Bila Anda ingin melakukan wisata di Mesir, jangan lupa melintas di jalan Shalah
Salim. Dari kejauhan, di atas Bukit Muqatham, Anda akan melihat sebuah masjid
dengan kubah perak dan dua menara tinggi lancip. Masjid ini dan beberapa
bangunan lainnya, dikelilingi tembok setebal 3 meter dengan tinggi 10 meter
mirip seperti Tembok Cina.
Bila Anda ingin melakukan wisata di Mesir, jangan lupa melintas di jalan Shalah
Salim. Dari kejauhan, di atas Bukit Muqatham, Anda akan melihat sebuah masjid
dengan kubah perak dan dua menara tinggi lancip. Masjid ini dan beberapa
bangunan lainnya, dikelilingi tembok setebal 3 meter dengan tinggi 10 meter
mirip seperti Tembok Cina. Tempat ini adalah Benteng Shalahuddin. Orang Arab,
terutama Mesir, menyebutnya Qal'ah Shalahuddin, sedang orang Barat
menyebutkannya, Saladin Citadel. Siapakah gerangan yang membangun benteng
itu dan mengapa hal tersebut beliau lakukan?
Anda pernah menonton film Kingdom of Heaven? Bila Anda pernah menonton
film yang ditulis oleh William Monahan berdasarkan kisah kehidupan Balian of
Ibelin, Profesor Hamid Dabashi dari Universitas Columbia dan besutan sang
sutradara Ridley Scott itu, maka berarti Anda telah mengenal sosok yang akan kita
bicarakan. Sebab dalam film itu, beliau menjadi bagian dari cerita. Atau Anda
pernah membaca novel Syair-Syair Cinta Sang Ksatria karya El-Vandi El Faez?
Jika sudah, saya yakin, Anda kenal dengan tokoh raja dalam novel itu yang
menjadi tokoh dalam tulisan ini.
Baik, sebelum kita mengenalnya, mari kita sejenak melihat sejarah Islam. Islam
muncul di Makkah. Kemudian berkembang pesat di Madinah. Setelah Nabi
Muhammad Saw. wafat, terutama pada zaman Khalifah kedua, Umar bin
Khaththab r.a, wilayah Islam berkembang ke berbagai tempat, hingga ke
Yerusalem dan Mesir. Tujuan perluasan ini, bukan untuk menjajah, melainkan
untuk membebaskan penjajahan sesama manusia menuju pengabdian hanya
kepada Allah Swt. semata. Sebab, ketika itu dua imperium besar, Yunani dan
Romawi, gemar menjajah berbagai wilayah dan memperbudak manusia.
Sejak umat Islam memerdekakan berbagai negeri dari cengkraman dua blok adi
daya itu, maka masyarakat baik Yahudi, Nashrani, apalagi Islam, bebas
menjalankan keyakinannya masing-masing. Namun sayang, kedamaian dan
kerukunan umat beragama selama lima abad yang di bangun Islam itu hilang,
ketika tahun 1095, Paus Urban II merampas kota suci Yerusalem dari umat Islam.
Mereka tidak hanya membunuh umat Islam dan Yahudi, bahkan sesama Nashrani
sendiri —karena berbeda ciri khas dengan kristen di Eropa— mereka habisi juga.
Dari sinilah, terjadi sembilan gelombang Perang Salib selama tiga abad, dari abad
ke-11 hingga abad ke-13.
Nah, di tengah ketegangan Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen
itulah, lahir sang pahlawan kita: Shalahuddin Al-Ayyubi. Beliau berasal dari
bangsa Kurdi di daerah dekat Danau Fan, lalu pindah ke Tikrit, Irak. Ketika
ayahnya, Najmuddin Ayyub, menjadi penguasa Seljuk, tepatnya tahun 532 H/1137
M, Shalahudin Al-Ayyubi lahir di Benteng Tikrit.
Saat itu, baik ayahnya maupun pamannya, Asaduddin Syirkuh, mengabdi kepada
Imaduddin Zanky, Guburnur Seljuk di kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin
berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon, tahun 534 H/1139 M, ayahnya
menjadi Gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Nuruddin Mahmud.
Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni
teknik perang, strategi, maupun politik. Bahkan, tidak jarang, Shalahuddin muda
ikut dalam Perang Salib atau menumpas pemberontak Nuruddin Mahmud
bersama ayah dan pamannya.
Belajar di Damaskus
Apa yang beliau pelajari itu, sangat mempengaruhinya, ketika beliau menjadi
penguasa di Mesir. Selain sebagai pionir dinasti Ayyubiyah, beliau juga sebagai
tokoh yang membersihkan Universitas Al-Azhar dari ajaran syi'ah yang selama
dua abad lebih pada zaman dinasti Fathimiyah bercokol di sana. Beliau
menggantinya dengan ajaran sunni.
Selain itu, beliau juga membebaskan wilayah sebelah barat di Maroko dan ketika
pamannya pergi ke Mesir untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari
bekas pendukung Fathimiyah. Lalu beliau ke Laut Merah untuk membebaskan
Yaman.
Menyelamatkan Damaskus
Tahun 1174 Masehi, Raja Nuruddin Mahmud meninggal. Malikus Saleh yang
berumur 11 tahun menggantikan posisi ayahnya. Para pejabat tinggi di
sekelilingnya berusaha memperalat sultan muda itu. Shalahuddin mengetahui hal
tersebut dan akhirnya beliau mengirim utusan sebagai bukti keta'atannya kepada
seorang raja muda. Shalahuddin berusaha mempublikasikan nama raja itu dalam
khutbah-khutbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk
perhatian ini, tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap
pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Kondisi ini menjadi celah bagi
Tentara Salib untuk menguasai Damaskus yang selama ini sulit mereka tembus
karena ada Jenderal Syirkuh.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan kecerdasan
siasat perang, Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di
dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian
sangat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nashrani
untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah
kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat, beliau dapat
merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nashrani, termasuk kota-
kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga
Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang
diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati
mulia itu.
Dalam Perang Salib ini, sikap Sultan Shalahudin sangat mengagumkan, sebab
beliau tidak melakukan apa yang Tentera Salib lakukan terhadap kaum muslimin
satu abad sebelumnya. Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu
Yerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin
dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman
tanpa belas kasihan. Yerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam
yang menderita kekalahan itu. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa
itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah lebih dari 70.000 kaum
muslimin sampai setinggi lutut dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.
Mill, ahli sejarah Barat, menambahkan: "Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin
tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan harus diseret ke tempat-
tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket
pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih.
Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Yerusalem
yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan,
dan anggota tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat
untuk berbuat kebajikan.
Bahkan, para pelarian Nashrani dari kota Yerusalem itu tidaklah mendapat
perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai Tentara Salib. "Banyak kaum Nashrani
yang meninggalkan Yerusalem," kata Mill, "pergi menuju Antioch, tetapi
panglima Nashrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan
kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka
menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik."
Hati Sultan Shalahuddin tersentuh. Beliau bebaskan para suami kaum wanita
Nashrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan
membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang
penuh cinta kasih serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras
yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Yerusalem
oleh tangan tentara Salib satu abad sebelumnya. Para komandan pasukan tentara
Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib
yang telah dikalahkan itu.
Selain itu, pada masa Shalahuddin, kebebasan dalam menjalankan agama, baik
Islam, Nashrani, maupun Yahudi, kembali mereka rasakan, tanpa merasa takut dan
tekanan dari siapapun. Inilah sebabnya, mengapa nama Shalahudin Al-Ayyubi
terukir indah dalam sanubari semua orang, baik umat Islam, Nasrani, maupun
Yahudi.
Hari itu, kaum muslimin berduka, seperti tangisan mereka saat wafatnya Nabi
Muhammad Saw.. Umat Islam, merasa sedih sebagaimanai kesedihan saat
khulafaur rasyidin meninggal. Bahkan mereka meratap, sebagaimana duka
nestapa kehilangan Khalid bin Walid. Sebab hari itu, tepatnya tanggal 4 Maret
1193, Shalahuddin Al-Ayyubi telah pergi ke alam baqa.
Beliau memang telah pergi, namun semangatnya senantiasa bergelora dalam jiwa
para pejuang Allah Swt.. Beliau memang telah tiada, akan tetapi ketinggian
martabatnya, keluasan ilmunya, kerendahan hatinya, ketegasan sikapnya,
kekuataan kemaunnya, dan semua karakter baiknya menjadi inspirasi banyak
orang. Beliau memang tidak ada lagi di dunia ini, hanya saja namanya telah
terukir pada sebuah benteng bernama Benteng Shalahuddin.
Benteng Shalahuddin
Sebenarnya, tidak banyak perubahan pada tembok benteng, yang berubah hanya
sedikit perluasan benteng, pembangunan menara, dan isi benteng tersebut.
Misalnya, pada masa Sultan Kamil, cucu Shalahuddin, benteng diperluas dan
membangun dua menara, Al-Haddad dan Al-Ramlab. Kemudian ditambah tiga
menara bagian pintu gerbang yang kita saksikan saat ini.
Begitu juga pada tahun 1260-1277 H, masa Mamalik Mesir, Sultan Baibars
Bundugdari, membangun sebuah dinding untuk memisahkan istana dari lokasi
militer. Dan pada zaman An-Nasir Muhammad memperindah isi benteng, namun
sayang semuanya musnah, kecuali masjid kecil yang memakai namanya.
Tahun 1805, Muhammad Ali Pasha berusaha merehab kembali benteng tersebut
dan membangun sebuah masjid yang terbuat dari alabaster, batu pualam, atau
marmer. Sampai saat ini, masjid bernama Masjid Muhammad Ali atau Masjid
Alabaster tersebut, menambah pesona Benteng Shalahuddin. Di dekat masjid ini,
terdapat Istana Jawhara dan sekarang menjadi mesium permata.
'Ala kulli hâl, karena keterbatasan ruang dan waktu, mohon ma'af tulisan ini tidak
mampu menceritakan keseluruhan kisah hidup Shalahudin Al-Ayyubi dan
bentengnya. Meskipun demikian, mudah-mudahan, informasi singkat ini, sedikit
memberikan gambaran besar sekaligus stimulus untuk mengetahui lebih lanjut
tentang tokoh dan tempat bersejarah tersebut. Oleh sebab itu, bila Anda berminat
mengunjungi tempat tersebut, sebaiknya terlebih dahulu membaca buku-buku,
baik berbahasa Arab dan Inggris, tentang keduanya. Meskipun sebenarnya, ketika
kita berkunjung di sana, bisa bertanya dengan para penjaganya dan membaca
denah serta keterangan-keterangan yang ada, apalagi bila Anda berwisata lewat
travel, maka ada guide yang akan menuntun Anda menelusuri bagian-bagian
benteng. Selamat berkunjung! Wallâhu a'lâmu bish shawâb.