A. Definisi
Klasifikasi Thalasemia
Secara molekuler talasemia dibedakan atas :
1. Thalasemia a (gangguan pembentukan rantai a)
2. Thalasemia b (gangguan p[embentukan rantai b)
3. Thalasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen nya diduga
berdekatan).
4. Thalasemia d (gangguan pembentukan rantai d)
Patofisiologi Thalasemia
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer
adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena
defisiensi asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan
hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi
rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan
hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
Pemeriksaan Penunjang
* Hasil apusan darah tepi didapatkan gambaran perubahan-perubahan sel dara merah,
yaitu mikrositosis, anisositosis, hipokromi, poikilositosis, kadar besi dalam serum
meninggi, eritrosit yang imatur, kadar Hb dan Ht menurun.
* Elektroforesis hemoglobin: hemoglobin klien mengandung HbF dan A2 yang tinggi,
biasanya lebih dari 30 % kadang ditemukan hemoglobin patologis.
Penatalaksanaan Thalasemia
* Hingga kini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien thalasemia.
Transfusi darah diberikan jika kadar Hb telah rendah sekali (kurang dari 6 gr%) atau
bila anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
* Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10 g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian
Deferoxamine(desferal).
* Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun sebelum terjadi
pembesaran limpa/hemosiderosis, disamping itu diberikan berbagai vitamin tanpa
preparat besi.
B. Manifestasi klinis
Letargi
Pucat
Kelemahan
Anorexia
Diare
Sesak nafas
Pembesaran limfa dan hepar
Ikterik ringan
Penipisan kortex tulang panjang, tangan dan kaki.
Penebalan tulang kranial
Pemeriksaan Penunjang
* Hasil apusan darah tepi didapatkan gambaran perubahan-perubahan sel dara merah,
yaitu mikrositosis, anisositosis, hipokromi, poikilositosis, kadar besi dalam serum
meninggi, eritrosit yang imatur, kadar Hb dan Ht menurun.
* Elektroforesis hemoglobin: hemoglobin klien mengandung HbF dan A2 yang tinggi,
biasanya lebih dari 30 % kadang ditemukan hemoglobin patologis.
Penatalaksanaan Thalasemia
* Hingga kini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien thalasemia.
Transfusi darah diberikan jika kadar Hb telah rendah sekali (kurang dari 6 gr%) atau
bila anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
* Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10 g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian
Deferoxamine(desferal).
* Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun sebelum terjadi
pembesaran limpa/hemosiderosis, disamping itu diberikan berbagai vitamin tanpa
preparat besi.
B. Manifestasi klinis
Letargi
Pucat
Kelemahan
Anorexia
Diare
Sesak nafas
Pembesaran limfa dan hepar
Ikterik ringan
Penipisan kortex tulang panjang, tangan dan kaki.
Penebalan tulang kranial
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah :
- Hb : Kadar Hb 3 – 9 g%
- Pewarnaan SDM :
Anisositosis, poikilositosis, hipokromia berat,target cell, tear drop cell.
Gambaran sumsum tulang
eritripoesis hiperaktif
Elektroforesis Hb :
- Thalasemia alfa : ditemukan Hb Bart’s dan Hb H
- Thalasemia beta : kadar Hb F bervariasi antara 10 – 90 % ( N : <= 1 % )
F. Fokus pengkajian
1. Pengkajian fisik
a. melakukan pemeriksaan fisik
b. kaji riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan anemia (pucat, lemah,
sesak, nafas cepat, hipoksia, nyeri tulang, dan dada, menurunnya aktivitas, anorexia,
epistaksis berlang )
c. Kaji riwayat penyakit dalam keluarga.
2. Pengkajian umum
a. Pertumbuhan yang terhambat
b. Anemia kronik
c. Kematangan sexual yang tertunda.
G. Diagnosa Keperawatan:
1. Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen selular yang penting untuk
menghantakan oksigen murni ke sel.
2. Intoleransi aktivitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplay
oksigen.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang selera makan.
4. Koping keluarga inefektif b.d dampak penyakit anak terhadap fungsi keluarga.
H. Fokus intervensi
1. Tingkatkan oksigenasi jaringan, pantau adanya tanda – tanda hipoksia, sianosis,
hiperventilasi, peningkatan denyut apex, frekwensi nafas dan tekanan darah.
2. Berikan periode istirahat yang sering untuk mengurangi pemakaian oksigen.
3. Pantau peggunaan produk darah, kaji tanda reaksi transfusi ( demam, gelisah,
disritmia jantung, menggigil, mual, muntah, nyeri dada, urine merah / hitam, sakit
kepala, nyeri pinggang, tanda – tanda shock / gagal ginjal ).
4. Pantau adanya tanda – tanda kelebihan cairan sirkulasi ( duispnea, naiknya
frekwensi pernafasan, sianosis, nyeri dada, batuk kering )
5. Minimalkan atau hilangkan nyeri.
6. Cegah infeksi, kaji tanda infeksi, demam, malaise, jaringan lunak dan limfonodus
meradang / bengkak.
7. Pantau tanda komplikasi : Kolaps vaskuler dan shock, splenomegali, infark tulang
dan persendian, ulkus tungkai, stroke, kebutaan, nyeri dada, dispnea, pertumbuhan
dan perkembagan yang tertunda.
8. Berikan penjelasan kepada anak sesuai usia dan tentang prosedur perawatan di
rumah sakit.
9. Beri dukungan kepada anak dan keluarga.
10. Anjurkan anggota keluarga melakukan screening BBL dan anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Askep Thalasemia
THALASEMIA
1. A. Definisi
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitikdimana terjadi kerusakan sel darah merah
didalam pembluh darah sehingga umur erirosit menjadi pendek ( kurang dari 100 hari ).
Thalasemia merupakan penyakit anemua hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif,
secara molekuler dibedakan menjadi thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis
dibedakan menjadi thalasemia mayor dan minor ( Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran,
2000 : 497 )
1. B. Proses patologi
Hemoglobin pasca kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alfa dan beta polipeptide.
Dalam beta thalasemia, ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam proses sintesis
molekul hemoglobin rantai beta, Konsekuensi adanya peningkatan compensatory dalam
proses pensintesisan rantai alfa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan menyebabkan
ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak
stabil, mubah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia yang
parah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam jmlah yang
banyak, atau setidaknya sumsum tulang ditekan dengan proses trannfusi. Kelebihan Fe dari
penambahan RBCs dalam transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif disimpan
dalam berbagai organ ( hemosiderosis )
1. C. Pathways
Hiperplasia
Menstimuli Hemopoiesis Sintesa rantai alfa
& pertumbuhan
Fe meningkat
Hemosiderosis
Jantung
1. D. Manifestasi klinis
Letargi
Pucat
Kelemahan
Anorexia
Diare
Sesak nafas
Pembesaran limfa dan hepar
Ikterik ringan
Penipisan kortex tulang panjang, tangan dan kaki.
Penebalan tulang kranial
1. E. Pemeriksaan penunjang
- Hb :
Kadar Hb 3 – 9 g%
- Pewarnaan SDM :
eritripoesis hiperaktif
Elektroforesis Hb :
1. F. Fokus pengkajian
1. Pengkajian fisik
1. melakukan pemeriksaan fisik
2. kaji riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan anemia (pucat,
lemah, sesak, nafas cepat, hipoksia, nyeri tulang, dan dada,
menurunnya aktivitas, anorexia, epistaksis berlang )
3. Kaji riwayat penyakit dalam keluarga.
1. Pengkajian umum
1. Pertumbuhan yang terhambat
2. Anemia kronik
3. Kematangan sexual yang tertunda.
- Ekstrimitas : kulit tangan dan kaki yang mengelupas disertai rasa sakit yang menjalar.
- Abdomen : terasa sakit
- Ginjal : hematuria
G. Diagnosa Keperawatan:
1. Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen selular yang penting untuk
menghantakan oksigen murni ke sel.
2. Intoleransi aktivitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplay oksigen.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang selera makan.
4. Koping keluarga inefektif b.d dampak penyakit anak terhadap fungsi keluarga.
1. H. Fokus intervensi
1. Tingkatkan oksigenasi jaringan, pantau adanya tanda – tanda hipoksia,
sianosis, hiperventilasi, peningkatan denyut apex, frekwensi nafas dan tekanan
darah.
2. Berikan periode istirahat yang sering untuk mengurangi pemakaian oksigen.
3. Pantau peggunaan produk darah, kaji tanda reaksi transfusi ( demam, gelisah,
disritmia jantung, menggigil, mual, muntah, nyeri dada, urine merah / hitam,
sakit kepala, nyeri pinggang, tanda – tanda shock / gagal ginjal ).
4. Pantau adanya tanda – tanda kelebihan cairan sirkulasi ( duispnea, naiknya
frekwensi pernafasan, sianosis, nyeri dada, batuk kering )
5. Minimalkan atau hilangkan nyeri.
6. Cegah infeksi, kaji tanda infeksi, demam, malaise, jaringan lunak dan
limfonodus meradang / bengkak.
7. Pantau tanda komplikasi : Kolaps vaskuler dan shock, splenomegali, infark
tulang dan persendian, ulkus tungkai, stroke, kebutaan, nyeri dada, dispnea,
pertumbuhan dan perkembagan yang tertunda.
8. Berikan penjelasan kepada anak sesuai usia dan tentang prosedur perawatan di
rumah sakit.
9. Beri dukungan kepada anak dan keluarga.
10. Anjurkan anggota keluarga melakukan screening BBL dan anggota keluarga.
Daftar Pustaka
1.Pengertian
a.Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang
tua kepada anak-anaknya secara resesif. Menurut Hukum Mandel
b.Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau
lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
c.Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defesiensi ) pada
haemoglobin. (Suryadi, 2001) atau (produksi rantai
d.Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi kerusakan sel darah
merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari).
(Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah
(eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari), yang disebabkan oleh
defesiensi produksi satu , yang diturunkan dari kedua dan atau lebih dari satu jenis rantai
orang tua kepada anak-anaknya secara resesif.
2.Etiologi
3.Fisiologi
b.Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah, suatu
protein yang mempunyai berat molekul 64.450.
Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam
stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke
dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit mungkin haemoglobin selama
beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk
dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian,
empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung dengan
besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan
rantai polipeptida panjang yang disebut globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk
suatu sub unit hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda, bergantung
pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai
beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang
dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
I.2 Suksinil-KoA + 2 glisin
protoporfirin IxII.4 pirol
HemeIII.protoporfirin IX + Fe++
) atau Rantai hemoglobin (IV.Heme + Polipeptida
hemoglobin A + 2 rantai V.2 rantai
c.Katabolisme hemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit
oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer), limpa dan
sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan
melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke dalam darah dan
diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau
menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian porfirin dari
molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin yang disekresikan hati
ke dalam empedu. (Guyton & Hall, 1997).
4.Patofisiologi
Pada keadaan normal disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari 2 rantai alfa dan
dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dsari seluruh hemoglobin. Sisanya
terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan
kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir
Foetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu
tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai
gamma. Pada thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga
terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses pembentukan
hemoglobin normal orang dewawa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan
mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan
eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun
sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai
beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha
kompensasi.
Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal,
dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan
prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup
eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996)
5.Gambaran klinis
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala klinis
: mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan tersebut
sering tidak jelas.
a.Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa
ditransfusi.
Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah berlebihan,
haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang membesar meningkatkan
kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling)
dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur
spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang,
disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan
tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur, berat
badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah kulit
menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
b.Thalasemia intermedia
Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia
sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan
gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
c.Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk
heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
6.Pemeriksaan diagnostik
a.Pemeriksaan laboratorium
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi
rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan
juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai
HbE maupun HbS.
Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan
parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan
nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
b.Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan perluasan
sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
7.Penatalaksanaan
a.Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM
yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
b.Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
c.Pemberian cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis.
Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan
setiap unit darah transfusi.
d.Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
e.Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda sampai
pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
f.Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise jika
pubertas terlambat.
g.Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun
dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan
hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)
8.Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga
tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal
ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar
mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung.
9.Prognosis
Thalasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
chaleting agents untuk mengurangi hemosiderosis (harganya pun mahal, pada umumnya tidak
terjangkau oleh penduduk negara berkembang).
Thalasemia tumor trait dan Thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis baik
dan dapat hidup seperti biasa.
10.Pencegahan
a.Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan
diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan
antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 %
carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b.Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari
donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 %
dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan
digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan
tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).
Sumber:
1.Abdoerrachman M. H, dkk (1998), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung Solo,
Jakarta.
5.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
6.Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
7.Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC, Jakarta.
8.Depkes, (1999), Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
9.Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.