Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN BESAR

Case Report Sistem Integumen


Clinical Management of Lameness due to Traumatic Injury in a
Cow

Oleh:

Andi Kurniawan, S.KH


NIM. 200130100111103

Kelompok 6 / Gelombang VIII

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN BESAR
PERIODE 2020/2021
GELOMBANG VIII KELOMPOK 6

Oleh:
Andi Kurniawan, S.KH
200130100111103

Menyetujui

Koordinator Rotasi Interna Hewan Besar Dosen Pembimbing/Penguji

drh. M. Arfan Lesmana, M.Sc drh. Ida Bagus Gde Rama Wisesa
NIK. 2013098410041001 NIP. 19931127 2019032 014

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

drh. Nofan Rickyawan, M.Sc


NIP. 19851116 201803 1 001
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Sinyalemen dan Anamnesa


Seekor sapi dewasa seberat 475 kg yang dipelihara secara semi-intensif dibawa ke
Rumah Sakit Hewan Universitas dengan keluhan pincang selama sekitar 2 minggu.
Sebelumnya, sapi disuntik dengan flunixinmeglumine.

1.2 Pemeriksaan Fisik


Sapi tampak cerah dan waspada serta memiliki skor kondisi tubuh 2,5 / 5, suhu rektal
38,3ºC dan denyut nadi 80 denyut / menit. Pemeriksaan klinis menunjukkan selaput lendir pucat
dan adanya kutu di daerah Axillary dan Para lumbar.

1.3 Gejala Klinis


Selain itu, kepincangan lengan depan kanan yang tidak menahan beban dan kuku medial
yang tertusuk yang terasa nyeri saat palpasi. Pembesaran kelenjar getah bening pra-skapular
kanan (7x5 cm) dan kiri (7x6 cm) juga diamati.

1.4 Diagnosa
Diagnosa yang diambil berdasarkan dari pemeriksaan fisik serta gejala klinis yang
dialami oleh sapi tersebut adalah laminess atau kepincangan pada kaki depan sebelah kanan
dikarenakan kuku bagian medial yang terkena trauma berupa luka tusukan.

1.5 Pengobatan
Luka yang tertusuk dibersihkan secara menyeluruh dan didesinfeksi dengan povidone
iodine dan tembaga sulfat yang dicampur dengan KY jelly diaplikasikan. Ini diulangi dua kali
sehari selama 5 hari, sapi juga diberikan oksitetrasiklin pada 20 mg / kgBB (45 mL) sekali IM
dan 20 mL Vitavet® sekali, IM. Sapi juga diberikan 1,1 mg / kg (9 mL) flunixinmeglumine
sekali secara intravena. Akhirnya 1 mL / 50 kg ivermectin ™ (9 mL) diberikan satu kali, secara
subkutan. Setelah dua minggu pasca perawatan lukanya sembuh total dan sapi bisa berjalan
normal kembali. Peternak disarankan untuk rutin membersihkan kandang dan menyingkirkan
benda tajam di lingkungan peternakan yang dapat melukai sapi.
BAB II. PEMBAHASAN

Lameness atau kepincangan adalah salah satu kendala terbesar bagi produktivitas,
kesehatan dan kesejahteraan sapi perah. Juga menyebabkan kerugian finansial yang signifikan
bagi para peternak hewan Ini adalah manifestasi klinis dari spektrum penyakit yang luas dengan
total 43 penyebab dan lebih dari 80 potensi bahaya. Bahaya terhadap kesehatan kuku dan
mobilitas sapi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, banyak aspek dari lingkungan
sapi seperti tipe rumah, kualitas lantai dan desain bilik dapat membahayakan kesehatan kuku.
Keputusan pengelolaan seperti rutinitas pemangkasan kuku atau pemangkasan berlebihan juga
dianggap berdampak pada kesehatan kuku (Sulayeman & Fromsa, 2012).
Kepincangan dapat menyebabkan gangguan dalam kehidupan normal sapi,
berkurangnya nafsu makan dan konsumsi bahan makanan kering, kondisi tubuh yang buruk,
produksi susu yang berkurang, persentase mastitis klinis yang lebih tinggi pada sapi yang
terkena, gangguan reproduksi dan tingkat pemusnahan yang tinggi dalam kawanan. Insiden
terbesar (90%) kepincangan melibatkan kaki, dan 90% di antaranya melibatkan kaki belakang.
Penyebab kepincangan yang paling sering adalah: laminitis, penyakit kuku, dermatitis digital,
dan busuk kaki. Karena sapi individu sering memiliki lebih dari satu penyebab ketpincangan
pada saat yang sama, memahami berbagai jenis kepincangan serta protokol pengobatan dan
pencegahan adalah penting (Gelasakis et al., 2019).
Menurut beberapa penelitian yang dilaporkan, kepincangan menempati urutan ketiga
dalam menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak sapi perah setelah infertilitas dan mastitis.
Lesi yang ditemukan menyebabkan kepincangan adalah 6 (40%) fraktur kuku, 4 (26,6%)
ulserasi telapak kaki, 2 (13,3%) pertumbuhan berlebih kuku dan trauma masing-masing dan 1
(6,6%) pemberian obat yang salah. Delapan dari 15 hewan yang positif pincang sedang diperah
susu sedangkan sisanya tidak ada yang diperah susu. Produksi susu harian rata-rata per sapi
berkurang dari 6,36 liter menjadi 4,75 setelah timbulnya kepincangan yang menunjukkan
bahwa kepincangan telah menyebabkan hilangnya rata-rata produksi susu sebesar 1,63 liter per
sapi per hari (Sulayeman & Fromsa, 2012).
Beberapa gejala klinis yang nampak ketika hewan mengalami lameness atau
kepincangan antara lain (Van Nuffel et al., 2015) :

a. Perubahan Pola Berjalan


Sapi yang mengalami kepincangan akan berjalan lebih lambat, memiliki durasi
langkah yang lebih lama, langkah yang lebih pendek, dan distribusi bobot yang lebih
tidak merata di atas anggota badan daripada sapi yang tidak mengalami kepincangan.
b. Perubahan Postur atau Pola Gerakan Tubuh
Postur punggung melengkung yang lebih jelas dikaitkan dengan kepincangan
pada sapi, baik saat berdiri maupun berjalan. Gerakan kepala atau kepala 'bobs' (yaitu,
mengangguk, gerakan vertikal kepala saat anggota tubuh yang lumpuh membuat kontak
dengan tanah) juga telah disebutkan sebagai karakteristik kepincangan pada sapi.
c. Perubahan Pola Distribusi Bobot
Hewan yang mengalami kepincangan cenderung memindahkan berat tubuhnya
ke anggota tubuh yang tidak terpengaruh untuk mengurangi rasa sakit.
d. Perubahan Perilaku
Selain cara berjalan. Kepincangan pada sapi dapat mempengaruhi perilaku sapi
seperti waktu berbaring yang lebih lama dan waktu berdiri yang lebih pendek sehingga
akan mempengaruhi nafsu makan dari sapi.

Pada studi kasus tersebut menunjukkan gejala klinis perubahan cara berjalan serta
perubahan postur karena sapi tersebut mengalami kepincangan pada kaki depan sebelah kanan
dikarenakan terdapat luka trauma berupa tusukan pada kuku bagian medial. Oleh karena itu
sapi tersebut menggunakan kaki depan sebelah kiri dan kedua kaki belakang sebagai tumpuan
untuk berdiri.
Luka trauma pada kuku umumnya disebabkan oleh benda tajam, maserasi atau
keretakan integumen kuku, serta abrasi kulit bagian bawah yang terjadi bila kulit basah dan
kuku lunak. Faktor kepincangan sendiri banyak macamnya tergantung kondisi cuaca,
perkandangan dan feeding habit termasuk perbedaan ras. Faktor predisposisi timbulnya
kepincangan antara lain lantai kandang yang kotor dan basah dapat memperlunak dan
menyebabkan maserasi epidermis interdigiti, sehingga mikroorganisme dapat dengan mudah
menembus dan menginfeksi jaringan kulit, begitu pula batu-batuan atau benda tajam termasuk
lantai yang kasar dapat melukai jaringan interdigiti sehingga akan menjadi port d’entre agen
infeksi (Budhi, 2018).
Sebagai langkah pertama dalam pemeriksaan klinis, visualisasikan gerakan hewan
secara hati-hati dengan memindahkan hewan ke lorong atau kandang. Untuk pemeriksaan lebih
dekat pada kaki dan palpasi tungkai, periksa sapi saat berada di dalam kandang. Dimulai
pemeriksaan kaki dengan cara dinaikkan. Amati kaki dan tumit untuk pertumbuhan yang
berlebihan, memar, retakan, dan erosi. Amati daerah sendi untuk pembengkakan atau panas,
yang mungkin menunjukkan eksudat, darah, atau cairan di dalam atau di sekitar kapsul sendi
Periksa kesimetrisan panggul dan berikan tekanan ke bawah pada daerah lumbal (Ala-Kurikka
et al., 2017). Pada kasus ini teknik diagnosa yang dilakukan adalah mengamati pergerakan sapi
serta melakukan palpasi pada bagian kaki depan sebelah kanan.
Obel grades of lameness atau tingkat keparahan kepincangan yang dicetuskan oleh Nils
Obel berdasarkan antara kepincangan dengan keparahan secara klinis yang terlihat. Hewan
dengan grade I ditandai dengan menompang berat badan pada satu kaki dan bergantian ke kaki
laiinya, tetapi hewan masih dapat bergerak bebas. grade II kepicangan terlihat jelas terutama
saat berputar dan menyeret saat berjalan. Pada grade III hewan tidak mau bergerak dan menolak
saat kaki diangkat karena rasa sakit yang diderita. Dan grade IV merupakan tingkatan paling
parah yakni kuda lebih sering berbearing, dan tidak mau bergerak ataupun berjalan (Pollitt,
2004).
Pengobatan yang diberikan adalah injeksi oksitetrasiklin secara IM yang mana
tetrasiklin umumnya bertindak sebagai antibiotik bakteriostatik dan menghambat sintesis
protein dengan mengikat secara reversibel ke subunit ribosom 30S dari organisme yang rentan,
mencegah pengikatan pada ribosom tersebut dari RNA transfer aminoasil. Tetrasiklin juga
diyakini mengikat secara reversibel pada ribosom 50S dan juga mengubah permeabilitas
membran sitoplasma pada organisme yang rentan. Dalam konsentrasi tinggi, tetrasiklin juga
dapat menghambat sintesis protein oleh sel mamalia. Kemudian pemberian Vitavet yaitu
sebagai terapi suportif, karena vitavet mengandung vitamin. Flunixinmeglumine merupakan
obat analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Pemberian ivermectin adalah untuk anti parasit.
Ivermectin merupakan obat anti parasit berspektrum luas. Ivermectin bekerja melepas GABA
(gamma amino butyric acid) yang mencegah neurotransmitter, sehigga menyebabkan paralisa
baik pada nematoda muda, dewasa maupun arthropoda (Fallis, 2013).

Salah satu cara untuk mencegah kepincangan pada sapi adalah adanya umbaran atau
tempat untuk melepas sapi, ditempat umbaran sapi akan bergerak bebas sehingga mekanik kuku
akan menjadi baik. Mekanik kuku sangan tergantung dari kembang kempisnya kuku pada
waktu diangkat dan menapak, sehingga sirkulasi daerah kuku menjadi baik. Secara normal
sirkuasi pada daerah kuku, nutrisi yang masuk ke bagian kuku akan lebih baik sehingga kuku
tumbuh normal dan kuat. Latihan atau berjalan-jalannya sapi merupakan faktor potensial untuk
mengurangi kejadian pincang. Kebersihan dari kandang juga mempengaruhi kejadian pincang
banyak nya kotoran pada kandang dapat menyebabkan bakteri tumbuh subur sehingga penting
untuk menjaga kebersihan serta drainase kandang. Lantai kandang atau padangan juga harus
dijaga agar tidak becek dan kotor yang nantinya dapat membuat kuku menjadi lunak serta
mudah mengalami trauma (Budhi, 2018).
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lameness atau kepincangan merupakan penyakit yang sering timbul pada sapi. Penyakit
ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi karena penurunan produksi susu,
berat badan, fertilitas serta penambahan biaya pengobatan. Pada case report tersbut sapi
mengalami kepincangan pada kaki depan sebelah kanan dikarenakan trauma berupa luka
tusukan. Terapi yang diberikan obat topikal povidine iodine dengan magnesium sulfat dicampur
KY jelly, oksitetrasiklin 45 mL dan VitaVet 20 mL secara IM, injeksi 9 mL flunixinmeglumine
serta 9 mL ivermectin. Kebersihan kandang sangat berpengaruh terhadap faktor penyebab
terjadi nya kepincangan pada sapi.

3.2 Saran
Dapat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan lebih detail sehingga dapat memberikan
info acuan keadaaan seperti yang terjadi dengan pengobatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ala-Kurikka, E., Heinonen, M., Mustonen, K., Peltoniemi, O., Raekallio, M., Vainio, O., &
Valros, A. (2017). Behavior changes associated with lameness in sows. Applied Animal
Behaviour Science. https://doi.org/10.1016/j.applanim.2017.03.017
Budhi, S. (2018). Aalisis penyebab dan faktor resiko terjadinya pincang pada sapi perah di
kecamatan Pakem, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner.
https://doi.org/10.22146/jsv.39514
Fallis, A. . (2013). Plumbs Veterinary Drug Handbook. Journal of Chemical Information and
Modeling.
Gelasakis, A. I., Kalogianni, A. I., & Bossis, I. (2019). Aetiology, risk factors, diagnosis and
control of foot-related lameness in dairy sheep. In Animals.
https://doi.org/10.3390/ani9080509
Pollitt, C. C. (2004). Equine laminitis. Clinical Techniques in Equine Practice.
https://doi.org/10.1053/j.ctep.2004.07.003
Sulayeman, M., & Fromsa, A. (2012). Lameness in dairy cattle: Prevalence, risk factors and
impact on milk production. Global Veterinaria.
Van Nuffel, A., Zwertvaegher, I., Pluym, L., Van Weyenberg, S., Thorup, V. M., Pastell, M.,
Sonck, B., & Saeys, W. (2015). Lameness detection in dairy cows: Part 1. How to
distinguish between non-lame and lame cows based on differences in locomotion or
behavior. Animals, 5(3), 838–860. https://doi.org/10.3390/ani5030387

Anda mungkin juga menyukai