Anda di halaman 1dari 9

.

Pengertian Sistem Pemerintahan


Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga
legislatif dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955)
kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan
antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi
klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri.
Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak
hanya meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi
penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain.

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan
pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan
rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara.
Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh
usaha DPR.

Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal
16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh
pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang
dilakukan oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh
DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan
inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan
oleh MA.

Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja
lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai
berikut:
1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau
mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
putusan – putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir
atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh
melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden
(pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan
kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama –
sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat
menyatakan perang.
b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban
memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada
presiden.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat
berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan –
tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan
Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua
pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam
pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat
mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga –
lembaga tinggi Negara.

Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara
dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan
seksama bagan – bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.:

EKSEKUTIF
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15.
Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur
Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara.Aperatur pemrintah pusat
terdiri dari :
a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia
nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana
pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti
publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain.

2. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945


Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis
samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa
sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran.
Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat
dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah
sistem pemerintahan campuran model Indische Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia
Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.
Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan
langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang
melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan
keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk
dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas,
maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische
Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut
disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut:
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sovyet Tertinggi
Presiden/Wakil Presiden Gouverneur Generaal/
Luitenant Gouverneur Generaal
Dewan Pertimbangan Agung Raad van Nederlandsch-Indie
Dewan Perwakilan Rakyat Volksraad
Badan Pemeriksa Keuangan Algemene Rekenkamer
Mahkamah Agung Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie

3. Hubungan antara Presiden dengan DPR


Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden
menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini
dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam
bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah,
kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti
bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatif omnipotent.
Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari
sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai
‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili
Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga
pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga
legislatif Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh
UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden,
dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama
dengan DPR).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden,
dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR
(bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris.
Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuhnya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan
secara nominal tetap ada di tangan Raja. Presiden dengan demikian bertindak sebagai the
‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal opposition.

4. Kedudukan MPR
Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni
Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari berlaku di Taiwan dan
Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional
merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke
depan.
Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang
sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat
pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka
Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di
Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan
mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A.
dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi
sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas
James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan
negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar
Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala
Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata.
Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu juga merangkap
sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan
Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu
mendapat mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan
Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan
Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini,
dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga
negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini
merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut
kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi semacam lembaga Senate dalam
susunan Congress di Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas
DPR dan DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of
Representativesitu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali
hanya memberi usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif.
Masalahnya mengapa Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah.
Seringkali muncul pertanyaan ironik: mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak
mengacu saja pada Uganda atau Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat?

5. Eksistensi Penasehat Presiden


Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula
dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus
2002 Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus.
Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya,
perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata.
Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak
mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu
lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu
senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis.
Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara.
Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara Inggris
(King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga conseil du roy, yang
pada masa Napoleon diganti menjadi conseil d’etat. Di Belanda terdapat Raad van State, dan di
Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja.
Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem
pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding
sejak munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi
Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga
mengikuti pola ini. Gouverneur Generaalmengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan
(overzee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939).
Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga ini berubah nama menjadi Raad van
Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping
Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini
sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri.
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama
lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan
lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini
tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi,
tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya
menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi.

6. Sistem Keuangan Negara


Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengambil
alih fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet (ICW) dan Indische
Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,
tentang Perbendaharaan Negara. Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa
badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer, ...' (Muhammad Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi
tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada
DPR (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311). Artinya, BPK hanya wajib
melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan badan yang
mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja
antara Algemeene Rekenkamer dengan Volksraad.

7. Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengambil alih fungsi Hooggerechtshof van
Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman warisan Hindia
Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang kekuasaan kehakiman Indonesia
beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan yang baru. Bedanya, pada masa
penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan kekuasaan kehakiman ini.
Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai perkara golongan Eropa, dan ada
pula Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara golongan inlanders (pribumi).
Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan peradilan
khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad ada
jabatan Penghoeloe yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama
Ketua Landraad setempat. Hal ini tetap berlangsung di Pengadilan Negeri di masa
Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua
Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989
dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. Sejak itu
Badan Peradilan Agama menjadi badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan
badan peradilan Umum.
Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga kehakiman
tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada Amandemen
Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan dapat mengatasi
permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang keberadaannya antara ada dan
tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya
kinerja lembaga peradilan itu sendiri yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.

Kategori: Lainnya
Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan
Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang
mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945 :

a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan
tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.

b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan
oleh 3 organ saja

c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga
negara lainnya.

a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia

1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa
provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung,
DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat,
Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.

2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial.


3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun
pada pemilu tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket
untuk masa jabatan 2004 – 2009.

4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada
presiden.

5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para
wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para
wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh
rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki
kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.

6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu
pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem
Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada
parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer &
melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalm sistem presidensial.

b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI

1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki
kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.

2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya
dalam pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala
kepolisian.

3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR.
Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian
amnesti dan abolisi.

4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget
(anggaran).

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem
pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat
perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam
memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan
presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih
besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah
banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga
negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat
dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah
dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 :
Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945)

Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagai berikut :

a. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)

Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat).
Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain,
dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.

b. Sistem Konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara
pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga
ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia Tugas Majelis adalah:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).

Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan
negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis,
tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang
berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis.

d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal
itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk
melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR
lainnya.

e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan
menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus
bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden
tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer,
dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwa-
kilan Rakyat.

Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak
bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada
Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.


Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak
terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-
sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR
adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan
sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh
melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tarcela.

Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945)

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-
pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai
berikut :

a. Negara Indonesia adalah negara Hukum.

Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan.

b. Sistem Konstitusional

Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut :
- Pasal 2 ayat (1)
- Pasal 3 ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 5 ayat (1) dan (2)
- Dan lain-lain

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
- Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16,
dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung
jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap
menerapkan sistem presidensial.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden
yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17).

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.


Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang
memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).
SHARE98

Anda mungkin juga menyukai