Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiografi Jawa Barat

Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Barat menjadi
empat zona (Gambar 2.1), yaitu :

1. Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West-Java)


2. Zona Bogor (Bogor Anticlinorium)
3. Zona Bandung (Central Depression of West Java)
4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountains of West Java)

LOKASI
PENELITIAN

Gambar 2.1 Peta fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949).

Van Bemmelen (1949) telah mendeskripsikan masing-masing zona fisiografi


tersebut sebagai berikut :

• Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West-Java)


Daerah ini mulai dari ujung barat Pulau Jawa, memanjang ke timur mengikuti
pantai utara Jawa Barat ke kota Cirebon, umumnya mempunyai morfologi yang
datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar
gunungapi muda.
• Zona Bogor (Bogor Anticlinorium)
Zona Bogor terletak di sebelah selatan dari Dataran Pantai Jakarta, memanjang
barat-timur melalui Kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa Tengah

8
Tinjauan Pustaka 9

dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya memiliki


morfologi berbukit-bukit. Perbukitan disini umumnya memanjang barat-timur di
sekitar Kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan
ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar wilayah Kadipaten.
Selain perbukitan, beberapa intrusi telah membentuk morfologi lain berupa
tinggian yang terjal.
• Zona Bandung (Central Depression of West Java)
Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa Zona Bandung merupakan depresi di
antara gunung-gunung (intermontagne depression). Zona ini melengkung dari
Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui Kota
Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara Sungai Citanduy, dengan lebar
antara 20-40 km. Dalam Zona Bandung, terdapat beberapa tinggian yang terdiri
dari endapan sedimen tua yang menyembul di antara endapan volkanik.
• Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountains of West Java)
Batas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung di beberapa
tempat sangat mudah dilihat, misalnya di Lembah Cimandiri. Di lembah ini batas
tersebut merupakan perbedaan morfologi yang mencolok dari perbukitan
bergelombang yang langsung berbatasan dengan Dataran Tinggi Pegunungan
Selatan.

Daerah penelitian, dalam tatanan fisiografi tersebut berada pada Zona


Bandung. Perkembangan geologi daerah ini terkait dengan volkanisme pada Kala
Miosen Akhir – Pliosen (Dam, 1994).

Bronto dkk. (2006) dalam penelitiannya tentang stratigrafi gunungapi daerah


Bandung Selatan menyatakan bahwa secara umum dari utara ke selatan, bentang alam
daerah Bandung Selatan berupa Dataran Tinggi Bandung, perbukitan, dan
pegunungan (Gambar 2.2). Kawasan pegunungan mempunyai sebaran paling luas
dengan puncak-puncak gunungapi di daerah ini antara lain Gunung Malabar (2321 m),
Gunung Tilu (2042 m), Gunung Tanjaknangsi (1514 m), Gunung Bubut (1333) m,
tinggian di sebelah utara Gunung Tanjaknangsi, Gunung Wayang (2182 m), dan
Gunung Windu (2054 m). Jauh di tepi barat terdapat puncak Gunung Kuda (2002 m),
sedangkan di sebelah timur Gunungapi Malabar terdapat deretan puncak Gunung
Kendang (2817 m), Gunung Guha (2397 m), Gunung Kamasan (1815 m), dan
Tinjauan Pustaka 10

Gunung Dogdog (1868 m). Daerah pegunungan ini tersusun oleh batuan gunungapi
Kuarter (Alzwar dkk., 1992).

Bandung bagian utara dibentuk oleh Gunung Tangkuban Perahu dan bentang
alam yang terkait dengannya. Produk gunungapinya menyebar ke sebelah selatan dan
timur dari puncak gunungapi tersebut. Berdasarkan klasifikasi morfogenetik (Dam,
1994), sebagian besar daerah ini diklasifikasikan sebagai satuan produk letusan
gunungapi (volcanic extrusives). Bagian lereng kaki Gunung Tangkuban Perahu yang
menuju ke Cekungan Bandung ditutupi oleh satuan kipas aluvial (aluvial fan) dan
kipas delta (delta fan) membatasi satuan kipas aluvial dengan zona tepi danau (lake
shore zona).

Gambar 2.2 Peta fisiografi daerah Bandung Selatan (Bronto dkk., 2006).

Kawasan perbukitan terletak di bagian tengah di antara pegunungan di sebelah


selatan dan dataran tinggi Bandung di sebelah utara. Morfologi perbukitan ini
menempati daerah sempit di Soreang (723 m), area di wilayah Baleendah - Arjasari
yang terletak di timur Kota Banjaran - Pameungpeuk hingga di sebelah barat
Tinjauan Pustaka 11

Majalaya - Ciparay. Puncak-puncak perbukitan ini antara lain Gunung Kromong (908
m), Gunung Geulis (1151 m), Gunung Pipisan (1071 m), dan Gunung Bukitcula (1013
m). Pada umumnya, bentang alam perbukitan ini tersusun oleh batuan gunungapi tua
(Tersier).

Aliran sungai utama di daerah Bandung Selatan ini adalah Sungai Citarum
yang berhulu di sebelah barat Gunungapi Kendang dan Gunungapi Dogdog, mengalir
ke utara hingga Majalaya kemudian ke barat masuk ke Waduk Saguling. Cabang
sungai besar Citarum di daerah penelitian bagian timur adalah Sungai Cihejo yang
berhulu di lereng timur Gunung Malabar. Di bagian tengah adalah Sungai Cisangkuy
yang berhulu di Situ Cileunca dan mengalir ke utara di sebelah barat Gunung Malabar.
Cabang sungai besar paling barat adalah Sungai Ciwidey yang berhulu di Kawah
Putih Gunung Patuha dan mengalir di tepi barat Kota Soreang.

2.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) dan Lembar


Garut (Alzwar dkk., 1992) stratigrafi regional daerah penelitian dapat diketahui.
Satuan batuan tertua adalah Formasi Beser dan batuan terobosan. Formasi Beser
(Tmb) tersebar di pojok baratlaut Peta Lembar Garut, di daerah Soreang, dan di
wilayah Kecamatan Arjasari, Baleendah, dan Ciparay di sebelah timur kota Banjaran.
Satuan batuan ini berupa batuan gunungapi yang terdiri atas breksi tufan dan lava
bersusunan andesit basal. Bersama-sama dengan batuan terobosan, kelompok batuan
gunungapi ini menyebar ke utara (Peta Geologi Lembar Bandung, Silitonga, 1973)
dan ke barat laut (Peta Geologi Lembar Cianjur; Sujatmiko, 1972). Keduanya tidak
menyebutkan sebagai Formasi Beser, tetapi hanya menyatakan sebagai breksi tufan,
lava, batupasir, dan konglomerat (Pb). Sekalipun Alzwar dkk. (1992) memperkirakan
Formasi Beser di sini berumur Miosen Akhir, Sujatmiko (1972) dan Silitonga (1973)
memberikan umur Pliosen. Mengacu pada analisis K-Ar (Sunardi dan
Koesoemadinata, 1997 op cit. Brahmantyo, 2005) batuan gunungapi ini di daerah
Cipicung berumur 3,32 ± 0,06 juta tahun, di Kromong Timur 3,07 ± 0,15 juta tahun,
dan di Kromong Barat 2,87 ± 0,16 juta tahun. Data ini lebih mendukung pendapat
Sujatmiko (1972) dan Silitonga (1973) bahwa kelompok batuan gunungapi di daerah
Soreang dan Banjaran berumur Pliosen.
Tinjauan Pustaka 1

Lokasi penelitian termasuk dalam satuan batuan terobosan yang tersebar


hingga ke sebelah selatan Cimahi (Silitonga, 1973) dan tenggara Waduk Saguling
(Sujatmiko, 1972) (Gambar 2.3). Satuan batuan ini bersusunan andesit, basal, dan
dasit. Analisis K-Ar oleh Sunardi dan Koesoemadinata (1997 op cit. Brahmantyo,
2005) terhadap batuan ini di Selacau dan Paseban, masing-masing memberikan umur
4,0 ± 0,21 juta tahun dan 4,08 ± 0,21 juta tahun. Penyelidikan oleh Soeria-Atmadja
dkk. (1991 op cit. Brahmantyo, 2005) menyebutkan bahwa endapan volkanik
Malabar-Papandayan berumur antara 4,32 ± 0,004 sampai dengan 2,62 ± 0,03 juta
tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa di daerah Bandung Selatan ini pernah
terjadi kegiatan volkanisme Tersier paling tidak dua kali, yaitu pada Kala Miosen
(±12 jtl.) dan Pliosen (4 – 2,6 jtl.). Secara stratigrafis batuan gunungapi Tersier itu
ditindih oleh batuan gunungapi Kuarter. Di selatan, Alzwar dkk. (1992) membagi tiga
satuan batuan gunungapi Kuarter, yaitu Andesit Waringin - Bedil, Malabar (Qwb),
Malabar - Tilu (Qmt), Guntur - Pangkalan dan Kendang (Qgpk). Di utara satuan
batuan gunungapi berupa Tuf berbatuapung Gunung Sunda (Qyt; Silitonga, 1973).
Batuan kompleks Gunung Sunda diketahui berumur 0,21 – 1,72 juta tahun (Sunardi
dan Koesoemadinata, 1999 op cit. Bronto, 2006) dan disimpulkan adanya
kesinambungan kegiatan gunungapi dari Kala Pliosen ke Jaman Kuarter (Bronto dkk.,
2006). Satuan batuan termuda adalah endapan danau (Ql) yang mengisi Cekungan
Bandung, terdiri atas bahan lepas berukuran lempung, lanau, pasir, dan kerikil yang
bersifat tufan, setempat mengandung sisipan breksi. Silitonga melaporkan bahwa
endapan danau ini mencapai ketebalan 125 m, di dalamnya mengandung konkresi
gamping, sisa tumbuhan, moluska air tawar, dan tulang binatang bertulang belakang.

Gambar 2.3 Sebagian dari Peta Geologi Lembar Bandung oleh Silitonga (1973).
2.3 Struktur Geologi Regional

Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), struktur geologi daerah Jawa


Barat memiliki tiga pola arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2.4). Ketiga
arah kelurusan tersebut terjadi karena adanya perubahan tektonik di Jawa selama
kurun waktu Paleogen dan Neogen. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya,
diwakili oleh sesar Cimandiri, sesar naik Rajamandala dan sesar-sesar lain di daerah
Purwakarta. Sesar-sesar pada pola Meratus diketahui berumur mulai Kapur sampai
Paleosen. Pola ini terjadi akibat proses tektonik kompresi yaitu penunjaman Lempeng
Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan
penunjaman lempeng yang menyudut menjadi penyebab utama sifat sinistral dari
sesar-sesar mendatar pola Meratus. Di Pulau Jawa, sesar-sesar ini teraktifkan kembali
pada umur-umur yang lebih muda.

Pola Sunda direpresentasikan oleh sesar-sesar yang berarah utara-selatan,


umumnya terdapat di bagian utara wilayah Jawa Barat dan di Laut Jawa. Gerak sesar
pola Sunda ini umumnya berpola regangan yang disebabkan oleh penurunan
kecepatan akibat tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback
berumur Eosen-Oligosen Akhir.

Pola Jawa berarah barat-timur akibat tektonik kompresi yang ditimbulkan oleh
penunjaman di selatan Jawa yang menerus hingga Sumatera. Di Jawa Barat, pola
Jawa ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar di dalam Zona
Bogor. Pola Jawa ini merupakan pola termuda yang memotong dan merelokasi pola
struktur sebelumnya.

Gambar 2.4 Pola struktur Jawa (Pulonggono dan Martodjojo, 1994).


Secara regional daerah Bandung selatan merupakan bagian dari kelompok
gunungapi Kuarter yang dibatasi oleh segi tiga sesar besar (Katili dan Sudradjat, 1984
op cit. Brahmantyo, 2005). Di bagian baratlaut terdapat zona sesar geser mengiri
Sukabumi-Padalarang, di sebelah timurlaut zona sesar geser menganan Cilacap-
Kuningan, dan di sebelah selatan adalah sesar turun yang berbatasan dengan
Pegunungan Selatan (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Pola struktur daerah Bandung dan sekitarnya (Katili dan Sudradjat, 1984
op cit. Brahmantyo, 2005).

Dari Peta Geologi Lembar Garut (Alzwar dkk., 1992) terlihat bahwa pola sesar
di kawasan Gunung Malabar, Wayang, Windu, dan Tilu berarah timurlaut-baratdaya
dan sedikit baratlaut-tenggara. Sesar tersebut ada yang berupa sesar naik dan sesar
turun. Pada batas antara batuan gunungapi Kuarter dengan batuan gunungapi Tersier
di utaranya terdapat sesar turun berarah barat-timur.

2.4 Landasan Teori Pelapukan Batuan

2.4.1 Karakteristik Andesit

Andesit adalah batuan volkanik yang paling umum ditemukan setelah basalt,
bertekstur porfiritik yang terdiri dari kristal kasar sebagai fenokris yang mengambang
dalam matriks butir atau gelas. Andesit umumnya memiliki kandungan silika sebesar
57% dan termasuk kategori intermedier (kandungan silika 52-66%) dalam skala
silicic-mafic. Penamaan andesit berasal dari Pegunungan Andes yang merupakan
bagian dari rantai pegunungan Amerika Utara dan Amerika Selatan yang tesusun
sebagian besar oleh andesit. Selain itu batuan andesit umum ditemukan pada zona
pembentukan pegunungan pada tepian Samudera Pasifik. Transisi dari kerak
samudera pada cekungan utama Pasifik menjadi batuan andesit di sekitar batas
tepinya kemudian disebut jalur andesit. Kerak pada sisi laut dalam (deep sea) pada
jalur andesit adalah produk dari pemekaran tengah samudera (sea floor spreading),
dan pegunungan andesit pada sisi lainnya adalah produk dari volkanisme orogenik.

Komposisi utama dari andesit umumnya adalah andesin, salah satu seri dari
felspar atau plagioklas. Jumlah yang lebih kecil dari kuarsa atau mineral yang kaya
unsur besi dan magnesium seperti olivin, biotit, atau hornblenda juga hadir. Andesit
dibagi menjadi tiga kelas menurut komponen felsparnya yang teridentifikasi, mulai
dari paling silicic hingga paling mafic adalah (1) andesit kuarsa (quartz-bearing
andesites, (2) andesit biotit dan hornblenda, dan (3) andesite piroksen (pyroxene
andesites). Andesit yang memiliki kandungan kuarsa yang tinggi -dasit- kemudian
digolongkan dalam kelompok yang berbeda. Semua kelas tersebut memiliki
komposisi intermedier antara diorit (batuan beku intrusif yang sebagian besar terdiri
dari plagioklas felspar) dan riolit (batuan volkanik yang memiliki komposisi sama
dengan granit), atau dengan kata lain andesit memiliki kandungan felspar lebih tinggi
daripada riolit, tetapi kandungan felsparnya lebih rendah daripada diorit.

Karakter andesit biasanya dihasilkan dari pelelehan dan asimilasi fragmen


batuan oleh magma yang muncul ke permukaan. Batuan yang lebih dekat ke
permukaan cenderung lebih tinggi kandungan silikanya, karena silika memiliki
densitas yang lebih rendah daripada besi dan magnesium, dengan komponen-
komponen yang jumlahnya meningkat sebanding dengan meningkatnya kedalaman.

Struktur yang dapat dijumpai pada andesit antara lain berupa lelehan lava,
batuan terobosan (dyke/sill), kekar kolom akibat pendinginan magma dan massa
batuan yang berkaitan dengan vokanisme. Tekstur yang sering menyertai andesit
berupa vesikuler, amigdaloid, trakhitik, dan ofitik atau subofitik.

2.4.2 Proses Pelapukan

Pelapukan adalah proses dekomposisi dan disintegrasi batuan dan mineral


pada permukaan bumi akibat pengaruh langsung dari atmosfer dan hidrosfer (Sanders
dan Fookes, 1970 op cit. Fookes dkk., 1971). Proses pelapukan menghasilkan
pembentukan sedimen yang terbawa oleh proses erosi yang akan terakumulasi
membentuk batuan sedimen, dan regolith yang tidak tertranspor membentuk tanah.
Proses pelapukan menyebabkan beberapa perubahan pada batuan dan mineral, yaitu:

a. Hilangnya atom atau senyawa tertentu pada bagian yang lapuk


b. Bertambahnya atom atau senyawa tertentu pada bagian yang lapuk
c. Terurainya satu massa menjadi dua massa atau lebih, tanpa perubahan dalam
mineral atau batuan secara kimia.

Pelapukan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pelapukan fisika dan kimia.

2.4.2.1 Pelapukan Fisika

Pelapukan fisika merepresentasikan disintegrasi dari batuan dan mineral ke


dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Lebih jauh pelapukan fisika dapat dibagi
menjadi pressure release, pelapukan garam (salt weathering) dan wetting and drying.

a. Pressure Release

Batuan di bawah permukaan bumi mendapatkan beban dari kolom-kolom


batuan di atasnya. Ketika proses erosi mengupas batuan ini maka tekanan yang
dibebankan pada batuan di bawahnya akan berkurang. Semua batuan memiliki sifat
agak elastis (slightly elastic), sehingga batuan yang terpendam akan merespon
terhadap pengurangan tekanan dengan berekspansi ke atas. Proses ini akan
mengakibatkan rekahan-rekahan akibat pelepasan beban (pressure release fractures)
yang orientasinya paralel terhadap permukaan. Pressure release dapat juga
menyebabkan terjadinya eksfoliasi pada batuan.

b. Pelapukan Garam (Salt Crystallization)

Pelapukan garam terjadi akibat pertumbuhan kristal-kristal garam hasil


penguapan airtanah yang mengandung garam (saline groundwater) dalam rekahan
batuan yang menyebabkan disintegrasi butiran batuan tersebut. Kristal-kristal garam
ini terbawa dari air laut, pelapukan kimia dari sedimen laut atau evaporit, dan hujan
yang meresap sebagai airtanah. Pelapukan garam paling efektif pada lingkungan yang
kering dengan muka airtanah dangkal.

c. Wetting and Drying

Jenis pelapukan ini disebabkan oleh ekspansi dan kontraksi ketika batuan
mengalami siklus kondisi basah dan kering (wetting and drying). Pelapukan ini sangat
efektif pada batuan yang mengandung mineral lempung. Lempung akan mengembang
dalam kondisi basah dan menyusut dalam kondisi kering. Perubahan yang konstan
antara dua kondisi tersebut menyebabkan batuan dapat terdisintegrasi.

Pelapukan fisika mengurai batuan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil,


seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.6, sehingga meningkatkan luas area
permukaan yang mengakibatkan pelapukan kimia dapat terjadi. Semua bentuk
pelapukan kimia cenderung mempercepat dekomposisi mineral dalam batuan ke
bentuk yang kurang resistan. Secara bersama-sama, pelapukan fisika dan kimia dapat
mengurangi resistensi batuan atau dengan mudah mengikis material yang lebih lemah
(lempung).
Gambar 2.6 Proses pelapukan fisika.

2.4.2.2 Pelapukan Kimia

Pelapukan kimia adalah proses dimana batuan terdekomposisi, terlarutkan,


atau menjadi lepas-lepas karena proses kimia membentuk material residu. Tiga reaksi
kimia yang umum berasosiasi dengan pelapukan kimia adalah pelarutan, hidrolisis,
dan oksidasi.

a. Pelarutan (Dissolution)

Pelarutan terjadi ketika batuan dan atau mineral terlarutkan oleh air. Material
yang terlarut dapat berupa garam (NaCl), sodium karbonat (Na2CO3), sodium sulfat
(Na2SO4), magnesium sulfat (MgSO4), gipsum (Ca2SO4), dan sodium nitrat (Na2SO4)
yang kemudian tertranspor keluar dari ruang dalam batuan. Material-material ini
umumnya tercuci oleh air hujan dan hilang dari tanah atau batuan melalui sungai,
tetapi pada iklim gurun (arid) dapat tertinggal dan mengakibatkan salt crystallization.

b. Hidrolisis (Hydrolisis)
+
Asam karbonat terurai menjadi dua ion, ion hidrogen (H ) dan bikarbonat
-
(HCO3 ).
+
H2CO3 -7 H + HCO3
Ion hidrogen bebas dapat merubah komposisi kimia dengan menggantikan ion-ion
lain dalam struktur atom mineral, dan reaksi ini disebut hidrolisis. Hidrolisis terjadi
ketika mineral bereaksi dengan air membentuk produk lain. Feldspar, mineral paling
umum yang dijumpai pada batuan di permukaan bumi, bereaksi dengan air
membentuk mineral sekunder seperti kaolinite (salah satu jenis mineral lempung) dan
ion-ion tambahan yang terlarutkan dalam air. Reaksi antara mineral felspar dan air ini
dapat dituliskan dalam persamaan kimia sebagai berikut:
+ +
4KAlSi3O8 + 4H + 2H2O -7 Al4Si4O10(OH)8 + 4K + 8SiO2

c. Oksidasi (Oxidation)

Oksigen, elemen paling umum yang terdapat di udara, bereaksi dengan besi
dalam mineral membentuk mineral oksida, contohnya hematit (karat). Oksidasi pada
batuan umumnya dicirikan dengan warna kemerahan pada permukaan batuan.

2.4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pelapukan

Pada umumnya tingkat pelapukan pada berbagai proses pelapukan dipengaruhi


oleh tiga faktor (Zhao dkk., 1994), yaitu :

a. Lingkungan, yang didominasi oleh pengaruh iklim, selain faktor topografi, kondisi
hidrogeologi, dan sistem biologi yang juga memegang peranan penting. Iklim
mempengaruhi proses pelapukan baik secara langsung maupun tidak langsung
(Peltier, 1950 op cit. Irfan dan Dearman, 1978). Rentang temperatur yang
bervariasi antara kondisi beku dan cair dan suplai air yang melimpah adalah faktor
yang penting dalam pelapukan fisika. Dalam proses pelapukan kimia, faktor
penting yang mempengaruhi derajat pelapukan adalah temperatur yang hangat dan
suplai air yang melimpah. Tingkat pelapukan kimia relatif lebih lambat pada
wilayah yang kurang suplai air atau memiliki temperatur rendah.

b. Properti dari massa batuan, khususnya homogenitas dan kondisi alami, pola, dan
jarak diskontinuitas. Struktur batuan seperti rekahan merepresentasikan
permukaan alamiah untuk proses pelapukan fisika dan kimia. Sebagai
konsekuensinya, batuan yang memiliki lebih banyak rekahan biasanya akan lebih
cepat mengalami pelapukan daripada batuan sama yang tidak memiliki rekahan.

c. Properti dari material batuan, termasuk komposisi, kemas, dan permeabilitas.


Batuan yang tersusun dari mineral-mineral yang relatif tidak terpengaruh oleh
pelapukan kimia akan lebih tahan terhadap pelapukan. Sebagai contoh, kuarsa
tidak terpengaruh oleh pelarutan, hidrolisis, dan oksidasi, oleh karena itu batuan
Tinjauan Pustaka 20

yang memiliki komposisi kuarsa lebih banyak akan lebih tahan terhadap
pelapukan daripada jenis batuan lain pada umumnya.

2.4.4 Efek Pelapukan

Pelapukan memberikan efek yang dapat dikenali dengan mudah pada batuan
dari berbagai gejala yang ditimbulkannya. Efek pelapukan tersebut dapat berupa rinds
weathering, eksfoliasi, dan pelapukan membola (spheroidal weathering).

Rinds weathering diindikasikan dari bagian terluar massa batuan yang


mengalami perubahan warna (discoloration) akibat pelapukan yang akan berkembang
ke bagian dalam hingga akhirnya semua massa batuan terubah.

Eksfoliasi (exfoliation) adalah lapisan tipis yang berkembang pada bagian


terluar tubuh batuan yang kemudian terlepas dari tubuh batuan tersebut. Pengelupasan
terjadi akibat tekanan yang dihasilkan dari perubahan volume mineral yang baru
terbentuk.

Pelapukan membola (spheroidal weathering) adalah pelapukan yang


disebabkan adanya fluida yang masuk melalui rekahan atau bidang kekar pada batuan
yang umumnya berbentuk balok atau kubus. Fluida ini akan mengalterasi mineral-
mineral batuan yang prosesnya dimulai dari bagian sudut bidang kekar atau rekahan
yang akan mengalami tingkat pelapukan paling intensif, berangsur-angsur berubah ke
arah sisi dan akhirnya ke bagian muka balok atau kubus. Hasilnya, bidang kekar yang
berbentuk kubus akan membundar seperti bola dengan bagian inti yang tidak lapuk
dan semakin lapuk ke arah luar.

2.4.5 Klasifikasi Pelapukan

Pelapukan, seperti yang telah dideskripsikan oleh Sanders dan Fookes (1970
op cit. Fookes dkk., 1971), dideskripsikan sebagai sebuah proses dan bukan sebuah
metode untuk mendeskripsikan sifat teknik (engineering properties) dari massa
batuan. Proses pelapukan tidak memberi pengaruh yang besar pada suatu struktur
bangunan jika dilihat dari usia pakai (lifetime) bangunan tersebut, namun pelapukan
memberi efek yang signifikan terhadap sifat-sifat keteknikan massa dan material
batuan.
Tinjauan Pustaka 1

Terdapat banyak metode dan skala untuk mendeskripsikan pelapukan massa


batuan. Metode-metode yang digunakan biasanya mendeskripsikan pelapukan kimia
pada massa batuan yang memiliki rekahan, memfokuskan pada perubahan warna,
kekuatan, dan kemas (fabric) serta tekstur batuan, seperti klasifikasi untuk tujuan
geologi teknik yang telah disusun oleh Moye (1955 op cit Dearman dkk., 1978) dan
Ruxton dan Berry (1957 op cit Dearman dkk., 1978). Klasifikasi Moye digunakan
untuk keperluan rekayasa sipil di Pegunungan Snowy, Autralia, sedangkan klasifikasi
Ruxton dan Berry dikembangkan dari penyelidikan granit di Hongkong. Beberapa
klasifikasi secara spesifik meliputi efek pelapukan fisika, sedangkan yang lain telah
dikembangkan untuk jenis batuan tertentu, seperti Knil dan Jones (1965, op cit.
Karpuz dan Pasamehmetoglu, 1997) yang telah mengembangkan sistem klasifikasi
pelapukan yang hanya berlaku untuk batuan metamorf dan sedimen.

Karena penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan massa batuan secara


menyeluruh, maka lebih diutamakan deskripsi pelapukan yang mengacu pada
perubahan baik pada material maupun diskontinuitas batuan. Semua efek pelapukan
akan dideskripsikan menggunakan terminologi standar deskripsi tanah dan batuan
yang meliputi:

• Warna dan perubahan warna


• Kekuatan dan penurunan kekuatan
• Kondisi dari diskontinuitas dan pengisiannya, dan
• Produk pelapukan

Berdasarkan deskripsi dari efek pelapukan dan produknya, massa batuan kemudian
dapat diklasifikasikan menurut sebuah skala pelapukan umum.

Pengklasifikasian pelapukan batuan andesit pada penelitian ini mengacu pada


klasifikasi derajat pelapukan yang diajukan oleh Geological Society of London (1970)
dalam Geological Society Engineering Group Working Party Report on The Logging
of Cores for Engineering Purposes. Kondisi pelapukan yang digunakan Dearman dkk.
(1978) yaitu batuan segar (fresh), batuan yang mengalami perubahan warna
(discolored), batuan lemah (weakened), dan tanah (soil), ekuivalen dengan derajat I, II,
III-V, dan VI secara berurutan pada klasifikasi ini (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Sistem klasifikasi derajat pelapukan batuan (Geological Society of London,1970).

Istilah Deskripsi Derajat

Tanah Residu Seluruh material batuan telah berubah menjadi tanah. Struktur VI
massa dan kemas material telah hancur. Terdapat perubahan
besar dalam volume, tetapi tanah belum mengalami transportasi
secara signifikan.

Lapuk Semua material batuan telah terdekomposisi dan atau V


Sempurna terdisintegrasi menjadi tanah. Struktur massa yang asli sebagian
besar masih utuh.

Lapuk Kuat Lebih dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau IV
terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah
berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka
diskontinu atau inti batuan.

Lapuk Sedang Kurang dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau III
terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah
berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka
diskontinu atau inti batuan.

Lapuk Ringan Perubahan warna mengindikasikan pelapukan pada material II


batuan dan permukaan diskontinuitas. Semua material batuan
dapat mengalami perubahan warna dan kemungkinan agak
lebih lemah dari kondisi yang segar.

Batuan segar Tidak ada tanda-tanda pelapukan pada material batuan atau I
terdapat perubahan warna pada sebagian besar permukaan
diskontinuitas.

2.5 Kekuatan Batuan

Beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan kekuatan


batuan adalah nilai Schmidt hammer dan kuat tekan (compressive strength). Penelitian
yang dilakukan oleh Kazi dan Al-Mansour (1980) terhadap berbagai jenis batuan beku
menunjukkan bahwa andesit memiliki kekuatan yang sangat baik dibandingkan
dengan batuan beku lainnya (Tabel 2.2).

Kekuatan batuan terutama berkaitan dengan faktor pembentukan batuan asal,


mineralogi, dan teksturnya, namun skala juga memiliki peran penting dalam batuan.
Kekuatan batuan dapat sangat bergantung pada ukuran contoh batuan. Pada skala
hand-specimen, material batuan (intact rock) yang homogen, isotropik, dan tidak
memiliki diskontinutas dalam skala makro, memiliki kekuatan yang berbeda jika
dibandingkan dengan massa batuan (rock mass) pada skala lapangan yang memiliki
karakter heterogen, anisotropik, dan memiliki bidang-bidang diskontinu. Dalam
desain struktur keteknikan pada batuan, skala yang dipertimbangkan ditentukan oleh
ukuran massa batuan yang akan menerima tekanan yang dibebankan pada batuan
tersebut.

Tabel 2.2 Nilai rata-rata Schmidt hammer, berat isi, dan kuat tekan
menurut jenis batuannya (Kazi dan Al-Mansour, 1980).

Nilai Rata-Rata Berat Isi Kuat Tekan


Jenis Batuan Schmidt Rata-Rata Rata-Rata
3 2
hammer Mg/m MN/m
Meta-andesit 38 2.72 79
Andesit 51 2.76 170
Dasit 45 2.78 130
Gabbro 26 2.58 42
Diorit 45 2.74 116
Monzonit 25 2.56 42
Tonalit 28 2.67 49
Granodiorit 26 2.68 61
Basalt 41 2.51 37

Anda mungkin juga menyukai