Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN AKHIR KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL (LUAR KAMPUS)

Gelombang X Kelompok 2
29 Agustus-16 September 2022

Oleh:
JUSANTI MUKAROMAH, S.KH
NIM.210130100111078

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
LAPORAN AKHIR KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL (LUAR KAMPUS)

Gelombang XKelompok 2
29 Agustus - 16 September 2022

SUSPECT NON EFFUSIVE FELINE INFECTIOUS PERITONITIS PADA


KUCING BRITIS SHORT HAIR
DI PDHB drh.CUCU K.SAJUTHI,DKK. SUNTER

Oleh:
JUSANTI MUKAROMAH, S.KH
NIM. 210130100111078

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR KEGIATAN PPDH


ROTASI INTERNA HEWAN KECIL (DALAM KAMPUS)

29 Agustus - 16 September 2022

Oleh:
Jusanti Mukaromah
210130100111078

Gelombang X Kelompok 2

Menyetujui,

Koordinator
Rotasi Interna Hewan Kecil Pembimbing Kelompok

drh. Tiara Widyaputri, M.Si drh. Sonya Budiarto


NIP. 19871030 202203 2 005

Mengesahkan,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

drh. Nofan Rickyawan, M.Sc


NIP. 19851116 201803 1 001
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kucing merupakan salah satu hewan peliharaan yang banyak dipilih untuk
dipelihara oleh masyarakat. Hal tersebut menjadikan kucing merupakan salah satu
hewan peliharaan yang sangat dekat dengan manusia. Manfaat pemeliharaan kucing
dinyatakan dapat meningkatkan motivasi pemiliknya dalam berolahraga dan dapat
menurunkan tingkat stress (Keat et al., 2016). Akan tetapi kurangnya pengetahuan
terkait kesehatan hewan menyebabkan masih banyaknya diamati gangguan
kesehatan pada kucing baik yang disebabkan oleh faktor infeksius maupun non
infeksius. Salah satu gangguan kesehatan yang dapat menginfeksi kucing adalah
feline infectious peritonitis.
Feline infectious peritonitis (FIP) merupakan salah satu infeksi virus dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kucing. Infeksi bisa bersifat fatal
pada kucing yang terinfeksi dengan ataupun tanda gejala klinis tertentu. Virus dapat
menyerang kucing liar maupun kucing domestik. Kasus lebih banyak dilaporkan
terjadi pada kucing jantan dan kucing muda yang berumur dibawah 3 (tiga) tahun
(Felten dan Hartmann, 2019). Penyakit ini disebabkan oleh bentuk mutasi dari agen
infeksi feline coronavirus (FCoV) yang diklasifikasikan pada genus
Alphacoronavirus (Horhogea et al., 2011). Infeksi ini terdapat dalam 2 (dua) bentuk
utama yaitu bentuk efusif dan non efusif. Uveitis merupakan tanda klinis umum
yang diamati sebagai bentuk dari non-efusi.
Feline infectious peritonitis (FIP) merupakan salah satu penyakit yang
menyerang kucing pada berbagai usia. FIP disebabkan oleh Feline Coronavirus dan
telah dilaporkan di berbagai negara dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi serta kasus penyakit FIP ini telah tersebar di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Infeksi dapat bersifat fatal pada kucing yang terinfeksi dengan ataupun
tanda gejala klinis tertentu (Sharif et al, 2010). Manifestasi FIP dibagi ke dalam 2
bentuk yaitu tipe basah (effusive form) dan kering (non effusive form). Tipe kering
tidak memiliki efusi dan paling sulit untuk didiagnosa. Tipe kering ini dapat ditandai
dengan adanya lesi granulomatosa yang berkembang di salah satu dari berbagai
organ.
Pada kasus FIP tipe kering, seringkali melibatkan ocular dan atau neurologis. Tanda
klinis pada mata dan neurologis pada kucing yang terkena tipe basah hanya berkisar
kurang dari 9%, sedangkan pada tipe kering keterlibatan tanda klinis mata dan
neurologis yaitu sebesar 60% pada kucing. Perubahan warna iris seringkali menjadi
tanda awal dari penyakit FIP yang dapat menyebabkan distorsi pupil. Endapan
keratik pada kornea juga dapat ditemukan. Namun, dua tanda ocular yang dominan
pada kucing yang terinfeksi FIP tipe kering yaitu uveitis dan korioretinitis (Wang,
2022).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari kegiatan PPDH rotasi Interna Hewan Kecil di Gloriavet
Bandung adalah:
1. Bagaimana tahapan diagnosa suspect non effusive Feline Infectious Peritonitis
pada kucing di PDHB drh. Cucu K. Sajuthi, Sunter?
2. Bagaimana penanganan suspect non effusive Feline Infectious Peritonitis pada
kucing di PDHB drh. Cucu K. Sajuthi, Sunter?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan PPDH rotasi Interna Hewan Kecil di Gloriavet
Bandung adalah:
1. Mengetahui tahapan diagnosa non effusive Feline Infectious Peritonitis pada
kucing di PDHB drh. Cucu K. Sajuthi, Sunter
2. Mengetahui Bagaimana penanganan non effusive Feline Infectious Peritonitis
pada kucing PDHB drh. Cucu K. Sajuthi, Sunter
1.4 Manfaat
Manfaat bagi mahasiswa PPDH FKH UB rotasi Interna Hewan Kecil yaitu
mampu memahami tahapan-tahapan dalam peneguhan diagnosa dan penanganan
yang dilakukan pada pasien yang mengalami non effusive Feline Infectious
Peritonitis di PDHB drh. Cucu K. Sajuthi, Sunter
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi sistema mata

Gambar 2. 1 Anatomi mata


Mata merupakan organ tubuh yang sensitif, dimana mudah terjadi
infeksi atau iritasi apabila terdapat agen asing yang masuk. Berdasarkan
struktur anatomi, bola mata terletak pada ooit yang dikelilingi oleh os
frontalis, palatine, lacrimalis, zygomaticus, dan presphenoid. Pergerakan bola
mata diatur oleh otot ekstraokular dan diinervasi oleh nervus cranialis III, IV,
dan X. secara struktural, mata dibagi menjadi bagian luar dan bagian dalam,
yang berupa kelopak mata, sistem lakrimasi, konjungtiva dan third eyelid,
sklera, kornea, iris dan ciliary body, lensa serta retina (Kartini, 2017).
Kucing memiliki struktur tambahan pada kelopak mata, yaitu
membrane nictitan. Membrane nictitan (third eyelid) pada kucing dan
karnivora lainnya dalam kondisi normal tidak terlihat karena membrane
nictitan tersembunyi pada sudut mata. Bagian ini berfungsi sebagai lubrikasi
dan membersihkan permukaan mata sehingga kucing jarang berkedip.
Kelopak mata pada kucing (eyelid) berfungsi untuk membersihkan dan
melindungi mata, bulu mata (eyelish) berfungsi untuk melindungi mata dari
debu serta menyaring cahaya yang masuk ke mata. Mata juga dilengkapi oleh
struktur lakrimasi atau kelenjar air mata yang berfungsi untuk produksi air
mata yang akan membasahi kornea serta menjaga kelembapan mata (Slatter,
2011).
Mata kucing memiliki ciri khusus yang berbeda dengan hewan lainnya.
Retina pada kucing mengandung 2 tipe sel fotorestor yaitu sel batang (rods)
dan sel kerucut (cones). Sel batang bereaksi terhadap intensitas cahaya,
sehingga memudahkan kucing membedakan warna hitam, putih, dan abu-abu.
Sel kerucut berfungsi menyediakan warna. Tetapi, pada kucing memiliki
lebih banyak sel batang (rods) daripada sel kerucut. Kucing dapat melihat
pada kondisi cahaya yang redup, namun terbatass dalam melihat warna
(Eldredge et.al, 2008).

Gambar 2. 2 Bagian-bagian mata

Struktur mata selanjutnya adalah konjungtiva, dimana merupakan


lapisan yang berada pada permukaan bagian dalam eyelid, bagian dalam dan
luar permukaan membrane nictitan, dan anterior bagian sclera. Konjungtiva
berfungsi untuk pergerakan mata, tear dynamics karena menghasilkan gel
seperti mucin, dan sistem pertahanan/imunitas. Selanjutnya adalah iris,
dimana berfungsi untuk mengontrol jumlah cahaya yang masuk kedalam mata
dengan mengubah ukuran pupil. Pupil adalah lingkaran yang dibentuk oleh
iris. Kemudian, pada bagian anterior chamber mengandung cairan berupa
aqueous humor yang dihasilkan oleh sel epitel ciliary. Aqueous humor
berfungsi mensuplai nutrisi, membuang produk sisa dari lensa, vitreous,
cornea, dan iris. Mempertahankan transparansi mata, serta mempertahankan
intraocular pressure (IOP) dan bentuk bola mata (Stades, 2007).
2.2 Gejala Klinis pada sistema mata
2.2.1 Uveitis
Uveitis merupakan peradangan sebagian atau seluruh uvea. Bagian uvea
yang terlibat dapat seluruh bagian uvea, tetapi iritis, iridosiklitis (uveitis
anterior), koroiditis, atau korioretinitis (uveitis posterior) dapat terjadi secara
terpisah. Uveitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis peradangan
(seperti eksudatif atau granulomatosa), cara perkembangannya (eksogen atau
endogen), atau stadium (akut atau kronis) (Stades, 2007).
Uveitis merupakan kondisi terjadinya peradangan pada uvea, terutama
pada iris yang menyebabkan peningkatan viskositas aqueous, dikarenakan
adanya kebocoran fibrin dan komponen seluler dari pembuluh darah. Kondisi
ini menyebabkan adanya hambatan aliran air, dapat juga terjadi perlekatan di
dalam dan disekitar sudut irido-kornea (Stades, 2007).
Uveitis dapat menyebabkan terjadinya perlekatan antara iris dan kapsul
lensa anterior (sinekia posterior) atau akan terjadi penutupan pupil sempurna
(oklusi pupil). Hal ini dapat menyebabkan blockade pupil. Karena adanya
perbedaan tekanan antara bilik posterior dan bilik mata depan, iris akan
bergeser ke kranial dan terjadi bombe iris. Kondisi ini dapat mempersempit
atau menutup sudut irido-kornea dan menghasilkan ruang anterior yang
dangkal (Stades, 2007).
Gambar 2. 3 Uveitis disertai fibrin pada kucing (stades, 2007)

2.2.2 Keratokonjungtivitis Sicca


Keratojonjungtivitis Sicca merupakan kejadian defisiensi lapisan air
mata pada kornea dan kunjungtiva, dan bukan merupakan keratitis primer.
KCS biasanya disebabkan oleh produksi air mata yang tidak memadai oleh
kelenjar lakrimal, sehingga fraksi berair, dan apabila dilakukan uji STT akan
didapati nilai yang rendah dan waktu pemecahan film air mata akan kurang
dari 20 detik. Kekurangan air mata ini juga dapat terjadi karena lapisan air
mata pecah akibat komposisi yang tidak normal (contohnya lapisan mukosa)
(Williams, 2002).

Gambar 2.4 Keratokonjungtivitis Sicca pada Anjing (Williams, 2002)


2.2.3 Blepharitis
Blepharitis merupakan peradangan yang terjadi pada kelopak mata.
Kondisi ini akan melibatkan kelenjar yang ada di tepi kelopak mata. Hal ini
dapat digambarkan sebagai blepharitis adenomatosa, tarsitis, atau
meibomianitis. Penyebab dari blepharitis yaitu reaksi hipersensitivitas
langsung atau tidak langsung, penyakit yang dimediase kekebalan tubuh,
alergi makanan, trauma, dan infeksi (Williams, 2002).
2.2.4 Glaucoma
Glaucoma merupakan konidisi yang didefinisikan sebagai proses
patologis dari berbagai etiologi, yang ditandai dengan penurunan sensitivitas
dan fungsi sel ganglion retina, kematian sel ganglion, hilangnya aksonal saraf
optic, dan pembesaran cuping kepala saraf optic. Glaucoma juga dapat
menyebabkan pengurangan secara bertahap pada bidang visual dan kebutaan.
Dalam patogenesa glaucoma, glutamate yang merupakan neurotransmitter
akan berperan karena dapat bersifat toksik pada sel ganglion (Gellat and
Plummer, 2022).
Glaucoma tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol dengan lebih
baik jika didiagnosis lebih dini. Jika dilakukan pemeriksaan, maka didapatkan
tekanan ocular yang tinggi berkisar 20-30 mmHg. Kerusakan yang tidak
dapat disembuhkan pada mata apabila didapati tekanan intraocular diatas 40
mmHg selama 48 jam. Mata akan berakomodasi apabila tekanan intraocular
antara 20-40 mmHg selama periode waktu yang lama, tetapi dapat terjadi
kemungkinan adanya kerusakan yang bersifat irreversible (Gellat and
Plummer, 2022).

Gambar 2. 4 Glaucoma akut disertai kongesti konjungtiva pada anjing


(Gellat and Plummer, 2002)

2.2.5 Konjungtivitis
Peradangan pada konjungtiva (konjungtivitis) dapat disebabkan oleh
penyebab non-infeksius atau infeksius, meskipun seringkali keduanya terlibat.
Faktor penyebabnya dapat berupa debu, rambut yang mengiritasi, atau virus
yang menyebabkan kerusakan awal. Kemudian, agen seperti bakteri,jamur,
atau ragi dapat menembus dan merusak kantung konjungtiva. Mekanisme
pertahanan yang rusak dapat disebabkan oleh kurangnya air mata, sindrom
defisiensi autoimun kucing, leukemia/limfoma ganas, penggunaan antibiotik,
kortikosteroid, atau anestesi topical jangka panjang. Konjungtivitis bilateral
sering disebabkan oleh infeksi. Pada kucing, pathogen sindrom pernapasan
bagian atas seringkali menyebabkan konjungtivitis (Gellat and Plummer,
2022).

Gambar 2. 5 Konjungtivitis akut pada kucing (Gellat and Plummer, 2002)


2.3 Pemeriksaan fisik Sistema Mata
Menurut Stades (2007), berikut merupakan aspek-aspek pemeriksaan fisik
pada mata:
a. Palpebrae
Pemeriksaan dengan melihat refleks buka-tutup sempurna palpebrae dan
pergerakannya harus teratur dan halus
b. Cilia
Pemeriksaan dengan inspeksi bagian tepian kelopak mata terdapat
abnormalitas (Distichiasis) atau tidak. Selama inspeksi dan palpasi tepi kelopak
mata, perlu diperhatikan juga apakah ada cacat bawaan seperti aplasia palpebra
(koloboma), dan cacat atau pembengkakan yang didapat karena trauma,
inflamasi (kalazion/hordeolum) dan atau neoplasia
c. Konjungtiva
Pemeriksaan konjungtiva dengan inspeksi dan palpasi. Evaluasi dengan
mengetahui warna, kehalusan (dirasakan dengan ujung jari jika perlu),
kelembapan, pembengkakan (misal karena edema kemosis), lesi/cacat, ada
tidaknya folikel, ada tidaknya benda asing, dan ada tidaknya eksudat inflamasi
d. Membrana niktitans
Pemeriksaan inspeksi, sebaiknya membandingkan kedua mata dengan
posisi mata kantus medial untuk melihat membran nictitans. Evaluasi dengan
mengetahui adanya perubahan warna, adanya pembengkakan, lesi, benda asing.

e. Sclera
Pemeriksaan yang perhatikan yaitu warna dari sklera yang biasanya
berwarna putih. Pigmen tubuh bisa merubah sklera menjadi hitam, paling
sering membuatnya menjadi berwarna kuning. peradangan lokal pada sklera
atau episklera dapat menyebabkan daerah penebalan merah muda-merah.
f. Cornea
Pemeriksaan pada cornea normal memiliki lapisan air mata yang utuh dan
memiliki permukaan bulat yang halus yang memiliki refleks yang
baik/reflektif, transparan, dan sangat sensitif.
g. Iris
Pemeriksaan pada iris menggunakan pen light dengan evaluasi
abnormalitas, warna, ketebalan, dan posisi. Pada iris berwarna kemerahan atau
abu-abu pada iris menunjukkan hiperemia dan/atau inflamasi eksudatif. Ini
adalah tanda-tanda iritis atau uveitis. Perkembangan gelap elevasi fokus
berpigmen merupakan indikasi dari awal dari neoplasma.
h. Limbus
Pemeriksaan pada limbus menggunakan inspeksi melihat bagian putih di
dekat konjungtiva. Evaluasi melihat abnormalitas seperti posisi, ketebalan dan
warna.
i. Pupil
Pemeriksaan pupil dengan inspeksi menggunakan pen light dengan
melihat bentuk pupilnya yang jelas terjadi miosis lengkap (penyempitan). pada
midriasis (pelebaran pupil), pupil biasanya berbentuk bulat.
2.4 Pemeriksaan penunjang pada Sistema Mata
2.4.1 Schirmer Tear Test
Metode ini dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan pada
kelenjar air mata. Prinsip dari Schirmer tear test yaitu dengan menggunakan
kertas absorben untuk mengukur jumlah air mata yang diproduksi selama 1
menit. Nilai normal pada hasil STT hewan anjing dan kucing yaitu 10-20
mm/menit. Jika kurang dari nilai normal maka diindikasikan hewan
mengalami mata kering (Ilyas et.al, 2012). Apabila nilai STT lebih dari 20-25
mm/menit maka diindikasikan terjadi iritasi pada konjungtiva. Hal ini
disebabkan gangguan sistem drainase lakrimal yang tidak mampu
mengalirkan limpahan air mata sehinga akan melewati batas kelopak mata di
kantus medial (Stades, 2007).
2.4.2 Fluorescent Test
Prinsip pada pengujian ini yaitu menggunakan pewarnaan orange
(fluorescent) serta cahaya biru untuk mendeteksi adanya benda asing pada
mata. Zat warna fluorescen akan berubah menjadi hijau pada media alkali,
dimana apabila pewarnaan ini menempel pada epitel kornea yang rusak maka
akan berwarna hijau. Karena jaringan epitel yang rusak akan bersifat basa
(Ilyas and Fluoresein, 2009).
2.4.3 Intraocular Pressure (IOP)
Pengujian IOP sangat penting untuk pemeriksaan mata, karena
peningkatan IOP akan mengindikasikan adanya kerusakan ganglion sel yang
mengakibatkan rusaknya pupil dan lapang pandang sehingga terjadi kebutaan.
Pada kasus glaucoma, terjadi penurunan sensitivitas dan fungsi sel ganglion
retina, dan kematian sel ganglion, kehilangan aksonal saraf optic, visual
menjadi berkurang, dan kebutaan. Nilai normal IOP pada anjing dan kucing
yaitu berkisar 15-20 mmHg. Pada kasus glaucoma tekanan IOP cukup tinggi
yaitu 20-30 mmHg (Stades, 2007).
2.4.4 Sitologi dan Kultur Mikrobiologi
Sampel sitologi dapat dikoleksi dengan menggunakan metode swab
steril permukaan konjungtiva. Teknik ini umumnya digunakan untuk
pengumpulan sel mikroba. Usap pada media kultur atau saline steril. Hasil
abnormal pada pengujian sitologi dapat ditemui sel epitel menjadi keratin,
terdapat neutrophil degeneratif dan non-degeneratif pada infeksi akut akibat
bakteri atau virus. Kemudian, pada hasil kultur didapati flora mikroba yang
dibagi menjadi pathogen residen dan oportunistik organisme (Athanasiou
et.al, 2018).
2.4.5 Pemeriksaan Hematologi
Salah satu jenis diagnosis penunjang adalah pemeriksaan hematologi.
Pemeriksaan hematologi dilakukan dengan mengamati parameter eritrosit,
leukosit, dan kimia darah. Eritrosit memiliki peran utama sebagai pembawa
oksigen ke jaringan (Weiss and Wardrop, 2010). Leukosit terdiri dari
beberapa jenis benda darah yaitu neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan
basofil. Peningkatan produksi neutrofil mengindikasikan adanya peradangan.
Monosit memiliki fungsi utama dalam membatasi replikasi mikroorganisme
dalam sel sehingga merupakan kunci utama dalam melawan serangan
berbagai macam organisme (Harvey, 2001). Eosinofil berperan meningkatkan
imunitas tubuh dalam melawan infeksi parasit seperti cacing. Basofil
berperan penting sebagai mediator reaksi hipersensitivitas (Weiss and
Wardrop, 2010).
Pemeriksaan kimia darah bertujuan untuk mengukur dan mengevaluasi
kadar dari beberapa zat kimia dalam darah. Pemeriksaan ini juga membantu
mengetahui adanya abnormalitas kondisi yang terjadi pada kucing kasus
melalui pemeriksaan darah. Hasil pemeriksaan kimia darah pada kucing kasus
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar glukosa, alkaline phosphatase,
persentase albumin: globulin, serta terjadi peningkatan pada kadar blood urea
nitrogen (BUN) (Weiss and Wardrop, 2010).
2.4.6 Rapid Test FIPV
Rapid Test FIP bertujuan untuk mendeteksi antibodi Immunoglobulin
M (IgM) dan Immunoglobulin G (IgG) dalam darah yang terbentuk ketika
terpapar FIP. IgM muncul terlebih dahulu, menjadi tanda awal infeksi. IgG
keluar kemudian, timbul reaksi yang lebih spesifik dan lebih kuat terhadap
virus. Spesimen (darah/ serum/ plasma) dimasukkan ke dalam alat uji dan
diserap dengan sistem kapilaritas, bercampur dengan konjugat pewarna
antigen FIP dan mengalir melintasi membran yang telah dilapisi sebelumnya.
Menunjukan hasil positif jika level antibody FIP pada sampel berada pada
atau di atas batas deteksi tes, sehingga muncul warna pada pita uji (T),
sedangkan ketika tingkat antibody FIP dalam sampel nol atau di bawah batas
target, pita uji (T) tidak berwarna, ini menunjukkan hasil negatif (Sumule,
2021).

BAB III
STUDI KASUS

3.1 Anamnesa dan Gejala Klinis


Kucing Bazz berjenis kelamin janntan dengan ras Domestic Short Hair, warna
rambut abu - abu dan putih. Kucing berusia 2 tahun dengan berat badan 3.3 kg dibawa
ke PDHB drh cucu pada tanggal 31 Agustus 2022 dengan keluhan lesu, tidak mau
makan sudah tiga hari, turgor lambat, ocular dexter hazy, tidak ada muntah , selaput
lendir pale, perabaan ginjal asimetris. Sebelumnya sudah di rawat di klinik lain dengan
keluhan kesulitan bab dan sempat menahan penis.

Gambar 3. 1 Kucing Bazz (Dokumentasi Pribadi, 2022)


3.2 Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum
Habitus/tingkah laku : Lesu
Gizi : BCS 2/5
Pertumbuhan badan : Proporsi tubuh baik
Sikap berdiri : Tegak, tetapi terlihat lesu
Suhu tubuh : 37,8 oC
Frekuensi nadi :
Frekuensi Nafas : 64 kali/ menit
B. Adaptasi lingkungan: Beradaptasi dengan baik
C. Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Rontok, Kusam
Kerontokan : Rambut rontok
Kebotakan : ada kebotakan di beberapa spot
Turgor kulit : >2 detik
Permukaan kulit : Tidak ada lesi
Bau kulit : bau khas kucing
D. Kepala dan leher inspeksi
Pertulangan kepala : Pertulangan kompak
Posisi tegak telinga : Tegak simetris
Posisi kepala : Tegak simetris
E. Mata dan orbita kiri
Palpebrae : Tidak ada kemerahan
Cilia : Tidak ada inflamasi
Konjungtiva : Tidak ada inflamsi
Membrane niktitan : Tidak menyembul keluar
F. Mata dan orbita kanan
Palpabrae ; Tidak ada kemerahan
Cilia : Tidak ada inflamasi
Konjuntiva : Tidak ada inflamasi
Membrane niktitans : Tidak menyembul keluar
G. Bola mata kiri
Sclera : putih
Cornea : Jernih
Iris : Homogen
Limbus : Batas terlihat jelas
Pupil : Terdapat respon pupil
Reflek pupil : Ada
Vasa injeksio : Tidak ada vasodilatasi pembuluh darah
Ukuran : Kompak
Posisi : Simetris
H. Bola mata kanan
Sclera : putih
Cornea : Jernih
Iris : ada inflamsi pada bagian uvea
Limbus : Batas terlihat jelas
Pupil : Terdapat respon pupil
Reflek pupil : Ada
Vasa injeksio : Tidak ada vasodilatasi pembuluh darah
Ukuran : Kompak
Posisi : Simetris
I. Hidung dan sinus
Kesimetrisan cuping hidung : Simetris
Aliran udara : Terasa
Kelembaban : Lembab
Discharge : Tidak ada Discharge
J. Mulut dan rongga mulut
Rusak/luka bibir : Tidak ada lesi
Mukosa : Berwarna pucat
Gigi geligi : Tidak ada lesi
Lidah : Tidak ada lesi
CRT : > 2 detik
K. Telinga
Posisi : Simetris
Bau : Bau khas telinga
Kebersihan : Sedikit kotor
Permukaan daun telinga : Tidak ada lesi
Krepitasi : Tidak ada krepitasi
Reflek panggilan : Tidak merespon
L. Leher
Perototan : Kompak
Trachea : Teraba
Esofagus : Tidak teraba
M. Kelenjar pertahanan lymphonodus retrhopharingealis
Ukuran : Simetris
Lobulasi : Tidak ada lobulasi
Perlekatan : Melekat
Konsistensi : kenyal
Suhu kulit : Tidak ada penongkatan suhu pada area
limfonodus
Kesimetrisan : Simetris
N. Thorak
Bentuk rongga thorax : Simetris
Tipe pernafasan : Thoracalis
Ritme : ritmis
Intensitas : Intensitas pernafasan dalam
Frekuensi : 64 kali/ menit
Trakhea : Teraba
Batuk : Tidak ada respon batuk
Palpasi
Trakhea : Teraba
Penekanan rongga thorax : Tidak ada respon sakit
Palpasi intercostal : Tidak ada respon sakit
O. Sistem peredararan darah inspeksi
Ictus cordis : Terlihat
Perkusi
Auskultasi
Frekuensi : 132 kali/menit
Intensitas : Cepat
Ritme : ritmis
P. Abdomen dan organ pencernaan yang berkaitan
Besarnya : Tidak ada perbesaran abdomen
Bentuknya : Kompak
Auskultasi
Palpasi
Epigastricus : Tidak ada respon sakit
Mosegastricus : Tidak ada respon sakit
Hipogastricus : Tidak ada respon sakit
Isi usus halus : Kosong
Isi usus besar : Kosong
Auskultasi
Sekitar anus : Bersih
Reflek sfinkter ani : Terdapat refleks sfinkter ani
Pembesaran kolon : Tidak ada perbesaran kolom
Kebersihan daerah perianal : Bersih
Q. Alat perkemihan dan kelamin(urogenitalis) jantan inspeksi
Preputium : Tidak ada perubahan warna, bentuk, ukuran dan
lesi
Penis : Mukosa penis pucat
Scrotum : Tidak ada perubahan bentuk, ukuran dan lesi
R. Alat gerak inspeksi
Perototan kaki depan : Kompak
Perototan kaki belakang : Kompak
Spasmus otot : Tidak ada
Tremo : Tidak ada
Sudut persendian : Simetris
Cara bergerak-berjalan : Tidak terdapat kepincangan
Cara berlari : terlihat lesu, tidak mampu untuk berlari
S. Kestabilan pelvis
Kesimetrisan : Simetris
Tuber ischii : Teraba
Tuber coxae : Teraba
T. Struktur pertulangan
Kaki kiri depan : Kompak
Kaki kanan depan : Kompak
Kaki kiri belakang : Kompak
Kaki kanan belakang : Kompak
Konsistensi pertulangan : Kompak
Reaksi saat palpasi : Tidak ada respon sakit, kaki kiri belakang lemah
Panjang kaki depan kanan-kiri: simetris sama
panjang
Panjang kaki belakang kanan-kiri: simetris sama panjang

3.3 Temuan Klinis


Adapun temuan klinis yang ditemukan pada kucing Bazz yaitu kucing lethargi,
adanya ocular discharge, mukosa pucat, pada saat palpasi bagian abdomen ginjal
asimetris,
3.4 Diagnosa Banding
Diagnosa banding yang diberikan kepada kucing Bazz berdasarkan temuan
klinis dan pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :
1 Cronic kidney desease
Chronic kidney desease merupakan penyakit yang sering muncul pada
kucing yang lebih tua dan sering terjadi pada kucing yang usia lanjut. Chronic
kidney desease yaitu terjadinya gangguan structural atau fungsional dari satu
atau kedua ginjal yang sudah lebih dari tiga bulan. Pada kebanyakan pasien
ditandai dengan hilangnya fungsi organ dan struktur. Hilangnya fungsi organ
atau struktur pada cronic kidney desease bersifat ireversibel (Bartges, 2012)
2 Feline infeksius peritonitis
Feline infeksius peritonitis merupakan salah satu infeksi virus dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kucing. Infeksi bisa bersifat
fatal pada kucing yang terinfeksi dengan ataupun tanda gejala klinis tertentu.
Virus dapat menyerang kucing liar maupun domestik. Kasus lebih banyk
dilaporkan terjadi pada kucing jantan dan kucing muda yang berumur dibawah 3
tahun. Feline infeksius peritonitis ini desabakan oleh bentuk mutase dari agen
feline corona virus (FCoV). Infeksi ini dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu bentuk
efusif dan non-efusif. Acites merupakan tanda kinis umum yang teramati dalam
bentuk efusif ( Jayanti et al., 2021).
3 Feline leukimia virus
Feline leukimia virus adalah retrovirus pada kucing imunosupresif yang
terjadi secra alami, menular dan ongkogenik.efek FeLV bersifat paradoks,
menyebabkan penyakit sitoproliferatif dan sitosupresif (misalnya, limfoma dan
gangguan mielosupresif). Feline leukimia virus dapat menyebabkan
imunodefisiensi, sitopenia, dan neoplasia pada kucing dengan bentuk penyakit
yang progresif. Penggunaan uji diagnostik yang semakin kuat dan akurat untuk
mengidentifikasi kucing yang terinfeksi FeLV dan perkembangan vaksin FeLV
yang efektif membantu penurunan prevalensi infeksi FeLV (Hofman et al.,
2020)
4 Feline immunodeficiency virus
Feline immunodeficiency virus (FIV) adalah salah satu penyakit menular
yang paling umum pada kucing yang terjadi di seluruh dunia. Virus ini
menyerang sistem kekebalan tubuh kucing dan membuat kucing rentan
terinfeksi virus lainnya, meskipun kucing yang terinfeksi FIV tampak normal
selama bertahun-tahun kemudian akhirnya menderita defisiensi imun, yang
mengakibatkan bakteri, virus, protozoa dan jamur yang biasanya tidak
berbahaya pada lingkungan sehari-hari berpotensi menyebabkan penyakit parah
(Sellon. 2006)
5 Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit
toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii dapat menginfeksi semua hospes
vertebrae berdarah panas dengan cakupan yang luas, termasuk manusia.
Umumnya kucing tertular toxoplasmosis karena memakan bahan yang
terkontaminasi atau memakan tikus yang terinfeksi. unruk menghindari
toxsoplasmosis pada manusia yaitu dengan cara menghindari mengkonsumsi
daging yang masih mentah dan mencuci tangan sebelum menangani daging
untuk menghilangkan organisme toxoplasma yang mencemari kulit. Pada kucing
pencegahan toxoplasmosis dilakukan dengan cara memberi makanan kering,
kalengan dan direbus tidak membiarkan kucing memburu tikus (Dubey et al.,
2020).
3.5 Pemeriksaan Penunjang
a Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan hematologi & kimia darah dilakukan pada tanggal 31
Agustus 2022 di PDHB drh. cucu K.Sajuthi dkk. Tujuan pemeriksaan ini untuk
melihat status profil darah pada kucing yang telah menunjukkan gejala klinis.
Hail pemeriksaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3. 1 Hasil pemeriksaan darah lengkap kucing Bazz.
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL
KUCING
Hematologi
Sel darah putih(WBC) 12.6 103/µL 5.5-19.5
Limfosit 2.4 % 20.0-55.0
Monosit 0.9 % 1.0-4.0
Eosinophil 4.8 % 2.0-12.0
Granulosit 91.9 % 35.0-78.0
Limfosit 0.3 103/µL 1.5-7.0
Monosit 0.1 103/µL 0.0-0.85
Eosinophil 0.6 103/µL 0.0-15
Granulosit 11.6 103/µL 2.5-14
Sel darah merah(RBC) 3.07 103/µL 5.0-10.0
Hemoglobin 6.5 g/dL 8.0-15.0
Hematokrit 15 % 24.0-45.0
MCV 48.9 fL 39.0-55.0
MCH 21.2 Pg 12.5-17.5
MCHC 43.3 g/dL 30.0-36.0
RDW 15.3 % 13.0-17.0
Trombosit (PLT) 232 103/µL 300-800
PCT 0.25 % 0.0-2.9
MPV 10.8 fL 12.0-17.0
PDW 15.1 % 0.0-50.0
Kimia Darah:
AST/SGOT 61 U/L 9.2-39.5
ALT/SGPT 57 U/L 8.3-52.5
Total protein 9.7 g/dL 5.7-8.0
Albumin 1.6 g/dL 2.4-3.7
Globulin 8.1 g/dL 2.6-5.1
Rasio A/G 0.20 0.6-1.1
Total bilirubin 0.351 mg/dL 0.15-0.30
Alkaline Phosphatase 19 U/L 12-65.1
(ALP)
Ureum (BUN) 61.4 mg/dL 20-30
Kreatinin 1.5 mg/dL 1-2
Glukosa 96.9 mg/dL 60-100
*Warna merah menunjukkan peningkatan dan warna biru menunjukan penurunan terhadap nilai normal.
b Ultrasonografi
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan di Cat Clinic PDHB drh.
Cucu pada tanggal 1 september 2022. Pemeriksaan usg dilakukan dengan dasar
adanya temuan klinis yaitu ginjal yang asimetris pada kucing Bazz. Hasil Usg
ginjal ditemukan adanya ginjal yang mengalami peradangan. Batas antara
korteks dan medula sudah tidak terlihat.

Gambar 3. 2 Hasil pemeriksaan USG Ginjal kucing Bazz (Dokumentasi pribadi, 2022)
c Pemeriksaan neurologi
d Tes kit

Gambar 3. 3 Hasil pemeriksaan Tes kit terhadap corona virus


(Dokumentasi Pribadi, 2022)
Berdasarkan pemeriksaan tes kit didapatkan hasil antibody positif yang
menandakan adanya respon imun terhadap infeksi feline corona virus. Namun, dari
hasil pemeriksaan antigen didapatkan hasil negatif yang menandakan bahwa virus
tersebut pernah menginfeksi tetapi sedang tidak berlangsung pada saat pemeriksaan.
3.6 Diagnosa
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
dapat ditegakkan diagnosa dari kucing Bazz yaitu suspect Feline Infeksius Peritonitis
(FIP) non-effusive.
3.7 Prognosa
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat
diambil diagnosa dubius-infausta.

3.8 Penanganan dan Pengobatan


Terapi yang dilakukan pada kasus FIP pada kucing Bazz di PDHB drh. Cucu K
yaitu:
a. Terapi cairan elektrolit
 Infus menggunakan cairan sodium chloride 0,9%
b. Terapi obat
 Ampicillin Sulbaktam
 Asam Folat
 Curcuma
 Albumin
 Sangobion
 Methylcobalamin
 Antiviral Basmi FIP GS-441524
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesa dan Temuan Klinis
Kucing Bazz berjenis kelamin jantan dengan ras Domestic Short Hair,
warna rambut abu - abu dan putih. Kucing berusia 2 tahun dengan berat badan
3.3 kg dibawa ke PDHB drh cucu pada tanggal 31 Agustus 2022 dengan keluhan
lesu, tidak mau makan sudah tiga hari, CRT dan turgor > 2 detik, ocular dexter
hazy, tidak ada muntah, selaput lendir pale, perabaan ginjal asimetris.
Sebelumnya sudah di rawat di klinik lain dengan keluhan kesulitan bab dan
sempat menahan penis. Menurut Davis (2013), dehidrasi terjadi ketika adanya
kekurangan cairan tubuh disertai kehilangan elektrolit, dan perubahan
keseimbangan asam basa. Penyebab umumnya adalah muntah, diare, anoreksia
dan chronic kidney disease. Gejala klinis dari dehidrasi yang dapat dijadikan
sebagai acuan yaitu hilangnya elastisitas kulit (turgor), keringnya membrane
mukosa, waktu pengisian kapiler (capillary refill time) yang bertambah,
dehidrasi yang berat akan mengalami depresi, kelemahan, dan shock.
Pemeriksaan laboratorium juga dapat dievaluasikan berdasarkan nilai PCV dan
plasma protein yang meningkat.
4.2 Gejala klinis dan problem Oriented Approach
Gejala klinis yang paling dominan terlihat oada kucing Bazz yaitu mata
dexter hazy yang diduga mengalami uveitis, dan membrane mukosa pucat.
Berdasarkan hasil temuan klinis dan pemeriksaan fisik, dilakukan Problem
Oriented Approach (POA) untuk menentukan arah diagnosa dari penyakit yang
dialami kucing Bazz.
Gambar 4. 1 Diagram POA kucing Bazz

Uveitis merupakan kondisi terjadinya peradangan pada uvea, terutama


pada iris yang menyebabkan peningkatan viskositas aqueous, dikarenakan
adanya kebocoran fibrin dan komponen seluler dari pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan adanya hambatan aliran air, dapat juga terjadi perlekatan di dalam
dan disekitar sudut irido-kornea (Stades, 2007).
Trauma dapat terjadi akibat terkena benda tumpul yang akan
menyebabkan uveitis oleh deformasi dan sebagai reflex melalui serabut saraf
kornea. Trauma yang dapat terjadi pada bola mata akibat terkena duri atau
goresan karena pembedahan intraocular secara keseluruhan dapat menyebabkan
uveitis. Tingkat keparahan peradangan tergantung dari jumlah trauma yang
terlibat dan jenis serta jumlah bahan infeksius yang masuk. Abnormalitas yang
terjadi dapat berupa penyumbatan drainase aqueus, menyebabkan glaucoma
sekunder, atau produksi aqueus terhenti yang menyebabkan phthisis bulbi.
Trauma juga dapat terjadi akibat cakaran kucing lainnya (Stades, 2007).
Beberapa kasus uveitis dapat terjadi akibat dari gangguan metabolisme.
Uveitis dapat terjadi secara sporadic sebagai akibat dari hyperlipoproteinemia.
Terkadang tidak sepenuhnya terjadi akibat kebocoran lipid sebagai akibat dari
kerusakan Blood Aqueous Barrier (BAB), atau lipoprotein yang berlebihan di
dalam darah akan menyebabkan kerusakan pada BAB. Selian pengobatan uveitis
yang tepat, asupan makanan lemak jenuh juga harus dikurangi (Williams, 2002).
Infeksi virus merupakan penyebab penting dari uveitis. Antigen yang
menempel pada endotel kornea dan leukosit yang tertarik dapat melepaskan
lisozim yang dapat menginduksi edema kornea akut, unilateral, dan padat. Pada
kucing, virus peritonitis (FIP; virus corona) dan virus leukemia kucing (FeLV)
mampu menembus ke dalam uvea. Seringkali dapat terjadi penurunan berat
badan. Oleh karena itu, pada kucing dengan tanda-tanda uveitis, terutama
hyphema dan eksudat hemoragi atau cloudy, sangat disarankan untuk menguji
FIP, FeLV, dan FIV (Gellat and Plummer, 2022).
Infeksi bakteri jarang menyebar ke uvea melalui rute hematogen
(misalnya tuberculosis). Pada sebagian besar kasus, bakteri hanya dapat
menembus ke dalam bola mata melalui perforasi primer (trauma termasuk
pembedahan, ulkus kornea, dll). Bakteri yang perlu diwaspadai pada kasus ini
adalah Pseudomonas sp., Staphylococcus sp, dan Streptococcus proteolitik.
Biasanya ditemui adanya eksudat purulent yang jelas di anterior chamber
(Stades, 2007).
Protozoa seperti Leishmania sp dan Toxoplasma gondii dapat
menyebabkan uveitis anterior. Uveitis sekunder biasanya terjadi setelah
pengobatan penyakit, dikarenakan peningkatan reaktivitas sistem kekebalan
terhadap antigen yang tersisa. Munculnya eksudat bervariasi dan pada kasus
uveitis Leishmania dapat didominasi granulomatosa dengan sedikit eksudat.
Terdapat perluasan di seluruh bola mata ke konjungtiva dan tepi kelopak mata.
Diagnosa dapat dilakukan dengan uji serologi atau dengan tes PCR (Williams,
2002).
Uveitis posterior merupakan peradangan pada uvea segmen posterior
(koroid) mata. Peradangan juga dapat menjadi bagian dari peradangan umum
pada seluruh uvea. Karena koroid dan retina sangat erat hubungannya baik
secara anatomis maupun fisiologis. Inflamasi koroid biasanya tidak melibatkan
retina atau sebaliknya. Klasifikasi uveitis posterior serupa dengan klasifikasi
uveitis anterior. Penyebab utama dari korioretinitis yaitu dapat berupa virus FIP,
FeLV, dan FIV, toksoplasmosis, ehrlichiosis, histoplasmosis, dan anaplasmosis.
Korioretinitis merkan manifestasi penyakit sistemik yang berhubungan dengan
uveitis anterior dan biasanya terjadi secara bilateral (Stades, 2007).
Pucat dapat didefinisikan sebagai kepucatan jaringan. Hal ini dapat
dinilai dari warna jaringan pada hewan dengan mengevaluasi warna selaput
lendir. Pada hewan yang normal, selaput lendir harus lembab dan berwarna
merah muda, dan dianggap pucat apabila secara subjektif memiliki warna terlalu
terang. Kondisi ini ditentukan oleh jumlah hemoglobin yang teroksigenasi di
dalam darah, serta tingkat perfusi darah di jaringan. Hal ini dapat diubah atau
bahkan tertutupi oleh adanya pigmen serum seperti bilirubin atau myoglobin.
Apabila terjadi kepucatan yang cukup parah, dapat menutupi kondisi lain seperti
sianosis dan harus dipertimbangkan dengan kondisi gagal jantung kongestif
sinister, penyakit kardiovaskular, dan keracunan. Evaluasi kepucatan pada
membrane mukosa dapat dilaakan pada bagian tubuh yang tidak berpigmen
seperti bibir, gingiva, dan konjungtiva. Lidah, nares, dan organ urogenital
(penis, preputium, vulva, dan vagina) dapat dilakukan evaluasi pada membrane
mukosa. Membrane tersebut kaya akan pembuluh darah kapiler dan mudah
dilihat adanya perubahan perfusi atau tingkat oksigenase jaringan (Ettinger et al.,
2017).
Hipoperfusi jaringan dapat diinduksi oleh sepsis, sepsis berat, dan syok
sepsis yang berkembang. Penting untuk dilakukan pemeriksaan terhadap
kelainan kardiovaskular. Profil hemodinamik sepsis berat dan syok diawali
dengan terjadinya syok hipovolemik, kardiogenik, dan distributif. Pada fase awal
sepsis, terjadi peningkatan kebocoran kapiler dan peningkatan kapasitasi vena
yang mengakibatkan penurunan aliran balik vena menuju jantung. Sitokin yang
dilepaskan merupakan respon dari adanya sepsis yang dapat mendepresi
miokardial secara langsung. Sehingga dapat terjadi penurunan stroke volume
dan fraksi ejeksi, menyebabkan kompensasi takikardia, dan penurunan resistensi
arteriol. Pada awal sepsis, sebelum dilakukan terapi cairan, hewan biasanya akan
mengalami penurunan cardiac output (Cavazzoni and Dellinger, 2006).
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya massa sel darah merah
(RBC), Pocked Cell Volume (PCV), hematocrit (HCT), konsentrasi hemoglobin,
atau jumlah RBC di bawah interval referensi. Sebaliknya, peningkatan massa sel
darah merah disebut eritrositosis dan didapati adanya nilai yang lebih tinggi dari
batas referensi. Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling umum
ditemui dalam praktik klinis veteriner dan dapat menjadi penyebab penyakit
misalnya, Immune Mediated Hemolytic Anemia (IMHA) dan penanda penyakit
seperti kanker, dan penyakit ginjal kronis. Terdapat tiga mekanisme
patofisiologis utama untuk anemia yaitu perdarahan (kehilangan), hemolysis,
dan penurunan produksi (Ettinger et al., 2017).
Berdasarkan temuan klinis pada sistema mata, yang kemudian dilakukan
Problem Oriented Approach (POA) pada temuan klinis uveitis. Temuan klinis
tersebut dominan mengarah pada kausa infeksi akibat virus. Virus yang dapat
menginfeksi yaitu FIP, FeLV, dan FIV. Hal ini sesuai dengan temuan klinis
berupa hazy pada mata dexter yang diperkuat oleh pernyataan Gellat and
Plummer (2022), bahwa kucing yang terinfeksi virus akan terlihat tanda-tanda
uveitis berupa hyphema dan eksudat hemoragi atau cloudy. Kemudian, pada
temuan klinis membrane mukosa pucat yang dilakukan Problem Oriented
Approach (POA) pada temuan klinis tersebut. Temuan klinis ini dominan
mengarah pada kausa anemia. Hal ini dikarenakan pada kasus ini tidak didapati
adanya tanda dari sepsis maupun syok seperti syok hipovolemik.
4.3 Pemeriksaan penunjang
4.3.1 Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan penunjang pada kasus ini antara lain berupa pemeriksaan
hematologi, pemeriksaan rapid test kit, USG dan Neurologi. Pada hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil kucing bazz mengalami anemia, ,
granulositosis, trombositopenia, hypoalbuminemia, hypoglobulinemia (Rasio
A/G yaitu 0,20), hyperglobulinemia, AST dan SGOT meningkat,total bilirubin
meningkat dan BUN meningkat.
Anemia merupakan penurunan massa sel darah merah (RBC) yang
mengakibatkan penurunan oksigenasi pada jaringan. Massa sel darah merah
dapat ditentukan dengan cara mengukur Pocked Cell Volume (PCV), jumlah
hemoglobin dalam darah, dan jumlah eritrosit. Sebaliknya, peningkatan massa
sel darah merah disebut eritrositosis dan didapati adanya nilai yang lebih tinggi
dari batas referensi. Terdapat tiga mekanisme patofisiologis utama untuk anemia
yaitu perdarahan (kehilangan), hemolysis, dan penurunan produksi (Ettinger et
al., 2017). Anemia merupakan manifestasi penyakit yang menyebabkan
peningkatan destruksi eritrosit, peningkatan kehilangan eritrosit melalui
perdarahan, penurunan produksi eritrosit, atau kombinasi dari kejadian tersebut.
Tanda-tanda klinis tersebut yaitu dengan terjadinya penurunan oksigenasi yang
ditandai dengan selaput lendir yang pucat, lesu, peningkatan frekuensi respirasi
atau dyspnea, peningkatan cardiac output, dan murmur yang disebabkan oleh
peningkatan turbulensi darah. Tanda-tanda klinis non spesifik yaitu penurunan
berat badan, anoreksia, demam, limfadenopati dapat muncul ketika hewan
mengalami penyakit sistemik. Tanda-tanda klinis spesifik yang berhubungan
dengan destruksi darah yaitu splenomegali, icterus, dan urin berpigmen gelap
akibat hemoglobinuria atau bilirubinuria (Thrall et al., 2012).
Anemia non regenerative terjadi akibat kerusakan dan penurunan
eritropoiesis. Penurunan eritropoiesis dapat diklasifikasikan berdasarkan
produksi neutrophil dan trombosit yang menurun (anemia aplastik) dan apakah
produksi sel darah merah hanya menurun (hypoplasia) atau sama sekali tidak
ada (aplasia). Selain itu, gangguan produksi eritrosit dapat disebabkan oleh
kelainan sumsum tulang intrinsic (primer) seperti myelofibrosis, mielodisplasia,
atau kelainan mieloproliferatif, atau mungkin disebabkan oleh kelainan
ekstrinsik (sekunder). Gangguan sekunder meliputi penyakit ginjal kronis,
gangguan endokrin, penyakit radang, dan agen infeksi seperti (Ehrlichia sp., dan
virus leukemia kucing) (Thrall et al., 2012). Anemia yang terjadi akibat gagal
ginjal kronis dapat terjadi dengan tingkatan sedang sampai berat, non
regeneratif, dan normositik. Tingkat keparahan anemia berhubungan dengan
tingkat keparahan gagal ginjal yang terlihat dari derajat azotemia. Penyebab
utama dari anemia ini yaitu kurangnya produksi eritropoietin oleh ginjal. Faktor-
faktor lain seperti pendarahan yang meningkat, peningkatan hormon paratiroid
dan konsentrasi fosfor, dan peningkatan kerapuhan osmotic eritrosit (Thrall et
al., 2012).
Istilah “anemia regeneratif” yang menyiratkan bahwa sumsum tulang
berusaha untuk mengkompensasi anemia dengan peningkatan produksi eritrosit,
serta pelepasan dini sel darah merah yang belum matang. Indikasi bahwa anemia
bersifat regenerative adalah peningkatan polikromasia dan peningkatan
konsentrasi retikulosit. Volume sel rata-rata (MCV) dapat meningkat, tetapi
merupakan indikasi dari pelepasan awal sel. Anemia regeneratif disebabkan oleh
kehilangan darah atau penghancuran darah atau dapat dilihat pada fase
pemulihan disfungsi sumsum tulang. Kehilangan darah dapat terjadi secara
eksternal dan internal, atau mungkin akut atau kronis. Penyebab kehilangan
darah akut termasuk trauma yaitu lesi berdarah, tumor, dan gangguan
hemostatik. Contoh gangguan hemostatic termasuk trombositopenia,
koagulopati (Villiers, 2016).
Limfopenia merupakan jumlah limfosit yang mengalami penurunan,
apabila ditemukan sel limfosit kurang dari 20%. Penyebab terjadinya limfopenia
yaitu terapi kortikosteroid dan imunosupresif lain, kegagalan sumsum tulang
yang berat, dan sindrom defisiensi imun. Monositopenia adalah Monisitopenia
merupakan hitung jumlah monosit yang mengalami penurunan kurang dari 2%.
Penyebab terjadinya monositopenia yaitu stress, imunosupresan, penggunaan
obat glukokortikoid, dan mielotoksis (Lestari, 2019). Pada kasus ini terjadinya
granulositosis yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi. Granulositosis
mengindikasikan adanya infeksi akut, infestasi parasite, peningkatan
kortikostiroid akut maupun kronis
Trombositopenia yang dikombinasikan dengan leukopenia dan/atau
anemia merupakan indikator dari defek hematopoiesis yang disebabkan oleh
kelainan sumsum tulang. Gangguan infiltrasi sumsum tulang oleh sel neoplastic
biasanya mengakibatkan kegagalan hematopoietic, dan tanda-tanda sistemik
yang meliputi perdarahan langsung mengacu pada trombositopenia. Infeksius
trombositopenia dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang, aktivasi atau
sekuenstrasi trombosit perifer, dan penghancuran trombosit yang diperantarai
imun. Selain trombositopenia, agen infeksius sering menyebabkan penyakit
sistemik. Agen viral yang menyebabkan infeksius trombositopenia meliputi
Feline Leukemia Virus (FeLV), Feline Immunodeficiency Virus (FIV),
Panleukopenia Virus, dan Feline Infectious Peritonitis (FIP) Coronavirus
(Ettinger et al., 2017).
Hipoalbuminemia atau penurunan kadar albumin dapat menyebabkan
efektivitas kerja obat dan proses kesembuhan penyakit menjadi terhambat,
sehingga peningkatan kadar albumin perlu dilakukan. Kadar albumin menurun
pabila terdapat gangguan fungsi sintesis sel hati terutama apabila terjadi lesi sel
hati yang luas dan kronik. Penyebab lain hipoalbuminemia diantaranya terdapat
kebocoran albumin di tempat lain seperti ginjal pada kasus gagal ginjal, usus
akibat malabsorbsi protein, dan kebocoran melalui kulit pada kasus luka bakar
yang luas. Hipoalbuminemia juga dapat disebabkan intake kurang, peradangan,
atau infeksi(Chintari, 2014)
Hiperglobulinemia sering terjadi pada kasus penyakit hepatic, bukan
hanya dikarenakan oleh inflamasi, tetapi karena adanya respons fase akut
disertai penurunan kemampuan fagositosis antigen oleh sel Kupffer yang
menghasilkan respon imun sistemik. Oleh karena itu, sebagian besar globulin
akan meningkat pada penyakit inflamasi hepar. hiperglobulinemia dapat terjadi
pada kucing yang mengalami penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP) dan
kolangitis limfositik, dimana penyakit tersebut dapat menyebabkan penyakit
kuning dan ascites (Ettinger et al., 2017).
Peradangan kronis atau stimulasi antigenik dapat memicu peningkatan
produksi immunoglobulin dan protein. Immunoglobulin akan bermigrasi di
wilayah gamma globulin, meskipun beberapa IgA dan IgM dapat bermigrasi di
wilayah betta globulin Bersama dengan protein. Tingkat keparahan
hiperglobulinemia yang terjadi pada peradangan kronis akan memiliki variasi,
tetapi dapat ditandai dalam beberapa kasus (>10 g/dL). Gammopathies dapat
terjadi pada kasus ehrlichiosis pada anjing dan Feline Infectious Peritonitis
(FIP) (Thrall et al., 2012).
Terjadinya peningkatan AST dan ALT yang mengindikaasikan adanya
perubahan dalam lipid hepatosit, peradangan atau infeksi di dalam hepar.
Peningkatan total Bilirubin dapat diakibatkan oleh adanya parasitime, hepatitis
dan penyakit saluran empedu(cholelithiasis, cholestasis dan chlangiohepatisis).
Peningkatan kadar Bun menandakan adanya gangguan fungsi ginjal, penyakit di
saluran kemih.
4.3.2 Rapid Test Kit

Pada hasil pemeriksaan rapid test kit antibody Feline Corona virus
didapati hasil kucing Bazz positif (+) terinfeksi virus FCoV yang ditandai
dengan adanya presipitasi garis merah pada test line (Gambar 4.5) yang
dapat diinterpretasikan bahwa terdapat antibodi yang terbentuk terhadap
infeksi FIP pada tubuh kucing Bazz. Menurut Sumule (2021), Rapid Test FIP
bertujuan untuk mendeteksi antibodi Immunoglobulin M (IgM) dan
Immunoglobulin G (IgG) dalam darah yang terbentuk ketika terpapar FIP.
IgM akan muncul terlebih dahulu dan menjadi tanda dari awal infeksi. IgG
akan terproduksi kemudian, dan akan timbul reaksi yang spesifik dan lebih
kuat terhadap virus. Hasil yang positif apabila level antibodi FIP pada sampel
berada pada atau di atas batas deteksi tes, sehingga muncul warna pada pita
uji (T), sedangkan ketika tingkat antibodi FIP dalam sampel nol atau dibawah
batas target, pita uji (T) tidak berwarna, dan diinterpretasikan bahwa hasil
tersebut negatif. Namun, dari hasil pemeriksaan antigen didapatkan hasil
negatif yang menandakan bahwa virus tersebut pernah menginfeksi tetapi
sedang tidak berlangsung pada saat pemeriksaan.
4.3.3 Ultrasonografi
Ultrasonografi merupakan teknik mendiagnosis gambaran organ
(sonogram) yang dihasilkan oleh interaksi gelombang suara berfrekuensi tinggi
dengan organ. Prinsip pulse-echo. USG abdomen ditujukan untuk memeriksa
organ-organ utama dalam rongga abdimen, seperti hati, kandung empedu, ginjal,
pankreas, limpa, kandung kemih dan vesika urinaria. Pemeriksaan USG
dilakukan untuk melihat organ-organ dalam abdomen yang biasa terdampak
akibat invasi virus dengan ciri lesi granulomaltosa pada permukaan organ. Hasil
USG menunjukkan hasil pemeriksaan USG menunjukkan terlihat adanya
pembesaran ukuran ginjal dari normalnya. Kisaran ukuran ginjal normal yaitu 4
cm, sedangkan pada hasil pemeriksaan USG kucing bas didapatkan ukuran
ginjal lebih besar yaitu 6 cm. selanjutnya, batas antara korteks dan medulla
sudah tidak tampak.
4.3.4 Neurologi
4.4 Patogenesa
Feline Infectious Peritonitis (FIP) merupakan penyakit fatal yang
dimediasi sel imun yang dipicu oleh infeksi virus corona kucing (FCoV). Feline
Coronavirus (FCoV) termasuk ke dalam famili Coronaviridae dari ordo
Nidovirales. Strain FCoV dibagi menjadi dua biotipe yang berbeda, feline
enteric coronavirus (FECV) dan Feline Infectious Peritonitis Virus (FIPV).
Infeksi dengan FECV sangat umum terjadi dengan menginduksi antibody
spesifik pada kucing hingga 90%. Berdasarkan teori mutasi in vivo yang
diterima secara luas, FIP muncul dikarenakan FECV enteric yang bermutasi
pada kucing yang terinfeksi. Dua bentuk utama FIP yaitu bentuk efusif dan non-
efusif (Baydar et al., 2014).
Kucing yang terinfeksi FCoV biasanya tidak menunjukkan gejala atau hanya
menunjukkan enteritis ringan. Sebagian kucing yang terinfeksi FCoV akan
berkembang menjadi FIP dengan kondisi vasculitis pyrogranulomatosa.
Patogenesa FIp telah dijelaskan dimana terjadi peningkatan jumlah mutase yang
muncul secara stokastik pada saat replikasi, beberapa diantaranya tumbuh
hingga konsentrasi yang tinggi di dalam monosit dan makrofag. Mutan dari
FCoV yang sangat virulen ini dapat menginduksi FIP. Viral load dan respons
imun kucing akan menentukan apakah FIP akan berkembang atau tidak (Addie
et al., 2009).
Kondisi patologis dari FIP telah diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu
FIP efusif (basah) yang ditandai dengan adanya polyserositis (misalnya, efusi
thorax dan abdomen) dan vasculitis, dan FIP non-efusif (kering) yang ditandai
dengan lesi granulomatosa pada organ. Kedua bentuk ini mencerminkan dari
klasifikasi klinis. Bentuk enteric yang dialami oleh kucing muda yaitu degan
tanda klinis diare dan muntah serta dikaitkan dengan lesi pyogranulomatous usus
nodular (Addie et al., 2009).
FIP efusif merupakan hasil dari deposisi luas dari kompleks imun di
pembuluh darah, vasculitis dan kebocoran serum serta protein ke dalam rongga
tubuh. Kucing dengan respon imun yang dimediasi sel parsial bersama dengan
imunitas humoral akan berkembang menjadi bentuk FIP non-efusif yang lebih
kronis, ditandai adanya granulomatosa, perivascular di viscera abdomen, pulmo,
otak, dan mata. Keterlibatan ocular akan sering terjadi dengan melibatkan
berbagai perubahan seperti warna iris, diskoria atau anisocoria, hifema, dan
biasanya berupa uveitis serta chorioretinitis (Baydar et al., 2014).
4.5 Penanganan dan pengobatan
Pada kasus kucing Bazz , dilakukan terapi cairan menggunakan sodium
chloride 0,9% melalui rute intravena. Menurut Zhou et al (2018), normal saline
merupakan cairan kristaloid yang terdiri dari larutan elektrolit dan molekul
hidrofilik. Normal saline mengandung elektrolit (ion natrium dan klorida) yang
terdisosiasi dalam larutan. Ion natrium merupakan elektrolit utama cairan
ekstraseluler, integral dalam distribusi cairan dan elektrolit. Ion penting lainnya
adalah klorida yang berfungsi sebagai zat penyangga di dalam paru-paru dan
jaringan. Klorida dapat membantu memfasilitasi pengikatan antara oksigen dan
karbon dioksida ke hemoglobin. Ion-ion ini akan diregulasi oleh ginjal, yang
mengontrol homeostasis dengan penyerapan atau ekskresi di dalam tubulus.
Selain itu, air juga memainkan perang yang sangat penting. Air merupakan
bahan yang diperlukan tubuh dan terdiri lebih dari 2/3 dari berat badan. Natrium
berperan penting dalam mempertahankan konsentrasi homeostatis dan distribusi
air. Normal saline berfungsi untuk memperluas volume intravascular tanpa
mengganggu konsentrasi ion atau menyebabkan perpindahan cairan yang besar
antara ruang intraseluler, intravascular, dan interstitial
Terapi selanjutnya diberikan antibiotik berupa ampicillin sulbactam
dengan rute pemberian melalui subkutan. Ampicilin sulbactam merupakan
antibiotik yang aktif melawan organisme aerob gram-positif, gram negatif dan
anaerob obligat tetapi tidak mampu melaan organisme yang menghasilkan
penisilinase. Dosis pemberian pada kucing yaitu 10-20 mg/kg. Selanjutnya
kucing bazz diberikan methylcobalamin untuk terapi neurologis.
Methylcobalamin merupakan jenis vitamin yang banyak digunakan untuk terapi
penyakit-penyakit neurologi Methylcobalamin merupakan sejenis koenzim B12
endogen yang memegang peranan penting dalam proses methylation. Sebagai
koenzim methionine synthase, berperan dalam proses sintesis methionine dari
sel serta berperan dalam sintesis nucleic acid dan protein. Methylcobalamin juga
dapat meningkatkan axonal transport dan regenerasi akson serta memulihkan
perlambatan transmisi sinaps dengan meningkatkan eksitabilitas saraf dan
memperbaiki berkurangnya neurotransmiter asetilkolin (Zhang, 2013).
Kemudian diberikan sangobion yang bertujuan untuk meningkatkan kan kadar
hemoglobin dalam darah (Zaddana, 2019). Terapi selanjutnya yang diberikan
adalah asam folat. Pemberian Asam folat bertujuan untuk mengobati kekurangan
asam folat dalam tubuh. Dosis pemberian untuk kucing yang mengalami
defisiensi folat skunder karna insufisiensi pankreas eksokrin 400 mikrogram per
oral sekali sehari (Plumb, 2018).
Terapi selanjutnya diberikan Basmi Fip. Basmi Fip mengandung GS-
441524 yang merupakan analog ribosa C-nukleosida adenin C-nukleosida
tersubstitusi 1-siano, berfungsi dengan cara memiliki aktivitas antivirus yang
kuat dengan sejumlah virus RNA, termasuk coronavirus. GS-441524
membutuhkan fosforilasi intraseluler melalui kinase seluler menjadi nukleosida
monofosfat dan selanjutnya menjadi metabolit trifosfat aktif (NTP). Fungsi
analog NTP aktif sebagai competitor trifosfat nukleosida alami dalam sintesis
RNA virus. Bentuk aktif GS-441524 telah terbukti dapat menghambat
transkripsi yang dimediasi RNA polymerase. GS-441524 akan diaktifkan di
dalam sel kucing, melemahkan replikasi FIPV, memiliki sitotoksisitas rendah,
dan secara efektif merawat kucing dengan FIP yang diinduksi secara
eksperimental (Murphy et al., 2018).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa dan gejala klinis kucing Bazz mengalami uveitis pada
bola mata bagian dexter dan mukosa pucat. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
yaitu berupa pemeriksaan darah lengkap, USG, pemeriksaan neurologi dan tes kit
FIPV. Pada hasil pemeriksaan gejala klinis, anamnesa, dan pemeriksaan penunjang
di dapati kucing Bazz suspect feline infeksius peritonitis- non effusive. Kucing yang
terinfeksi FIP tipe basah akan mengalami gangguan pada ocular akan mengalami
perubahan seperti warna iris, diskoria atau anisocoria, hifema, dan biasanya berupa
uveitis serta chorioretinitis. Terapi pengobatan yang dilakukan yaitu pemberian
terapi cairan, pemberian sangobion, albumin, asam folat, curcuma, ampicillin
sulbactam, Methylcobalamin dan pemberian antiviral GS-441524 dengan merk
dagang basmi FIP.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis terkait penanganan kasus kucing Bazz
yaitu dilakukan monitoring kondisi pasien dengan melakukan pemeriksaan seperti
hematologi, kimia darah, dan test kit FIP untuk memastikan kondisi pasien yang
sedang dalam masa pengobatan, serta untuk mengetahui perkembangan dari
pengobatan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Athanasiou, L.V., Psemmas, D.Ε. and Papaioannou, N. 2018. Conjunctival cytology
assessment in dogs and cats. Sampling, diagnostic techniques and findings,
Journal of the Hellenic Veterinary Medical Society, 69(1), p. 701.
doi:10.12681/jhvms.16382.
Baydar E., Eroksuz, Timurkan, and, Eroksuz H. 2014. Felinenfectious Peritonitis with
Distinct Ocular Involvement in a Cat in Turkey. Kafkas Univ Vet: Vol. 20
No.6.
Cavazzoni S.L.Z., and Dellinger R.P. 2006. Hemodynamic Optimization of Sepsis
Induced Tissue Hypoperfusion. Critical Care: Vol. 10 No.3.
Davis, Harold, Tracey Jensen, Anthony Johnson, Robert Meyer, Renee Rucinsky, Heidi
Shafford. 2013. Fluid Therapy Guidelines for Dogs and Cats. AAHA/AAFP
Fluid Therapy Guidelines for Dogs and Cats.
Eldredge, Carlson and Giffin 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook. 3rd edn.
New Jersey: Wiley Publishing.
Ettinger S.J., Feldman E.C., and Cote E. 2017. Textbook of Veterinary Internal
Medicine 8th Edition. Elsevier.
Gellat K.N., and Plummer C.E. 2022. Essentials of Veterinary Opthalmology 4th
Edition. Wiley Blackwell Publishing.
Harvey, A., dan Tasker S. 2013. BSAVA manual of feline practice: A foundation
manual. British Small Animal Veterinary Asscociation (BSAVA).
Horhogea C, Laiu I, Le Poder S, CarpCărare M, Rîmbu C, Carp-Cărare C. 2011.
Identification of Coronaviral Antibodies and Coronavirus-Specific Antibody
Complexes in Ascites Fluid of Cats Diagnosticated with Feline Infectious
Peritonitis. Cercetari Agronomice in Moldova (Romania) 44(2): 87-93.
Ilyas, S., Yulianti and Fluoresein 2012. Ilmu Penyakit Mata. 4th edn. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas, S. and Fluoresein 2009. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata.
3rd edn. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kartini 2017. Catatan Dokter Hewan Pemeriksaan Fisik pada Mata, Telinga,
Kardiorespirasi dan Saluran Pencernaan. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Keat K, Subramaniam P, Ghazali S, Amin N. 2016. Review on Benefits of Owning
Companion Dogs among Older Adults. Mediterranean J. Soc. Sci. 7(4): 397-
405.
Murphy B.G., Perron, Murakami, Bauer, and Park. 2018. The Nucleoside Analog GS-
441524 Strongly Inhibits Feline Infectious Peritonitis (FIP) Virus in Tissue
Culture and Experimental Cat Infection Studies. Veterinary Microbiology:
Vol. 219.
Plumb, D. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook, 7th edition. p. 4053.

Ramsey, I. 2017. BSAVA small animal formulary. Part A, Part A,

Sharif, S., Arshad, S.S., Hair-Bejo, M., Omar, A.R., Zeenathul NA., Alazawy, A., 2010.
Diagnostic Methods For Feline Coronavirus: A Review. Vet Med. Int. 1-7.
Slatter, D. 2011. Orbit. In Slatter D (Eds). Fundamentals of veterinary opthalmology.
3rd edn. Philadelphia: Elseiver Saunders Publishing.
Stades, C. 2007. Ophthalmology for the Veterinary Practitioner, Second, Revised and
Expanded Edition. 2nd edn. Schluetersche. doi:10.1201/9783899930955.
Sumule C. 2021. Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada Kucing Ras Himalaya di
Klinik Hewan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Makassar: UNHAS.
Thrall M. A., Weiser, Allison, and Campbell. 2012. Veterinary Hematology and
Clinical Chemistry 2nd Edition. Wiley-Blackwell Publishing.
Villiers E. 2016. BSAVA Manual of Canine and Feline Clinical Pathology 3rd Edition.
British Small Animal Veterinary Asscociation (BSAVA).
Wang L. 2022. Animal Coronavirus 2nd Edition. Humana Press.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Veterinary Hematology 6th Edition. Iowa: Wiley-
Blackwell Publishing.
Williams. 2002. Veterinary Ocular Emergencies. Elsevier.
Zhou F.H. Liu C., Mao Z., Ma. 2018. Normal Saline for Intravenous Fluid Therapy in
Critically ill Patients. Chinese Journal of Traumatology: Vol. 21 (11-15).
Bartges, J. W. (2012). Chronic kidney disease in dogs and cats. Veterinary Clinics:
Small Animal Practice, 42(4), 669-692.
Jayanti, P. D., Gunawan, I. W. N. F., Meidy, N. L. A. K., & Sulabda, P. (2021).
Laporan Kasus: Feline Infectious Peritonitis Virus pada Kucing Lokal Jantan
yang Mengalami Asites. Buletin Veteriner Udayana Volume, 13(2), 196-205.
Hofmann-Lehmann, Regina; Hartmann, Katrin (2020). Feline leukaemia virus
infection: A practical approach to diagnosis. Journal of Feline Medicine and
Surgery, 22(9), 831–846. doi:10.1177/1098612X20941785 
Sellon, R. K., & Hartmann, K. (2006). Feline immunodeficiency virus
infection. Infectious diseases of the dog and cat, 3, 131-42.
Dubey, J. P., Cerqueira-Cézar, C. K., Murata, F. H. A., Kwok, O. C. H., Yang, Y. R., &
Su, C. (2020). All about toxoplasmosis in cats: the last decade. Veterinary
Parasitology, 283, 109145.
Zaddana, C., Indriani, L., Nurdin, N. M., & Sembiring, M. O. (2019). Pengaruh edukasi
gizi dan pemberian tablet tambah darah (TTD) terhadap kenaikan kadar
hemoglobin remaja putri. FITOFARMAKA: Jurnal Ilmiah Farmasi, 9(2), 131-
137.
Zhang, M., Han, W., Hu, S., & Xu, H. (2013). Methylcobalamin: a potential vitamin of
pain killer. Neural plasticity, 2013.
Plumb, D. C. (2018). Plumb's veterinary drug handbook: Desk. John Wiley & Sons.
LAMPIRAN
LOGBOOK KASUS HARIAN
Dokter yang
No. Stase Resume Kasus
menangani
1. Poliklinik 1 Anjing mini poodle T.38.5 C, halitosis, makan
o
Drh. Cucu
(29/8/22- minum menurun, kadar BUN/urea dalam darah Drh. Icha
1/8/22) tinggi, karang gigi. Observasi beberapa hari kedepan. Drh. Royama
Diinjeksi antibiotik, dibersihkan telinga. Drh. Reza
Kucing persia hitam tonjolan di tengkuk, pasca Drh. Grace
vaksin beberapa minggu kemarin, suspek akibat Drh. Dewi
vaksin. Dilakukan pemeriksaan biopsi FNA untuk Drh. Nyoman
histopat dan identifikasi tumor. Observasi beberapa
kedepan untuk persiapan perbaikan kondisi kesehatan
dan keputusan tindakan op.
Anjing golden epitaksis moderate BB 41kg, umur 5th.
Epistaksis unilateral dexter tidak berhenti sejak tadi
malam. Pemeriksaan kit virus dan parasit darah
negatif. Diberi injeksi vitamin dan tricosamin.
Anjing siberian husky putih umur 3/4th lemas, suspek
intoksikasi, lemas recumbency lateral, diinfus RL
dan terapi inhalasi oksigen.
Anjing collie hitam mengalami respiratory distress
T.40.6 oC, terdengar suara napas stridor, mengalami
penurunan makan minum. Dilakukan x-Ray, terapi
cairan.
Anjing maltese makan minum menurun, kerak pada
kulit, bulu kusam, suspek cushing disease. Dilakukan
pemeriksaan darah dan biokimia lengkap, kerok
kulit, suspek demodecosis. Saran mandi dengan
sabun anti kutu.
Anjing beagle lemas recumbency lateral, napas cepat,
usg ditemukan dominasi udara di intestine, suspek
karena kesulitan bernapas akibat tumor pulmo,
sehingga anjing bernapas melalui mulut.
Anjing poodle T.38,4 oC 2.3 kg 6 blm muntah diare,
anus merah, palpasi banyak gas, hidung basah, tes
parvo negatif, natif feses banyak bakteri.
Anjing german shepherd lemas recumbency lateral,
dehidrasi, tidak mau makan minum, pembesaran di
anal gland, suspek tumor perianal. USG
menunjukkan penurunan kondisi organ hepar, ginjal,
galbladder, infus RL 2 jam.
Anjing toy poodle t. 38.4 oC suspek corporeal
alineum, termakan benang atau keset, respon sakit
saat dipalpasi, usg ditemukan pantulan cahaya echo,
X-ray radioluscent pada gaster. Rawin persiapan
op/endoskopi. Inj. antimuntah
Rawat inap 1 Anjing toy poodle. Pasca operasi corporeal alineum. Drh. Bayu
2. (2/9/22- Tidak ditemukan benda asing, ditemukan ulserasi Drh. Erika
6/9/22) gaster. BB.3.75 kg. Infus RL, obat oral. Drh. Reza
Anjing mix. Suspek infeksi parasit darah. Umur 12th, Drh. Elsa
BB.12.5 kg. Infus RL, obat injeksi, obat oral. Drh. Afdal
Anjing toy poodle BB4.6kg, umur 6th, pasca operasi Drh. Gita
fraktura radius ulna. Infus RL, obat injeksi, obat oral Drh. Kevin
3. Rawat inap 2 Anjing Chochow BB.20 kg umur tua, luka sebasea, Drh. Denny
/Maternity perawatan kulit chlorhexidine dan metclopramide Drh. Dion
(7/9/22- Anjing french bulldog suspek mastitis pasca oh dan Drh. Sarah
10/9/22) caesar Drh. Gilang
Anjing pom perawatan pasca caesar Drh. Indah
Drh. Ricko
Drh. Wina
Drh. Stefani
4. Rawat inap Kucing domestik short hair FIP umur ±2th, lemas, Drh. Bintara
cat clinic pup pis ok, makan disuap, terapi cairan RL, obat Drh. Aisha
(12/9/22- injeksi, obat oral Drh. Gabby
16/9/22) Kucing persia umur ±1.5th panleukopenia, makan Drh. Irma
disuap, diare, vomit, lemas, terapi cairan RL, obat Drh. Lady
injeksi, obat oral Drh. Agung
Kucing mix persia umur ±2th pasca operasi enukleasi
dan fraktur mandibula, makan disuap, terapi cairan
infus RL, obat injeksi, obat oral
LOGBOOK KEGIATAN HARIAN
No Waktu Pasien Anamnes Terapi Ket
a dan PE

1 Senin 29 agustus
2022
2 Selasa 30 agustus
2022
3 Rabu 31 agustus
2022
4 Kamis 1
september 2022
5 Jum’at 2
September 2022
6 Sabtu 3
September 2022
7 Senin 5
September 2022
8 Selasa 6
September 2022
9 Rabu 7
September 2022
10 Kamis 8
September 2022
11 Jum’at 9
September 2022
13 Sabtu 10
September 2022
14 Senin 12
September 2022
15 Selasa 13
September 2022
16 Rabu 14
September 2022
17 Kamis 15
September 2022
18 Jum’at 16
September 2022

Anda mungkin juga menyukai