TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kecemasan
II.1.1. Pengertian
Cemas merupakan reaksi emosional terhadap individu yang subjektif,
dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui penyebabnya secara
khusus (Stuart & Sundeen, 2014). Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek
yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara
interpersonal (Perry & Potter, 2013). Kecemasan adalah kebingungan,
kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas
dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya dan
kecemasan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari (Suliswati,
2015). Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat
disimpulkan kecemasan adalah reaksi emosional terhadap penilaian individu
yang subjektif, dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui
penyebabnya secara khusus yang disertai perasaaan takut dan gelisah,
ketidakpastian, tidak tentram, khawatir dan juga menimbulkan berbagai
keluhan fisik.
II.1.2. Faktor predisposisi Kecemasan
Menurut Stuart dan sundeen (1998, dalam Nursalam, 2015), menyatakan
bahwa faktor predisposisi yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
a. Dalam pandangan Psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian-id dan superego.
b. Menurut pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas
juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kelemahan fisik. Sebagai contoh
kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit (hospitalisasi)
8
9
c. Faktor Genetik
Intensitas mana cemas perpisahan dialami oleh anak individual kemungkinan
memiliki dasar genetik. Penelitian keluarga telah menunjukkan bahwa
keturunan biologis dari orang dewasa dengan gangguan kecemasan adalah
rentan terhadap gangguan pada masa anak–anak.
tidak selalu bersifat patologi tetapi dapat juga disebabkan oleh proses
perkembangan itu sendiri atau karena tingkah laku yang salah satu dari orang
tua.
Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak harus tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah
(Supartini, 2014). Reaksi anak terhadap hospitalisasi bersifat individual, dan
sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimilikinya. Menurut Supartini (2014), berbagai perasaan yang
muncul pada anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi yaitu kecemasan
karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri, marah, sedih,
takut serta rasa bersalah.
Menurut Wong (2015), manifestasi cemas akibat perpisahan pada anak
antara lain:
a. Fase Protes (Phase of Protest)
Pada fase ini anak menangis, menjerit / berteriak, mencari orang tua dengan
pandangan mata, memegangi orang tua, menghindari dan menolak bertemu
dengan orang yang tidak dikenal secara ferbal menyerang orang yang tidak
dikenal, berusaha lari untuk mencari orang tuanya, secara fisik berusaha
menahan orang tua agar tetap tinggal. Sikap protes seperti menangis mungkin
akan berlanjut dan akhirnya akan berhenti karena keletihan fisik. Pendekatan
orang yang tidak dikenal akan memicu meningkatnya sikap protes.
b. Fase putus asa (Phase of Despair)
Perilaku yang harus diobservasi pada fase ini adalah anak tidak aktif, menarik
diri dari orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan, tidak
komunikatif, perilaku memburuk, dan menolak untuk makan, minum atau
bergerak.
12
anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat
dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak
orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan
dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak mengajak
bermain sesuai dengan tahap perkembangan anak untuk kepentingan
terapi.
HADS valid dengan koefisien α cronbach 0.884 (0.829 untuk cemas dan 0.840
untuk depresi) serta stabil dengan test-retest intraclass correlation coefficient
0.944).
bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak
akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain mobil-
mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia
telah belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan
untuk mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan
imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi
seperti ini akan semakin terlatih kemampuan intelektualnya.
c. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan
menerima. Bermain dengan orang lain membantu anak untuk mengembangkan
hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut.
Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman,
memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada
kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah dan remaja.
Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi
anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya dilingkungan keluarga.
d. Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya.
Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk
merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan memasang satu
alat permainan akan merangsang reativitas anak untuk semakin berkembang.
e. Perkembangan Kesadaran Diri
Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya dalam mengatur
mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan
mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap
orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga
temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa
18
perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk
menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan
kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya
terhadap orang lain.
f. Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari
orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan
mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat
diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak juga
akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, serta belajar bertanggung-jawab atas segala tindakan yang
telah dilakukannya. Misalnya, merebut mainan teman merupakan perbuatan
yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah
membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab terhadap tindakan serta barang
yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan kognitifnya, bagi anak usia
toddler dan prasekolah, permainan adalah media yang efektif untuk
mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh
karena itu, penting peran orang tua untuk mengawasi anak saat anak melakukan
aktivitas bermain dan mengajarkan nilai moral, seperti baik/buruk atau
benar/salah.
g. Bermain sebagai terapi
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan
yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.
Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak
karena menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit.
Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan
dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi
19
Yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit,
bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan
permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak
yang sedang dirawat di rumah sakit.
c. Jenis kelamin anak
Ada bebarapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya dengan
permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan
jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat digunakan
oleh anak laki-laki atau perempuan untuk mengembangkan daya pikir,
imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi, ada pendapat
lain yang meyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu
anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan
tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini di latarbelakangi
oleh alasan adanya tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.
d. Lingkungan yang mendukung
Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan
anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya dan lingkungan fisik
rumah. Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi,
tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas anak,
bahkan sering kali mainan tradisional yang dibuat sendiri atau berasal dari
benda-benda di sekitar kehidupan anak akan lebih merangsang anak untuk
kreatif, keyakinankeluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi
bagaimana anak dididik melalui permainan. Sementara lingkungan fisik sekitar
lebih banyak mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik
dan motorik. Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain
memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan,
mondar-mandir, berlari, melompat dan bermain dengan teman sekelompoknya.
e. Alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi anak.
21
dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan
melakukan macam-macam permainan, misalnya memindah-mindahkan air ke
botol, bak, atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin
asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan permainan yang
dilakukannya sehingga susah dihentikan.
3) Skill play
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan ketrampilan
anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil
memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi, keterampilan tersebut
diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang di lakukan. Semakin
sering melakukan latihan, anak akan semakin terampil.
4) Games (permainan)
Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan alat
tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa
dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis
permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern.
Misalnya, ular tangga, congklak, dan lainlain.
5) Unoccupied behaviour
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa,
jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa saja yang ada
di sekelilingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan
tertentu, dan situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang di gunakannya
sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi
serta lingkungannya tersebut.
6) Dramatic play
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan peran
sebagai orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya, dan
sebagainya yang ingin di tiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan
23
terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang mereka tiru.
Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.
aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka harus dapat mencapai
tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan dengan memasukkan bola ke
gawang lawan mainnya.
c. Berdasarkan kelompok usia anak
1) Anak usia bayi. Permainan untuk anak usia bayi dibagi menjadi bayi usia 0
– 3 bulan, usia4 – 6 bulan, dan usia 7 – 9 bulan.
2) Anak usia toddler (>1 tahun sampai 3 tahun)
Anak usia toddler menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu banyak
bergerak, tidak bisa diam dan mulai mengembangkan otonomi
dankemampuannya untuk mandiri. Oleh karena itu, dalam melakukan
permainan, anak lebih bebas, spontan, dan menunjukkan otonomi baik dalam
memilih mainan maupun dalam aktivitas bermainnya. Anak mempunyai rasa
ingin tahu yang besar. Untuk itu harusdiperhatikan keamanan dan
keselamatan anak dengan cara tidak memberikan alat permainan yang tajam
dan menimbulkan perlukaan. Jenis alat permainan yang tepat diberikan
adalah boneka, pasir, tanah liat dan lilin warna-warni yang dapat dibentuk
benda macam-macam.
3) Anak usia prasekolah (>3 tahun sampai 6 tahun)
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia prasekolah
mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih matang dari
pada anak usia toddler. Anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif.
Demikian juga kemampuan berbicara dan berhubungan sosial dengan
temannya semakin meningkat. Untuk itu, jenis alat permainan yang tepat
diberikan pada anak misalnya, puzzle, membacakan cerita/dongeng, alat
gambar dan permainan balok-balok besar.
Ada beberapa macam permainan anak prasekolah sebagaimana disebutkan
Ahmadi (1977, dalam Yusuf, 2015), yaitu:
a) Permainan fungsi (permainan gerak) seperti: meloncat-loncat, naik, dan
turun tangga, berlari-lari, naik dan turun tangga, bermain tali dan
bermain bola.
25
kerjanya dari segi struktur organisasi dan alur proses secara jelas. Menurut Dwi
Rachmawati (2013) bahwa bermain playdough sangat menyenangkan. Balita
bisa meremas, menggulung, atau mencetak berbagai bentuk sesuai dengan
imajinasi mereka. Sedangkan kelemahannya tidak dapat membuat obyek yang
besar karena membutuhkan ruang besar dan perawatannya rumit.
buruknya suatu tindakan dari konsekuensi tindakan tersebut. Dalam tahap ini
anak tidak memiliki konsep tatanan moral, mereka menentukan prilaku yang
benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri meskipun
terkadang kebutuhan orang lain. Hal tersebut diinterprestasikan dengan cara
yang sangat konkrit tanpa kesetiaan, rasa terimakasih atau keadilan (Wong,
2013, hlm. 120)
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ini dapat meliputi lingkungan pranatal,
lingkungan postnatal, dan faktor hormonal. Faktor pranatal merupakan
lingkungan dalam kandungan, mulai dari konsepsi sampai lahir yang
meliputi gizi pada waktu ibu hamil, posisi janin, pengunaan obat-obatan,
alkohol atau kebiasaan merokok.
Faktor lingkungan pasca lahir yang mempengaruhi tumbuh kembang
anak meliputi budaya lingkungan, sosial ekonomi, keluarga. nutrisi,
posisi anak dalam keluarga dan status kesehatan.
Faktor hormonal yang berperan dalam tumbuh kembang anak antara
lain. Somatotrofin (growth Hormon) yang berperan alam
mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan, dengan menstimulasi
terjadinya poliferasi sel kartigo dan sistem skeletal. Hormon tiroid
menstimulasi metabolisme tubuh, glukokartikoid menstimulasi
pertumbuhan sel interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron
dan ovarium untuk memproduksi esterogen selanjutnya hormon
tersebut menstimulasi perkembangan seks baik pada anak laki-laki
maupun perempuan yang sesuai dengan peran hormonnya.