PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami sejarah perkembangan suku Jawa,
2. Untuk memahami karakteristik sukuJawa,
3. Untuk memahami sistem kepercayaan suku Jawa,
4. Untuk memahami persepsi sehat sakit suku Jawa,
5. Untuk memahami cara pengobatan dengan Suwuk
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
Berdasarkan tulisan kuno india menyebutkan bahwa pada jaman dulu
beberapa pulau di kepulauan Nusantara menyatu dengan daratan Asia dan
Australia. Pada suatu waktu terjadilah musibah sehingga menyebabkan
meningkatnya permukaan air laut. Beberapa daratan terendam air hingga akhirnya
memisahkan pulau—pulau tersebut dari daratan utama.
Tulisan kuno tersebut juga menyebutkan seorang pengembara yang
bernama Aji Saka. Ia mengembara ke beberapa penjuru dan akhirnya menemukan
pulau Jawa. Menurut tulisan kuno ini, Aji Saka adalah orang pertama yang
menginjakkan kaki di bumi Jawa. Ia dan pengikutnya dianggap sebagai nenek
moyang suku jawa saat ini.
4. Pendapat Arkeolog
Menurut ahli arkeologi asal-usul penduduk jawa tak terlepas dari asal-usul
orang Indonesia itu sendiri. Para arkeolog yakin bahwa nenek moyang suku jawa
berasal dari penduduk pribumi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya fosil
manusia purba Pithecanthropus Erectus dan juga Homo Erectus.
Eugene Dubois yang merupakan seorang ahli anatomi yang berasal dari
Belanda menemukan sebuah fosil Homo erectus. Penemuan tersebut bertempat di
Trinil pada tahun 1891. Fosil Homo erectus tersebut lebih dikenal dengan sebutan
manusia Jawa.
Kemudian dilakukan perbandingan antara DNA pada fosil manusia kuno
tersebut dengan suku jawa pada masa kini. Hasil yang didapat cukup menarik,
bahwa DNA tersebut tidak memiliki perbedaan yang jauh satu sama lain. Hal
tersebut akhirnya dipercayai oleh beberapa ahli arkeologi sebagai teori asal-usul
keberadaan suku jawa.
5. Pendapat Sejarawan
Para sejarawan memiliki pendapat berbeda mengenai asal-usul suku jawa.
Von Hein Geldern menyebutkan bahwa telah terjadi migrasi penduduk dari daerah
Tiongkok bagian selatan atau yang biasa disebut Yunan di kepulauan Nusantara.
Migrasi ini terjadi dimulai dari jaman neolitikum 2000 SM sampai jaman
perunggu 500 SM secara besar-besaran dan bertahap menggunakan perahu cadik.
4
Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan,
menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika
berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak
berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua akan lebih
di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan
yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.
Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan.
Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang
dijaga.
Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikap maupun
berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan
bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang
usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda
hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang
usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni
Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut
oleh Orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan
segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Konsep hidup nerimo ing pandum (
ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu
berambisi. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata
tidak dapat di lakukan. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo.
Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup
dengan tenagamu!
Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royong atau
saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat
itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap
gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu
suasana suka maupun duka. Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada
kerja gotongroyong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa
sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat
5
sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran
dan tanggungjawab.
Konsep lain yaitu Ngajeni Pada Orang Yang Lebih Tua
dan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang
menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar
personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan
untuk tidak menyakiti hati orang lain. Mereka begitu menghargai persahabatan
sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat
penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau
terseinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang
Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri
seseorang dari lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaian.
6
Keris dibuat oleh para Mpu yang ditempa serta diberi mantra-mantra. Salah satu
keris yang melegenda ialah keris Mpu Gandring dalam cerita Ken Arok.
3. Seni Musik
Suku Jawa memiliki musik tradisional yang dihasilkan oleh gamelan.
Gamelan digunakan oleh wali songo pada zaman dahulu untuk menyebarkan
agama islam. Gamelan merupakan gabungan dari beberapa alat musik seperti
kendang, gong, kenong, bonang, kempul, gambang, slenthem dan lain-lain.
4. Seni Tari
Tari tradisional Jawa amat beragam. Tari-tarian ini ada yang berupa
gerakan lemah gemulai, dan ada juga yang memiliki gerakan yang tangkas.
Biasanya tari-tarian Jawa tak terlepas dari unsur magis. Beberapa tarian Jawa itu
seperti sintren, bedhaya, kuda lumping, reog dan lainnya. Tari-tarian ini biasa
diiringi musik gamelan dan seruling.
5. Bahasa Dan Aksara
Masyarakat Jawa biasa menggunakan bahasa jawa dalam percakapan
sehari-hari. Bahasa jawa sendiri mempunyai beberapa tingkatan tergantung dari
dengan siapa percakapan itu berlangsung. Tingkatan tersebut yaitu “ ngoko” yang
merupakan bahasa sedikit kasar yang digunakan kepada seseorang yang
tingkatannya berada dibawah, kemudian “krama madya” yaitu bahasa jawa yang
digunakan kepada orang yang sederajat, dan “krama inggil” yaitu bahasa yang
digunakan kepada orang yang lebih tua atau dihormati.
Aksara Jawa memiliki 20 buah huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa,
la, pa, dha, ja,ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Artinya adalah ada dua utusan yang
setia saling bertarung sama-sama saktinya dan sama-sama matinya.
6. Falsafah Hidup
Falsafah yang dianut orang Jawa merupakan pedoman hidup bagi
masyarakat. Beberapa diantaranya yaitu “urip iku urup” hidup itu harus
bermanfaat, “mangan ora mangan sing penting kumpul” kebersamaan merupakan
hal penting dan lain-lain.
7. Budaya Kejawen
Merupakan suatu budaya yang sangat melekat dalam masyarakat jawa.
Ajaran ini merupakan gabungan dari adat istiadat, budaya, pandangan sosial dan
7
filosofis orang Jawa. Ajaran kejawen hampir mirip seperti agama yang
mengajarkan spiritualitas masyarakat Jawa kepada Penciptanya.
Demikianlah berbagai macam teori yang disebutkan mengenai asal-usul
suku jawa. Tak dapat dipungkiri bahwa suku jawa memang memiliki sejarah yang
panjang serta kebudayaan yang mengagumkan. Sebagai bangsa Indonesia
hendaklah kita untuk mengetahui dari sejarah yang membentuk diri kita saat ini.
2.2 Kepercayaan
2.2.1 Definisi Kepercayaan
‘Percaya’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengakui atau
yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Mendapat imbuhan ke-an,
bermakan anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau
nyata (KBBIoffline v1.3, 2011). Menurut pengertian terminologis, kepercayaan
diistilahkan keyakinan kepada Tuhan di luar agama atau tidak termasuk ke dalam
agama. Kepercayaan ialah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap
sesuatu sebagai kebenaran, yang diyakini, diaplikasi dalam bentuk kelakuan,
pengalaman, yang memengaruhi sifat mental yang meyakininya.
Kepercayaan merupakan sistem keyakinan atau sesuatu hal yang diyakini
keberadaan atau kebenarannya dari suatu kelompok manusia yang berdiri atas
sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci, yang berhubungan
dengan masa lalu (Harsojo, 1998:228). Kepercayaan bagi masyarakat primitif
merupakan sejarah yang bersifat suci atau kudus, yang terjadi pada waktu
permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini.
Penciptaan kepercayaan tidak mengantarkan manusia, pada sebab pertama atau
dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistentsinya. Aktivitas
kepercayaan dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi
pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan tempat tinggalnya.
8
alam, dunia langit, dewa-dewi, kekuatan adikodrati-supernatural, manusia,
kepahlawanan, dan masyarakat. Wujud kepercayaan terletak pada bahasa, sebab
17 penyampaian kepercayaan diketahui lewat penceritannya, seperti halnya pesan
yang disampaikan lewat bahasa yang diketahui lewat pengucapannya (Ahimsa,
2001:80).
9
kekuatan yang tidak kasat mata, namun kekuatannya dapat dirasakan
secara nyata.
b. Memberikan jaminan pada masa kini Menghadirkan kembali peristiwa-
peristiwa yang dulu pernah terjadi dengan sedemikian rupa, sehingga
memberikan perlindungan dan jaminan pada masa kini.
c. Menjelaskan tentang alam semesta, cerita mengenai asal-usul bumi dan
langit Kejadian atau peristiwa alam ataupun cerita mengenai asal usul
terjadinya alam raya, langit, bumi, hubungan antara dewa-dewa, serta asal
mula kejahatan, dijelaskan melalui kepercayaan yang berkembang dan
menjadi kebudayaan masyarakat atau wilayah setempat (Van-Peursen,
2010: 37-41).
Fungsi-fungsi kepercayaan dijelaskan untuk memberikan daya kekuatan
kepada manusia untuk mengambil bagian dengan proses alam sekitarnya.
Kepercayaan juga memberikan kesempatan guna menyambung hidupnya dan
menjamin kesuburan segala hal yang bertepatan dengan aneka macam peristiwa.
Kepercayaan juga mmberikan pengetahuan tentang dunia, memberikan dukungan
dengan memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah laku.
Selain itu, kepercayaan juga berfungsi sebagai sistem cara penyampaian pesan
atau menginformasikan berita. Serta, kepercayaan juga dapat digunakan juga
sebagai sarana pendidikan yang paling efektif terutama untuk menanamkan
norma-norma sosial (Herusatoto, 2008:9)
10
Menurut Asmino (1995), pengobatan tradisional ini terbagi menjadi dua
yaitu cara penyembuhan tradisional atau traditional healing yang terdiri daripada
pijatan, kompres, akupuntur dan sebagainya serta obat tradisional atau traditional
drugs yaitu menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia dari alam sebagai obat
untuk menyembuhkan penyakit. Obat tradisional ini terdiri dari tiga jenis yaitu
pertama dari sumber nabati yang diambil dari bagian-bagian tumbuhan seperti
buah, daun, kulit batang dan sebagainya. Kedua, obat yang diambil dari sumber
hewani seperti bagian kelenjar-kelenjar, tulang-tulang maupun dagingnya dan
yang ketiga adalah dari sumber mineral atau garam-garam yang bisa didapatkan
dari mata air yang keluar dari tanah contohnya, air mata air zam-zam yang terletak
di Mekah Mukarramah.
2.3.1 Suwuk
Suwuk adalah suatu cara penyebuhan alternatif dimana seseorang yang
dianggap memiliki kemampuan pengobatan dengan mantera membacakan suatu
mantra pada media air yang kemudian diminumkan kepada pasien atau yang
sedang menderita suatu penyakit. Pengobatan ini pada intinya dengan
melalui doa-doa memakai perantara air putih. Dalam berbagai literasi juga
ditemukan bahwa media yang digunakan bukan sekedar menggunakan air putih
melainkan juga kadang dengan menggunakan ludah dari penyuwuk.
Dalam bingkai budaya, tradisi suwuk sudah dilakukan secara turun
temurun dalam berbagai tradisi budaya khususnya pada masyarakat jawa, dimana
proses pengobatan dilakukan dengan membacakan mantera-matera dari seseorang
yang dianggap sebagai ahli, atau dukun atau tabib melalui media air yang
kemudian air tersebuh diberikan kepada pasien yang sakit, baik diminumkan,
digunakan untuk mandi maupun sekedar dibasuhkan dan dicipratkan. Pada hari ini
tradisi suwuk ini masih tetap bertahan dan masih bisa ditemui dalam berbagai
ritual penyembuhan dan terapi alternatif.
Budaya suwuk tidak lahir begitu saja di Indonesia. Ketika jaman
Walisongo, salah seorang anggotanya, Maulana Ishaq yang berasal dari
Samarkand, Rusia selatan ini adalah seorang ahli pengobatan. Salah satu metode
pengobatan yang dilakukan Maulana Ishaq adalah dengan suwuk. Metode dakwah
11
Maulana Ishaq yakni lewat jalur memberikan pengobatan gratis kepada warga
disuatu daerah yang dilewatinya. Hingga suatu saat Maulana Ishaq dipanggil oleh
seorang raja di Blambangan yang anaknya sakit keras. Atas ijin Allah, pengobatan
yang dilakukan Maulana Ishaq diberi kesembuhan. Suwuk biasanya dilakukan
oleh para kiai yang wira’i, zuhud atau mereka yang mendalami ilmu ketabiban.
Hampir semua kiai tempo dulu membekali dirinya dengan ilmu suwuk ini.
Biasanya para kiai yang memberikan pengobatan model ini menyertakan
pesan:”Jangan lupa minta kesembuhan kepada Allah SWT, karena yang punya
kesehatan dan sakit itu hanyalah Allah. Manusia hanya ikhtiar dan obat hanyalah
perantara. Allah yang menentukannya.”
Praktek menyuwuk biasanya menggunakan wasilah (media) air putih.
Paling baik menggunakan air zam-zam. Kalau tidak ditemukan, bisa juga
menggunakan air hujan, air sumur disekitar makam wali, atau air sumur di sekitar
makam Sunan Ampel Surabaya. Kalau semua itu sulit didapatkan, setiap air putih
juga bisa dipakai. Bahkan termasuk air mineral dalam kemasan. Wadah air dibuka
tutupnya didepan kiai, dibacakan doa-doa tertentu lalu ditiupkan ke dalamnya.
Namun secara umum doa itu adalah: ”Ya Allah, Tuhan Pencipta Alam dan
Pemelihara Manusia, hilangkanlah penyakit, sembuhkanlah dia. Engkaulah yang
menyembuhkan. Tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari Engkau,
kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Bukhari)
Adapun cara penggunaannya: air yang sudah ditiupkan doa didalamnya itu
diminumkan kepada pasien. Bisa juga diusap-usapkan ke seluruh tubuhnya, atau
hanya ke bagian yang dirasakan sakit, atau dipercik-percikkan di sekitarnya.
Biasanya para kiai yang memberikan pengobatan model ini menyertakan
pesan:”Jangan lupa minta kesembuhan kepada Allah SWT, karena yang punya
kesehatan dan sakit itu hanyalah Allah. Manusia hanya ikhtiar dan obat hanyalah
perantara. Allah yang menentukannya.”
Pesan yang disampaikan (misalnya kiai) yang menyuwuk tadi ke pasien
merupakan “efek placebo” yakni dengan mendengarkan kata-kata kiai tersebut,
rasa cemas dan takut dalam diri mereka benar-benar hilang. Kata-kata tersebut
membangunkan kekuatan untuk menyembuhkan diri sendiri, yang memang sudah
ada dalam tubuh manusia. Jadi, para kiai bukan sekedar memberikan pelayanan
12
pengobatan suwuk, namun sekaligus memberikan “efek placebo” lewat kata-kata
positif berupa doa atau motivasi yang sarat nilai spiritual. Sehingga, pasien dapat
menumbuhkan rasa percaya akan kesembuhannya.
13
BAB III
CONTOH KASUS
3.1 Suwuk
Pengobatan suwuk dilakukan oleh dukun yang mana salah satu ciri
pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih yang
diisi rapalan doa-doa dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Berbagai macam
penyakit yang diderita oleh masyarakat pun dapat diobati melalui suwuk.
14
Pada dasarnya, dalam proses pengobatan tradisional suwuk ini, dukun
akan melakukan proses yang terdiri dua tahap: pertama, dukun akan mendiagnosa
pasien terlebih dahulu, kedua, penerapan metode pengobatan dalam hal ini metode
pengobatan suwuk.
15
Bapak Kamin mengobati bayi Vina dengan mengusapkan ramuan herbal
(dok.peneliti 2016)
Terdapat tiga elemen penting dalam sebuah proses pengobatan yakni: obat
itu sendiri, mantra, dan menurut Malinowski, seorang tokoh antropologi
kenamaan, adalah kondisi atau kemampuan pemberi obat. Di Jawa, aspek keadaan
pemberi obat dianggap sebagai elemen yang penting sekali. Hal inilah yang
menjadi alasan bahwa pengobatan tradisional seperti halnya suwuk ampuh dan
masih menjadi pilihan bagi masyarakat di Jatiarjo.
Perihal sikap dan kondisi pemberi obat ini secara ilmiah dapat dijelaskan
sebagai faktor sugesti yang terjadi dalam proses pengobatan tradisional.
Keampuhan pengobatan tradisional sejatinya terletak pada adanya faktor sugesti
yang terjadi selama proses pengobatan.
16
Dengan demikian, pengobatan tradisional suwuk di Jatiarjo masih
memiliki tempat dihati masyarakat sebagai salah satu piilihan pengobatan meski
fasilitas medis telah memadai. Sejatinya pengobatan tradisional yang merupakan
wujud keluhuran dan kekayaan budaya Indonesia masih diakui hingga saat ini.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Saran
Suwuk adalah suatu cara penyebuhan alternatif dimana seseorang yang
dianggap memiliki kemampuan pengobatan dengan mantera membacakan suatu
mantra pada media air yang kemudian diminumkan kepada pasien atau yang
sedang menderita suatu penyakit. Pengobatan ini pada intinya dengan
melalui doa-doa memakai perantara air putih. Dalam berbagai literasi juga
ditemukan bahwa media yang digunakan bukan sekedar menggunakan air putih
melainkan juga kadang dengan menggunakan ludah dari penyuwuk.
4.2 Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21933/ChapterII
file:///C:/Users/user/Documents/Downloads/BAB%202.pdf
file:///C:/Users/user/Documents/Downloads/Suwuk-Metode-Pengobatan-
Tradisional-Masyarakat-Jawa-yang-Eksis-di-Era-Modern-18542-id.pdf
file:///C:/Users/user/Documents/Downloads/11970-ID-konsep-pengobatan-
tradisional-menurut-primbon-jawa%20(1).pdf
https://kanal3-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/kanal3.wordpress.com/2012/09/24/sejarah-
budaya-suwuk-di-indonesia-dan-proses-pembuatan-air-suwuk/amp/
https://www.romadecade.org/suku-jawa/#!
https://pamomongs.blogspot.com/2012/03/karakter-khas-suku-jawa-dengan-
tradisi.html
https://antronesia.com/eksistensi-suwuk-pengobatan-tradisional-
masyarakat-jawa-jaman-modern/
19