Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut,
juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman
jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan
wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai
ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber
pakan habitat biota laut.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan
saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-
masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling
mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya
(daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak
berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-
bahan pencemar.

1
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi Lingkungan

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan


sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna
yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang
meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan
fisik tersebut.
Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup".
Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Lingkungan adalah sistem kompleks yang dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup dan merupakan ruang tiga
dimensi, dimana makhluk hidupnya sendiri merupakan salah satu bagiannya.
Lingkungan bersifat dinamis berubah setiap saat. Perubahan yang terjadi
dari faktor lingkungan akan mempengaruhi makhluk hidup dan respon makhluk
hidup terhadap faktor tersebut yang akan berbeda-beda menurut skala ruang dan
waktu, serta kondisi makhluk hidup. Faktor-faktor lingkungan mempengaruhi
suatu organisme secara sendiri-sendiri atau kombinasi dari berbagai faktor.
Pengaruhnya dapat menentukan kehadiran atau keberadaan dan proses kehidupan
makhluk hidup.

2
Terdapat berbagai prinsip yang mendasari hubungan makhluk hidup
dengan lingkungannya, seperti makhluk hidup tidak dapat hidup pada lingkungan
yang hampa udara; segala sesuatu yang dapat mempengaruhi makhluk hidup akan
membentuk lingkungan atau faktor lingkungan yang terdiri dari faktor lingkungan
abiotik dan lingkungan biotik. Setiap jenis, individu, kelompok atau umur
makhluk hidup dipengaruhi atau membutuhkan faktor lingkungan yang berbeda-
beda.
Komponen-komponen lingkungan terdiri dari faktor-faktor lingkungan
fisiko-kimiawi dan biologi, seperti energi, tanah, gas-gas atmosfir, tumbuhan
hijau, manusia atau dekomposer. Dari analisis faktor-faktor lingkungan
berdasarkan aspek factor lingkungan yang penting, terdapat macam-macam factor
lingkungan, seperti faktor iklim, geografis dan edafis (lingkungan abiotik) dan
faktor tumbuhan, hewan, dekomposer, dan manusia sebagai lingkungan biotik.
Berkaitan dengan sifat-sifat toleransi dan adaptasi makhluk hidup terhadap
lingkungannya, terdapat beragam jenis, sifat, keanekaragaman, kelimpahan, dan
pola sebaran makhluk hidup.

II.2 Komponen Lingkungan

Lingkungan merupakan bagian yang kompleks dari berbagai faktor yang


saling berinterakasi satu sama lainnya. Tidak saja antara biotik dan abiaotik tetapi
juga antara biotik itu sendiri dan antara abiotik dengan abiotik. Dengan demikian
secara operasional adalah sulit untuk memisahkan satu faktor terhadap lainnya
tanpa mempengaruhi kondisi secara keseluruhan. Meskipun demikian untuk
memahami struktur dan berfungsinya faktor lingkungan ini, secara abstrak kita
dapat bagi faktor lingkungan ini ke dalam komponen – komponennya. Berbagai
cara di lakukan oleh pakar ekologi dalam pembagian komponen lingkungan ini,
salah satunya adalah:
a. Faktor Iklim, meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu,, ketersediaan
air dan angin.
b. Faktor tanah, merupakan karakteristika dari tanah seperti nutrisi tanah, reaksi
tanah, kadar air tanah, dan kondisi fisika tanah.

3
c. Faktor topografi, yaitu meliputi pengaruh dari terrain seperti sudut kemiringan,
aspek kemiringan dan kketinggian tempat dari muka laut.
d. Faktor biotik, merupakan gambaran semua interaksi dari organisme hidup seperti
kompetisi, peneduhan dan lain – lain.
Cara lain untuk menggambarkan pembagian komponen lingkungan ini seperti
yang diungkapkan oleh Billinga (1965), ia membaginya dalam dua komponen
utama yaitu komponen fisik atau abiotik dengan komponen hidup atau biotik,
yang masing – masing komponen dijabarkan dalam berbagai faktio – faktornya.
Untuk memahami pembagian dari Billinga ini kita lihat tabel di bawah ini:

Faktor fisik/abiotic Faktor hidup/biotik


Energi Tumbuhan hijau
Radiasi Tumbuhan tidak hijau
Suhu dan aliran Pengurai
Panas Parasit
Air Symbion
Atmosfera dan angin Hewan
Api Manusia
Gravitasi
Topografi
Geologi
Tanah

II.3 Lingkungan Sebagai Faktor Pembatas

Proses kehidupan dan kegiatan makhluk hidup termasuk tumbuh –


tumbuhan pada dasarnya akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor
lingkungan, seperti cahaya, suhu atau nutrien dalam jumlah minimum dan
maksimum.

4
- Justus von Liebig
Justus von Liebig (1840) adalah seorang pionir yang mempelajari faktor –
faktor lingkungan dan menjelaskan bahwa pertumbuhan dari tanaman tergantung
pada sejumlah bahan makanan yang berada dalam kuantitas terbatas atau sedikit
sekali. Penemuannya kemudian lebih dikenal sebagai "hukum minimum Liebig".
Hukum minimum hanya berperan dalam air untuk materi kimia yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Liebig tidak mempertimbangkan
peranan faktor lainnya, baru kemudian penelitian lainnya mengembangkan
pernyataannya yang menyangkut faktor suhu dan cahaya. Sebagai hasil
penelitiannya mereka menambahkan dua pernyataan yaitu:
a) Hukum ini berlaku hanya dalam kondisi keseimbangan yang dinamis atau stesdy-
state. Apabila masukan dan keluaran energi dan materi dari yang diperlukan akan
berubah terus dan hukum minimum tidak berlaku.
b) Hukum minimum harus memperhitungkan juga adanya interaksi di antara faktor
– faktor lingkungan. Konsentrasi yang tinnggi atau ketersediaan yang melimpah
dari suatu substansi mungkin akann mempengaruhi laju pemakaian dari substansi
lain dalam jumlah yang minimum. Sering juga terjadi organisme hidup
memanfaatkan unsur kimia tambahan yang mirip dengan yang diperlukan yang
ternyata tidak ada di habitatnya. Contoh yang baik adalah tidak adanya kalsium di
suatu habitat tetapi stronsium melimpah, beberapa moluska mampu
memanfaatkan stronsium ini untuk membentuk cangkangnya. Dalam ekologi
tumbuhan faktor lingkungan sebagai faktor ekologi dapat dianalisis menurut
bermacam-macam faktor. Satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut dikatakan
penting jika dapat mempengaruhi atau dibutuhkan, bila terdapat pada taraf
minimum, maksimum atau optimum menurut batas-batas toleransinya.
Sifat toleransi dan penyesuaian diri yang diperlihatkan oleh tumbuh-
tumbuhan atau bagian dari anggota tubuhnya terhadap sesuatu perubahan kondisi
atau keadaan dari faktor-faktor lingkungan tertentu dinamakan adaptasi, yang
dapat diperoleh secara heriditer (dikontrol secara genetis) atau oleh induksi
sesuatu factor lingkungan dan habitatnya.

5
Tumbuhan untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik membutuhkan
sejumlah nutrien tertentu (misalnya unsur-unsur nitrat dan fosfat) dalam jumlah
minimum. Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan
perkembangannya akan terganggu. Dalam hal ini unsur-unsur tersebut sebagai
faktor ekologi berperan sebagai faktor pembatas.
Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja
berperan sebagai faktor pembatas minimum, tetapi terdapat pula faktor pembatas
maksimum. Bagi tumbuhan tertentu misalnya factor lingkungan seperti suhu
udara atau kadar garam (salinitas) yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu
tinggi/banyak dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologinya. Faktor-faktor
lingkungan tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan minimum, maksimum
atau optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan tumbuh-tumbuhan
menurut batas-batas toleransi tumbuhannya.

- V.E Shelford
Faktor-faktor lingkungan penting yang berperan sebagai sifat toleransi
faktor pembatas minimum dan faktor pembatas maksimum yang pertama kali
dinyatakan oleh V.E. Shelford (1913), kemudian dikenal sebagai "hukum
toleransi Shelford". Shelford menyebutkan bahwa tumbuhan dapat mempunyai
kisaran toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan yang sempit (steno) untuk satu
faktor lingkungan dan luas (eury) untuk faktor lingkungan yang lain. Suatu jenis
tumbuhan yang mempunyai toleransi yang luas sebagai faktor pembatas
cenderung mempunyai sebaran jenis yang luas. Masa reproduksi merupakan masa
yang kritis untuk tumbuhan jika faktor lingkungan dan habitatnya dalam keadaan
minimum.
Dalam ekologi pernyataan taraf relatif terhadap faktor-faktor lingkungan
dinyatakan dengan awalan steno (sempit) atau eury (luas) pada kata yang menjadi
faktor lingkungan tersebut. Misalnya toleransi yang sempit terhadap suhu udara
disebut stenotermal atau toleransi yang luas terhadap kadar pH tanah, disebut
euryionik.

6
Toleransi Sempit Toleransi Luas Faktor Lingkungan
Stenotermal Iritermal Suhu
Stenenohidrik Irihidrik Air
Stenohalin Irihalin Sallinitas
Stenofagik Irifagik Makanan
Stenoedafik Iriedafik Tanah
Stenoesius Iriesius Seleksi habitat

Shelford menyatakan bahwa jenis – jenis dengan kisaran toleransi yang luas untuk
berbagai faktor lingkungan akan menyebar secara luas.
Ia juga menambahkan bahwa dalam fase reproduksi dari daur hidupnya
faktor – faktor lingkungan lebih membatasinya. Biji, telur dan embrio mempunyai
irisan yang sempit jika dibandingkan dengan fase dewasanya. Hasil dari shelford
telah memberikan doronngan dalam kajian berbagai ekologi toleransi. Berbagai
percobaan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan atau menentukan
kisaran toleransi dari individu suatu jenis terhadap pencemar air yang akan sedikit
memberikan gambaran dalam penyebarannya.
Shelford sendiri memberikan penjelasan dalam hukumnya bahwa reaksi
suatu organisme terhadap faktor lingkungan tertentu mempunyai hubungan yang
erat dengan kondisi lingkkungan lainnya, misalnya apabila Nitrat dalam tanah
terbatas jumlahnya, maka resistansi rumput terhadap kekeringan menurun.
Dengan demikian kajian laboratorium (kondisi buatan) dari sustu jenis terhadap
satu faktor lingkungan akan memberikan gambran yang tidak utuh.
Shelford juga melihat kenyataan bahwa sering organisme hidup, tumbuhan
dan atau hewan, hidup berada pada kondisi tempat yang tidak optimum. Karena
berada pada kondisi yang tidak optimum ini akibat kompetisi dengan jenis
lainnya, sehingga berada pada keadaan yanng lebih efektif dalam hidupnya.
Misalnya berbagai tumbuhan di padang pasir sesunggguhnya akan tumbuh lebih
baik di tempat yang lembab, tetapi mereka memilih padang pasir karena adanya
keuntungan ekologi yang lebih.

7
Pengaruh faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk suatu tumbuh-
tumbuhan berbeda-beda, karena satu jenis tumbuhan mempunyai kisaran toleransi
yang berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan. Tetapi pada
dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan variabilitas unsur-
unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor fisik, misalnya suhu
udara) sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi tumbuhan terhadap faktor
atau sejumlah faktor lingkungan tersebut.
Pengertian tentang faktor lingkungan sebagai faktor pembatas kemudian
dikenal sebagai Hukum faktor pembatas, yang dikemukakan oleh F.F Blackman,
yang menyatakan: jika semua proses kebutuhan tumbuhan tergantung pada
sejumlah faktor yang berbeda-beda, maka laju kecepatan suatu proses pada suatu
waktu akan ditentukan oleh faktor yang pembatas pada suatu saat.
Seorang ahli ekologi Jerman Friedrich (1927), menyatakan bahwa
hubungan antara komunitas dan lingkungannya bersifat holocoenotik. Ini berarti
bahwa tidak ada dinding pemiah antara lingkungan dengan organisme atau
komunitas biologis yang ada. Ekosistem beraksi sebagi keseluruhan, sulit untuk
memisahkan satu faktor atau satu organisme di dalam tanpa mengganggu
komponen ekosistem lain. Malahan setiap organisme merupakan lingkungan dari
organisme lain. Kebutuhan dari sustu populasi akan berubah dengan adanya faktor
waktu atau masa atau seleksi alam di dalam siklus kehidupan suatu organisme.

II.4 Konsep Faktor Pembatas

Meskipun hukum shelford ini pada dasarnya benar, tetapi sekarang para
pakar ekologi berpendirian bahwa pendapat ini terlalu kaku. Akan lebih
bermanfaat apabila mennghubungkan konsep minimum dengan konsep toleransi
ini untuk mendapatkan gambaran yang umum tentang konsep faktor pembatas.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kehadiran dan keberhasilan dari
organisme hidup tergantung pada kondisi – kondisi yang tidak sederhana.

8
Organisme hidup di alam di kontrol tidak hanya oleh suplai materi yang
minimum diperlukannyatetapi juga oleh faktor – faktor lainnya yang keadaannya
kritis. Faktor apapun yang kuran atau melebihi batas toleransi mungkin akan
merupakan pembatas dalam penyebaran jenis. Memang sulit menentukan di alam
faktor – faktor pembatas ini, karena masalah yang erat kaitannya dengan
pemisahan pengaruh setiap komponen lingkungan secara terpisah di habitatnya.
Nilai lebih dari penggabungan konsep faktor pembatas adalah dalam memberikan
pola atau arahan dalam kajian hubungan – hubungan yang kompleks dari faktor
lingkungan ini.
Para pakar ekologi sekarang menyadari bahwa terlalu banyak perhatian
ditujukan pada kajian – kajian toleransi dan faktor – faktor pembatas itu sendiri.
Kajian hendaknya di arahkan untuk mempelajari bagaimana tumbuhan dan hewan
berkembang untuk mennguasai habitat tertentu dan menghasilkan kisaran
toleransi terhadap faktor – faktor lingkungan yang sesuai untuk bisa
mempertahankan diri.
Kajian – kajian ekologi toleransi yang didasarkan pada pemikiran Liebig
dan Shelford pada umumya tidak menjawab pertanyaan ekologi mendasar,
bagaimana jenis – jenis teradaptasi terhadap beberapa faktor yang membatasinya.
Pandangan ekologi yang lebih berkembang adalah memikirkan perkembangan
jenis untuk mencapai suatu kehidupan dengan memperhatiakan kisaran toleransi
dalam pola hidupnya. Pendekatan ini menekankan pentingnya evolusi yang
membawa pengertian yang lebih baik hubungan antara individu suatu jenis
dengan habitatnya.

9
II.5 Definisi Mangrove

Kata ‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue


dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan
untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan
untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan untuk
menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata
mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Sedangkan
menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan
komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah
wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna,
estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik
karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil
atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang
dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan
mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada
pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya
di dalam suatu habitat mangrove.

10
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove.
Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan
bakau. Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang
sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan
yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau
digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora.
Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis,
sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya
dihindari.

II.6 Sebaran Mangrove

Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat


beradaptsi terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan
adaptasi fisiologis untuk mengatasi masalah anoksia, salinitas tinggi dan genangan
air pasang surut yang sering. Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar
mangrove menyediakan habitat bagi tiram dan aliran air yang lambat, sehingga
meningkatkan pengendapan sedimen. Sedimen halus yang anoksik di bawah hutan
mangrove berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace) membentuk
koloid partikel, sehingga sering menciptakan Mangrove melindungi daerah pantai
dari erosi, badai topan (terutama saat badai), dan tsunami. Sistem akar mangrove
sangat efisien dalam memecah energi gelombang laut, memperlambat air pasang,
meninggalkan semua sedimen kecuali partikel halus ketika pasang surut. Dengan
cara ini, ekosistem mangrove membangun lingkungan yang unik dan
perlindungan terhadap erosi, sehingga sering menjadi objek program konservasi.

11
II.7 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.


Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah
yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young
soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa
dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen,
dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi
pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang
terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya.
Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti
sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang
unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang
fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki
ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan
biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari
habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove Indonesia (2008) adalah:

• Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

• Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan


menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti
pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;

• Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,


khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.

• Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

12
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:

• Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya
tergenang pada saat pasang pertama;

• Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;

• Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 – 22 º /oo) hingga asin.

II.8 Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk


zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan
mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap
gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana
(satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi)
tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa
faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :

1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water
table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat
menyebabkan kerusakan terhadap anakan.

2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,
tingginya muka air dan drainase

3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap
kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.

4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran


seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

13
5. Pasokan dan aliran air tawar

Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove, yaitu :

• Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan
pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya
komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan
ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang
terakhir.

• Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur,
diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri komunitas
murni N. fructicans.

• Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove
banyak berasosiasi dengan komunitas daratan. Berdasarkan Bengen (2001), jenis-
jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika
dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi
yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat


dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak
lembek (dangkal), dengan substrat agak
berpasir, sedikit bahan organik dan kadar
garam agak tinggi. Zona ini biasanya
didominasi oleh jenis api-api (Avicennia
spp) dan prepat (Sonneratia spp),

14
2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa
tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )

3. Zona Tancang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi
dengan jenis lain.

15
4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini
mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,
tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-
tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya.

II.9 Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan


memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi
berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut
Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan
bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi
sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam
tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan mangrove atau fakor pembatas pertumbuhan
mangrove di suatu lokasi adalah :

16
A. Fisiografi pantai

Fisiografi atau fisik geografi adalah ilmu yg mempelajari tentang proses


atau patern bentukan keadaan alam sekitar mulai dari keadaan tanah, atmosfer
biosfer akibat kegiatan kegiatan di atas bumi yg menyebabkan perubahan
lingkungan sekitar, baik itu karena alami maupun kegiatan manusia yg
berkontribusi dalam perubahan lingkungan .
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan
lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove
lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan
karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya
mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai
yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena
kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.

B. Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan


dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci
pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:

 Lama pasang

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan


salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya
akan menurun pada saat air laut surut

2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang


merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara
horizontal.

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi
vertikal organisme.

17
 Durasi pasang :

1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang
diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi
pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu
maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta
Xylocarpus kadang-kadang ada.

 Rentang pasang (tinggi pasang):

1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya

2. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi


yang memiliki pasang yang tinggi.

C. Gelombang dan Arus

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya
hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.

Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies


misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai
menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.

Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove.

18
Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang
berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan
dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut
pada saat surut.

D. Iklim

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan


air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah
hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Cahaya

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan


struktur fisik mangrove lalu Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan
long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai
untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar
matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya . Namun
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang
berada di luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga
karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di
dalam gerombol.

2. Curah hujan

Jumlah atau volume hujan, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi


perkembangan tumbuhan mangrove . Curah hujan yang terjadi juga
mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah . Pada umumnya
curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun

19
3. Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi) .


Perubahan suhu ini berpengaruh terhadap produksi daun baru Avicennia marina .
Produksi daun baru tersebut terjadi pada suhu 18-20º C dan jika suhu lebih tinggi
maka produksi menjadi berkurang
Misalnya saja pada Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera
tanaman tersebut tumbuh optimal pada suhu 26-28º C . Lalu terdapat juga
Bruguiera , tanaman ini tumbuh optimal pada suhu 27º C .

E. Salinitas

Salinitas adalah salah satu faktor yang menentukan penyebaran tumbuhan


mangrove dan juga menjadi faktor pembatas meskipun beberapa spesies
tumbuhan mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas
namun bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini akan menyebabkan kadar garam
tanah dan air mencapai titik ekstrim sehingga dapat mengancam kelangsungan
hidupnya. Spesies Bruguiera parviflora mencapai perkembangan maksimum pada
salinitas sekitar 20°/00, spesies B. gymnorhiza tahan pada salinitas sekitar 10-
25º/00, sedangkan spesies B. sexangula cenderung lebih suka pada salinitas tanah
<10°/00.
Kemampuan mangrove tumbuh pada air asin karena kemampuan akar-
akar tumbuhan untuk mengeluarkan atau mengsekresikan garam dan beberapa
spesies mempunyai akar yang dapat memisahkan garam, dan beberapa spesies
lainnya pemisahannya ini terjadi ketika proses penguapan atau transpirasi di daun.
Penguapan daun ini menimbulkan terjadinya tekanan negative, yang
menyebabkan air yang ada di system perakaran tertarik ke dekat xylem dan
peristiwa ini pula terjadi pemisahan air tawar dan air lautyang ada di membrane
akar (Supriharyono,2007).

20
F. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena


bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen
untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan
fotosintesis . Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan
kondisi terendah pada malam hari
Kandungan oksigen dalam mangrove hanya sedikit. Untuk mencukupi
kebutuhan oksigen tersebut, umumnya mangrove mempunyai akar napas (aerial
root) yang disebut pneumatophores(Kordi, 2012).

G. Substrat

Substrat tanah juga menentukan pertumbuhan mangrove. Tipe substrat


yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak yang mengandung
slit, clay, dan bahan organic yang lembut. Tanah vulkanik juga merupakan
substrat yang baik untuk pertumbuhan mangrove, sedangkan substrat yang
mengandung quartztic dan granitic alluvial kurang baik untuk pertumbuhan
mangrove. Mangrove lebih cocok tumbuh pada jenis tanah slit dan clay karena
tipe tanah tersebut dapat menunjang proses regenerasi, dimana partikelliat yang
berupa lumpur akan menangkap buah tumbuhan mangrove yang jatuh ketika
sudah masak. Proses inilah yangdapat menentukan kerapatan zonasi mangrove.
Pada substrat pasir yang bercampur dengan patahan karang kerapatan mangrove
sangat rendah karena pasir tersebut tidak dapat menahan buah yang jatuh sehingga
mudah dibawa oleh arus air laut.

21
H. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara


inorganik dan organik.

1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na

2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)

Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi
pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air
dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan
dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian
vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi
permukaan air jauh dari permukaan.

22
BAB III

KESIMPULAN

Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah


kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah
yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young
soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa
dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen,
dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi
pada bagian arah daratan.
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove
atau yang menjadi pembatas dari ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
– Fisiografi pantai (topografi)

– Pasang (lama, durasi, rentang)

– Gelombang dan arus

– Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)

– Salinitas

– Oksigen terlarut

– Tanah

– Hara

23

Anda mungkin juga menyukai