Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN BAGIAN


ILMU PENYAKIT DALAM DAN PATOLOGI KLINIK

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

Disusun Oleh:

Kelompok C12
PPDH Periode 1 Tahun 2020/2021

Muhammad Agung Nulhakim, SKH B0901201022


Atika Saraswati Alpiah, SKH B0901201047
Ilham Nugraha, SKH B0901201056
Sella Sofia Ainun, SKH B0901201072
Michele Elise R, SKH B0901201803

Dibimbing oleh:
Dr drh Agus Wijaya, MSi

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM DAN PATOLOGI KLINIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kuda merupakan salah satu hewan ternak yang umum dipelihara di Indonesia. Hewan
dengan nama latin Equus caballus ini memiliki tenaga yang cukup besar sehingga masyarakat
lebih sering memanfaatkannya sebagai hewan penarik beban maupun sebagai kuda pacu.
Menurut Marginingtyas et al. (2015), pemberian makanan dapat menjadi faktor yang
menentukan performans dari seekor ternak. Pemberian pakan ternak yang tidak sesuai dengan
kebutuhan nutrisi yang diperlukan dapat mengakibatkan pertumbuhan maupun produktivitas
menjadi tidak maksimal. Selain itu, kesehatan kuda menjadi faktor lain yang penting dan patut
untuk diperhatikan. Salah satu penyakit yang umum menyerang kuda dan sulit untuk
dikendalikan ialah laminitis.
Laminitis merupakan peradangan dari jaringan tanduk kuku yang diakibatkan oleh
gangguan sirkulasi darah. Penyakit ini dalam fase akut dapat mengakibatkan kepincangan sampai
kematian pada kuda dewasa maupun kuda poni dari berbagai ras. Fase ini akan terus berlanjut
hingga terjadi displasia dari phalanx distal yang merupakan penanda dari fase kronis (Mitchell et
al. 2015). Phalanx distal yang tidak berada ditempatnya kemudian dapat menembus bagian kuku
dan mengakibatkan arteri maupun vena robek dan bagian korium serta tapal terluka, sehingga
menyebabkan sakit dan kepincangan. Keadaan phalanx distal yang menembus bagian kuku
inilah yang disebut dengan founder. Kejadian laminitis pada kuda ini harus menjadi perhatian
karena merupakan penyakit yang mematikan kedua pada kuda setelah kolik (Pollitt 2008).

Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pengobatan pada kejadian
laminitis pada kuda berdasarkan studi kasus dari sebuah jurnal.

TINJAUAN KASUS

Anamnesa

Seekor kuda pacu jantan berumur 2 tahun dengan ras thoroughbred yang berada di
Amerika memulai debut pacuannya pada musim gugur dan menang dalam kedua lomba
pertamanya. Setelah memenangkan lomba keduanya, kuda tersebut kemudian diistirahatkan di
sebuah lapangan penggembalaan. Saat berada di padang tersebut, kaki belakang kiri kuda
tersebut muncul luka bernanah yang kemudian dapat disembuhkan oleh praktisi hewan yang
berada disana. Namun, kuda tersebut kemudian kesulitan untuk menahan berat sisi tubuh bagian
kanannya. Kuda tersebut kemudian dipindahkan menuju rumah sakit untuk kuda pacu di Miho
Training Center. Hasil diagnosa menunjukkan bahwa kuda mengalami laminitis tingkat lanjut.
2

Sinyalemen

Kategori Hewan
Nama Hewan Kuda 1
Jenis Kuda
Ras Thoroughbred
Umur 2 tahun
Jenis Kelamin Jantan

Kausa

Laminitis terjadi akibat gangguan sirkulasi yang disebabkan oleh hiperemia pada daerah
kuku. Prinsip menifestasi dari penyakit ini yaitu terjadinya iskemia pada daerah lamina dan
berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh ini. Daerah lamina akan rusak karena terjadinya
iskemia. Selanjutnya tulang pedal (coffin bone) akan terpisah dari diding kuku dan posisinya
berubah menyebabkan rasa sakit pada kuda (Tanaka et al. 2002).
Laminitis paling sering disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi, perubahan konsumsi
pakan, racun, maupun penyakit pada sistem pencernaan. Penyakit pencernaan paling sering
disebabkan oleh kerusakan mukosa intestinal oleh beberapa penyakt yaitu salmonellosis,
kelebihan karbohidrat, maupun obstruksi usus (Krueger et al. 1986). Saat mukosa mengalami
kerusakan, endotoxemia biasanya muncul sebelum terjadinya laminitis. Kuda yang memakan
biji-bijian dalam jumlah yang sangat banyak sangat beresiko untuk terkena laminitis. Dalam
kasus anterior enteritis, kuda dengan berat badan lebih dari 550 kg dan kuda dengan gastric
reflux berdarah juga sangat beresiko terkena laminitis (Cohen et al. 1994). Kuda dengan beban
yang berlebihan pada satu sisi kaki beresiko mengalami laminitis unilateral pada ekstremitas
dengan beban yang berlebihan. Ini paling banyak terjadi setelah kuda mengalami fraktur pada
kaki, arthritis infeksius atau tenosynovitis.

Gejala klinis

Gejala klinis pada laminitis akut yaitu peningkatan pulsus digital, suhu pada kaki, dan
kepincangan (Baxter 1994). Rata-rata kepincangan dimulai 36 jam setelah konsumsi berlebihan
pakan yang mengandung karbohidrat, tetapi dapat juga muncul lebih awal yaitu dalam waktu 24
jam dan paling lambat 48 jam. Setelah mengonsumsi ampas kayu dari pohon kenari hitam, gejala
laminitis dapat muncul dalam waktu 6 sampai 8 jam (Eaton et al. 1995). Gejala laminitis sangat
bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Jika reaksi dan perubahan laminar pada kaki
sangat cepat, rasa sakit akan bertambah parah. Pada beberapa kasus, rotasi atau pemisahan total
dapat terlihat 48-72 jam setelah rasa sakit muncul. Variasi gejala bergantung pada berat badan
maupun tingkat kerusakan pada pencernaan. Selain itu, gejala klinis pada laminitis akut adalah
bergantian menopang berat badan dari satu kaki ke kaki lainnya atau paddling (Pollitt 2003).
Beberapa gejala lainnya dari laminitis yaitu kaki belakang, yang biasanya tidak terlalu
terpengaruh, bergerak lebih ke depan bawah tubuh untuk menopang berat badan. Kaki depan
dapat juga diletakkan lebih ke depan dari tubuh sebagai usaha untuk mengurangi rasa sakit saat
menopang berat badan. Punggung dan otot gluteal tegang dan kuda terlihat tidak nyaman. Saat
berjalan, kuda menapakkan tumitnya dengan ujung jarinya terangkat. Kemudian ujung kakinya
jatuh ke tanah. Tapak kaki akan kesakitan saat dipalpasi dengan menggunakan hoof tester
tertama pada ujung jari. Kuda enggan berdiri dengan satu kaki depan dalam waktu yang lama.
3

Semakin berkembangnya penyakit dan pertumbuhan kuku akan menyebabkan perubahan bentuk
kuku. Seiring terjadinya degenerasi pada laminar tulang pedal (coffin bone) akan berotasi
menjauh dari dinding kuku kemudian lama kelamaan kuku yang terus tumbuh akan terpisah dari
tulang. Dalam kasus ini kuda akan terus merasa kesakitan dan kepincangan akan terus terjadi
sampai dilakukannya pengobatan (Baxter 1986).
Pada kasus yang terjadi, gejala klinis awal adalah munculnya nanah pada kaki belakang
sebelah kiri kemudian setelah diobati sembuh tetapi kuda menjadi kesulitan untuk menopang
berat badan pada sisi lainnya yaitu dengan kaki belakang sebelah kanan. Sebelum pengobatan
terlihat tapak kaki membengkak dari bagian apex dari frog.

Patogenesa

Perjalanan kejadian laminitis terjadi secara kompleks dan melibatkan berbagai jenis
jaringan, dimulai dengan faktor biomekanik, trauma, inflamasi, vascular, toksin, dan metabolism.
Prinsip terjadinya laminitis akut maupun kronis adalah akibat dari terganggunya sirkulasi darah
didaerah digital atau jari. Konstriksi vena dan tekanan cairan interstisial hidrostatik yang tinggi
menurunkan aliran darah kapiler di laminae (Pollitt 2004). Hal menyebabkan ischaemia yang
diikuti dengan reperfusi dan terpisahnya laminae. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya
laminitis yaitu adanya trombosis dan endotoksin yang mencapai bagian digit. Endotoksin yang
memacu laminitis dapat berasal metabolisme tubuh dan lokal (Boosman et al 1991). Kasus
laminitis yang disebabkan rumen acidosis terjadi akibat penyebaran endotoksin yang dihasilkan
dari bakteri Gram-negatif yang telah mati pada rumen. Adapun endotoksin yang bersifat lokal
ketika terdapat bakteri Gram-negatif yang menginfeksi secara lokal dibagian digit. Patogenesis
laminitis pada kasus ini diawali akibat adanya trauma kemudian mengakibatkan gangguan pada
sirkulasi darah didaerah digit.

Diagnosa Differensial

Laminitis seringkali menunjukkan gejala klinis yang sama dengan beberapa penyakit
terutama penyakit dibagian kaki dan kuku. Osteitis pedal, fraktur falangeal distal, desmitis
ligamen impar, cedera traumatis pada tendon fleksor digitalis, dan artritis pada coffin joint
memiliki gejala yang sama dengan laminitis kronis (Herthel dan Hood 1999). Begitu pula dengan
kasus white line disease (WLD) yang memiliki patogenesis yang berbeda dengan laminitis,
namun sering kali didiagnosa sebagai kasus laminitis. Walaupun terapi yang diberikan pada
kasus WLD dan laminitis hampir sama, kenyataannya keduanya merupakan kasus yang berbeda.

Prognosa

Kejadian laminitis akut maupun kronis jarang secara langsung tidak mengakibatkan
kematian secara langsung pada pasien. Adapun faktor umumnya digunakan dalam menentukan
prognosa klinis harus mencakup (1) derajat ketimpangan yang disebabkan oleh penyakit, (2)
adanya lesi yang tidak dapat diobati pada digit, dan (3) kurangnya tanggapan terhadap upaya
masa lalu atau saat ini untuk merehabilitasi hewan (Herthel dan Hood 1999). Prognosa pada
laminitis bergantung pada perawatannya. Menurut Swanson (1999), semakin lama kuda terkena
laminitis dan tidak mendapatkan perawatan, prognosisnya akan lebih buruk, pada beberapa kasus
kuda dengan laminitis ringan bisa sembuhsecara spontan, tanpa dilakukannya terapi ataupun
perawatan.
4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bau tak sedap pada kaki dihasilkan dari bakteri, diagnosa penunjang yang digunakan
pada awal pengobatan adalah menggunakan radiografi untuk mengevaluasi perkembangan secara
objektif. Hasil pemeriksaan sinar-X terlihat bahwa ada disposisi coffin bone yang sudah parah
ditambah hyperplasia pada bagian depan coffin bone, dan bagian sol pada coffin bone
berkembang seperti paruh. Hasil radiografi pada kaki kuda, terlihat pertambahan kemiringan
sudut sebesar 15 derajat dari normal, yang mengarah pada penilaian bahwa kuda ini memiliki
prognosa infausta. Perubahan sudut pada kuku bisa dikatakan prognosa infausta jika terjadi
pembesaran sudut melebihi 10 derajat (Tanaka et al.2002).
Terapi yang dilakukan pada satu bulan pertama yaitu dengan memberikan antibiotik
cefalotin sodium sebanyak 10 g dua kali sehari dan gentamycine sulfate 120 mg dua kali sehari.
Analgesik anti-inflamasi juga ditambahkan diantaranya adalah megulumin flunixin 415-830 mg
secara IV, dan phenylbutazone 1.000-2.000 mg yang diberikan PO. Antibiotik dihentikan ketika
perforasi pada kaki sudah membaik, dan pemberian megulumin flunixin juga dihentikan namun
Phenylbutazone tetap dilanjutkan sampai 1 bulan.
Antibiotik cefalotin sodium merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama untuk
mengatasi infeksi pada kulit atau jaringan lunak khususnya infeksi oleh Staphylococcus, E. coli,
dan Klebsiella. Antibiotik ini tidak boleh dipakai bersamaan dengan calcium chloride dan
calcium gluconate, juga tidak boleh dipakai bersamaan dengan streptomycin karena dapat
meningkatkan resiko toksisitas pada nefron ginjal (Ramsey 2017). Gentamycin sulfate
merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang berspektrum luas, sediaan ini digunakan
untuk mengatasi infeksi bakteri batang aerobik gram negatif. Antibiotik ini bagus diberikan
secara intramuskular dan dapat diserap dengan baik, mencapai puncak dosis selama 30-60 menit
setelah pemberian (Lintong 2012).
Fenilbutazon termasuk sediaan turunan pirazolon yang merupakan obat golongan Non-
Steroid Anti Inflammation Drug (NSAID), obat ini mempunyai sifat anti inflamasi yang kuat dan
efektif (Katzung 2007). Meglumin flunixin merupakan sediaan NSAID juga bertindak sebagai
analgesik untuk mengatasi radang dan nyeri pada musculoskeletal. Obat ini empat kali lebik
efektif dari phenilbutazone dimana pemberian melalui rute intravena memiliki onset kurang dari
15 menit (Ramsey 2017).
Daerah lamelar merupakan salah satu tempat yang disukai oleh mikosis kuku, oleh
karena itu diberikan antijamur berupa miconazole. Miconazole adalah sediaan antijamur yang
efektif untuk digunakan untuk dermatofitosis dan candidiasis. Obat ini juga memiliki aktivitas
untuk bakteri kokus gram positif (Septiningru 2018). Miconazole bekerja dengan menghambat
sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membrane sel jamur meningkat dan dapat
menghasilkan peroksida yang menyebabkan sel jamur menjadi lisis (Ramsey 2017).
Widyananta et al. (2018) menyatakan, dalam terapi kasus laminitis dapat menggunakan
antiinflamasi sistemik seperti flunixin diikuti dengan pemberian phenilbutaone oral, ditambah
dengan pemberian suplemen kuku yang mengandung biotin, methionine, dan zinc diberikan dua
hari sekali. Kuda dipuasakan dari pellet, diberi alas kandang yang tebal, diberikan kompres
dingin, dan diistirahatkan.
5

SIMPULAN

Penanganan kasus laminitis telah dilakukan dengan pemberian antibiotic cefalotin sodium
untuk mengatasi infeksi pada kulit atau jaringan lunak, antibiotic gentamycine sulfate untuk
mengatasi infeksi bakteri batang aerobik gram negatif, megulumin flunixin untuk mengatasi
radang dan nyeri pada musculoskeletal, phenylbutazone sebagai antiinflamasi, dan miconazole
sebagai sediaan antijamur yang efektif untuk digunakan untuk dermatofitosis dan candidiasis.

DAFTAR PUSTAKA

Baxter GM. 1994. Accute laminitis. Vet Clin North Am Equine Pract.36(1):194-198.
Boosman R, Németh F, Gruys E. 1991. Bovine laminitis: Clinical aspects, pathology and
pathogenesis with reference to acute equine laminitis. Veterinary Quarterly. 13(3):163-171.
DOI: 10.1080/01652176.1991.9694302.
Baxter GM. 1986. Equine laminitis caused by distal displacement of the distal phalanx: 12 cases
(1976-1985). J Am Vet Med Assoc. 189(1): 326-329.
Cohen ND, Parson EM, Seahorn TL. 1994. Prevalence and factor associated with development
of laminitis in hiorses with duodenitis/proximal jejunitis. J Am Vet Met Assoc. 204(1): 250-
254.
Eaton SA, Allen D, Eades SC, et al. Digital starling forces and hemodynamics during early
laminitis induced by an aqueous extract of black walnut (Juglans nigra) inn horses. Am J
Vet Res. 56(1): 1338-1344.
Herthel D, Hood DM. 1999. Clinical presentation, diagnosis, and prognosis of chronic laminitis.
Veterinary Clinics of North America: Equine Practice. 15(2):375–394.
DOI:10.1016/s0749-0739(17)30151-7.
Katzung BG. 2007. Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition.United States : Lange
Medical Publications.
Krueger AS, Kinden DA, Garner HE. 1986. Ultrastructural study of the equine cecum during
onset of laminitis. Am J Vet Res. 47(1):1804-1812.
Lintong PM, Kairupan CF, Sondakh PLN. 2012. Gambaran mikroskopik ginjal tikus wistar
(rattus norvegicus) setelah diinduksi dengan gentamisin. Jurnal Biomedik. 4(3):185-192.
Marginingtyas E, Mahmudy WF, Indriati. Penentuan komposisi pakan ternak untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi ayam petelur dengan biaya minimum dengan menggunakan algoritma
matematika. DORO: Repository Jurnal Mahasiswa PTIIK Universitas Brawijaya. 5(12): 1-
7.
Mitchell CF, Fugler LA, Eades SC. 2015. The management of equine acute laminitis. Veterinary
Medicine: Research and Reports. 6: 39-47.
Pollit C. 2003. Equine laminitis: Current Concepts. Canberra (AU): RIRDC.
Pollitt CC. 2004. Equine laminitis. Clinical Techniques in Equine Practice. 3(1):34–44. DOI:
10.1053/j.ctep.2004.07.003.
Pollitt CC. 2008. Equine Laminitis: Current Concepts. Canberra (AU): RIRDC.
Ramsey I. 2017. Small Animal Formulary Part A : Canine and Feline. 9th Ed. Glasgow
(UK) : BSAVA.
6

Septiningrum A, Muslimin, Ciptaningtyas VR. 2018. Uji beda sensitivitas jamur malassezia sp.
Terhadap flukonazol dan mikonazol secara in vitro. Jurnal Kedokteran Diponegor. 7(1):
49-61
Swanson TD. 1999. Clinical presentation, diagnosis, and prognosis of acute laminitis. Veterinary
Clinics of North America: Equine Practice. 15(2):311–319. DOI:10.1016/S0749-
0739(17)30147-5
Tanaka K, Onishi T, hirano S. 2002. A case study of laminitis in racehorses: recovery from
prolapse of the solar corium. J Equine Sc. 13(1): 1-7.
Tanaka K, Onishi T, Hirano S. 2002. A case study of laminitis in racehorses: recovery from
prolapse of the solar corium. J. Equine Sci. 13(1):1-7.
Ulutas PA, Bayramli G, Ulutas B, Kiral F, Atasoy A. 2006. Oxidative stress and non-enzymatic
antioxidant status in dogs with aspirin induced gastric mucosal injury. Rev. Med. Vet.,
157(9): 401.
Vijayachari PAP, Sugunan AN, Shriram. 2008. Leptospirosis: an emerging global public health
problem, J Biosci 33(4): 557-569.
Watt G. Leptospirosis. 2013. In: Magill AJ, Hill DR, Solomon T, Ryan ET, editors. Hunter’s
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases,9th Ed. London (US):
SaundersElsevier
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya. Jakarta (ID): Erlangga.
Widyananta BJ, Fathiyah FD, Hidayat WN. 2018. Radiografi sebagai alat penunjang diagnosa
dan kontrol persembuhan laminitis pada kuda. ARSHI Vet Lett. 2(3):47-48.
Wysocki J, Liu Y, Shores N. 2014. Leptospirosis with Acute Liver Injury. [Proceeding] Baylor
University Medical Center.
Yuliarti N. 2005. Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (Dalam Agnes HT) Edisi 1.
Yogyakarta (ID): Andi Offset.
Yunianto B dan Ramadhan T. 2010. Kajian epidemiologis kejadian leptospirosis di kota
semarang dan kabupaten demak tahun 2008. Balaba. 6

Anda mungkin juga menyukai