Disusun oleh:
Mengetahui,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Reproduksi Mandiri ini. Dengan selesainya tugas mandiri ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya yaitu Prof. Dr. drh, Rochiman Sasmita, MS, MM.
2. Roeswandono W., drh., M.Si., selaku penanggung jawab Departemen
Reproduksi Veteriner, Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
3. Pembimbing lapangan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, Penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat
veteriner dan semua pihak yang membaca.
Penulis
ii
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Tujuan.............................................................................................2
BAB IV KESIMPULAN........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
LAMPIRAN..........................................................................................................11
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia. Kucing
telah berbaur dengan kehidupan manusia paling tidak sejak 6.000 tahun SM, dari
kerangka kucing di Pulau Siprus. Orang Mesir Kuno dari 3.500 SM telah
menggunakan kucing untuk menjauhkan tikus atau hewan pengerat lain dari
lumbung yang menyimpan hasil panen (Remington, 2007). Kucing kampung
(Felis silvestris catus) adalah karnivora predator yang berukuran kecil, termasuk
mamalia crepuscular yang telah berasosiasi dengan manusia lebih dari 9.500
tahun. Seperti halnya binatang domestikasi lain, kucing hidup dalam simbiosis
mutualisme dengan manusia tidak seperti karnivora lain, Kucing hampir tidak
makan apapun yang mengandung tumbuhan. Sebagian besar kucing peliharaan
mampu berburu dan membunuh kelinci, burung, kadal, katak, ikan dan insekta
besar dengan instingnya. Sebagai seekor predator yang berketerampilan, kucing
diketahui mampu memburu lebih dari 1.000 spesies untuk makanannya.
Kucing tidak lepas dari berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit
yang banyak menyerang kucing adalah penyakit reproduksi yang sering
menyarang kucing betina. Penyakit reproduksi yang dapat menyerang kucing ini
antara lain mastitis, endometritis, pyometra, distokia, tumor, dan ruptur.
Kucing suka menandai apapun sebagai wilayah teritori mereka. Mereka
tidak segan untuk berkelahi mempertahankan atau merebut wilayah tersebut. Dari
perkelahian tersebut kucing biasanya akan mengalami trauma. Trauma adalah
cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera (Sjamsuhidajat,
1997). Trauma atau luka pada abdomen kucing terutama kucing betina yang
sedang bunting dapat mengakibatkan terjadinya ruptur.
Ruptur uterus gravid adalah temuan yang jarang terjadi pada kucing, tetapi
terkadang dilaporkan pada anjing selama periode menyusui dalam kasus distokia.
Ruptur uterus pada periode menyusui berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas di
jalan (Jackson, 2004), sementara ruptur uteri pada periode menyusui disebabkan
oleh infeksi, fetus mati, torsio uteri, penanganan kehamilan yang tidak sesuai, dan
penggunaan oksitosin yang sembarangan (Dharmaceelan, et all. 2016).
1
1.2. Tujuan
Untuk mempelajari jurnal kasus internasional mengenai ruptur uteri dan
keluarnya fetus pada kucing.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk kerongga abdomen, maka operasi harus
dilakukan (Wulandari, P. 2007)
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis trauma abdomen dapat meliputi : nyeri (khususnya
karena gerakan), nyeri tekan dan lepas (mungkin menandakan iritasi peritonium
karena cairan gastrointestinal atau darah), distensi abdomen, demam, anoreksia,
mual dan muntah, tatikardi, peningkatan suhu tubuh (Wulandari, P. 2007).
2.2. Ruptur Uteri
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada
kehamilan dan persalinan (Sari, R.D.P. 2015).
2.2.1. Klasifikasi
a. Klasifikasi ruptur uteri menurut keadaan robek
- Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal) : Ruptur uteri yang hanya dinding
uterus yang robek sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap utuh
- Ruptur uteri komplit (transperitoneal) : Ruptur uteri yang selain dinding
uterusnya robek, lapisan serosa (peritoneum) juga robek sehingga dapat
berada di rongga perut. Pada keadaan bunting robeknya uterus membuat
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoeum
(prawirohardjo, 2008)
4
- Ruptur uteri spontan (non violent) : Ruptur uteri yang terjadi karena
dinding uterus lemah atau dinding uterus masih baik, tapi bagian terbawah
janin tidak maju atau tidak turun.
- Ruptur uteri traumatika (violent) : Ruptur uteri yang terjadi oleh karena
adanya trauma atau luka pada uterus.
- Ruptur uteri jaringan parut : Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus
minoris pada dinding uterus sebagai akibat adanya jaringan parut bekas
operasi pada uterus sebelumnya.
2.2.2. Etiologi
Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma
pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara
spontan. Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan
sebagai faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses
kehamilan dan persalinan misalnya trauma pada abdomen, sedangkan tindakan
berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi
ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan
ekspresi/dorongan. Faktor jaringan parut pada uterus paling sering karena parut
bekas seksio sesaria, ovariohistrektomi, histerektomi, histerotomi dan lain-lain.
Faktor yang menyebabkan ruptur uteri secara spontan misalnya kelainan letak dan
presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, kelainan panggul, dan tumor pada jalan
lahir.
2.2.3. Patogenesis
Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa
penyebab yang menyebabkan persalinan tidak terjadi. Persalinan yang tidak
terjadi ini dapat terjadi karena adanya kesulitan misalnya panggul sempit,
distokia, fetus kembar dan lainnya. Keadaan-keadaan tersebut dapat menyebabkan
segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga akhirnya pada suatu
saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.
5
Selain itu ruptur uteri dapat disebabkan oleh trauma pada uterus baik
karena kecelakaan maupun tindakan. Kecelakaan meliputi trauma pada abdomen
misalnya gigitan atau pukulan. Robekan pada uterus karena kecelakaan ini dapat
terjadi setiap periode kebuntingan, tetapi ternyata ruptur seperti ini jarang terjadi
karena otot uterus (miometrium) cukup tahan terhadap trauma dari luar. Ruptur
uteri karena trauma tindakan lebih sering terjadi, misalnya karena versi ekstraksi,
ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, pelepasan manual plasenta, dan ekspresi/
dorongan. Ruptur uteri karena adanya tindakan dalam usaha pervaginal untuk
melahirkan fetus pada uterus yang telah teregang karena adanya distosia.
Adanya jaringan parut (skar) juga merupakan penyebab lain ruptur uteri.
Ruptur uteri paling sering terjadi pada parut bekas seksio sesaria, jarang terjadi
pada uterus yang telah dioperasi untuk histrektomi atau ovariohistrektomi.
Diantara parut-parut bekas seksio sesaria, luka yang terjadi sesudah seksio
sesarea, lebih sering menimbulkan ruptur uteri. Hal ini disebakan oleh karena luka
pada kornua uterus. Ruptur uteri pada bekas seksio sesaria biasanya terjadi tanpa
banyak menimbulkan gejala, hal ini terjadi karena tidak terjadi robekan secara
mendadak melainkan terjadi perlahan-lahan pada sekitar bekas luka. Daerah
disekitar bekas luka lambat laun makin menipis sehingga akhirnya benar-benar
terpisah dan terjadilah ruptur uteri.
6
kontraksi uterus biasanya hilang. Pada palpasi bagian janin mudah diraba di
bawah dinding perut ibu atau janin teraba di samping uterus
7
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
persalinan pada saat kehamilan. Robek atau dikontinuitas dinding uterus akibat
daya renggang myometrium yang berlebihan (Sari, R.D.P. 2015).
3.2. Penanganan
Kucing dianastesi dengan Xylazine (0,5 mg/kg) dan Ketamine (5 mg/kg)
dan dipertahankan dengan isofluran. Permukaan luka pada bagian gigitan
diperlebar agar dapat memasuki rongga abdomen. fetus mati yang menonjol
keluar robek hingga uterus dan fetus diangkat. Korpus uteri yang terkena gigitan
terlihat pucat dengan sobekan yang tidak merata dan kehilangan tekstur
normalnya. Kondisi kornua uteri lainnya normal dengan dua janin (Gambar 2).
Dilakukan pengangkatan bersamaan dan kedua fetus selamat hidup. Pada
pemeriksaan lebih lanjut satu fetus mati ditemukan di rongga abdomen. Situs
bedah ditutup setelah luka dibersihkan sesuai prosedur standar. Pasca operasi,
kucing tersebut diimunisasi dengan vaksin tetanus toksoid dan antirabies. Jahitan
dilepas pada hari ke 8. Kucing itu pulih tanpa ada hambatan dengan dua anak
kucing hidup.
Ruptur uterus secara umum lebih sering terjadi pada anjing daripada
kucing dan lebih sering dilihat sebagai komplikasi sekunder akibat distokia atau
pemberian oksitosin eksogen atau prostaglandin (Linde-Forsberg, 2010). Ruptur
8
uterus pada anjing betina bunting dapat terjadi setelah torsio uteri, luka karena
adanya kesalahan, atau pyometra, atau juga sebagai akibat dari cedera yang sudah
ada sebelumnya seperti bekas luka atau tusukan kecil (Jackson, loc cit). Ruptur
uteri dan keluarnya fetus pada kucing tidak dilaporkan dalam literatur. Namun
Bhowmick et al. (2011) melaporkan pengeluaran isi abdomen pada kucing
dikarenakan gigitan anjing. Gejala penyakit sistemik seperti cairan uterus yang
kotor dan berbau busuk dilaporkan pada anjing betina yang menjalani maserasi
setelah ruptur uteri (Johnston et al., 2001). Dalam kasus ini, kucing tersebut aktif,
terlihat waspada dan tidak ada adhesi, Dilakukan pengamatan terhadap adanya
peritonitis dan perdarahan pada area terluka karena termasuk dalam masa kritis.
9
BAB IV
KESIMPULAN
Pada kasus ruptur uteri yang jarang terjadi dengan keluarnya fetus pada
kucing betina, ditemukan dua fetus mati yang menyembul keluar melalui uterus
robek dan dua fetus lainnya dikeluarkan bersama dari dalam kornua uteri dengan
kondisi hidup
10
DAFTAR PUSTAKA
11
LAMPIRAN
12
Indian Vet. J., December 2016, 93 (12) : 56 – 57
Referensi
Bhowmick, D., Shahi, A. and de Souza, F. (2011) Abdominal evisceration due to
dog bite and its surgical correction in a cat. Intas Polivet, 12 (2) p.197.
Jackson, P.G.G. (2004) Post parturient problems in the dog and cat. In. Handbook
of Veterinary Obstetrics. 2nd Edn. Eds. Jackson, P.G.G. WB Saunders, Loddon.
pp. 233– 237.
Noakes, D.E., Parkinson, T.J., England, G.C. (2001) Injuries and diseases
incidental to parturition. In: Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics. 8th
Edn.Eds. Noakes, D.E., Parkinson, T.J. and England, G.C. W.B. Saunders,
PERHATIAN PENULIS
Philadelphia pp. 319-332.
Saat mengirimkan Artikel yang Direvisi, harap dicatat:
Semua revisi sesuai dengan aturan dan semua instruksi tambahan oleh
Stone, E.A., Conrellic,G. and Sharp, N.J.H. (1993) ovariohysterectomy. In:
Editor, IVJ berpengaruh.
Textbook of small animal surgery. 2nd Edn. Eds. Douglas Slatter. W.B. Saunders,
Pengiriman soft copy: - Satu CD harus ditulis hanya dengan satu
Philadelphia. pp. 1303-1308.
artikel.
Tidak ada pengajuan online dari Artikel Revisi.
Untuk mengklarifikasi keraguan Anda, harap jangan merujuk artikel
yang dipublikasikan yang mungkin memiliki penyimpangan yang tidak
terhindarkan.
Selalu merujuk ke halaman ‘Pedoman yang Direvisi Penulis’ yang
sering diterbitkan.