TINJAUAN PUSTAKA
Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Barat menjadi
empat zona (Gambar 2.1), yaitu :
LOKASI
PENELITIAN
8
Tinjauan Pustaka 9
Gunung Dogdog (1868 m). Daerah pegunungan ini tersusun oleh batuan gunungapi
Kuarter (Alzwar dkk., 1992).
Bandung bagian utara dibentuk oleh Gunung Tangkuban Perahu dan bentang
alam yang terkait dengannya. Produk gunungapinya menyebar ke sebelah selatan dan
timur dari puncak gunungapi tersebut. Berdasarkan klasifikasi morfogenetik (Dam,
1994), sebagian besar daerah ini diklasifikasikan sebagai satuan produk letusan
gunungapi (volcanic extrusives). Bagian lereng kaki Gunung Tangkuban Perahu yang
menuju ke Cekungan Bandung ditutupi oleh satuan kipas aluvial (aluvial fan) dan
kipas delta (delta fan) membatasi satuan kipas aluvial dengan zona tepi danau (lake
shore zona).
Gambar 2.2 Peta fisiografi daerah Bandung Selatan (Bronto dkk., 2006).
Majalaya - Ciparay. Puncak-puncak perbukitan ini antara lain Gunung Kromong (908
m), Gunung Geulis (1151 m), Gunung Pipisan (1071 m), dan Gunung Bukitcula (1013
m). Pada umumnya, bentang alam perbukitan ini tersusun oleh batuan gunungapi tua
(Tersier).
Aliran sungai utama di daerah Bandung Selatan ini adalah Sungai Citarum
yang berhulu di sebelah barat Gunungapi Kendang dan Gunungapi Dogdog, mengalir
ke utara hingga Majalaya kemudian ke barat masuk ke Waduk Saguling. Cabang
sungai besar Citarum di daerah penelitian bagian timur adalah Sungai Cihejo yang
berhulu di lereng timur Gunung Malabar. Di bagian tengah adalah Sungai Cisangkuy
yang berhulu di Situ Cileunca dan mengalir ke utara di sebelah barat Gunung Malabar.
Cabang sungai besar paling barat adalah Sungai Ciwidey yang berhulu di Kawah
Putih Gunung Patuha dan mengalir di tepi barat Kota Soreang.
Gambar 2.3 Sebagian dari Peta Geologi Lembar Bandung oleh Silitonga (1973).
2.3 Struktur Geologi Regional
Pola Jawa berarah barat-timur akibat tektonik kompresi yang ditimbulkan oleh
penunjaman di selatan Jawa yang menerus hingga Sumatera. Di Jawa Barat, pola
Jawa ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar di dalam Zona
Bogor. Pola Jawa ini merupakan pola termuda yang memotong dan merelokasi pola
struktur sebelumnya.
Gambar 2.5 Pola struktur daerah Bandung dan sekitarnya (Katili dan Sudradjat, 1984
op cit. Brahmantyo, 2005).
Dari Peta Geologi Lembar Garut (Alzwar dkk., 1992) terlihat bahwa pola sesar
di kawasan Gunung Malabar, Wayang, Windu, dan Tilu berarah timurlaut-baratdaya
dan sedikit baratlaut-tenggara. Sesar tersebut ada yang berupa sesar naik dan sesar
turun. Pada batas antara batuan gunungapi Kuarter dengan batuan gunungapi Tersier
di utaranya terdapat sesar turun berarah barat-timur.
Andesit adalah batuan volkanik yang paling umum ditemukan setelah basalt,
bertekstur porfiritik yang terdiri dari kristal kasar sebagai fenokris yang mengambang
dalam matriks butir atau gelas. Andesit umumnya memiliki kandungan silika sebesar
57% dan termasuk kategori intermedier (kandungan silika 52-66%) dalam skala
silicic-mafic. Penamaan andesit berasal dari Pegunungan Andes yang merupakan
bagian dari rantai pegunungan Amerika Utara dan Amerika Selatan yang tesusun
sebagian besar oleh andesit. Selain itu batuan andesit umum ditemukan pada zona
pembentukan pegunungan pada tepian Samudera Pasifik. Transisi dari kerak
samudera pada cekungan utama Pasifik menjadi batuan andesit di sekitar batas
tepinya kemudian disebut jalur andesit. Kerak pada sisi laut dalam (deep sea) pada
jalur andesit adalah produk dari pemekaran tengah samudera (sea floor spreading),
dan pegunungan andesit pada sisi lainnya adalah produk dari volkanisme orogenik.
Komposisi utama dari andesit umumnya adalah andesin, salah satu seri dari
felspar atau plagioklas. Jumlah yang lebih kecil dari kuarsa atau mineral yang kaya
unsur besi dan magnesium seperti olivin, biotit, atau hornblenda juga hadir. Andesit
dibagi menjadi tiga kelas menurut komponen felsparnya yang teridentifikasi, mulai
dari paling silicic hingga paling mafic adalah (1) andesit kuarsa (quartz-bearing
andesites, (2) andesit biotit dan hornblenda, dan (3) andesite piroksen (pyroxene
andesites). Andesit yang memiliki kandungan kuarsa yang tinggi -dasit- kemudian
digolongkan dalam kelompok yang berbeda. Semua kelas tersebut memiliki
komposisi intermedier antara diorit (batuan beku intrusif yang sebagian besar terdiri
dari plagioklas felspar) dan riolit (batuan volkanik yang memiliki komposisi sama
dengan granit), atau dengan kata lain andesit memiliki kandungan felspar lebih tinggi
daripada riolit, tetapi kandungan felsparnya lebih rendah daripada diorit.
Struktur yang dapat dijumpai pada andesit antara lain berupa lelehan lava,
batuan terobosan (dyke/sill), kekar kolom akibat pendinginan magma dan massa
batuan yang berkaitan dengan vokanisme. Tekstur yang sering menyertai andesit
berupa vesikuler, amigdaloid, trakhitik, dan ofitik atau subofitik.
Pelapukan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pelapukan fisika dan kimia.
a. Pressure Release
Jenis pelapukan ini disebabkan oleh ekspansi dan kontraksi ketika batuan
mengalami siklus kondisi basah dan kering (wetting and drying). Pelapukan ini sangat
efektif pada batuan yang mengandung mineral lempung. Lempung akan mengembang
dalam kondisi basah dan menyusut dalam kondisi kering. Perubahan yang konstan
antara dua kondisi tersebut menyebabkan batuan dapat terdisintegrasi.
a. Pelarutan (Dissolution)
Pelarutan terjadi ketika batuan dan atau mineral terlarutkan oleh air. Material
yang terlarut dapat berupa garam (NaCl), sodium karbonat (Na2CO3), sodium sulfat
(Na2SO4), magnesium sulfat (MgSO4), gipsum (Ca2SO4), dan sodium nitrat (Na2SO4)
yang kemudian tertranspor keluar dari ruang dalam batuan. Material-material ini
umumnya tercuci oleh air hujan dan hilang dari tanah atau batuan melalui sungai,
tetapi pada iklim gurun (arid) dapat tertinggal dan mengakibatkan salt crystallization.
b. Hidrolisis (Hydrolisis)
+
Asam karbonat terurai menjadi dua ion, ion hidrogen (H ) dan bikarbonat
-
(HCO3 ).
+
H2CO3 -7 H + HCO3
Ion hidrogen bebas dapat merubah komposisi kimia dengan menggantikan ion-ion
lain dalam struktur atom mineral, dan reaksi ini disebut hidrolisis. Hidrolisis terjadi
ketika mineral bereaksi dengan air membentuk produk lain. Feldspar, mineral paling
umum yang dijumpai pada batuan di permukaan bumi, bereaksi dengan air
membentuk mineral sekunder seperti kaolinite (salah satu jenis mineral lempung) dan
ion-ion tambahan yang terlarutkan dalam air. Reaksi antara mineral felspar dan air ini
dapat dituliskan dalam persamaan kimia sebagai berikut:
+ +
4KAlSi3O8 + 4H + 2H2O -7 Al4Si4O10(OH)8 + 4K + 8SiO2
c. Oksidasi (Oxidation)
Oksigen, elemen paling umum yang terdapat di udara, bereaksi dengan besi
dalam mineral membentuk mineral oksida, contohnya hematit (karat). Oksidasi pada
batuan umumnya dicirikan dengan warna kemerahan pada permukaan batuan.
a. Lingkungan, yang didominasi oleh pengaruh iklim, selain faktor topografi, kondisi
hidrogeologi, dan sistem biologi yang juga memegang peranan penting. Iklim
mempengaruhi proses pelapukan baik secara langsung maupun tidak langsung
(Peltier, 1950 op cit. Irfan dan Dearman, 1978). Rentang temperatur yang
bervariasi antara kondisi beku dan cair dan suplai air yang melimpah adalah faktor
yang penting dalam pelapukan fisika. Dalam proses pelapukan kimia, faktor
penting yang mempengaruhi derajat pelapukan adalah temperatur yang hangat dan
suplai air yang melimpah. Tingkat pelapukan kimia relatif lebih lambat pada
wilayah yang kurang suplai air atau memiliki temperatur rendah.
b. Properti dari massa batuan, khususnya homogenitas dan kondisi alami, pola, dan
jarak diskontinuitas. Struktur batuan seperti rekahan merepresentasikan
permukaan alamiah untuk proses pelapukan fisika dan kimia. Sebagai
konsekuensinya, batuan yang memiliki lebih banyak rekahan biasanya akan lebih
cepat mengalami pelapukan daripada batuan sama yang tidak memiliki rekahan.
yang memiliki komposisi kuarsa lebih banyak akan lebih tahan terhadap
pelapukan daripada jenis batuan lain pada umumnya.
Pelapukan memberikan efek yang dapat dikenali dengan mudah pada batuan
dari berbagai gejala yang ditimbulkannya. Efek pelapukan tersebut dapat berupa rinds
weathering, eksfoliasi, dan pelapukan membola (spheroidal weathering).
Pelapukan, seperti yang telah dideskripsikan oleh Sanders dan Fookes (1970
op cit. Fookes dkk., 1971), dideskripsikan sebagai sebuah proses dan bukan sebuah
metode untuk mendeskripsikan sifat teknik (engineering properties) dari massa
batuan. Proses pelapukan tidak memberi pengaruh yang besar pada suatu struktur
bangunan jika dilihat dari usia pakai (lifetime) bangunan tersebut, namun pelapukan
memberi efek yang signifikan terhadap sifat-sifat keteknikan massa dan material
batuan.
Tinjauan Pustaka 1
Berdasarkan deskripsi dari efek pelapukan dan produknya, massa batuan kemudian
dapat diklasifikasikan menurut sebuah skala pelapukan umum.
Tanah Residu Seluruh material batuan telah berubah menjadi tanah. Struktur VI
massa dan kemas material telah hancur. Terdapat perubahan
besar dalam volume, tetapi tanah belum mengalami transportasi
secara signifikan.
Lapuk Kuat Lebih dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau IV
terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah
berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka
diskontinu atau inti batuan.
Lapuk Sedang Kurang dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau III
terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah
berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka
diskontinu atau inti batuan.
Batuan segar Tidak ada tanda-tanda pelapukan pada material batuan atau I
terdapat perubahan warna pada sebagian besar permukaan
diskontinuitas.
Tabel 2.2 Nilai rata-rata Schmidt hammer, berat isi, dan kuat tekan
menurut jenis batuannya (Kazi dan Al-Mansour, 1980).