Anda di halaman 1dari 28

CLINICAL SCIENCE SESSION

MORBUS HANSEN

Penyusun:
Anne Shafira P. C. A. 130112170657
Nur Jannah binti Ariffin 130112173501

Preseptor:
Eva Krishna Sutedja, dr., M.Kes., SpKK

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018

1
MORBUS HANSEN

1. Pendahuluan
Kusta termasuk penyakit tertua sekitar tahun 1400, dulu kusta memiliki arti
berbagai macam penyakit kulit. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan kondisi
sekarang yang sudah tidak kabur sepertu dahulu.

2. Definisi

Penyakit kusta (Morbus Hansen) adalah penyakit kronis, menular, yang


disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat obligat
intraselular. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian selanjutnya dapat
menyerang kulit, lalu menyebar ke organ lain (mukosa traktus,, dan lainnya)
kecuali susunan saraf pusat.

Faktor Resiko

1. Riwayat kontak dengan pasien kusta.

2. Riwayat tinggal di daerah endemis (Indonesia Timur, Pantai Utara Jawa,


Jawa Barat (Cirebon, Subang, Kuningan, dll)).

3. Keadaan sosioekonomi rendah.

4. Kehamilan dikatakan menjadi faktor presipitasi dari terjadinya kusta pada


10% - 25% pasien wanita, kemungkinan karena terganggunya imunitas
tubuh.

5. HIV/AIDS meningkatkan resiko tejadinya reaksi DTH, kemungkinan


karena terapi antiretroviral.

1. Epidemiologi

2
Penyebaran dari kusta melalu kontrak dengan kulit pasien langsung atau melalui
inhalasi dari droplet yang mengandung M.leprae. dengan masa budding yang
bervariasi dari 40 minggu hingga beberapa tahun, umumnya 3-5 tahun.

Pada tahun 2013, Indonesia menjadi peringkat ketiga sedunia dalam penyumbang
kasus kusta dan pertama pada asen 2013. Jawa barat juga menjadi salah satu
pemberi kassus lepra yang tinggi. Pada kasus. Ditemukan penyakit lepra banyak
pada penduduk dengan social ekonomi yang rendah.

Manusia adalah sumber infeksi satu-satunya untuk penyakit lepra. Sebagian


manusia (95%) kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil yang dapat tertular
(5%). Pada pasien yang dapat terkena (5%) hanya 30% yang menjadi sakit dari
5% tersebut. Dengan memberikan obat yang cepat, pasien dapat mengurangi
penyebaran kusta.

2. Etiologi

Bakteri Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan asam, Gram positif
dan obligat intraselular. M. leprae memiliki afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwann cell). Tidak bisa di-culture,

3. Patogenesis

Pasien dibagi menjadi 2 berdasarkan jumlah dari bakteri yang ditemukan pada
hasil smear WHO menjadi paucibacillary bila tidak ditemukan bakteri pada
sampel yang diambil dan multibacillary bila ditemukan 1 atau lebih.

M. leprae bersifat tidak toksik, manifestasi klinis yang diterjadi dikarenakan


respon tubuh (respon imun tubuh (CMI)) terhadap bakteri(PB) atau dikarenakan
jumlah yang berlebih karena infiltrasi diffuse(MB). Dengan pembentukan
humoral yang cukup serta pertumbuhan M.leprae yang lambat, seharusmya dapat
ditekan dan tidak membuat gejala.

3
M. leprae mempunyai glikoprotein (Phenolyc Glycolipid) yang membantu untuk
berikatan dengan schwann cell (Laminin-2). Saat berikatan, T-helper cell akan
merespon dan meningkatkan cytokine sehingga meningkatkan kejadian apoptotic
pada sel. Lalu M. leprae memanggil T-helper, sel epitheloid, giant cell untuk
menginfiltrasi kulit sehingga muncul lesi kulit patch dengan ujung yang elevasi.

Jika kondisi lepra memburuk hingga menjadi Lepromatous, dikarenakan jumlah


bakterinya yang banyak sehingga tidak bias di tahan oleh CMI membuat, M.
leprae menyerang langsung ke jaringan epithelial sehingga membentuk papul
yang akan merusak nervus cutaneous membentuk classic lion face.

4. Gejala Klinis

Diagnosis dari penyakit kusta dinilai dari gambaran klinis, bakterioskopis,


histopatologis, dan serologis. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh
seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila
SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa.

Untk membantu menilai dan mendiagnosis pasien, terdapat beberapa klasifikasi

1. WHO
Berdasarkan banyaknya bakteri yang ditemukan
a. Pausibasilar : mengandung sedikit bakteri

4
b. Multibasilar : mengandung banyak bakteri

2. Ridley & Joping


Dinilai dari system imunitas selulernya apakah baik atau tidak untuk

5
menilai gambaran klinis tuberculoid atau lepromatous

Tanda Kardinal untuk kusta adalah:

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.


Gangguan fungsi saraf bisa berupa:

 Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

 Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan


(paralisis) otot

 Gangguan fungsi otonom: kuit kering dan retak-retak

3. Adanya basil tahan asam (BSA) di dalam kerokan jaringan kulit.

Dinyatakan sebagai penderita kusta jika terdapat satu tanda kardinal.

Kusta merupakan penyakit kulit “great imitator” yang membuat sulit


dibedakan dengan penyakit kulit lainnya sehingga dengan melakukan
pemeriksaan saraf sensori dapat membantu untuk mendiagnosis kusta.

Gejala lain dapat diperiksa dengan:

1. Tanda Gunawan
Melihat tanda-tanda kerusakan saraf otonom dengan bantuan tinta
gunawan. Pada kulit normal tinta Gunawan akan luntur karena keringat
dan pada pasien kusta yang terganggu saraf otonomnya, tinta gunawan
tidak akan luntur atau hanya sedikit.
2. Alopesia dan madarosis
Akibat dari inflammatory response yang menyerang ke follicle rambut.
3. Voluntary Muscle Test
Pemeriksaan fungsi motoris dari padien kusta untuk menilai kondisi saraf
pasien pada nervus ulnaris, radialis, medianus.
4. Mata

6
Saat M. leprae menyebar ke N. fasialis, pasien akan menderita kerusakan
pada mata. Menyebabkan lagoftalmos atau bahkan kebutaan.

Gejala-gejala kerusakan saraf

1. N. ulnaris
= Anestesia ujung kiri anterior kelingking dan jari manis, clawing,
atrofi otot.
2. N. medianus
= Anestesia ujung jari anterior ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, jari
tengah, atrofi
3. N. radialis
= Anestesia dorsum manus, tangan gantung, tak bisa ekstensi jari dan
pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
= Anstesia tungkai bawah, lateral, dorsum pedis, foot drop, lemah
otot peroneus
5. N. tibiais posterior
= Anestesia telapak kaki, claw toes,
6. N. fasialis
= lagoftalmus, kehilangan ekspresi muka, dan susah menutup mulut
7. N. trigeminus
= anesthesia kulit wajah, kornea, konjungtiva, atrofi otot tenar

Kusta tipe neural:

1. Tidak ada dan tidak pernah ada lesu kulit


2. Ada satu atau lebih perbesaran saraf
3. Ada anesthesia atau paralisis serta atrofi otot yang disertai bakterioskopik
negative.

7. Penunjang Diagnosis

7
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit kusta dapat melalui
pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit), pemeriksaan histopatologi,
dan pemeriksaan serologik.
a. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik selain membantu menegakkan
diagnosis juga berfungsi dalam pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat
dari kerokan jaringan kulit, atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain
dengan Ziehl-Neelsen. Akan tetapi bakterioskopik negatif pada seorang
penderita tidak menjamin tidak adanya kuman M. leprae.
Hal pertama yang harus ditentukan adalah lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oelh kuman, lalu menentukan jumlah tempat yang
akan diambil. Untuk kepentingan pemeriksaan rutin, sebaiknya minimal
diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4
lesi lain yang paling aktif atau yang terlihat paling eritematosa serta
infiltratif.
Cara pengambilan bahan adalah dengan menggunakan skalpel
steril, dengan sebelumnya melakukan disinfeksi dan menjepit daerah
dilakukannya slit smear agar iskemik. Irisan yang dibuat harus sampai
dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengadung
M. leprae. Kerokan jaringan dioleskan di gelas alas, difiksasi, dan
diwarnai.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik
dilakukan pagi hari dengan ditampung pada sehelai plastik untuk
berikunya dinilai apakah sifat duh tubuh cair, serosa, bening, mukoid,
mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Bila memakai kapas lidi,
fiksasi harus pada hari yang sama, tetapi pewarnaan tidak perlu pada hari
yang sama. Skalpel kecil tumpul digunakan dalam pengambilan baha
kerokan mukosa hidung yang sebaiknya dari daerah septum nasi. Sediaan
dari mukosa hidung cenderung jarang dilakukan karena beberapa sebab.

8
Hasil temuan pada M. leprae yang telah diberi pewarnaan akan
tampak merah pada sediaan. Berdasarkan morfologi bakterinya, maka
bentuk bakteri tersebut dibedakan menjadi batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Membedakan antara bakteri hidup dan mati menjadi esensial karena
bentuk yang hidup dianggap lebih berbahaya, mempertimbangkan
kemampuan perkembangbiakan dan potensi menularnya.
Penilaian penting BTA di antaranya adalah Indeks Bakteri (IB) dan
Indeks Morfologi (IM). Kepadatan BTA (baik solid maupun nonsolid)
pada sediaan dinyatakan dengan IB denggan nilai 0 sampai 6+ (Ridley).
Dihitung nol bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP), berikut
pengelompokkannya.
1 + bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2 + bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3 + bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4 + bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5 + bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6 + bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya dan minyak emersi
pada pembesaran lensa objektif 100x.
IB seseorang dihitung dari IB rata-rata semua lesi yang masing-
masing telah dilakukan perhitungan. IM adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah bentuk solid dan nonsolid.

Rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
x 100% = ... %
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑+𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
Syarat perhitungan:
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

9
- IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk bisa mendapatkan
100 BTA, harus mencari dalam 1.000 s.d. 10.000 LP
- Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3 +
maksimum harus dicari dalam 100 LP.
b. Pemeriksaan Histopatologik
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis,
sebagaimana saat kuman M. leprae masuk, respon tubuh akan bergantung
pada Sistem Imunitas Selular (SIS). Apabila SIS pada tubuh tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman dipicu oleh proses imunologik berupa faktor kemotaktik.
Apabila berlebihan dan tidak terdapat lagi zat yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak, lalu berlanjut menjadi sel datia Langhans. Massa epiteloid
berlebihan jika dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan kecacatan.
Pasien dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya tetapi menjadi
tempat berkembangbiak bakteri atau biasa disebut sebagai sel Virchow/sel
lepra/sel busa. Sel Virchow inilah yang berperan pula sebagai penyangkut
penyebarluasan. Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-
derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid: tuberkel dan kerusakan
saraf lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit, serta non-solid. Pada
tipe lepromatosa, terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone), yakni suatu daerah di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologis. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran dari unsur-unsur tersebut.

c. Pemeriksaan Serologik
Dasar pemeriksaan serologik kusta adalah terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang

10
dibentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae maupun tidak spesifik.
Antibodi spesifiknya berupa anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain adalah antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang
juga dihasilkan oleh kuman M. leprae.
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu
diagnosis kusta yang meragukan dari hasil pemeriksaan tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas. Di samping itu, hasil pemeriksaan serologik bisa
membantu menentukan kusta subklinis, karena pada kasus tersebut tidak
didapati lesi kulit. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta di
antaranya adalah:
- Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Agglutionation)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
- ML dipstick test (M. leprae dipstick)
- ML flow test (M. leprae flow test)

PENGOBATAN KUSTA

Pengobatan kusta yang paling umum digunakan adalah diaminodifenil sulfon


(DDS) atau dikenal dengan sebutan dapsone, kemudian klofazimin, dan
rifampisin. Sejak tahun 1998, WHO menambahkan tiga antibiotik lain untuk
pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin. WHO juga
merekomendasikan Multi Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan kusta. Tujuan
pengobatan MDT adalah:

1. Memutuskan mata rantai penularan.


2. Mencegah resistensi obat.
3. Memperpendek masa pengobatan.
4. Meningkatkan keteraturan berobat.
5. Mencegah terjadinya cacat atau bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan.

11
Regimen Pengobatan MDT

MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, dengan salah satu obatnya
berupa rifampisin, yang merupakan bakterisidal kuat, sedangkan obat antikusta
lainnya bersifat bakteriostatik.

Kelompok pasien yang membutuhkan MDT adalah:

1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yang pernah mengalami relaps, masuk kembali setelah
default, pindahan, dan ganti klasifikasi/tipe kusta

Regimen pengobatan MDT di Indonesia yang sesuai dengan rekomendasi dari


WHO adalah:

12
Dosis untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun disesuaikan dengan berat
badan:

 Rifampisin: 10-15 mg/kgBB.


 Dapsone: 1-2 mg/kgBB.
 Lampren: 1 mg/kgBB.

Sediaan dan Sifat Obat

Obat MDT terdiri atas:

1. DDS (dapsone) – Diamino Diphenyl Sulphone


a. Memiliki sediaan tablet warna putih 50 mg dan 100 mg.
b. Bersifat bakteriostatik, menghambat pertumbuhan kuman kusta.
c. Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 tahun).
2. Lampren (klofazimin).
a. Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg berwarna
cokelat.

13
b. Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi.
c. Cara pemberian secara oral, diminum setelah makan untuk
mencegah iritasi gastrointestinal.
3. Rifampisin.
a. Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, dan 600 mg.
b. Bersifat bakterisidal, 99% kuman kusta mati dalam satu kali
pemberian.
c. Cara pemberian secara oral, tiga puluh menit sebelum makan.

Obat penunjang (vitamin/roboransia)

1) Obat neurotropik: vitamin B1, B6, B12 dapat diberikan

Pasien dengan Keadaan Khusus

1. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu dan anaknya.
2. Tuberkulosis: regimen kedua pengobatan dilanjutkan, dengan dosis
rifampisin sesuai dengan terapi tuberkulosis (10 mg/kgBB/hari).
a. Untuk pasien TB dengan kusta tipe PB, cukup diobati dengan
regimen TB ditambahkan dapsone 100 mg.
b. Untuk pasien TB dengan kusta tipe MB, cukup diobati dengan
regimen TB dan ditambahkan lampren 50 mg dan dapsone 100 mg.
3. Pada pasien PB, jika terdapat alergi terhadap dapsone, maka dapat diganti
dengan lampren.
4. Jika terdapat alergi dapsone pada pasien MB, maka pengobatan
dilanjutkan dengan dua obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai
dosis.

Efek Samping dan Penanganannya

14
1. Rifampisin.
a. Gangguan fungsi hati dan ginjal. Dosis maksimal yang aman pada
pasien tanpa gangguan kedua organ tersebut adalah 600 mg/bulan.
Jika ada gejala gangguan ginjal dan hati, maka pengobatan
dihentikan sementara dan dilanjutkan kembali jika fungsi ginjal
dan hati pasien sudah normal kembali.
b. Erupsi kulit.
c. Gangguan pencernaan.
d. Flu-like syndrome.
e. Perubahan warna urin menjadi merah.
2. Dapsone.
a. Dapat terjadi sindrom dapsone (SD), yang merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang berbeda dengan efek samping maupun efek
toksik dari dapsone, yang dapat dikenal dengan sindrom sulfon,
sindrom hipersensitivitas dapsone, five-weeks dermatitis, dan
sebagainya.

15
b. Faktor risikonya adalah alergi sulfon, anemia hemolitik, defisiensi
G6PD, riwayat sianosis, dan hepatitis B atau E.
c. Kriteria diagnosis SD adalah gejala timbul dalam 8 minggu setelah
pemberian dapsone dan menghilang dengan penghentian dapsone,
bukan merupakan reaksi kusta, dan tidak ada penyakit lain yang
dapat memberikan gejala serupa. Gejala dapat muncul 2-6 jam jika
terdapat pajanan dari dapsone sebelumnya. selain itu, dapat pula
terjadi 6 bulan setelah pasien diterapi dapsone dan mendapat
kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya, atau 1-2 minggu
setelah dapsone dihentikan.
d. Gambaran klinis berupa lesi kulit makulopapular generalisata dan
diikuti gejala sistemis seperti demam tinggi, ikterus, malaise, dan
abnormalitas hematologis beberapa minggu setelah terapi dimulai.
e. Penghentian dapsone disertai terapi suportif seperti keseimbangan
cairan dan elektrolit, suhu, nutrisi, perawatan lesi kulit, dan
perawatan sepsis dibutuhkan.
f. Pemberian kortikosteroid sistemik dianjurkan apabila ada
keterlibatan organ dalam atau terdapat lesi di mukosa walaupun
tanpa keterlibatan organ dalam.
g. Tapering off kortikosteroid dilakukan selama lebih dari satu bulan,
dan diberikan 60 mg/hari (0.8-2 mg/kgBB) selama 5 hari,
kemudian diturunkan 10 mg tiap 5 hari, selama satu bulan.
h. Terapi alternatif yang diberikan berupa:
 Rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan,
minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.
 Klofazimin 50 mg.hari, ofloksasin 400 mg/hari, dan
minosiklin 100 mg/hari selama 6 bulan dilanjutkan
klofazimin 50 mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari atau
klofazimin 50 mg/hari, minosiklin 100 mg/hari selama 18
bulan.

16
 Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/hari,
minosiklin 100 mg/bulan selama 12 bulan.
 Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/hari,
prothionamid 250 mg.hari selama 12 bulan.

3. Lampren.
a. Gangguan saluran cerna. Dapat terjadi nyeri perut karena endapan
kristal lampren dalam usus halus
b. Hiperpigmentasi kulit dan mukosa, kering, iktiosis, pruritus, erupsi
akneiformis, ruam kulit, dan reaksi fotosensitivitas. Akan
menghilang 6-12 bulan setelah lampren dihentikan
c. Kulit dan mukosa kering. Hal ini juga akan menghilang setelah
pengobatan selesai
d. Jika terjadi kelebihan dosis, dapat dilakukan bilas lambung
(dengan arang aktif) atau rangsang muntah, pengobatan tidak perlu
dihentikan.

Evaluasi Pengobatan

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.


2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lambat satu bulan harus
dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan apabila dosis dipenuhi
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT, pasien
dikeluarkan dari register kohort
4. Pasien yang sudah RFT, namun memiliki faktor risiko:
a. Cacat tingkat satu atau dua.
b. Pernah mengalami reaksi.
c. BTA pada pemeriksaan awal >3( ada nodul/infiltrat) dilakukan
pengamatan secara semi-aktif
5. Pasien PB yang telah mendapatkan 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT tanpa harus pemeriksan laboratorium

17
6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT tanpa harus pemeriksan laboratorium.
7. Default. Jika seorang pasien PB tidak mengonsumsi obat lebih dari tiga
bulan dan pasien MB lebih dari enam bulan secara kumulatif.
a. Dikeluarkan dari register kohort.
b. Bila kemudian datang kembali, dilakukan pemeriksaan ulang.’
 Jika ada tanda-tanda klinis yang aktif.
o Kemerahan/peninggian dari lesi lama di kulit.
o Adanya lesi baru.
o Adanya pembesaran saraf yang baru;
maka pasien mendapat pengobatan MDT ulang
sesuai klasifikasi saat itu.
 Bila tidak ada tanda-tanda klinis aktif, pasien tidak perlu
diobati kembali.

18
8. Relaps/kambuh. Pasien dinyatakan mengalami kekambuhan bila setelah
RFT timbul lesi baru pada kulit. Pada pasien MB, jika ada pemeriksaan
ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau lebih
bila dibandingkan dengan saat diagnosis.
9. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort: RFT, meninggal, pindah,
salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan khusus yang menyulitkan pasien untuk mendapatkan obat
satu bulan sekali, pasien dapat diberikan beberapa blister sekaligus
lengkap dengan penyuluhan mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi,
agar secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan.

19
REAKSI KUSTA

1. Definisi
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1
(reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema nodosum leprosum). Patofisiologi yang belum
jelas terkait mekanisme terjadinya reaksi kusta saat ini dijelaskan secara
imunologik. Reaksi imun pada pasien dengan reaksi dapat menguntung namun
dapat pula merugikan yang disebut sebagai reaksi imun patologik.

2. Tipe Reaksi Kusta


Klasifikasi reaksi kusta yang kini banyak digunakan membagi jenis reaksi
menjadi dua, yakni reaksi tipe 1/reaksi reversal dan reaksi tipe 2/Eritema
Nodosum Leprosum (ENL)
a. Reaksi Reversal
Reaksi umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Contohnya, lesi hipopigmentasi dapat menjadi eritema, lesi eritema
menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat
makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.
b. Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa pola dan dapat pula
pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar
kemungkinan timbul ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon
imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M. Leprae + antibodi pasien (IgM, IgG) , yang akan mengaktifkan
sistem komplemen  terbentuklah kompleks imun. Dengan terbentuknya
kompleks imun, ENL masuk ke dalam golongan penyakit kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi dan
akan terdegradasi, yang kemudiannya akan beredar dalam sirkulasi darah

20
dan dapat mengendap ke berbagai organ terutama pada lokasi dimana M.
Leprae berada dalam konsentrasi tinggi. Pada kulit, dapat timbul gejala
klinis berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan
dan tungkai. Bila mengenai organ lain, dapat menimbulkan gejala seperti
indosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut
dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
tingkat ringan sampai berat.
Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berbeda dengan reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT,
Ti). Hal yang memegang peranan penting dalam reaksi ini adalah Sistem
Imunitas Seluler (SIS). Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat
bergerak bebas ke arah TT dan TL dengan mengikuti naik turunnya SIS.

Secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa
nodus, sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah
reaksi non-nodular. Hal ini penting dalam membantu menegakkan diagnosis
reaksi atas dasar lesi, ada atau tidaknya nodus. Kalau ada, maka disebut sebagai
reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti non-nodular atau reaksi reversal
atau reaksi borderline.

3. Faktor Risiko
Tabel 1. Faktor risiko reaksi tipe 1 dan tipe 2
Reaksi reversal (reaksi tipe 1) ENL (reaksi tipe 2)
Tipe borderline terutama BL dan BB LL dengan infiltrasi kulit
Reaksi ini terutama terjadi selama Obat MDT, kecuali lampren
pengobatan  peningkatan hebat
respons imun selular secara tiba-tiba
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Indeks Bakteri > 4 +
Infeksi penyerta: Hepatitis B atau C Infeksi penyerta: Streptococcus, virus,
parasit intestinal, filaria, malaria

21
Lesi dan keterlibatan saraf multipel Dipengaruhi stres fisik dan mental
Saat puerperium (karena peningkatan Kehamilan awal (karena stress
CMI), selama kehamilan trimester ke- mental), trimester ke-3. Dan
3, (karena penurunan CMI). Paling puerperium (karena stress fisik), setiap
tinggi 6 bulan pertama setelah masa kehamilan (karena infeksi
melahirkan/masa menyusui. penyerta)
Lain-lain seperti trauma, operasi

4. Kriteria Diagnostik
Tabel 2. Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2
Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta, Hanya pada kusta tipe
tipe PB maupun MB MB
Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan Biasanya setelah
pertama pengobatan mendapatkan
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan
Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan hingga berat
ringan (subfebris), atau disertai kelemahan
tanpa demam umum dan demam tinggi
Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodul
menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan
(merah), bengkak, nyeri tekan. Biasa pada
berkilat, hangat. lengan dan tungkai.
Kadang-kadang hanya Nodus dapat pecah
pada sebagian lesi. (ulserasi).
Dapat timbul bercak
baru.
Saraf Sering terjadi, berupa Dapat terjadi

22
nyeri tekan saraf dan
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis (-).
Radang mata Anestesi kornea dan Iritis,iridosiklitis,
lagoftalmos karena glaucoma , katarak, dll
keterlibatan N V dan VII
Edema ekstremitas (+) (-)
Peradangan pada organ Hampir tidak ada. Terjadi pada mata,
lain kelenjar getah bening,
sendi, ginjal, testis, dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya:
1. Lagofthalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir.
5. Adanya bercak pecah atau nodul pecah.
6. Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.
Harus dirujuk tergantung pada:
1) Tipe reaksi yang dialami dan berat ringannya reaksi tersebut.
2) Ada/tidaknya komplikasi atau kontraindikasi yang dapat mempengaruhi
penanganan reaksi.
3) Obat yang tersedia.
4) Tingkat kemampuan penanganan yang tersedia.
Tatalaksana reaksi ringan:
1) Berobat jalan, istirahat di rumah
2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap
4) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

23
Tatalaksana reaksi berat:
1) imobilisasi lokal/istirahat di rumah
2) pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3) MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah
4) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
5) Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Lampren)
6) Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
7) Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan Prednison dan Lampren
Pemberian Prednison:
1) Harus dibawah pengawasan, harus dicatat pada formulir evaluasi
pengobatan reaksi berat
2) Kontraindikasi pemberian prednison; TB, kencing manis, tukak lambung
berat, infeksi sekunder pada luka tangan atau kaki yang memburuk. Jika
kondisi tersebut berat, harus dirujuk
3) Berikan dalam dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan, jika keadaan
terpaksa dapat diberikan secara dosis bagi; misalkan 2 x 4 tablet/hari
4) Prednison boleh menyebabkan efek samping yang serius, pasien harus
mematuhi aturan pemberian prednison. Jika dihentikan secara tiba-tiba
dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise). Efek samping jangka panjang; gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemi, mudah infeksi, perdarahan atau perforasi pada tukak
lambung, osteoporosis, Cushing syndrome(moon face))
Pemberian Lampren
1) Diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah terjadi ≥2 episode),
sehingga terdapat ketergantungan steroid (steroid dependent)
2) Diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan, jika
terpaksa dapat diberikan secara dosis bagi; misalkan 3 x 1 tablet/hari atau
2 x 1 tablet/hari

24
25
Indikasi rujukan pasien reaksi ke rumah sakit:
1) ENL melepuh, ulserasi, suhu tinggi, neuritis
2) Reaksi tipe 1 + bercak ulserasi, neuritis
3) Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya
hepatitis, DM, hipertensi, tukak lambung berat
5. Diagnosis Banding Reaksi Kusta
Diagnosis banding reaksi kusta untuk masing-masing tipe reaksi kusta
berbeda. Reaksi reversal atau tipe 1 biasanya memiliki diagnosis banding utama
relaps dan diagnosis banding lainnya lesi kulit berbetuk plakat merah pada
selulitis, urtikaria akut, erisipelas, dan gigitan serangga. Reaksi tipe 2/ENL,
diagnosis bandingnya dapat berupa eritema nodosum akibat tuberkulosis, infeksi
Streptococcus dan obat, infeksi kulit karena Streptococcus beta hemolyticus,
alergi obat sistemik, demam reumatik, dll. Cara membedakannya; pemeriksaan
kerokan jaringan kulit dan histopatologi.

Pencegahan Cacat

Untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien kusta, perlu dilakukan


diagnosis dini kusta dan pemberian MDT dengan cepat dan tepat. Kemudian perlu
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf dan
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, pasien disarankan untuk memakai sepatu untuk melindungi
kaki, sarung tangan, dan kacamata untuk melindungi matanya. Pasien juga
diajarkan cara merawat kulit sehari-hari.

26
Tingkat Cacat pada Tangan dan Karakteristik
Kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak
ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas tanpa
kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
yang terlihat

Tingkat Cacat pada Mata Karakteristik


Tingkat 0 Tidak ada kerusakan pada mata
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata,
tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan yang terlihat, dan/atau
visus yang sangat terganggu

27
REFERENSI

1. Chrousos, George. Adrenocorticosteroids and Adrencortical Antagonists. IN :Katzung


BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed. USA : The McGraw-Hill
Companies, Inc., 2004 : 641-658.
2. Werth, Victoria. Systemic Glucocorticosteroids. In: Goldsmith, Lowell., Katz,
Stephen, Wolff, Klaus, Gilchrest, Barbara, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th edition. USA : The Mcgraw-Hill Companies, Inc., 2012: 2714-
2720
3. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah, Mochtar, Aisah,
Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2017 : 326 – 329.
4. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2012.

28

Anda mungkin juga menyukai