Anda di halaman 1dari 8

Pendidikan Kewarganegaraan

MJ/A

Dosen Pengajar
Dr. Jiuhardi, S.E., M.M

Disusun Oleh
Maria Novita 19
Jannah Yuliansari 19
Iva 19
Andini Fadelia 1901036115
Nur Meidylla Herina Putri 1901036175
Sembilan Ajaran Utama Syekh Siti Jenar

Manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada umumnya manusia tidak
mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi
pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang merupakan pendapat orang lain, sehingga kita
berbicara menggunakan bahasa orang lain. Mereka yang berpengaruhlah yang telah
menanamkan pengaruhnya yang berupa bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk
membangun identitas tunggal.

Adalah Kierkegaard –seorang filosof Barat– yang menyatakan bahwa sekelompok besar orang
selalu menghilangkan identitas pribadi. Oleh karena itu, sebagian besar orang yang beragama
(memeluk agama resmi) biasa melakukan ritual dan menjalankan apa yang biasa dilakukan atau
diharapkan oleh orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa yang dilakukankannya. Kebanyakan
orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga
seluruh generasi terjebak dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang menyebabkan roda
kemajuan berhenti berputar.[i]

Pendapat sebagai hasil olah pikir manusia berkembang terus, dan bila pemikiran seseorang, suatu
golongan atau bangsa mandek, maka ia akan terlindas oleh perubahan yang terjadi di dunia ini.
Bangsa yang pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui banyak masalah dalam
hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini. Perhatikanlah apa yang terjadi pada
negara-negara tidak maju atau sedang berkembang! Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan
yang rendah, serta rusaknya lingkungan hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.

Tanpa berpikir manusia tidaklah sama dengan hewan, tetapi malah lebih buruk daripada
kehidupan hewan. Bila hewan lapar, maka secara naluri akan tertuntun menuju sumber makanan,
tetapi tanpa berpikir untuk mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itu,
manusia berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan akal-pikirannya
untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berbagai benda
diberi nilai atau “aji” sesuai dengan tingkat kelangkaannya.

Pendapat apabila sudah diterima oleh suatu kelompok orang maka akan menjadi kebenaran bagi
kelompok itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu
dan bukan pendapat, tetapi dalam implementasinya tetap menggunakan olah pikir alias pendapat.
Dan, pendapat tentunya dimaksudkan untuk menyamankan, memudahkan, dan menimbulkan
kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang diperlukan!

Jadi, bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu diperhatikan.
Yang perlu diperhatikan adalah apakah pendapat itu bisa digunakan untuk menimbulkan
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia, minimal bagi mereka yang meyakini
pendapat itu. Dan, yang perlu kita tolak adalah pendapat yang menimbulkan kezaliman,
kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.
Ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti Jenar adalah tidak mengabsolutkan pendapat.
Pendapat boleh diperdebatkan, akan tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain.
Munculnya berbagai mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran agama
pasca pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan dari ajaran asal agama
itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang dibangun atas akseptabilitas masyarakat
atau komunitas tempat pendapat itu berkembang.

Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan
perwujudan dari hak, kemandirian, dan kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak.
Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu
sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan
peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan.
Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban
apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu
seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih
dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan,
perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak
tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai
anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki,
manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun
warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi manusia hakiki.
Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar bisa menjadi manusia yang
hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain.
Dengan demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar
anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .

Perhatikanlah keadaan ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung
pada bantuan atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang luar biasa ini
justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang dilahirkan yang seharusnya
merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi manusia-manusia pencari kerja dan bahkan
menjadi beban negara. Hal ini disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada
orang lain. Hubungan yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang
kuat. Yang lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak
semena-mena terhadap mereka yang lemah.

Akibat dari keadaan tersebut tambah tahun pengangguran akan semakin bertambah besar. Yang
menjadi gantungan relatif tetap, sedangkan yang menggatungkan diri bertambah banyak. Terjadi
relasi yang tidak seimbang, sehingga kehidupan masyarakat menjadi rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam kehidupan
masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri.
Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus
diberikan ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada
setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang
dimiliki seseorang.

Dalam psikologi kodrat dapat dikatakan hampir sama dengan talenta. Bila seseorang tidak
diberikan kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, maka kodratnya kemungkinan
besar tak akan terwujud. Padahal, kodrat yang ada pada diri seseorang itulah yang bisa menjadi
sarana untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap orang bisa mewujudkan
kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling memberikan dan sekaligus saling
membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai tawar bagi orang lain.

Harmonisasi dan ikatan antar warga negara akan menguat bila sebagian besar penduduknya bisa
mewujudkan ketiga unsur manusia hakiki tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil dan
kesenjangan ekonomi dapat dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan muncul dengan
sendirinya, dan kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah diprovokasi.

Ajaran pokok yang ketiga adalah hubungan antara satu orang dengan orang lain merupakan
hubungan kodrat dan iradat. Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja
dalam satu tim, sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah. Tak
ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat oleh kodrat dan
iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel lainnya dalam satu tubuh,
dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya dalam satu tubuh.

Kalau kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh manusia, maka kita akan ketahui bahwa
masing-masing organ –seperti otak, penglihatan, penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung,
hati, ginjal, usus, dan lain-lain– akan bekerja sama, dan masing-masing menjalankan peranannya.
Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian. Dengan mewujudkan masyarakat
yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki, masing-masing orang atau kelompok
menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak
terjadi penghisapan antara orang yang satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan dunia yang
didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan berkembang di negara
maju.

Ajaran pokok yang keempat : segala sesuatu di alam semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam
salah satu pupuhnya disebutkan bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua
yang tumbuh di dunia, angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya
merupakan keadaan hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud kehidupan.

Menurut Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup adalah kehidupan yang terperangkap
dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak
akan tersentuh kematian. Tuhan disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya
sendiri. Kekuatan hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul sebagai makhluk
hidup. Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita temukan
pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian, pandangan Syekh
Siti Jenar luar biasa. Banyak pandangannya yang justru bersesuaian dengan pandangan kaum
teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah keadaan yang hidup, maka tentu kita akan
memperlakukan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan kita
sebenarnya satu dan sama-sama sebagai keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan
berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan kita.

Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar
yang ditulis oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining
pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan eneng ening.
Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan tujuannya disatukan adanya,
lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan jernih.

Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah oleh
Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam dirinya
sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan
melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-
20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal.
Itulah sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian terhadap
tanda-tanda di alam semesta.

Jadi, harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana
kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan
tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-
hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi
potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi
ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang
dibutuhkan manusia.

Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup saling membohongi. Banyak hal yang
sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita.
Hal ini banyak sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil, tetapi
sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu. Akhirnya pemahaman yang
keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.

Masyarakat yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat
yang dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit. Oleh
karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus
diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang
harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti
fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya.
Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena
itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan.
Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.

Ayat-ayat kitab suci harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta
diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara arif
dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus diterjemahkan dalam
bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.

Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu
Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan.
Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang
menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu nama, karena
Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan dengan sesuatu lainnya.
Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut.

Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji,
yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa
manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-
husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman,
atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.

Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara
teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam
kenyataannya sebagian orang Islam –seperti yang terjadi di Malaysia – malah meminta orang
yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain
tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita –yang Muslim— menolak pemeluk agama
lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih
dari satu.

Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa
isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar
itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang Indonesia , menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan penegakan Sila yang pertama.

Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah
diterangkan bahwa agama adalah jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk
menjadi jalan hidup, sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat
dalam menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan perilaku,
sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan
cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak
disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab
menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk
memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang
seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh
agama.

Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan bahkan
ada yang memandang bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari
gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru
ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena itu,
agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh bertabrakan dengan
kepentingan Walisanga.

Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara pada
waktu itu terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata
lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup
oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh
karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat, dan negara tidak
mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi
setiap orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah
kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah
ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat
keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka
sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya.
Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.

Bersanggama dalam keberadaan


diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi

Lahir batin keberadaan sukma


yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini

Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi diri yang
terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih
tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang
menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual diketahui bahwa
Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum
sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap
berada di luar dirinya.

Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan
yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi).
Jika demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh melaui
suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada keberadaan yang kekal,
maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam semesta.

Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan.
Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis.
Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang
menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah
fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah
pemain-pemain sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing
dengan baik.

Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan
kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita sebagai individu
maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara
kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan
dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar warganya secara tim, sehingga semua akan
memenuhi fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang
dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah
terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama manusia.

Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau
atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan
MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi
sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan.
Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan fraternite, yaitu hidup dalam
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah
Syekh membangun hubungan warga dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak
dijumpai di Timur Tengah pada waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari
syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang
bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun
selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota
masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya
yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk
menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!

Anda mungkin juga menyukai