Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TENTANG
AGAMA DAN AGAMA ISLAM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Semester VI

Disusun oleh :

Diana Novita Sari


217341057
3 AEC

TEKNIK OTOMASI MANUFAKTUR DAN MEKATRONIKA


POLITEKNIK MANUFAKTUR BANDUNG
2020
Agama dan Agama Islam

A. Pokok Ajaran Islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling
sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai
urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Allah berfirman, “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3).

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin,


‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air
besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan
sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah
seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya;
ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga. Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam,
pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu Akidah, Syariah, Akhlak.

1. Akidah

Akidah berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, dan perjanjian
yang kokoh dan kuat. Setelah terbentuk ‘aqidatan (akidah) berarti kepercayaan atau keyakinan.
Kaitan antara aqdan dengan ‘aqidatan adalah bahwa keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan
kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Makna akidah secara etimologis
ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan pengertian terminologisnya, seperti diungkapkan oleh
Syekh Hasan al Banna dalam Majmu’ar Rasaail: “Aqaid (bentuk jamak dari ‘aqidah) adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa,
menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.”

Dikemukakan pula oleh Abu Bakar al Jazairi dalam kitab Aqidah al-Mukmin bahwa
“Akidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu, (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati, dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua pengertian tersebut ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam
memahami akidah secara tepat dan jelas, yaitu:

 Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi yang
dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk memahami dan mengerti kebenaran,
sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang baik dan yang buruk.
Dalam berakidah hendaknya manusia menempatkan fungsi alat tersebut pada posisinya
masing-masing. Sejalan dengan hal ini Allah Swt berfirman: “Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl 16:78)
 Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan kesamaran dan keraguan. Oleh
karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia harus memiliki ilmu sehingga ia dapat
menerima kebenaran dengan sepenuh hati setelah mengetahui dalil-dalilnya, Allah Swt.,
berfirman: “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, menyakini bahwasannya al-
Qur’an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang
beriman kepada jalan yang lurus”. (QS. Al-Hajj 22:54)
 Akidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang menyakininya.
Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan lahiriyah dan batiniah.
Pertentangan antara kedua hal tersebut akan melahirkan kemunafikan. Sikap munafik ini
akan mendatangkan kegelisahan. Allah Swt., berfirman: Di antara manusia ada yang
mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”. Padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orangorang yang beriman. (QS. Al-Baqarah 2:8)
 Apabila seseorang telah menyakini suatu kebenaran, maka konsekuensinya harus sanggup
membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.

Akidah Islamiyah berisikan ajaran tentang apa saja yang harus dipercayai, diyakini dan
diimani oleh setiap orang Islam. Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan dan
keimanan kepada Tuhan, maka akidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia
kepada Islam. Seorang manusia disebut Muslim jika dengan penuh kesadaran dan ketulusan
bersedia terikat dengan sistem kepercayaan Islam karena itu aqidah merupakan ikatan dan simpul
dasar Islam yang pertama dan utama.
Akidah Islamiyah dibangun di atas enam dasar keimanan yang lazim disebut dengan rukun
iman. Rukun iman itu meliputi iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman
kepada kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, dan iman kepada hari akhir serta iman
kepada qada’ dan qadar Berdasarkan firman Allah Swt:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauhjuahnya”. (QS. An-Nisa’
4:136)

Ruang Lingkup Akidah yaitu:

 Ilahiah, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan) seperti
wujud Allah Swt., nama-nama Allah Swt., dan sifat-sifat Allah Swt., dan lain-lain.
 Nubuwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan
rasul termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah Swt., mukjizat dan sebagainya.
 Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan roh.
 Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui
sam’i yakni dalil naqli berupa alquran dan as-Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab
kubur, dan sebagainya.

2. Syariah

Syara’a-Yasyra’u–Syar’an artinya membuat undang-undang, menerangkan rute


perjalanan, adat kebiasaan, jalan raya. Syara’a– Yasyra’u–Syuruu’an artinya masuk ke dalam air
memulai pekerjaan, jalan ke air, layar kapal, dan tali panah (Mahmud Yunus, 1989:195). Syari’ah
juga berarti jalan lurus, jalan yang lempang, tidak berkelok-kelok, jalan raya. Penggunaan kata
syari’ah bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang undang, dan hukum (Ahmad Wason
Munawwir, 1984:762).

Syari’ah menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air, syariat Islam berarti jalan
yang harus ditempuh seorang muslim. Sedangkan menurut istilah, syari’ah berarti aturan atau
undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan alam semesta
atau dengan pengertian lain, syari’ah adalah suatu tata cara pengaturan tentang perilaku hidup
manusia untuk mencapai keridhaan Allah Swt seperti dirumuskan di dalam Alquran yang
berbunyi:

“Dan kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu”.

Sesuai dengan pengertian di atas, maka syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia sebagai individu, masyarakat, dan sebagai subyek alam semesta. Syariah Islam mengatur
pula tata hubungan seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang
shaleh. Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, sehingga syariah mengatur tata hubungan
antara manusia dengan manusia dalam bentuk muamalah, sehingga terwujud kesholehan sosial.
Kesholehan sosial merupakan bentuk hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungan
sosial sehingga dapat dilahirkan bentuk masyarakat yang saling memberikan perhatian dan
kepedulian yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Dalam hubungan dengan alam, syari’ah Islam
meliputi aturan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam untuk
mendorong saling memberi manfaat sehingga terwujud lingkungan alam yang subur dan makmur.

Ruang Lingkup Syari’ah yaitu:

 Ibadah yaitu beberapa peraturan yang mengatur hubungan vertikal (hablum minAllah),
terdiri dari: syahadat, salat, puasa, zakat, haji bagi yang mampu. Thaharah (mandi, wudlu,
tayammum), qurban, shodaqoh dan lain-lain.
 Muamalah yaitu suatu peraturan yang mengatur seseorang dengan lainnya dalam hal tukar
menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya: perdagangan, simpan pinjam, sewa-
menyewa, penemuan, warisan, wasiat, nafkah, dan lain-lain.
 Munakahat yaitu peraturan masalah hubungan berkeluarga, seperti: meminang,
pernikahan, mas kawin, pemeliharaan anak, perceraian, berbela sungkawa, dan lain-lain.
 Jinayat yaitu peraturan yang menyangkut masalah pidana, seperti: qishah, diyat, kifarat,
pembunuhan, perzinaan, narkoba, murtad, khianat dalam berjuang, kesaksian, dan lain-
lain.
 Siyasah yaitu masalah politik yang intinya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya:
persaudaraan (ukhuwah), keadilan (‘adalah), tolong-menolong (ta’awun), toleransi
(tasamuh), persamaan (musyawarah), kepemimpinan (dzi’amah), dan lain-lain.

3. Akhlak

Akhlak adalah kondisi mental, hati, batin seseorang yang mempengaruhi perbuatan dan
perilaku lahiriyah. Apabila kondisi batin seseorang baik dan teraktualisasikan dalam ucapan,
perbuatan, dan perilaku yang baik dengan mudah, maka hal ini disebut dengan akhlakul karimah
atau akhlak yang terpuji (mahmudah). Jika kondisi batin itu jelek yang teraktualisasikan dalam
perkataan, perbuatan, dan tingkah laku yang jelek pula, maka dinamakan akhlak yang tercela
(akhlak madzmumah).

Jadi orang yang tidak berakhlakul karimah adalah laksana jasmani tanpa rohani atau sama
dengan orang yang sudah mati atau disebut dengan mayat yang berasal dari kata maitatun yang
artinya bangkai, sedangkan bangkai lambat laun akan menimbulkan penyakit. Demikian dengan
orang yang tidak berakhlakul karimah, lambat laun akan merusak dirinya dan merusak lingkungan.
Sehingga Nabi diutus oleh Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak, (HR. Bukhari).
Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari pada jiwa seseorang, karena itu akhlak
yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang. Sebab keimanan harus ditampilkan
dalam perilaku nyata sehari-hari.

Dapat disimpulkan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari akidah
dan syari’ah yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila akidah telah memotivasi
implementasi syari’ah Islamiyah akan lahir akhlakul karimah, maksudnya adalah akhlak
merupakan perilaku yang tampak apabila syari’ah Islamiyah telah diaplikasikan bertendensi
akidah.
Ruang lingkup akhlak ini sangat luas diantara yaitu berakhlak kepada Allah, kepada diri
sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat, dan berakhlak kepada alam (lingkungan).

 Berakhlak kepada Allah seperti mentauhidkan Allah Swt, bertaqwa kepada-Nya, beribadah
kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, berdzikir kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya,
tawadlu’ kepada Allah.
 Berakhlak kepada diri sendiri seperti bersabar karena Allah, bersyukur kepada Allah,
bersikap benar, bersikap amanah, bersikap qana’ah (menerima apa adanya).
 Berakhlak kepada keluarga seperti berbakti kepada kedua orang tua, adil terhadap saudara,
mendidik dan membina keluarga, pendidikan akhlak di lingkungan keluarga.
 Berakhlak kepada masyarakat seperti mempertahankan persaudaraan, saling tolong-
menolong, bersikap adil, pemurah, penyantun, pemaaf, menepati janji, bermusyawarah.
 Berakhlak kepada alam (lingkungannya) seperti memelihara ciptaan Allah, memanfaatkan
alam dengan benar, memakmurkan alam.

B. Fungsi Agama Islam

Agama Islam hakikatnya adalah sistem keyakinan dan prinsip-prinsip hukum serta
petunjuk prilaku manusia, yang didasarkan pada al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad ulama dalam rangka
menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Berdasarkan hal ini, Islam, paling tidak, mempunyai
empat fungsi agama, berikut ini:

a. Islam berfungsi sebagai tuntunan bagi manusia agar memiliki al-akhlāq al-karīmah.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan


akhlaq mulia.” Al-akhlāq al-karīmah (perangai yang mulia dan terpuji) harus kita lakukan, baik
yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia dan alam di
sekeliling kita. Al-Qur’an dan Hadis serta hasil ijtihad para ulama memberikan tuntunan kepada
kita bagaimana kita melaksanakan ‘ibādah maḥḍah (ibadah murni), seperti shalat, puasa dan haji,
secara baik dan benar. Ketiga sumber Islam ini juga mengajarkan bagaimana kita dapat
berinteraksi sosial dengan santun dan beradab. Dengan demikian, apabila ada satu pandangan
keagamaan atau tindakan tertentu yang cenderung meninggalkan/mengenyampingkan unsur al-
akhlāq al-karīmah, seperti kekerasan, pemaksaan kehendak, dan ujaran kebencian, maka kita bisa
memastikan bahwa pandangan atau tindakan tersebut bukanlah dari Islam, melainkan merupakan
kesalahpahaman terhadap ajaran Islam.

b. Islam berfungsi sebagai jalan untuk mengapai kemaslahatan, ketenangan dan kedamaian
serta keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.

Semua ajaran Islam bertujuan untuk menciptakan kondisi dan situasi semacam itu. Tak
satupun ajaran dari Islam baik perintah maupun larangan yang bertujuan untuk menciptakan
kerusakan di muka bumi ini atau kesengsaraan di akhirat nanti. Allah SWT berfirman: “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ini setelah Allah memperbaikinya ...” (Q.S. al-
A‘raf: 56). Ada banyak ayat lain dan hadis Nabi Saw yang memerintahkan kita untuk menjaga
jiwa, kehormatan dan harta kita dan orang lain dari bahaya apapupun bentuknya.

c. Islam menyeimbangkan anatara urusan dunia dan akhirat.

Islam mengandung ajaran-ajaran yang moderat, seimbang dan lurus, atau al-dīn al-qayyim.
Allah berfirman: “Dan carilah pada apa-apa yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dalam
(kenikmatan) dunia ... (Q.S. al-Qashash: 77).

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa suatu ketika sekumpulan orang dari kalangan
Sahabat Nabi berkunjung ke rumah-rumah istri Nabi Muhammad Saw untuk bertanya tentang
ibadah Nabi. Setelah mendengar jawaban tentang hal ini, salah seorang dari mereka lalu
mengatakan: “Saya akan shalat tahajjud sepanjang malam.” Yang lain meangatakan: “Saya akan
berpuasa setiap hari sepanjang tahun.” Yang lain lagi mengatakan: “Saya akan menjauhi wanita,
tidak akan menikah, dan akan menghabiskan hidup saya untuk beribadah.” Mendengar perkataan-
perkataan mereka itu, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Kalian telah mengatakan begini dan
begitu. Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang paling takut kepada Allah dan orang
yang paling bertakwa kepada-Nya, tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat malam tetapi juga
tidur, dan saya menikahi wanita-wanita. Barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka dia
bukan golonganku.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan sifatnya yang moderat ini, Islam tidak mengajarkan sikap ekstrem dalam
bentuk dan dalam bidang apapun. Seandainya ada pandangan keagamaan yang mengarahkan kita
untuk bersikap ekstrem dan radikal, baik dalam hal ritual keagamaan, ekonomi, politik dan lain
sebagainya, maka kita harus mewaspadainya, dan karena itu, kita tidak perlu mengikutinya.

d. Islam berfungsi sebagai pemersatu umat yang berbeda-beda.

Islam pemersatu baik dari segi keagamaan, suku dan adat istiadat, karena agama
mengajarkan bagaimana berprilaku dan bersikap secara baik terhadap orang-orang yang berbeda-
beda itu. Pemersatuan umat-umat yang beragam ini telah dipraktekkan oleh Nabi segera setelah
memasuki Kota Madinah pada tahun 622 H dengan membuat Piagam Madinah yang
mempersatukan umat Islam secara internal dan antara umat Islam dan umat-umat lain yang ada di
sana, khususnya Yahudi dan Nasrani. Atas dasar hal tersebut, apabila ada pandangan, sikap dan
prilaku seseorang yang cenderung memecah belah umat dan bahkan menimbulkan konflik
horisontal, maka kita harus bersikap waspada dan tidak perlu kita ikuti, karena agama tidak
mengajarkan hal itu.

C. Islam Sebagai Rahmatul Lil ‘Alamin

Islam adalah agama rahmatan lil alamin artinya islam merupakan agama yang membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta termasuk hewan, tumbuhan dan lainnya
apalagi sesama manusia. Pernyataan bahwa islam adalah agama rahmatan lil alami sebenarnya
adalah kesimpulan dari firman Allah:

َ‫س ْلنَاكَ إِ اَّل َرحْ َمةً ِل ْلعَالَ ِمين‬


َ ‫َو َما أ َ ْر‬

“Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam.” (QS. Al-Anbiya ayat 107)

Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, sebagaimana


Rasulullah telah bersabda yang terdapat dalam hadis riwayat al-Imam al- Hakim yang artinya:
“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung atau hewan lainnya yang lebih kecil
darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”.

Sungguh begitu indahnya islam, dengan binatang saja tidak boleh sewenang-wenang
apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran
islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini. Nabi Muhammad SAW diutus dengan
membawa ajaran Islam, maka islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat artinya kelembutan yang
berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.

Yang menjadi tantangan besar umat Islam masa kini adalah Islam belum lagi terwujud
risalahnya, ia belum lagi menjadi rahmat bagi manusia. Karenanya kita harus mengadakan koreksi
total terhadap cara-cara hidup kita, baik dalam bidang ubudiyah maupun dalam bidang muamalah.

Penafsiran para ahli tafsir tentang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamain:

 Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsir Ath-Thabari

Para ahli tafsir berpendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang
dimaksud dalam ayat ini, adalah seluruh manusia baik mukmin dan kafir?Apakah hanya seorang
mukmin saja?. Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik
mukmin maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas RA dalam
menafsirkan ayat ini:

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir ditetapkan baginya rahmat di dunia
dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, bentuk rahmat
bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu seperti mereka
semua ditenggelamkan atau diterpa gelombang besar”.

Pendapat ini benar yaitu Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi
seluruh alam baik mukmin maupun kafir. Rahmat bagi orang mukmin yaitu Allah memberinya
petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Saw. Beliau Saw. memasukkan orang-orang
beriman kedalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah Swt. Sedangkan
rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu
yang mengingkari ajaran Allah” (Diterjemahkan secara ringkas)

 Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi

Said bin Jubair berkata: dan Ibnu Abbas, beliau berkata: “Muhammad Saw adalah rahmat
bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan mmbenarkan ajaran beliau akan mendapat
kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau diselamatkan dari bencana yang menimpa
umat terdahulu berupa ditenggelamkan kedalam bumi atau ditenggelamkan ke dalam air”
Ibnu Zaid berkata: “Yang dimaksud “seluruh manusia” dalam ayat ini adalah orang-
orang yang beriman”

 Ali-Shabuni dalam Safwatut Tafasir

“Makna ayat ini adalah “tidaklah kami mengutusmu wahai Muhammad, melainkan sebagai
rahmat bagi seluruh makhluk”. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya: “Sesungguhnya
aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)”

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah swt. Tidak mengatakan rahmatan lilmu’minin, namun
mengatakan rahmatan lil’alamin karna Allah ta’ ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh
makhluknya dengan diutusnya pemimpin para nabi. Muhmmad saw. Beliau diutus dengan
membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang
besar. Beliau menjadi sebab terciptanya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberi
pencerahan dari kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada manusia yang sebelumnya berada
dalam kesesatan. Inilah yang disebuat sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Bahkan orang-
orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu
mereka pun tidak di kenakan azab berupa diubah menjadi binatang atau dibenamkan kebumi atau
ditenggelamkan dengan air.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa Islam Rahmatan Lilalamin adalah agama
yang memberikan rahmat bagi sel uruh alam. Dengan diturunkannya Q.S. Al-Anfal : 33

‫َّللاُ ِليُعَ ِذبَ ُه ْم َوأ َ ْنتَ ِفي ِه ْم ۚ َو َما َكانَ ا‬


َ‫َّللاُ ُمعَ ِذبَ ُه ْم َو ُه ْم يَ ْست َ ْغ ِف ُرون‬ ‫َو َما َكانَ ا‬

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara
mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta
ampun.”( Q.S. Al-Anfal : 33).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan azab di dunia bagi ummat
nabi Muhammad saw., melainkan ditunggu datangnya hari kiamat. Dan hal tersebut merupakan
bentuk rahmat didunia bagi umat Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan umat-umat nabi
terdahulu, bila ada yang kafir atau maksiat, maka atas perintah Allah langsung diturunkan azab.
Jelaslah bahwa islam adalah Agama rahmatan Lilalamin dan tidak ada pembedaan antara
muslim dan non muslim atas rahmat dunia. Karna rahmat dalam konteks ‘rahma’ adalah bersifat
ammah kulla syai’ meliputi segala hal, sehingga orang-orang non muslim pun mendapatkan
kerahman-an di dunia. Islam merupakan agama yang pluralis, karna islam mengakui keberadaan
bangsa, lapisan masyarakat, dan islam juga mengakui semua agama. Dengan adanya kesadaran
untuk menghargai adanya pluralisme merupakan bukti bahwa islam membawa rahmat bagi seluruh
alam.

Agama islam adalah agama rahmatan lil alamin namun banyak orang yang salah kaprah
dalam menafsirkannya. Sehingga banyak mengalami kesalahan dalam praktik beragama bahkan
dalam hal yang fundamental yaitu aqidah. Pernyataan bahwa islam dalah agama yang rahmatan
lil alamin sebenarnya dalah kesimpulan dari Firman Allah swt. “kami tidak mengutus engkau (
wahai Muhammad ) melaikan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta “. Tugas nabi Muhammad
adalah mebawa rahmat bagi sekalian alam, maka itu pulalah risalah agama yang dibawanya.
Tegasnya, risalah islam ialah medatangkan rahmat bagi seluruh alam. Lawan dari pada rahmat
ialah bencana dan malapetaka. Maka jika dirumuskan dalam bentuk kalimat yang menggunakan
kata peniadaan, kita lalu mendapat penegrtian baru tetapi lebih tegas bahwa islam itu “bukan
bencana alam”.

Dengan demikin kehadiran islam didunia ini bukan untuk bencana dan malapetaka, tetapi
untuk keselamatan, untuk kesejahtraan dan untuk kebahagiaan manusia lahir dan batin, baik secara
perseorangan maupun secara bersama- sama dalam masyarakat. Islam itu ibarat ratu adil yang
menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat manusia dari kehinaan menjadi mulia,
menunjuki manusia yang tersesat jalan. Membebaskan manusia dari segala macam kedzaliman,
melepaskan manusia dari rantai perbudakan, memerdekan manusia dari kemiskinan rohani dan
materi, dan sebaginya. Tugas islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh rahmat.
Manusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karna islam. Kebenaran risalah islam sebagai
rahmat bagi manusia, terletak pada kesempurnaan itu sendiri. Islam adalah dalam satu kesatuan
ajaran, ajaran yang satu dan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkaitan.

Umat islam dilarang menjadi umat pengekor, tetapi sebagai pengendali. Tidak pula boleh
menjadi gerobak yang ditarik kemana-mana, tetapi menjadi lokomotif yang menarik dan
bertenaga besar. Islam tidak condong kebarat dan tidak pula miring ke timur, tetapi islam hadir
ketengah-tenagh benua , ras bangsa untuk berkiblat kepadanya. Islam lah yang harus memimpin
jalannya sejarah menuju kepada hidup dan kehidupan yang bahagia ( hayatun toyyibatun ) dalam
rangka masyarakat yang sejahtera dan bahagia dibawah naungan ampunan Allah swt. ( baldatun
toyyibatun warabbaun ghafur ) betapa tinggi fungsi umat islam ditengah-tengah kancah kehidupan
manusia. Allah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 110

ِ ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُر‬


‫وف َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُونَ ِب ا‬
... ِ‫اّلل‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ ام ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ ‫ت ِللنا‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”(Q.S. Ali-Imran:110)

Pengaruh Rahmatan Lil’alamin Bagi Non Muslim

Dalam memperlakukan non muslim (Ahli Dzimmah) mereka mendapatkan hak seperti
yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara yang terbatas dan
perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan kewajiban seperti yang dikenakan
terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh
perlindungan yaitu melindungi mereka dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ ulama umat Islam
terjadi dalam hal ini seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi “Siapa-siapa yang
menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kesanggupannya,
atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaan, maka akulah yang menjadi seterunya pada
hari kiamat (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi). Kemudian melindungi darah dan badan mereka,
melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam
keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi pejabat, inilah
beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah mengenai sikap kaum Muslimin dan
pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.

Anda mungkin juga menyukai