Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kecemasan
II.1.1. Pengertian
Cemas merupakan reaksi emosional terhadap individu yang subjektif,
dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui penyebabnya secara
khusus (Stuart & Sundeen, 2014). Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek
yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara
interpersonal (Perry & Potter, 2013). Kecemasan adalah kebingungan,
kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas
dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya dan
kecemasan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari (Suliswati,
2015). Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat
disimpulkan kecemasan adalah reaksi emosional terhadap penilaian individu
yang subjektif, dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui
penyebabnya secara khusus yang disertai perasaaan takut dan gelisah,
ketidakpastian, tidak tentram, khawatir dan juga menimbulkan berbagai
keluhan fisik.
II.1.2. Faktor predisposisi Kecemasan
Menurut Stuart dan sundeen (1998, dalam Nursalam, 2015), menyatakan
bahwa faktor predisposisi yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
a. Dalam pandangan Psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian-id dan superego.
b. Menurut pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas
juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kelemahan fisik. Sebagai contoh
kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit (hospitalisasi)

8
9

c. Menurut pandangan perilaku ansietas merupakan produk frustasi yaitu


segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
d. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang
biasa ditemui dalam suatu keluarga.
e. Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu ansietas.

II.1.3. Faktor Pencetus Kecemasan


Menurut Kaplan dan sadock (1997, dalam Nursalam, 2013), menyatakan
bahwa faktor pencetus kecemasan meliputi:
a. Faktor Psikososial
Anak kecil, imatur dan tergantung pada tokoh ibu, adalah terutama
rentan terhadap kecemasan yang berhubungan dengan perpisahan, sebagai
contoh anak yang dirawat di rumah sakit (hospitalisasi) karena anak mengalami
urutan ketakutan perkembangan yaitu takut kehilangan ibu, takut kehilangan
cinta ibu, takut cidera tubuh, takut akan impulsnya dan takut akan cemas
hukuman (punishing unxiety) dari superego dan rasa bersalah.Sebagian besar
anak mengalami cemas perpisahan didasarkan pada salah satu atau lebih
ketakutan – ketakutan tersebut.
b. Faktor Belajar
Kecemasan fobik dapat di komunikasikan dari orang tua kepada anak–
anak dengan modeling langsung. Jika orang penuh ketakutan, anak
kemungkinan memiliki adaptasi fobik terhadap situasi baru, terutama pada
lingkungan baru. Beberapa orang tua tampaknya mengajari anak– anaknya
untuk cemas dengan melindungi mereka secara berlebihan (overprotecting)
dari bahaya yang diharapkan atau dengan membesar– besarkan bahaya.
10

c. Faktor Genetik
Intensitas mana cemas perpisahan dialami oleh anak individual kemungkinan
memiliki dasar genetik. Penelitian keluarga telah menunjukkan bahwa
keturunan biologis dari orang dewasa dengan gangguan kecemasan adalah
rentan terhadap gangguan pada masa anak–anak.

II.1.4. Tanda dan Gejala Kecemasan


Menurut Carpenito (2014), menyatakan bahwa tanda dan gejala
kecemasan antara lain:
a. Fisiologis
Peningkatan frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah,
peningkatan frekwensi pernafasan dioferesis, dilatasi pupil, suara tremor
perubahan nada, gelisah, gemetar, berdebar – debar sering berkemih, diare,
gelisah, insomnia, keletihan dan kelemahan, pucat, atau kemerahan, pusing,
mual, anoreksia.
b. Emosional
Ketakutan, ketidak berdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan
kontrol. Ketegangan individu juga sering memperlihatkan marah berlebihan,
menangis, cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata buruk, kritisme
pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, mencela diri reaksi baku.
c. Kognitif
Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan kemampuan
belajar, terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu daripada kini atau masa
depan.

II.1.5. Kecemasan pada Anak akibat Hospitalisasi


Derajat kecemasan yang tinggi, terjadi pada anak usia antara tiga sampai
lima tahun. Dalam jumlah tertentu kecemasan adalah sesuatu yang normal.
Stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia prasekolah adalah
kecemasan akibat perpisahan (Wong, 2015). Kecemasan yang timbul pada anak
11

tidak selalu bersifat patologi tetapi dapat juga disebabkan oleh proses
perkembangan itu sendiri atau karena tingkah laku yang salah satu dari orang
tua.
Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak harus tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah
(Supartini, 2014). Reaksi anak terhadap hospitalisasi bersifat individual, dan
sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimilikinya. Menurut Supartini (2014), berbagai perasaan yang
muncul pada anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi yaitu kecemasan
karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri, marah, sedih,
takut serta rasa bersalah.
Menurut Wong (2015), manifestasi cemas akibat perpisahan pada anak
antara lain:
a. Fase Protes (Phase of Protest)
Pada fase ini anak menangis, menjerit / berteriak, mencari orang tua dengan
pandangan mata, memegangi orang tua, menghindari dan menolak bertemu
dengan orang yang tidak dikenal secara ferbal menyerang orang yang tidak
dikenal, berusaha lari untuk mencari orang tuanya, secara fisik berusaha
menahan orang tua agar tetap tinggal. Sikap protes seperti menangis mungkin
akan berlanjut dan akhirnya akan berhenti karena keletihan fisik. Pendekatan
orang yang tidak dikenal akan memicu meningkatnya sikap protes.
b. Fase putus asa (Phase of Despair)
Perilaku yang harus diobservasi pada fase ini adalah anak tidak aktif, menarik
diri dari orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan, tidak
komunikatif, perilaku memburuk, dan menolak untuk makan, minum atau
bergerak.
12

c. Fase menolak (Phase of Denial)


Pada fase ini secara samar-samar anak menerima perpisahan, tertarik pada
lingkungan sekitar, mulai berinteraksi secara dangkal dengan orang yang tidak
dikenal atau perawat dan terlihat gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah
berpisah dengan orang tua dalam jangka waktu yang lama.

II.1.6. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan pada Anak


Menurut Perry dan Potter (2015), faktor-faktor yang berhubungan dengan
kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi antara lain:
a. Jenis kelamin
Anak pada umur 3-6 tahun, kecemasan lebih sering terjadi pada anak
perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini karena laki-laki lebih aktif dan
eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitive dan banyak menggunakan
perasaan. Selain itu perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
lingkungan daripada laki- laki, kurang sabar dan mudah mengggunakan air
mata.
b. Umur
Semakin tua seseorang semakin baik seseorang dalam mengendalikan
emosinya.
c. Lama hari rawat
Lama hari rawat dapat mempengaruhi seseorang yang sedang dirawat juga
keluarga dari klien tersebut (Utama, 2015). Kecemasan anak yang dirawat di
rumah sakit akan sangat terlihat pada hari pertama sampai kedua bahkan sampai
hari ketiga, dan biasanya memasuki hari keempat atau kelima kecemasan yang
dirasakan anak akan mulai berkurang. Kecemasan yang terjadi pada pasien dan
orang tua juga bisa dipengaruhi oleh lamanya seseorang dirawat. Kecemasan
pada anak yang sedang dirawat bisa berkurang karena adanya dukungan orang
tua yang selalu menemani anak selama dirawat, teman-teman anak yang datang
berkunjung kerumah sakit atau anak sudah membina hubungan yang baik
13

dengan petugas kesehatan (perawat, dokter) sehingga dapat menurunkan


tingkat kecemasan anak. h
d. Lingkungan rumah sakit
Lingkungan rumah sakit dapat mempengaruhi kecemasan pada anak yang
mengalami hospitalisasi. Lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang
baru bagi anak, sehingga anak sering merasa takut dan terancam tersakiti oleh
tindakan yang akan dilakukan kepada dirinya.
Lingkungan rumah sakit juga akan memberikan kesan tersendiri bagi anak, baik
dari petugas kesehatan (perawat, dokter), alat kesehatan, dan teman seruangan
dengan anak juga mempengaruhi kecemasan pada anak karena anak merasa
berpisah dengan orang tuanya.
Menurut Moersintowarti (2016), faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan pada anak yang dirawat dirumah sakit antara lain :
a. Lingkungan rumah sakit
b. Bangunan rumah sakit
c. Bau khas rumah sakit
d. Obat-obatan
e. Alat-alat medis
f. Tindakan – tindakan medis
g. Petugas kesehatan

II.1.7. Reaksi Kecemasan pada Anak yang Mengalami Hospitalisasi


Suliswati (2015) menyatakan bahwa kecemasan yang timbul pada anak
yang mengalami hospitaalisasi dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun
destruktif bagi individu:
a. Konstruktif
Reaksi kecemasan kontruktif karena individu termotivasi untuk belajar
mengadakan perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman
dan terfokus pada kelangsungan hidup. Reaksi ini timbul pada anak yang
mengalami hospitalisasi karena sudah adanya rasa percaya pada anak terhadap
14

pemberi pelayanan kesehatan baik perawat maupun dokter. Reaksi kecemasan


konstruktif dapat digambarkan atau diwujudkan dalam bentuk anak mau
menuruti perintah atau mau dilakukan inervensi guna penangan masalah
kesehatanya, seperti anak mau dilakukan injeksi, dipasang infus, minum obat
dan lain sebagainya.
e. Destruktif
Reaksi kecemasan destruktif merupakan respon individu terhadap kecemasan
yang dimanifestasikan degan bertingkah laku maladaptif dan disfungsional.
Reaksi ini timbul karena anak merasa tidak percaya dan berpersepsi bahwa
orang lain akan melukai dirinya. Respon kecemasan destruktif pada anak yang
mengalami hospitalisasi dapat diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap
tindakan yang akan dilakukan pada anak, bahkan anak merasa ketakutan dan
menangis jika pemberi pelayanan kesehatan mendekat pada anak.

II.1.8. Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi Kecemasan Anak


Menurut Wong (2015), menyatakan bahwa intervensi yang penting
dilakukan perawat terhadap anak yang mengalami kecemasan akibat
hospitalisasi pada dasarnya untuk meminimalkan stressor, memaksimalkan
manfaat hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga,
mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit. Upaya untuk mengatasi
kecemasan pada anak antara lain yaitu:
a. Melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama
anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk
melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak
antara mereka.
b. Modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan
tidak asing dengan lingkungan baru.
c. Peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana
diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap
15

anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat
dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak
orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan
dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak mengajak
bermain sesuai dengan tahap perkembangan anak untuk kepentingan
terapi.

II.1.9. Cara mengukur kecemasan pada anak


Pengukuran kecemasan dapat menggunakan suatu alat ukur kecemasan
yaitu Hospital Anxiety Depression Scale (HADS) dikembangkan oleh
Zigmond dan Snaith (1983, dalam Hasanah, 2015) yang berisi 10 pertanyaan
tentang kecemasan dan depresi pada anak yang mengalami hospitalisasi. HADS
adalah skala yang digunakan untuk menilai kecemasan dan depresi pada anak
dengan skala data ordinal/interval. Lima item pernyataan berhubungan dengan
kecemasan dan lima item yang lain berhubungan dengan depresi. Zigmond dan
Snaith menciptakan ukuran hasil khusus untuk menghindari ketergantungan
pada aspek kondisi gejala somatik, maupun gejala penyakit, misalnya untuk
kelelahan dan insomnia atau hipersomnia. Hal ini, diharapkan akan
menciptakan alat untuk mendeteksi kecemasan dan depresi pada anak terhadap
hospitalisasi. Masing-masing pernyataan dalam kuesioner ini masing-masing
item diberi penilaian angka (score) antara 0-1, yang artinya:
Nilai 0 = tidak dialami oleh responden
Nilai 1 = dialami oleh responden
Dari masing-masing nilai angka (score) dari ke 10 pernyataan tersebut
dijumlahkan sehingga dari penjumlahan tersebut dapat diketahui bentuk
kecemasan seseorang, yaitu:
a. Konstruktif (0-5)
b. Destruktif (6-10)
kuesioner ini telah diuji kembali validitas reliabilitasnya sebagai alat ukur
kecemasan dan depresi oleh Wong & Hockenberry et. al. (2015) dengan hasil
16

HADS valid dengan koefisien α cronbach 0.884 (0.829 untuk cemas dan 0.840
untuk depresi) serta stabil dengan test-retest intraclass correlation coefficient
0.944).

II.2. Konsep Dasar Bermain


II.2.1. Pengertian
Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional,
dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena
dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat
dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2015). Bermain
adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat
yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi
kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak (Sudono, 2016).

II.2.2. Fungsi Bermain


Soetjiningsih (2013), menyatakan bahwa fungsi utama bermain adalah
merangsang perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual,
perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri,
perkembangan moral dan bermain sebagai terapi.
a. Perkembangan Sensoris – Motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik merupakan
komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting
untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan
untuk bayi yang mengembangkan kemampuan sensoris-motorik dan alat
permainan untuk anak usia toddler dan prasekolah yang banyak membantu
perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun halus.
b. Perkembangan Intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap
segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna,
17

bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak
akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain mobil-
mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia
telah belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan
untuk mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan
imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi
seperti ini akan semakin terlatih kemampuan intelektualnya.
c. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan
menerima. Bermain dengan orang lain membantu anak untuk mengembangkan
hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut.
Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman,
memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada
kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah dan remaja.
Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi
anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya dilingkungan keluarga.
d. Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya.
Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk
merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan memasang satu
alat permainan akan merangsang reativitas anak untuk semakin berkembang.
e. Perkembangan Kesadaran Diri
Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya dalam mengatur
mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan
mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap
orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga
temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa
18

perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk
menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan
kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya
terhadap orang lain.

f. Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari
orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan
mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat
diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak juga
akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, serta belajar bertanggung-jawab atas segala tindakan yang
telah dilakukannya. Misalnya, merebut mainan teman merupakan perbuatan
yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah
membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab terhadap tindakan serta barang
yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan kognitifnya, bagi anak usia
toddler dan prasekolah, permainan adalah media yang efektif untuk
mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh
karena itu, penting peran orang tua untuk mengawasi anak saat anak melakukan
aktivitas bermain dan mengajarkan nilai moral, seperti baik/buruk atau
benar/salah.
g. Bermain sebagai terapi
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan
yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.
Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak
karena menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit.
Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan
dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi
19

melalui kesenangannya melakukan permainan. Hal tersebut terutama terjadi


pada anak yang belum mampu mengekspresikannya secara verbal. Dengan
demikian, permainan adalah media komunikasi antar anak dengan orang lain,
termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan dirumah sakit. Perawat dapat
mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang
ditunjukkan selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang
ditunjukkan anak dengan orang tua dan teman kelompok bermainnya.
Kegiatan bermain dirumah sakit juga efektif dilakukan umtuk memantau
tingkat perkembangan anak. Selain itu, apabila ditujukan untuk meningkatkan
sosial anak, permainan akan dapat menjalin hubungan interpersonal antara anak
dan perawat, anak dan orang tua, orang tua dengan perawat. Perawat harus
memfasilitasi terjalinnya hubungan interpersonal tersebut selama permainan.
Permainan yang dilaksanakan di rumah sakit dapat membantu anak
mengekspresikan perasaan cemas, takut, sedih, dan stres.

II.2.3. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Bermain.


Menurut Suhendi (2013), ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi
aktivitas bermain pada anak, yaitu:
a. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi
tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah.
Demikian juga sebaliknya karena pada dasarnya permainan adalah alat
stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan hal tersebut,
orang tua dan perawat harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang
tepat untuk setiap tahap pertumbuhan dan pekembangan anak.
b. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi, walaupun demikian,
bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan
bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa.
20

Yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit,
bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan
permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak
yang sedang dirawat di rumah sakit.
c. Jenis kelamin anak
Ada bebarapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya dengan
permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan
jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat digunakan
oleh anak laki-laki atau perempuan untuk mengembangkan daya pikir,
imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi, ada pendapat
lain yang meyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu
anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan
tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini di latarbelakangi
oleh alasan adanya tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.
d. Lingkungan yang mendukung
Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan
anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya dan lingkungan fisik
rumah. Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi,
tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas anak,
bahkan sering kali mainan tradisional yang dibuat sendiri atau berasal dari
benda-benda di sekitar kehidupan anak akan lebih merangsang anak untuk
kreatif, keyakinankeluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi
bagaimana anak dididik melalui permainan. Sementara lingkungan fisik sekitar
lebih banyak mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik
dan motorik. Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain
memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan,
mondar-mandir, berlari, melompat dan bermain dengan teman sekelompoknya.
e. Alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi anak.
21

Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk


anak. Pilih yang sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak. Label yang tertera
pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan
tersebut sesuai dengan usia anak. Alat permainan tidak selalu harus yang dibeli
di toko atau mainan jadi, tetapi lebih diutama mainan tradisional yang dibuat
sendiri dari atau berasal dari benda-benda di sekitar kehidupan anak, akan lebih
dimanipulasi, akan mangajarkan anak untuk dapat mengembangkan
kemampuan koordinasi alat gerak. Permainan membantu anak untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengenal norma dan aturan serta interaksi
sosial dengan orang lain.

II.2.4. Klasifikasi Bermain


Soetjiningsih (2013), menyatakan bahwa ada beberapa jenis permainan,
baik ditinjau dari isi permainan, karakter sosial dan kelompok usia anak, antara
lain:
a. Berdasarkan isi permainan
1) Social affective play
Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapatkan
kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan orang
tuanya atau orang lain. Permainan yang yang biasa dilakukan adalah
“Cilukba”, bercerita sambil tersenyum, tertawa, atau sekadar memberikan
tangan pada bayi untuk menggenggamnya, tetapi dengan diiringi bercerita
sambil tersenyum dan tertawa. Bayi akan mencoba berespons terhadap
tingkahlaku orang tuanya atau orang dewasa tersebut misalnya dengan
tersenyum, tertawa, atau mengoceh.
2) Sense of pleasure play
Permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa senang
pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir,
anak akan membuat gunung - gunungan atau benda - benda apa saja yang dapat
22

dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan
melakukan macam-macam permainan, misalnya memindah-mindahkan air ke
botol, bak, atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin
asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan permainan yang
dilakukannya sehingga susah dihentikan.
3) Skill play
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan ketrampilan
anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil
memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi, keterampilan tersebut
diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang di lakukan. Semakin
sering melakukan latihan, anak akan semakin terampil.
4) Games (permainan)
Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan alat
tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa
dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis
permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern.
Misalnya, ular tangga, congklak, dan lainlain.
5) Unoccupied behaviour
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa,
jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa saja yang ada
di sekelilingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan
tertentu, dan situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang di gunakannya
sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi
serta lingkungannya tersebut.
6) Dramatic play
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan peran
sebagai orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya, dan
sebagainya yang ingin di tiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan
23

terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang mereka tiru.
Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.

b. Berdasarkan Karakter Sosial


1) Onlooker play
Pada jenis permainan ini, anak hanya mengamati temannya yang sedang
bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam permainan. Jadi,
anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan
yang sedang dilakukan temannya.
2) Solitary play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan,
tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya, dan alat
permainan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya,
tidak ada kerja sama, ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya
3) Parallel play
Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang
sama, tetapi antara satu anak dengan anak lainnya tidak terjadi kontak satu sama
lain sehingga antara anak satu dengan anak lain tidak ada sosialisasi satu sama
lain. Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak usia toddler.
4) Associative play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dengan
anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang memimpin
permainan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh permainan jenis ini adalah
bermain boneka, bermain hujanhujanan dan bermain masak-masakan.
5) Cooperative play
Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada permainan
jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang memimpin
permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak dalam
permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam permainan tersebut.
Misalnya, pada permainan sepak bola, ada anak yang memimpin permainan,
24

aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka harus dapat mencapai
tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan dengan memasukkan bola ke
gawang lawan mainnya.
c. Berdasarkan kelompok usia anak
1) Anak usia bayi. Permainan untuk anak usia bayi dibagi menjadi bayi usia 0
– 3 bulan, usia4 – 6 bulan, dan usia 7 – 9 bulan.
2) Anak usia toddler (>1 tahun sampai 3 tahun)
Anak usia toddler menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu banyak
bergerak, tidak bisa diam dan mulai mengembangkan otonomi
dankemampuannya untuk mandiri. Oleh karena itu, dalam melakukan
permainan, anak lebih bebas, spontan, dan menunjukkan otonomi baik dalam
memilih mainan maupun dalam aktivitas bermainnya. Anak mempunyai rasa
ingin tahu yang besar. Untuk itu harusdiperhatikan keamanan dan
keselamatan anak dengan cara tidak memberikan alat permainan yang tajam
dan menimbulkan perlukaan. Jenis alat permainan yang tepat diberikan
adalah boneka, pasir, tanah liat dan lilin warna-warni yang dapat dibentuk
benda macam-macam.
3) Anak usia prasekolah (>3 tahun sampai 6 tahun)
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia prasekolah
mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih matang dari
pada anak usia toddler. Anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif.
Demikian juga kemampuan berbicara dan berhubungan sosial dengan
temannya semakin meningkat. Untuk itu, jenis alat permainan yang tepat
diberikan pada anak misalnya, puzzle, membacakan cerita/dongeng, alat
gambar dan permainan balok-balok besar.
Ada beberapa macam permainan anak prasekolah sebagaimana disebutkan
Ahmadi (1977, dalam Yusuf, 2015), yaitu:
a) Permainan fungsi (permainan gerak) seperti: meloncat-loncat, naik, dan
turun tangga, berlari-lari, naik dan turun tangga, bermain tali dan
bermain bola.
25

b) Permainan fiksi seperti: menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolah-


sekolahan, dagang-dagangan, perang-perangan dan masak-masakan.
c) Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah
liat, membuat kue dari tanah liat membuat gunung pasir, membuat
kapal-kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk,
membentuk bangunan rumah-rumahan dari potonganpotongan kayu dan
membuat senjata dari pelepah daun pisang.
d) Permainan prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan bola
basket.
e) Permainan reseptif dan apresiatif, seperti mendengarkan cerita
atau dogeng, melihat gambar, atau melihat orang melukis.

4) Anak usia sekolah (> 6 tahun sampai 12 tahun)


Kemampuan sosial anak usia sekolah semakin meningkat. Mereka lebih
mampu bekerja sama dengan teman sepermainannya. Seringkali pergaulan
dengan teman menjadi tempat belajar mengenal norma baik atau buruk. Dengan
demikian, permainan pada anak usia sekolah tidak hanya bermanfaat untuk
meningkatkan ketrampilan fisik atau intelektualnya, tetapi juga dapat
mengembangkan sensitivitasnya untuk terlibat dalam kelompok dan bekerja
sama dengan sesamanya. Mereka belajar norma kelompok sehingga dapat
diterima dalam kelompoknya. Sisi lain manfaat bermain bagi anak usia sekolah
adalah mengembangkan kemampuannya untuk bersaing secara sehat.
Bagaimana anak dapat menerima kelebihan orang lain melalui permainan yang
ditunjukkannya. Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah dibedakan
menurut jenis kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan
jenis mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam
berkreasi sebagai seorang laki-laki, misalnya mobil-mobilan. Anak perempuan
lebih tepat diberikan permainan yang dapat menstimulasinya untuk
mengembangkan perasaan, pemikiran dan sikapnya dalam menjalankan peran
sebagai seorang perempuan, misalnya alat untuk memasak dan boneka.
26

5) Anak usia remaja (13 tahun sampai 18 tahun)


Merujuk pada proses tumbuh kembang anak remaja, dimana anak
remaja berada dalam suatu fase peralihan, yaitu disatu sisi akan meninggalkan
masa kanak-kanak dan disisi lain masuk pada usia kewasadan bertindak sebagai
individu. Oleh karena itu, dikatakan bahwa anak remaja akan mengalami krisis
identitas dan apabila tidak sukses melewatinya, anak akan mencari
kompensasinya pada hal yang berbahaya, seperti obat-obatan terlarang dan
lain-lain. Melihat karakteristik anak remaja perlu mengisi kegiatan yang
konstruktif, misalnya dengan melakukan permainan berbagai macam olah raga,
mendengarkan atau bermain musik serta melakukan kegiatan organisasi remaja
yang positif, seperti kelompok basket, sepak bola, karang taruna dan lain-lain.
Prinsip kegiatan bermain bagi anak remaja tidak hanya sekedar mencari
kesenangan dan meningkatkan perkembangan fisio-emosional, tetapi juga lebih
juga ke arah menyalurkan minat, bakat dan aspirasi serta membantu remaja
untuk menemukan identitas pribadinya. Untuk itu alat permainan yang tepat
bisa berupa berbagai macam alat olah raga, alat musik dan alat gambar atau
lukis.

II.3. Media Playdough


II.3.1. Pengertian Playdough
Playdough adalah salah satu alat permainan edukatif dalam pembelajaran
yang termasuk kriteria alat permainan murah dan memiliki nilai fleksibilitas
dalam merancang pola-pola yang hendak dibentuk sesuai dengan rencana dan
daya imajinasi.
Anggraini (2013:27) menyatakan Permainan playdough adalah salah satu
aktifitas yang bermanfaat untuk perkembangan otak anak. Dengan bermain
playdough, anak tak hanya memperoleh kesenangan, tapi juga bermanfaat
untuk meningkatkan perkembangan otak nya. Dengan playdough, anak-anak
bisa membuat bentuk apa pun dengan cetakan atau dengan kraetivitasnya
masing-masing.
27

Permainan matematika yang bisa dilakukan dengan mainan playdough ini,


antara lain:
1) Anak memilih playdough menjadi bentuk ular-ularan panjang lalu anak
diajak membuat simbol bilangan (bentuk angka 0 samapai 9).
2) Anak membuat bentuk bebas kemudian menghitung jumlah benda yang
di buat.
3) Membuat berbagai bentuk geometris sederhana dan mengenalkan
namanya pada anak, dan meghitung dan mengelompokan benda yang
sudah di bentuk.
4) Anak mencocokan angka yang dibuat dari playdough kepapan yang telah
disediakan sesuai dengan urutan angkanya.

II.3.2. Manfaat Bermain dengan Media Playdough


Menurut Immanuella F. Rachmani, dkk. manfaat bermain dengan media
playdough yakni :
1) Berkreasi dengan playdough dapat mencerdaskan anak, selain mengasah
imajinasi, keterampilan motorik halus, berfikirr logis dan sitematis, juga
dapat merangsang indera perabanya.
2) Kelenturan dan kelembutan bahan playdough melatih anak mengatur
kekuatan otot jari.
3) Anak belajar memperlakukan media ini yaitu hanya perlu menekan
lembut dan hati-hati.

II.3.3. Cara Bermain dengan Media Playdough


Cara bermain dengan media Playdough dalam meningkatkan
kemampuan mengenal konsep bilangan dan lambang bilangan:
1) Pilihlah sebuah tema yang akan dimainkan.
2) Buatlah rencana/sekenario.
3) Sediakan media, alat yang diperlukan.
28

4) Guru memberikan instruksi pada anak untuk membuat angka 0-9.


5) Guru memberikan kebebasan kepada anak untuk membuat bentuk lain
6) Guru memberikan kesempatan pada anak untuk mengurutkan angka
yang dibuat.
7) Guru memberikan kesempatan kepada anak menghitung bentuk benda
yang dibuat.
8) Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mengelompokan
benda, dan mencocokan bilangan pada papan bilangan.

Anik Pamilu (2007:127) menyatakan dengan menggunakan permainan


sejenis tanah liat, anak dapat membuat berbagai macam bentuk yang disukai
anak. Anak dapat membentuknya menjadi ikan, mobil-mobilan, rumah,
pesawat, geometri. Dengan membuat aneka bentuk yang mereka sukai, anak
tidak hanya dapat mengekspresikan perasaannya saja, namun juga
membebaskan dirinya dari berbagai tekanan yang mengganggunya serta dapat
mengekspresikan apa yang telah dipahami. Sehingga menurut penulis bahwa
anak-anak dapat diajak menghitung bentuk yang telah dibuat dan dapat
mengelompokannya.
Menstimulasi kognisi anak dengan media playdough bisa dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengklasifikasikan bentuk, warna
dan ukuran yang benda-benda yang dibuat dengan media playdough. Bunda
juga bisa mengenalkan angka, mengajari berhitung, bahkan mengajari anak
menakar, mengelompokan Playdough juga dapat di buat sendiri agar lebih
aman untuk anak-anak.

II.3.4. Kelebihan dan Kekurangan dari Playdough


Menurut Moedjiono 1992 dalam Dwijunianto.wordpress.com (23 Juni
2012) mengatakan bahwa media sederhana tiga dimensi memiliki kelebihan–
kelebihan: memberikan pengalaman secara langsung, dan konkrit, tidak adanya
verbalisme, obyek dapat ditunjukkan secara utuh baik konstruksinya atau cara
29

kerjanya dari segi struktur organisasi dan alur proses secara jelas. Menurut Dwi
Rachmawati (2013) bahwa bermain playdough sangat menyenangkan. Balita
bisa meremas, menggulung, atau mencetak berbagai bentuk sesuai dengan
imajinasi mereka. Sedangkan kelemahannya tidak dapat membuat obyek yang
besar karena membutuhkan ruang besar dan perawatannya rumit.

II.4. Tumbuh Kembang Anak Prasekolah


II.4.1. Defenisi Tumbuh Kembang
II.4.1.1 Defenisi Pertumbuhan
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua kata yang berbeda,
namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertumbuhan (growth)
merupakan peningkatan jumlah dan ukuran sel pada membelah diri dan sintesis
protein baru, menghasilkan peningkatan ukurandan berat seluruh atau sebagian
sel (Wong, 2013, hlm.109).

II.4.1.2 Defenisi Perkembangan


Perkembangan (development) merupakan perubahan dan perluasan secara
bertahap, perkembangan tahap kompleksitas dari dari yang lebih rendah ke
yang lebih tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui
pertumbuhan, maturasi serta pembelajaran (Wong, 2013, hlm.109).

II.4.2. Pertumbuhan Anak Prasekolah


Pertumbuhan masa prasekolah pada anak yaitu pada pertumbuhan fisik,
khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata pertahunnya adalah 2 kg,
kelihatan kurus, akan tetapi aktivitas motoriknya tinggi, dimana sistem tubuh
sudah mencapai kematangan, seperti berjalan, melompat, dan lain-lain.
Sedangkan pada pertumbuhan tinggi badan anak kenaikannya rata-rata akan
mencapai 6,75-7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2014, hlm. 25).
30

II.4.3. Konsep Perkembangan Anak Prasekolah


Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti. Masa
prasekolah merupakan fase perkembangan individu dapat usia 2-6 tahun,
perkembangan pada masa ini merupakan masa perkembangan yang pendek
tetapi merupakan masa yang sangat penting (Fikriyanti, 2013, hlm.18).

II.4.4. Teori-Teori Perkembangan


II.4.4.1 Teori Perkembangan kognitif (Jean Piaget)
Perkembangan kognitif menurut Piaget merupakan perubahan-perubahan
yang terkait usia yang terjadi dalam aktifitas mental. Ia juga menyebutkan
bahwa kesuksesan perkembangan kognitif mengikuti prosses yang urutannya
melewati empat fase, yaitu fase sensorimotorik (0-2 tahun), fase pra-
operasional (2-7 tahun), fase operasional (7-11 tahun) dan fase operasional
formal (>11 tahun) (Wong, 2013, hlm 118).
Dalam teori perkembangan ini anak prasekolah termasuk dalam fase
praoperasional, fase pra-operasional anak belum mengoperasionalisasikan
yang dipikirkan melalui tindakan dalam pikiran anak (Wong, 2013, hlm119).

II.4.4.2. Teori Perkembangan Psikososial (Erikson)


Menurut Santrock (2015), Teori perkembangan ini dikemukakan oleh
Erikson yang mengemukakan bahwa perkembangan anak selalu dipengaruhi
oleh motivasi sosial dan mencerminkan suatu keinginan untuk berhubungan
dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan kepribadian psikososial anak
harus melewati beberapa tahap yaitu : tahap percaya dan tidak percaya (1-3
tahun), tahap kemandirian versus malu-malu (2-4 tahun), tahap inisiatif versus
rasa bersalah (3-6 tahun), tahap terampil versus minder (6-12 tahun), tahap
identidas versus kebingungan peran (12-18 tahun) (Wong, 2013, hlm 117).
Dalam teori perkembangan psikososial anak prasekolah termasuk dalam
tahap perkembangan inisiatif versus rasa bersalah. Pada tahap ini anak mulai
mencari pengalaman baru secara aktif. Apabila anak menapat dukungan dari
31

orang tuanya untuk mengekplorasikan keingintahuannya maka anak akan


mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan, tetapi bila
dilarang atau dicegah maka akan tumbuh perasaan bersalah pada diri anak
(Wong, 2013, hlm 118).

II.4.4.3. Teori Perkembangan Psikoseksual (Freud)


Teori perkembangan psikoseksual pertama kali dikemukakan oleh Sigmun
Freud, ia menggunakan istilah psikoseksual untuk menjelaskan segala
kesenangan seksual. Selama masa kanak-kanak bagian-bagian tubuh tertentu
memiliki makna psikologik yang menonjol sebagai sumber kesenangan baru
dan konflik baru yang secara bertahap bergeser dari satu bagian tubuh ke bagian
tubuh lain pada tahap-tahap perkembangan tertentu. Dalam perkembangan
psikoseksual anak dapat melalui tahapan yaitu: tahap oral (0-1 tahun), tahap
anal (1-3 tahun), tahap falik (3-6 tahun), tahap laten (6-12 tahun), dan tahap
genital (>12 tahun) ((Wong, 2013, hlm 117).
Dalam teori perkembangan psikoseksual anak prasekolah termasuk dalam
tahap phalilc, dalam tahap ini genital menjadi area tubuh yang menarik dan
sensitif anak mulai mengetahui perbedaan jenis kelamin dan menjadi ingin tahu
tentang perbedaan tersebut (Wong, 2013, hlm 117).

II.4.4.4. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg)


Teori perkembangan moral dikemukakan oleh Kohlberg dengan
memandang tumbuh kembang anak ditinjau dari segi moralitas anak dalam
menghadapi kehidupan, tahapan perkembangan moral yaitu: tahap
prakonvensional (orientasi pada hukum dan kepatuhan), tahap prakonvensional
(orientasi instrumental bijak), tahap konvensional, tahap pasca konvensional
(orientasi kontak sosial) (Wong, 2013, hlm 119).
Dalam teori perkembangan moral anak prasekolah termasuk dalam
tahap prakonvensional, dalam tahap perkembangan ini anak terorientasi secara
budaya dengan label baik atau buruk, anak-anak menetapkan baik atau
32

buruknya suatu tindakan dari konsekuensi tindakan tersebut. Dalam tahap ini
anak tidak memiliki konsep tatanan moral, mereka menentukan prilaku yang
benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri meskipun
terkadang kebutuhan orang lain. Hal tersebut diinterprestasikan dengan cara
yang sangat konkrit tanpa kesetiaan, rasa terimakasih atau keadilan (Wong,
2013, hlm. 120)

II.4.5. Prinsip Pertumbuhan dan Perkembangan


Menurut Santrock (2015), Perkembangan dan pertumbuhan mengikuti
prinsip cephalocaudal dan proximodistal. Prinsip cephalocaudal merupakan
rangkaian dimana pertumbuhan yang tercepat selalu terjadi diatas, yaitu di
kepala. Pertumbuhan fisik dan ukuran secara bertahap bekerja dari atas
kebawah, perkembangan sensorik dan motorik juga berkembang menurut
prinsip ini, contohnya bayi biasanya menggunakan tubuh bagian atas sebelum
meeraka menggunakan tubuh bagian bawahnya.
Prinsip proximodistal (dari dalam keluar) yaitu pertumbuhan dan
perkembangan bergerak dari tubuh bagian dalam ke luar. Anak-anak belajar
mengembangkan kemampuan tangan dan kaki bagian atas (yang lebih dekat
dengan bagian tengah tubuh) abru kemudian bagian yang lebih jauh,
dilanjutkan dengan kemampuan menggunakan telapak tangan dan kaki dan
akhirnya jari-jari tangan dan kaki (Papalia, dkk, 2015, hlm 170).

II.4.6. Aspek–Aspek Pertumbuhan Dan Perkembangan


II.4.6.1. Aspek Pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran antropometri,
pengukuran antropometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan
(panjang badan), lingkar kepala. Pengukuran berat badan digunakan untuk
menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,
pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi
disamping faktor genetik sedangkan pengukuran lingkar kepala dimaksudkan
33

untuk menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak kecil (mikrosefali)


menunjukkan adanya reterdasi mental, apabila otaknya besar (volume kepala
meningkat) terjadi akibat penyumbatan cairan serebrospinal (Hidayat, 2015,
hlm 37).

II.4.6.2. Aspek perkembangan


a. Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan yang meliputi
aktivitas otot yang besar seperti gerakan lengan dan berjalan (Santrock,
2015, hlm 210). Perkembangan motorik kasar pada masa prasekolah,
diawali dengan kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1-5
detik, melompat dengan satu kaki, membuat posisi merangkak dan lain-
lain (Hidayat, 2014, hlm.25).
b. Motorik halus (fine motor Skills) merupakan keterampilan fisik yang
melibatkan otot kecil dan koordinasi metal dan tangan yang memerlukan
koordinasi yang cermat (Papilia, Old & Feldman, 2015, hlm. 316).
Perkembangan motorik halus mulai memiliki kemampuan menggoyangkan
jari-jari kaki, menggambar dua atau tiga bagian, menggambar orang,
mampu menjepit benda, melambaikan tangan dan sebagainya (Hidayat,
2014, hlm.26).
c. Bahasa (language) adalah kemampuan untuk memberikan respon terhadap
suara, mengkuti perintah dan dan berbicara spontan. Pada perkembangan
bahasa diawali mampu menyebut hingga empat gambar, menyebut satu
hingga dua warna, menyebutkan kegunaan benda, menghitung,
mengartikan dua kata, meniru berbagai bunyi, mengerti larangan dan
sebagainya (Hidayat, 2014, hlm.26).
d. Prilaku sosial (personal social) adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Perkembangan adaptasi sosial pada anak prasekolah yaitu
dapat berrmain dengan permainan sederhana, mengenali anggota
keluarganya, menangis jika dimarahi, membuat permintaan yang
34

sederhana dengan gaya tubuh, menunjukan peningkatan kecemasan


terhadapa perpisahan dan sebagainya
(Hidayat, 2014, hlm.26)
Untuk menilai perkembangan anak yang dapat dilakukan adalah
dengan wawancara tentang faktor kemungkinan yang menyebabkan
gangguan dalam perkembangan, kemudian melakukan tes skrining
perkembangan anak (Hidayat, 2014, hlm. 38).

II.4.7. Tahap Perkembangan Anak Prasekolah


Menurut Wong (2013), priode prasekolah dimulai dari usiah 3-6 tahun
periode ini dimulai dari waktu anak bergerak sambil berdiri sampai mereka
masuk sekolah, dicirikan dengan aktivitas yang tinggi. Pada masa ini
merupakan perkembangan fisik dan kepribadian yang pesat, kemampuan
interaksi sosial lebih luas, memulai konsep diri, perkembangan motorik
berlangsung terus menerus ditandai keterampilan motorik seperti berjalan,
berlari dan melompat.

II.4.8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak


Prasekolah
Menurut Hidayat (2014) Proses Percepatan dan Perlambatan Tumbuh
kembang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu:
a. Faktor Herediter
Faktor herediter merupakan faktor yang dapat diturunkan sebagai
dasar dalam mencapai tumbuh kembang. Yang termasuk faktor herediter
adalah bawaan, jenis kelamin, ras, suku bangsa.
Faktor ini dapat ditentukan dengan intensitas dan kecepatan alam
pembelahan sel telur, tingkat sensitifitas jaringan terhaap rangsangan,
umur puberitas, dan berhentinya pertumbuhan tulang.
35

b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ini dapat meliputi lingkungan pranatal,
lingkungan postnatal, dan faktor hormonal. Faktor pranatal merupakan
lingkungan dalam kandungan, mulai dari konsepsi sampai lahir yang
meliputi gizi pada waktu ibu hamil, posisi janin, pengunaan obat-obatan,
alkohol atau kebiasaan merokok.
Faktor lingkungan pasca lahir yang mempengaruhi tumbuh kembang
anak meliputi budaya lingkungan, sosial ekonomi, keluarga. nutrisi,
posisi anak dalam keluarga dan status kesehatan.
Faktor hormonal yang berperan dalam tumbuh kembang anak antara
lain. Somatotrofin (growth Hormon) yang berperan alam
mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan, dengan menstimulasi
terjadinya poliferasi sel kartigo dan sistem skeletal. Hormon tiroid
menstimulasi metabolisme tubuh, glukokartikoid menstimulasi
pertumbuhan sel interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron
dan ovarium untuk memproduksi esterogen selanjutnya hormon
tersebut menstimulasi perkembangan seks baik pada anak laki-laki
maupun perempuan yang sesuai dengan peran hormonnya.

Anda mungkin juga menyukai