Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Anatomi dan Fisiologi

Gambar I.1 Source : Sistem saraf pusat dan tepi (Muttaqin, Arif. 2011)

Gambar I. 2 Stuktur Neuron (Ariani, Tutu April. 2012)


Skema I. 1 Susunan Sistem Saraf (Muttaqin, Arif. 2011)

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan


bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Sistem saraf
mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu
dengan lingkungan lainnya. Sebagai alat pengatur dan pengendali alat-alat
tubuh, maka sistem saraf mempunyai 3 fungsi utama yaitu :
1. Sebagai Alat Komunikasi
Sebagai alat komunikasi antara tubuh dengan dunia luar, hal ini
dilakukan oleh alat indera, yang meliputi : mata, hidung, telinga, kulit dan
lidah. Dengan adanya alat-alat ini, maka kita akan dengan mudah
mengetahui adanya perubahan yang terjadi disekitar tubuh kita.
2. Sebagai Alat Pengendali
Sebagai pengendali atau pengatur kerja alat-alat tubuh, sehingga
dapat bekerja serasi sesuai dengan fungsinya. Dengan pengaturan oleh
saraf, semua organ tubuh akan bekerja dengan kecepatan dan ritme kerja
yang akurat.
3. Sebagai Pusat Pengendali Tanggapan
Saraf merupakan pusat pengendali atau reaksi tubuh terhadap
perubahan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan sekitar. Karena
saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja seluruh alat tubuh, maka
jaringan saraf terdapat pada seluruh pada seluruh alat-alat tubuh kita.
II. Konsep Dasar Penyakit
1.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (Suhu mencapai > 38oC). Kejang demam dapat
terjadi karena proses intrakranial maupun ekstrakranial. kejang
demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai
dengan 5 tahun. paling sering pada anak usia 17 bulan sampai 23
bulan (Nurarif & Kusuma, NANDA NIC-NOC, 2015).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena
kenaikan suhu tubuh suhu rektal di atas 38°C. (Riyadi dan Sujono,
2009)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena
peningkatan suhu tubuh sebagai akibat proses ekstrakranium
(pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi
dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC) namun tanpa adanya
tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang
demam ini lebih sering terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun,
dengan lama kejang kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan
dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. Kejang demam juga
berarti kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi
otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan
sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
1.2. Etiologi
Menurut Nurarif dan Kusuma, 2012. Kejang dibedakan
menjadi intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
a. Trauma (Perdarahan) : Perdarahan subarachnoid, subdural atau
ventrikuler
b. Infeksi : Bakteri, Virus, Parasit misalnya meningitis.
c. Kongenital : Disgenesis, Kelainan serebi.
Ekstrakranial meliputi :
a. Gangguan Metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada
pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
b. Toksik : Intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat
c. Kongenital : Gangguan metabolisme asam basa atau
ketergantungan dan kekurangan piridoksin.
Beberapa faktor resiko berulangnya kejang yaitu :
a. Riwayat kejang dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Tingginya suhu badan sebelum kejang, semakin tinggi suhu
sebelum kejang demam, semakin kecil kemungkinan kejang
demam akan berulang.
d. Lamanya demam sebelum kejang, semakin pendek jarak antara
mulainya demam dengan kejang, maka semakin besar resiko
kejang demam berulang.
1.3. Manifestasi Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak
akan sadar tanpa ada kelainan saraf. Kriteria Livingstone dipakai
sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana,
yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
b. Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum.
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah
suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi
empat kali.
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit
sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam
tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1
tahun sampai lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam kompleks,
frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya
berlangsung lebih dari 30 menit. Gejalanya berupa:
a. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang
tejradi secara tiba-tiba).
b. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir
selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
c. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang
biasanya berlangsung selama 10-20 detik).
d. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan
berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit).
e. Lidah atau pipinya tergigit dan gigi atau rahangnya terkatup
rapat
f. Inkontinensia (mengompol)
g. Gangguan pernafasan: Apneu (henti nafas).
h. Kulitnya kebiruan
Setelah mengalami kejang, biasanya:
a. Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur
selama 1 jam atau lebih.
b. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala
c. Mengantuk
d. Linglung (sementara dan sifatnya ringan)
Pada manifestasi klinis dari kejang demam dapat menentukan
klasifikasi kejang demam, maka klasifikasi kejang demam terdiri
atas:
a. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
1. Kejang Parsial Sederhana:
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau
kombinasi dari hal-hal berikut :
a) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu
bagian tubuh, biasanya gerakan yang sama terjadi pada
setiap kejang, dan dapat menjadi merata.
b) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah
merah, dilatasi pupil.
c) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus –
mendengar suara musaik, merasa jatuh dalam suatu
ruang, parestesia.
d) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan,
penglihatan panoramik. (Betz, 2009)
2. Kejang Parsial Kompleks
a) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai
sebagai suatu kejang parsial sederhana.
b) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis –
bibir mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau
gerakan tangan lainnya.
c) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
b. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
1. Kejang Lena : Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
a) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir
kurang dari 15 detik.
b) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan
mempunyai perhatian penuh.
c) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering
hilang pada usia 18 tahun. (Betz, 2009)
2. Kejang Mioklonik
a) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan
involunter.
b) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi
bila patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan
atas, dan tungkai secara sinkron.
c) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi
berkelompok.
d) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat
kesadaran singkat. (Betz, 2009)
3. Kejang Tonik-klonik (grand mal)
a) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik,
kaku otot ekstremitas, tubuh, dan wajah secara
keseluruhan yang berakhir kurang dari satu menit.
b) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan
usus.
c) Tidak ada respirasi dan sianosis.
d) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik
ekstremitas atas dan bawah.
e) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz,
2009)
4. Kejang Atonik
a) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan
turunnya kelopak mata, kepala terkulai, atau orang
tersebut jatuh ke tanah.
b) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
5. Status Epileptikus
a) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang
berulang.
b) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
c) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
d) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz,
2009)

1.4. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran
yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar
yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida
(Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion
di ruang ekstraselular, rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya,p dan
erubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit /
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan
oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan
terjadi kejang.
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas
otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

Faktor ekstrakranial : Infeksi bakteri


Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam

Hipertermi

Proses
A.
Demam Keringat meningkat
peradangan

Mengubah keseimbangan Gangguan pemenuhan


Anoreksia
membran sel neuron cairan

Risiko Kekurangan
Ketidakseimbang Melepaskan muatan listrik volume cairan
an nutrisi kurang yang besar
dari kebutuhan
Resiko cidera
tubuh
Kejang
Kurang Pengetahuan
Kejang
Sel neuron otak
rusak

Lebih dari 15
Kurang dari 15 menit Permeabilitas
menit
kapiler meningkat

Tidak menimbulkan Perubahan suplay


gejala sisa darah ke otak hipoksia

Skema II.1 Patofisiologi Kejang Demam (Nanda NIC-NOC, 2015)

1.5. Komplikasi :
a. Kejang berulang
b. Retardasi mental
c. Palsi cerebralis
d. Epilepsi
e. Hemiparese
1.6. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai
prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam
yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak
lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi.
b. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama.
Pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak
jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang
berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur
kurang dari 18 bulan.
c. Darah
1) Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N < 200 mq/dl).
2) BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit : K, Na : Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) dan
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
d. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS
tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
e. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang
dan adanya lesi.
f. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan
UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan
lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
1.7. Collaborative Care Management
a. Medis (surgical) : perawatan khusus dengan NICU/PICU untuk
mempertahankan dan mengingkatkan proses penyembuhan
anak/bayi, sedangkan untuk pembedahan dikaji terlebih dahulu
penyebab kejangnya berasal dari intracranial atau ekstrakranial.
b. Medikasi farmakologi :
Penatalaksanaan kejang dibagi menjadi 3 hal, yaitu:
1) Pengobatan Fase Akut
a) Memberantas kejang
Kejang *Berikan diazepam rectal: 5 mg untuk BB < 10 kg
10 mg untuk BB > 10 kg
atau iv: 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
tunggu 5 menit, berikan oksigen.

Masih kejang * berikan diazepam rectal / iv, dosis sama, tunggu 5 menit
* oksigenasi adekuat 1 lt/menit
*berikan cairan intravena (D5, ¼ S; D5, ½ S atau RL)
Masih kejang
 Berikan fenitoin/difenilhidramin loading, iv dosis 10-15
mg/kgBB maksimal 200mg, tunggu sampai 20 menit.

Masih kejang: Kejang berhenti, rumatan:


 Masuk ICU-aneatesi umum. Fenitoin 5 – 8 mg/Kg
 Dormikum iv dosis Fenobalbital 4-5 mg/kgBB
 Fenitoin drip dengan dosis 15 mg/kgBB/24 jam.

b) Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya


c) Menurunkan panas bila demam atau hipereaksi dengan kompres
seluruh tubuh dan bila telah menunjukkan dapat diberikan
paracetamol 10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3
mg/kgBB.
d) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama
(> 10 menit) dengan intravena D5 1/4S, D5 1/2S, RL.
2) Mencari penyebab dan mengobati penyebab
Dengan penelusuran sebab kejang dan faktor risiko
terjadinya kejang, pengobatan terhadap penyebab kejang sesuai
yang ditemukan.
3) Pengobatan pencegahan berulangnya kejang
Diberikan anti konvulsan rumatan yaitu fenitoin/difenilhidation 5-8
mg/kgBB/hari, dalam 2 kali pemberian (terbagi 2 dosis) atau
fenobarbital (bila tak ada fenitoin): 5-8 mg/kgBB/hari dalam 2 kali
pemberian.
c. Aktivitas/latihan : Bayi/anak perlu intolreansi aktivitas dan dibantu serta
diawasi karena risiko cidera/kejang berulang.
d. Diet : pemenuhan nutrisi bayi/anak kolaborasi dengan dokter dan ahli gizi
dalam pemenuhan penggannti cairan dan nutrisi karena bayi/anak memiliki
hambatan dalam pemenuhan ASI, makan, minum, dll.
e. Penkes : Bagi orang tua perlu untuk membantu, menjaga dan mengawasi
anak selama perawatan dalam observasi suhu tubuh, kejang berulang dan
pencegahan risiko jatuh.

III. Rencana Asuhan Keperawtan anak dengan Kejang Demam


3.1 Pengkajian
3.1.1 Riwayat Keperawatan :
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,
analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data
diperoleh dengan cara intervensi, observasi, psikal assesment.
a. Identitas
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur,
pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, agama,
kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS, no register,
serta identitas yang bertanggung jawab.
b. Keluhan utama : Pada umumnya pasien panas yang
meninggi disertai kejang. Dengan data focus :
 Badan terasa panas
 Adanya mual dan muntah
 Adanya kesulitan saat bernafas
 Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak
terkoordinasi, kelemahan
 Merasa tidak nyaman, gerah.
 Adanya kekhawatiran orang tua.
 Membran mukosa / kulit kering
 Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/
kontraksi sekelompok otot.
 Penurunan kesadaran
 Tingkah laku distraksi/gelisah.
 Saliva keluar berlebih.
c. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang
mulai dari panas, kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan
keadaan sebelum, selama dan setelah kejang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek,
panas. pernah dirawat dimana, tindakan apa yang dilakukan,
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur
berapa saat kejang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada keluarga pasien tentang apakah didalam
keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh
pasien seperti kejang atau epilepsi.

3.1.2 Pemeriksaan fisik


a. Kepala :
 Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali.
 Adakah dispersi bentuk kepala.
 Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu
ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun
besar menutup atau belum.
b. Rambut: Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta
karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi
protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti
rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa
sakit pada pasien.
c. Muka/wajah
 Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah, sisi yang
paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa
sehingga wajah tertarik ke sisi sehat.
 Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus.
 Apakah ada gangguan nervus cranial.
d. Mata
 Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu
periksa pupil dan ketajaman penglihatan.
 Apakah keadaan sklera, konjungtiva.
e. Telinga : Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta
tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri
di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga,
berkurangnya pendengaran.
f. Hidung
 Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang
menyumbat jalan napas.
 Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya.
g. Mulut : Adakah tanda-tanda sardonicus, adakah cynosis,
bagaimana keadaan lidah, dan adakah stomatitis.
h. Tenggorokan : Adakah tanda-tanda peradangan tonsil dan
adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat.
i. Leher : Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran
kelenjar tiroid dan adakah pembesaran vena jugularis.
j. Thorax
 Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah
retraksi Intercostale
 Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan.
k. Jantung
 Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya.
 Adakah bunyi tambahan.
 Adakah bradicardi atau tachycardia.
l. Abdomen
 Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen.
 Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus.
 Adakah tanda meteorismus.
 Adakah pembesaran lien dan hepar.
m. Kulit
 Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun
warnanya.
 Apakah terdapat oedema, hemangioma.
 Bagaimana keadaan turgor kulit.
n. Ekstremitas
 Apakah terdapat oedema atau paralise terutama setelah
terjadi kejang.
 Bagaimana suhunya pada daerah akral.
o. Genetalia : Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang
keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi.
3.2 Study Diagnostik
a. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan
jenis dan fokus kejang. (Betz, 2009)
b. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz,
2009)
c. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan
dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio,
berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas
terliht bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2009).
d. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
(Betz, 2009).
e. Uji laboratorium
1) Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama
dipakai untuk menyingkirkan infeksi.
2) Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) GDA
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)

3.3 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa I : Hipertermia
3.3.1 Definisi : suhu inti tubtuh diatas kisaran normal diurnal karena
kegagalan termogulasi
3.3.2 Batasan Karakteristik : kejang, takipnea, takikardia, vasodilatasi,
kulit kemerahan, hipotensi, gelisah, kulit teraba hangat, bayi
tidak dapat mempertahankan menyusui
3.3.3 Faktor yang berhubungan : dehidrasi, pakaian yang tidak sesuai,
aktivitas berlebihan, sepsis, trauma dan peningkatan laju
metabilosme
Diagnosa 2 : Risiko Cidera
3.3.4 Definisi : rentan mengalami cidera fisik akibat kondisi
lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber
defensive individu yang dapat mengganggu kesehatan
3.3.5 Faktor risiko : pajanan pathogen, kurang sumber nutrisi, pajanan
zat toksik, hambatan fisik, agen nosokomnial

Diagnosa 3 : Kurang pengetahuan


3.3.6 Definisi : Tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif
sehubungan dengan topic spesifik.
3.3.7 Batasan Karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah,
ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
3.3.8 Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi
terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
3.4 Perencanaan
No. Diagnosa NOC NIC
1. Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan tindakan Fever treatment
infeksi keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
hipertermia dapat teratasi dengan Rasional: Mengetahui penyebab terjadinya
kriteria hasil : hiperthermi karena penambahan
pakaian/selimut dapat menghambat
1. Keluarga mengungkapkan panas penurunan suhu tubuh.
tubuh anak berkurang 2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam
2. Anak tidak rewel sekali.
3. Suhu tubuh dalam rentang normal Rasional: Pemantauan tanda vital yang
(360C-37,50C). teratur dapat menentukan perkembangan
4. Nadi (60-100X/Menit) dan keperawatan yang selanjutnya.
RR(20-40x/Menit) dalam rentang 3. Pertahankan suhu tubuh normal
normal. Rasional: Suhu tubuh dapat dipengaruhi
5. Tidak ada perubahan warna kulit oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan,
dan tidak ada pusing. kelembaban tinggiakan mempengaruhi
6. Keluarga mampu panas atau dinginnya tubuh.
mengaplikasikan manajemen 4. Atur sirkulasi udara ruangan.
hipertermi Rasional: Penyediaan udara bersih.
5. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan
pasien banyak minum
Rasional: Kebutuhan cairan meningkat
karena penguapan tubuh meningkat.
6. Batasi aktivitas fisik
Rasional: Aktivitas meningkatkan
metabolisme dan meningkatkan panas.
7. Ajarkan pada keluarga memberikan
kompres hangat padaleher/ ketiak.
Rasional: Proses konduksi/perpindahan
panas dengan suatu bahan perantara lebih
efektif dibagian lipatan yang memiliki
banyak pembuluh darah sehingga
mempercepat pengualaran panas tubuh.
8. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis
dan terbuat dari kain katun.
Rasional: Proses hilangnya panas akan
terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak
dapat menyerap keringat.
2. Risiko cidera dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan
faktor risiko kurangnya keperawatan …x24 jam/ selama penggunaan tempat tidur yang rendah.
koordinasi otot perawatan diharapkan risiko cidera Rasional : meminimalkan injuri saat
tidak terjadi dengan kriteria hasil: kejang
2. Tinggalah bersama klien selama fase
1. Tidak terjadi trauma fisik selama kejang..
perawatan. Rasional : meningkatkan keamanan klien.
2. Mempertahankan tindakan yang 3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas
mengontrol aktivitas kejang. dan bawah..
3. Mengidentifikasi tindakan yang Rasional : menurunkan resiko trauma pada
harus diberikan ketika terjadi mulut.
kejang.
4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko
injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol
otot volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan
frekuensi kejang.
Rasional : membantu menurunkan lokasi
area cerebral yang terganggu.
6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan
yang abnormal
3. Kurangnya Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
pengetahuan keluarga keperawatan …….x24 jam Rasional : Mengetahui sejauh mana
b.d keterbatasan diharapkan kurang pengetahuan pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
informasi keluarga dapat teratasi dengan kriteria kebenaran informasi yang didapat.
hasil : 2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan
akibat kejang demam
1. Keluarga mampu memahami Rasional : penjelasan tentang kondisi yang
proses penyakit dan program dialami dapat membantu menambah
terapi yang diberikan pada wawasan keluarga
anaknya 3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang
2. Keluarga mampu diikutsertakan akan dilakukan.
dalam proses keperawatan. Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan
3. Keluarga mentaati setiap proses setiap tindakan perawatan
keperawatan.
4. Berikan Health Education tentang cara
menolong anak kejang dan mencegah
kejang demam, antara lain :
a. Jangan panik saat kejang
b. Baringkan anak ditempat rata dan
lembut.
c. Kepala dimiringkan.
d. Pasang gagang sendok yang telah
dibungkus kain yang basah, lalu
dimasukkan ke mulut.
e. Setelah kejang berhenti dan pasien
sadar segera minumkan obat tunggu
sampai keadaan tenang.
f. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan
kompres dan beri banyak minum
g. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang
lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan
mendidik keluarga agar mandiri dalam
mengatasi masalah kesehatan.
5. Berikan Health Education agar selalu sedia
obat penurun panas, bila anak panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu
lebih tinggi dan serangan kejang ulang.
6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak
terkena penyakit infeksi dengan
menghindari orang atau teman yang
menderita penyakit menular sehingga tidak
mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional : sebagai upaya preventif
serangan ulang
7. Beritahukan keluarga jika anak akan
mendapatkan imunisasi agar
memberitahukan kepada petugas imunisasi
bahwa anaknya pernah menderita kejang
demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan
reaksi panas yang dapat menyebabkan
kejang demam.
IV. Daftar Pustaka
Ariani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta : Salemba Medika
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Ed. 5. Jakarta : EGC
Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2018-2020. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sitem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC
Ramdhani, Aris N, dkk. 2018. Buku Saku Praktek Klinik Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
Salemba Medika
Riyadi dan Sujono, 2009. Buku Saku Pediatrik. Jakarta: EGC
Nurarif, H.N & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction Publishing : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai