat dilakukan melalui oral
jika memungkinkan. Aplikasi parenteral dilakukan jika pemberian secara oral
tidak dapat dilakukan. Pemberian secara parenteral dapat dilakukan melalui IV
atau SC, namun pemberian secara SC tidak dapat menurunkan kadar BUN dan
kreatinin tetapi cenderung untuk membuat nyaman hewan penderita (Adams
2013).

KESIMPULAN

Hasil komparatif dari analisis pengamatan ini secara jelas menunjukkan


mengenai pentingnya menggunakan diet pakan untuk kucing yang menderita CRF
agar meningkatkan kualitas kesehatan dan memperpanjang kehidupan. Kucing
yang terserang insufisiensi ginjal maka pakan diet yang digunakan memiliki nilai
yang jauh lebih baik dari parameter hematologis dibandingkan dengan mereka
yang tidak menggunakan pakan tersebut. Pakan diet tidak menempatkan beban
ekstra pada ginjal dan dapat memulihkannya pada kucing yang menderita CRF.

DAFTAR PUSTAKA

Adams LG. 2013. How I treat anorexia in cats with chronic kidney disease. Proc
World Small Animal Veterinary Assoc Congress Proc.
Boyd LM, Langston C, Thompson K, Zivin K, Imanishi M. 2008. Survival in cats
with naturally occurring chronic kidney disease (2000-2002). Journal of
Veterinary Internal Medicine. 22(5):1111-1117.
Clifforde EL. 2018. Chronic renal disease in dogs and cats: anesthesia
considerations. Veterinary Nursing Journal. 33(5):131-137.
Cook SM, Lothrop CD. 1994. Serum eritropo-etin concentrations measured by
radioimmuno-assay in normal, polycythemic, and anemic dogs and cats. J
Vet Intern Med. 8:18-25.
Dean R, Downes M. 2015. Renal diets in cats with chronic kidney disease.
VetRec. 4(14):360-371.
Elliott J, Rawlings JM, Markwell PJ, Barber PJ. 2000. Survival of cats with
naturally occurring chronic renal failure: effect of dietary management.
Journal of Small Animal Practice. 41(6): 235-242.
Ettinger SJ, Feldman EC. 2005. Textbook of Veterinary Internal Medicine
Volume II, VI ed. St.Louis: Elsvier Saunders. 622-630.
Grauer GF. 2005. Early detection of renal damage and disease in dogs and cats.
Vet Clin North Am Small Anim Pract. 35:581–596.
Henderson J, Henderson IW. 1994. The endocrine functions of the kidney.
Journal of Biological Education. 28(4):245-254.
Hughes KL, Slater MR, Geller S, Burkholder WJ, Fitzgerald C. 2002. Diet and
lifestyle variables as risk factors for chronic renal failure in pet cats.
Preventive Veterinary Medicine. 55(1): 1-15.
Kobayashi, D. L., Peterson, M. E., Graves, T. K., Nichols, C. E., & Lesser, M.
(1990). Hypertension in cats with chronic renal failure or hyperthyroidism.
Journal of Veterinary Internal Medicine, 4(2): 58-62.
Lees GE, Brown SA, Elliott J, Grauer GE, Vaden SL. 2005. Assessment and
management of proteinuria in dogs and cats: 2004 ACVIM Forum
Consensus Statement (small animal). J Vet Intern Med. 19(3):377-385.
Maddison J, Syme H. 2010. Chronic kidney disease in dogs and cats II: Principles
of management continue education. Irish Veterinary Journal. 63(2):106-
109.
Markovich JE, Freeman LM, Labato MA, Cailin R. 2015. Survey of dietary and
medication practices of owners of cats with chronic kidney disease. J Feline
Med Surg. 17:979-983.
Meyer HP. 2004. The diagnosis and treatment of chronic renal failure in the dog
and cat. World Small Animal Veterinary Association World Congress
Proceeding. 2006 Oct 6-9;. Rhodes, Greence.
O’Neill DG, Elliott J, Church DB, McGreevy PD, Thomson PC, Brodbelt DC.
2013. Chronic kidney disease in dogs in UK veterinary practices:
prevalence, risk factors, and survival. J Vet Intern Med. 27(4):814–821.
Paras S, Paras G, Lukac B, Cegar I. 2019. Haematological status in cats with
chronic renal failure: effect of renal diet. Veterinary Journal of Republic of
Srpska (Banja Luka). 19(1):13-19.
Plotnick A. 2007. Feline chronic renal failure: long-term medical management.
Compendium Veterinary. 1(1):1-10.
Syme HM, Markwell PJ, Pfeiffer D, Elliott J. 2006. Survival of cats with naturally
occurring chronic renal failure is related to severity of proteinuria. Journal
of Veterinary Internal Medicine. 20(3):528-535.

Anda mungkin juga menyukai