Riyanto*)
Abstract
The effects of methoxyacetic acid on preimplantation stage embryos of Swiss Webster
mice (Mus musculus) have been studied. Female mice were superovulated with 5 I.U. of
PMSG (Folligon) and 5 I.U. of hCG (Chorulon) and were mated with male mice overnight. A
veginal plug detected at the following morning was confirmed as day 0 of gestation. On
gestation day 2, mice were administered with MAA dose 2.5 mmol/kg bw by gevage. On
gestation day 3.5 mice were sacrificed for embryo collection. The result showed that MAA
could decrease significantly (p<0,05) the number of embryos that reached late blastocysts,
this was caused by significant increase (p<0,05) of the percentege of embryos that could only
reach the morula stage. It could be concluded, that the administration of MAA on gestation
day 2 inhibit the developmental of preimplantation embryos, proven by the decrease of
percentage of embryos that reached late blastocysts stage caused by developmental
retardation, especially on the morula stage.
Abstrak
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui efek asam metoksiasetat (MAA)
terhadap embrio tahap praimplantasi mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Mencit betina
dewasa disuperovulasi dengan PMSG (Folligon) 5 I.U./ekor dan hCG (Chorulon) 5 I.U./ekor,
kemudian dikawinkan semalam. Bila keesokan paginya terdapat sumbat vagina, maka mencit
dinyatakan bunting 0 hari. Selanjutnya mencit pada umur kebuntingan 2 hari diberi MAA
dengan dosis 2,5 mmol/kg bb secara gavage. Pada umur kebuntingan 3,5 hari mencit dibunuh
untuk koleksi embrio. Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa pemberian MAA dapat
menurunkan embrio yang mencapai tahap blastokista lanjut secara nyata (p<0,05) disebabkan
oleh meningkatnya secara nyata (p<0,05) persentase embrio yang hanya mencapai morula.
Dapat disimpulkan, bahwa pemberian MAA pada umur kebuntingan 2 hari dapat
menghambat perkembangan embrio praimplantasi dibuktikan dengan menurunnya persentase
embrio yang mencapai blastokista lanjut disebabkan oleh terjadinya hambatan perkembangan,
terutama karena tertahan pada tahap morula.
Pendahuluan.
Dimetoksietil ftalat (DMEP) merupakan salah satu dari delapan ester ftalat yang
digunakan sebagai bahan pelentur plastik dan potensial menjadi pencemar lingkungan. Ester
ftalat telah diketahui menjadi polutan di perairan, ditemukan di mitokondria hati domba,
terakumulasi dalam tubuh ikan, dalam bahan makanan, dan jaringan tubuh manusia (Ritter, et
al., 1985).
1
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri
Majalah Sriwijaya, Volume 36, Nomor 1 April 2003 Hal 67-72 ISSN 0126-4680
Metode Penelitian
Bahan Penelitian
1. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit Swiss Webster. Mencit
betina yang digunakan berumur 10-12 minggu dengan berat badan 25-30 gram, sedangkan
mencit jantan berumur 12-14 minggu. Ruang pemeliharaan mencit diberi penerangan listrik
pukul 06.00-18.00 WIB. Kelembaban relatif adalah 82,90 1,81 %, suhu ruangan maksimum
adalah 27,52 0,53 oC. Mencit ditempatkan dalam kandang yang berukuran 25 (p) X 20 (l)
dan 10 (t) cm. Kandang dilengkapi dengan botol minum dan alasnya yang diberi sekam yang
2
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri
Majalah Sriwijaya, Volume 36, Nomor 1 April 2003 Hal 67-72 ISSN 0126-4680
diganti 2 kali seminggu. Pakan yang diberikan berupa pakan anak babi (CP 511) dalam
bentuk butiran yang diproduksi oleh PT Charoen Pokphand Indonesia sebanyak 5
gram/ekor/hari dan diberi minum air ledeng secara ad libitum.
2. Bahan Uji.
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam metoksiasetat (MAA)
berbentuk cair yang diproduksi oleh Wako Pure Chemical Industries Ltd. Sebagai pelarut,
digunakan akuabidestilata steril.
Prosedur Kerja
1. Superovulasi dan mengawinkan mencit
Mencit yang digunakan dalam penelitian terlebih dahulu ditimbang untuk memilih
mencit dengan berat badan 25-30 gram. Mencit betina dewasa disuperovulasi dengan hormon
PMSG (Folligon) dengan dosis 5 I.U/ekor dan 48 kemudian diberi hormon hCG (chorullon)
dengan dosis 5 I.U./ekor. Kedua hormon tersebut diinjeksikan secara intraperitoneal dengan
volume 0,1 ml pada pukul 15.00 WIB. Setelah mencit betina disuntik hCG, kemudian
dikawinkan pada sore hari. Bila keesokan paginya terdapat sumbat vagina, maka mencit
dinyatakan bunting 0 hari.
2. Perlakuan MAA
Mencit dengan umur kebuntingan 2 hari dikeompokkan ke dalam kelompok perlakuan
dan kontrol. Kelompok perlakuan diberi MAA dengan dosis 2,5 mmol/kg bb secara “gavage”
sebanyak 0,1 ml/10 g bb, sedangkan kelompok kontrol diberi akuabides steril sebagai pelarut
MAA. Mencit dipelihara sampai umur kebuntingan 3,5 hari.
3. Koleksi embrio
Mencit yang telah bunting 3,5 hari dibunuh dengan cara dislokasi leher, lalu dibedah
untuk koleksi embrio. Selanjutnya uterus diangkat dan diletakkan dalam kaca arloji yang
kering. Di bawah mikroskop bedah, dengan menggunakan “syringe” 1 ml dan jarum 26 G
yang sudah ditumpulkan, dari salah satu ujung yang terbuka uterus dibilas (flushing) dengan
PBS. Embrio yang didapatkan dari hasil pembilasan ditampung dalam kaca arloji. Tahap-
tahap perkembangan embrio praimplantasi dicatat sebagai data.
Analisis data
Untuk mengetahui adanya pengaruh MAA terhadap parameter yang diuji digunakan
uji statistik “Wilcoxon’s rank sum test” (Wilcoxon dan Wilcox, 1965).
3
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri
Majalah Sriwijaya, Volume 36, Nomor 1 April 2003 Hal 67-72 ISSN 0126-4680
Keterangan : * berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (p<0,05), uji statistik ”Wilcoxon’s
rank sum test”.
4
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri
Majalah Sriwijaya, Volume 36, Nomor 1 April 2003 Hal 67-72 ISSN 0126-4680
300
250
200
Kontrol
(%)
150
Perlakuan
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7
Tahap Perkembangan
Gambar 1. Pola hambatan perkembangan embrio praimplantasi umur kebuntingan 3,5 hari
dari induk mencit yang diberi perlakuan MAA dosis 2,5 mmol/kg bb pada umur
kebuntingan 2 hari.
Keterangan 1: Zigot, 2: 2-8 sel, 3: Morula tidak kompak, 4: Morula kompak, 5 : Blastokista
awal, 6: Blastokista lanjut, 7: Abnormal.
Pembahasan
Efek MAA yang diberikan pada induk mencit Swiss Webster umur kebuntingan 2 hari
terhadap perkembangan embrio tahap praimplantasi.
Pemberian MAA dosis 2,5 mmol/kg bb secara “gavage” pada induk mencit bunting
umur 2 hari secara nyata menurunkan persentase embrio yang dapat mencapai tahap
blastokista lanjut. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya embrio yang mengalami kelambatan
perkembangan terutama tertahan pada tahap morula kompak secara nyata, serta meningkatnya
persentase embrio yang abnormal (Tabel 1). Dilaporkan pula oleh Kiin (1998) yang
memberikan MAA dosis 2,3 mmol/kg bb secara “gavage” pada induk mencit Swiss Webster
bunting umur 2 hari, bahwa persentase embrio yang dapat mencapai blastokista lanjut
menurun, karena embrio mengalami hambatan perkembangan terutama tertahan pada tahap
blastokista awal. Perbedaan tahap terjadinya perkembangan ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan dosis MAA yang diberikan. Darmanto et al., (1994) menyatakan, bahwa pemberian
5
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri
Majalah Sriwijaya, Volume 36, Nomor 1 April 2003 Hal 67-72 ISSN 0126-4680
MAA dengan dosis mmol/kg bb pada induk mencit SLc : ICR umur kebuntingan 0 hari secara
subkutan dapat menghambat perkembangan embrio tahap praimplantasi, terbukti dengan
meningkatnya jumlah embrio yang berdegenerasi dan blastokista abnormal. Yusuf et al.,
(1996) melaporkan, bahwa pemberian MAA dengan dosis 1,75 atau 2,0 mM/kg bb secara
“gavage” pada induk emncit Swiss Webster umur kebuntingan 0 hari dapat menurunkan
jumlah embrio yang dapat mencapai blastokista akhir, karena terhambatnya perkembangan
pada tahap morula kompak.
Pemberian MAA pada penelitian ini dilakukan pada induk mencit umur kebuntingan 2
hari dan embrio pada umur kebuntingan tersebut mulai memasuki tahap morula. Hasil yang
diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, karena embrio mengalami hambatan
perkembangan, yaitu terutama tertahap pada tahap morula kompak. Kejadian ini diduga,
karena MAA berpengaruh langsung menghambat pembelahan blastomer. Menurut Rugh
(1968) pada umur kebuntingan 2 hari embrio berada pada tahap perkembangan 8 sampai 16
sel, yaitu morula tidak kompak. Embrio berada pada tahap ini paling lama 10 jam. Dengan
demikian, MAA yang memiliki waktu paruh 6 jam (Sleet et al., 1988) dapat berpengaruh
langsung terhadap pembelahan blastomer tahap morula.
MAA diduga dapat masuk ke dalam embrio, sehingga secra langsung dapat
mempengaruhi pembentukan blastomer. Fabro dan Sieber (1969a dalam Tuchmann-
Duplessis, 1975) melaporkan, bahwa berbagai senyawa dengan berat molekul kurang dari
17.000 dapat ditemukan di dalam blastokista. Dengan demikian, MAA yang memiliki berat
molekul 90,08 dengan mudah dapat masuk ke dalam blastokista, sehingga dapat berpengaruh
langsung menghambat pembelahan blastomer.
Selain embrio yang mengalami hambatan perkembangan, ditemukan juga embrio yang
abnormal (Tabel 1). Embrio abnormal ini ditemukan, baik pada kelompok perlakuan maupun
apda kelompok kontrol. Karena embrio abnormal ini juga ditemukan pada kelompok kontrol
dan kejadiannya tidak berbeda nyata, maka diduga embrio abnormal tersebut terjadi secara
spontan.
terjadinya hambatan perkembangan, terutama karena tertahan pada tahap morula dan
cenderung meningkatnya persentase embrio abnormal.
Saran
Untuk menambah informasi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek
MAA yang diberikan pada tahap praimplantasi dan diamati efeknya terhadap organ
reproduksi mencit jantan.
Daftar Pustaka
Darmanto, W., Kabir, N., Inouye, M., Takagishi, Y., and Yamamura, H. 1994. Effects of 2-
methoxyethanol and methoxyacetic acid on preimplantation mouse embryos in vivo.
Environ. Med. 38 : 29-32.
Kaiin, E.M., 1998. Peran induk dalam memunculkan efek asam metoksiasetat (MAA) yang
diberikan sebelum implantasi terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus)
Swiss Webster. Tesis Pascasarjana Biologi ITB.
Lisminingsih, R.D., 1996. Pengaruh asam metoksiasetat yang diberikan pada periode awal
pembentukan anggota tubuh terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus)
albino Swiss Webster. Tesis Pascasarjana Biologi ITB.
Miller, R.R., Hermann, E.A., Langvardt, P.W., MC Kenna, M.J. and Schwetz, B.A.,
1983.Compreative metabolism and disposition of ethylene glycol monomethyl ether and
propylene glycol monomethyl ether in male rats. Toxicol. And Appl. Pharmacol. 67 :
229-237.
Ritter, E.J., Scott, W.J., Randall, J.L. and Ritter, J.M., 1985. Teratogenicity of dimethoxyethyl
phthlate and its metabolites methoxyethanol and methoxyacetic acid in the rat.
Teratology 32 : 25-31.
Rugh, R., 19968. The Mouse : Its reproduction and development. 1st ed. Burgess Publishing
Co, Minneapolis. P. 60.
Sleet, R.B., Greene, J.A., and Welsch, F. 1988. The relationship of embryotoxicity to
disposition of 2-methoxyethanol in mice. Toxicol. And Appl. Pharmacol. 93 : 195-207.
Sudarwati, S., Suryono, T.W., dan Yusuf, A.T. 1993. Efek “methoxyacetic acid” (MAA)
terhadap perkembangan anggota mencit (Mus musculus) galur A/J. J. Mat. Sains I Supl.
D : 11-19.
Tuchmann-Duplessis, H., 1975. Dreug effects on the fetus. Academic Press. London. P. 52.
Wilcoxon, F. and Wilcox, R.A., 1965. Some rapid approximate statistic procedures. Lederle
Laboratories. New York.
Yusuf, A. T., Syamrizal, dan Sudarwati, S. 1996. Pengaruh asam metoksiasetat (MAA) yang
diberikan pada tahap awal perkembangan embrio terhadap perkembangan praimplantasi
dan pascaimplantasi mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Laporan Penelitian Nomor
: 060 OPF-ITB 1995/1996.
7
*) Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsri