Anda di halaman 1dari 7

Permasalahan

Desain Homestay Jabu Na Ture Yang Tidak Memiliki Ciri Khas Rumah Adat Batak

Homestay ini dinamai Jabu Na Ture (Rumah yang Baik), berbentuk telur raksasa yang disangga oleh
dudukan tiang. Struktur itu katanya oleh Jabu Bolon atau Ruma Bolon (Rumah Besar), rumah tradisonal
etnik Batak Toba.
Tetapi ketika di telaah lebih lanjut tidak melihat jejak Ruma Bolon pada arsitektur Jabu Na Ture itu,
secara fisik ataupun kultural. Secara fisik, bentuk "telur" itu tak ada dalam arsitektur Ruma Bolon. Secara
kultural juga tak ada nilai-nilai budaya Ruma Bolon yang melekat padanya.Jika dipaksakan relevansinya
dengan budaya Batak, maka bentuk telur itu mungkin bisa dikaitkan dengan tiga butir telur burung
mitologis Manuk-manuk Hulambujati. Tiga telur itu menetaskan tiga dewa Batak (Debata Na Tolu) yaitu
Ompu Tuan Bataraguru, Ompu Tuan Soripada, dan Ompu Tuan Mangalabulan. Si Raja Batak secara
mitologis dipercaya sebagai keturunan generasi kelima dari hasil perkawinan putri Tuan Bataraguru (Si
Boru Deakparujar) dan
putra Ompu Tuan Soripada (Si Raja Odapodap).
Kalau begitu makna kulturalnya maka "rumah telur" itu mestinya ada tiga unit dan paling tepat didirikan di
Gunung Pusukbuhit, Pangururan. Gunung ini secara mitologis diyakini sebagai
tempat turunnya Si Raja Batak. Lalu masing-masing diberi nama Ruma Ompu Bataraguru, Ruma Ompu
Soripada, dan Ruma Ompu Mangalabulan. Atau jika diturunkan ke struktur sosial Dalihan Na Tolu orang
Batak, namanya menjadi Ruma Hulahula, Ruma Boru, dan Ruma Dongan Tubu. Tapi faktanya bukan

begitu. Karena itu kehadiran bangunan Jabu Na Ture di Sigapiton menjadi asing bagi warga sana.
Jelasnya "rumah telur" yang disebut langkah awal proyek percontohan Desa Wisata Sigapiton itu
menampilkan kultur wisata yang asing bagi pemangku budaya Batak setempat. Itu menjadi pertanda
bahwa warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur wisata yang sedang dikembangkan pemerintah
dan juga BPODT. Risikonya warga sana kelak hanya akan menjadi penonton. Bukan subjek yang
mengembangkan dan mengambil manfaat dari pertumbuhan wisata di situ. Sebenarnya pada tanggal 29
Januari 2017, Pemkab Tobasa dan Direksi BPODT telah melakukan sosialisasi program desa wisata di
Sigapiton. Tapi sosialisasi itu hanya menekankan bahwa Sigapiton akan menjadi destinasi wisata
unggulan. Lalu warga diminta siap menyongsongnya. Sejauh ini tidak ada fasilitasi warga Sigapiton untuk
menata struktur sosial sebagai subyek dan mengembangkan budaya lokal sebagai objek wisata.
Rusaknya Bangunan Sosial Masyarakat

Dalam artikel "Tragedi Sigapiton yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba" (Kompasiana.com,
15/8/2019), saya telah menyampaikan indikasi bahwa Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) tidak
menyentuh bangunan sosial (struktur dan kultur) masyarakat Batak dalam pelaksanaan proyek-proyek
pariwisata di lingkar Danau Toba.
Sekurangnya saya sudah sampaikan dua indikasi. Pertama, pengambilan tanah adat warga Bius Raja Paropat
Sigapiton (Sirait, Butarbutar, Manurung, Nadapdap) melalui mekanisme hak pengelolaan (HPL) untuk

menjadi Resort The Kaldera di Sibisa. Kedua, pembangunan "rumah telur" (homestay) dengan filosofi dan
konstruksi yang tidak berakar pada budaya bangunan rumah Batak asli.

Belakangan, ketika sekelompok warga Sigapiton mengadukan nasibnya ke Seknas Konsorsium


Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta (21/8/2019), terungkap bahwa di areal tanah adat yang diklaim
menjadi HPL BPODT ternyata ada sumber air utama untuk irigasi pertanian dan keperluan keluarga
Sigapiton. Dikhawatirkan akan mematikan sumber air utama tersebut. Itu sama sama saj a dengan
"mematikan" kehidupan Sigapiton.Tapi di balik itu, sumber air utama yang disebut homban itu adalah
salah satu unsur penting dalam struktur dan kultur masyarakat Batak yang terikat dalam bangunan sosial
bius. Jika homban dirusak, maka rusak pula bangunan sosial bius, seperti "Bius Raja Paropat Sigapiton"
tersebut.

Nanti akan saya jelaskan soal indikasi perusakan bangunan sosial bius itu. Sebelum ke sana perlu saya
jelaskan dulu mengapa harus "mencatut" nama Pak Luhut Panjaitan di judul artikel ini.Alasan pertama,
pada Pasal 5 Perpres Nomor 49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
disebutkan Ketua Dewan Pengarah adalah Menko bidang Kemaritiman. Kebetulan saat ini posisi itu
dijabat Pak Luhut Panjaitan.

Tugas Badan Pengarah itu antara lain memberi petunjuk pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan kawasan Danau Toba yang dilakukan Badan
Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Karena itu relevan untuk meminta perhatian Pak Luhut atas
indikasi rusaknya bangun sosial masyarakat Batak akibat pelaksanaan proyek-proyek pariwisata oleh
BPODT. Agar dapat memberikan arakah korektif pada BPODT.
Dualisme Pemerintahan Adat Bius dan Desa Nasional

Eksistensi kuasa pemerintahan bius dalam masyarakat Batak (Toba) masih ada hingga hari ini. Kehadiran
pemerintahan RI dalam bentuk desa dan Kecamatan tak sepenuhnya menghilangkan eksistensi
pemerintahan adat bius.Gejala dualisme pemerintahan lalu terjadi dalam masyarakat Batak. Pemerintahan
adat bius dan desa nasional eksis secara bersamaan dan kerap menimbulkan konflik kekuasaan.

Konflik yang paling sering terjadi berkenaan dengan penguasaan tanah. Bius sebagai federasi huta/horja
berpegang pada konsep golat, yaitu wilayah tanah yang dikuasai marga raja dengan batas-batas alami yang
ditentukan saat pembukaan huta di masa lalu. Setiap huta memiliki wilayah golat yang bersifat
definitif.Golat itu berpasangan dengan homban, sumber (mata) air utama untuk menyokong kehidupan,
khususnya untuk irigasi dan kebutuhan harian. Komunitas Batak aslinya adalah komunitas lembah yang
mengandalkan sawah beririgasi tradisional sebagai sumber nafkah utama. Mata air di hulu (hutan)
sedangkan sawah di hilir (lembah).

Ekonomi sawah lembah itu menjadikan wilayah golat lazimnya terentang mulaui dari lembah di hilir
sampai ke hutan tempat homban atau sumber air di hulunya. Homban itu menjadi tempat yang
dikeramatkan, diyakini di bawah kuasa dewi Boru Saniangnaga, dengan maksud agar tidak seorangpun
mengganggu atau merusaknya. Misalnya dilarang keras secara adat menebang pohon di sekitar homban.
Maksudnya jelas, untuk menjaga kelestarian sumber air.

Konflik kerap terjadi karena pemerintah, dulu Pemerintah Kolonial Belanda sekarang (diteruskan)
Pemerintah RI, mengklaim kawasan hutan sebagai tanah milik negara. Tanpa memperhatikan bahwa
kawasan hutan itu beririsan dengan golat suatu huta karena di dalamnya ada homban (sumber air) yang
secara hukum adat masuk ke dalam penguasaan suatu pemerintahan adat huta atau bahkan bius.
Jika homban dan sebagian golat yang menjadi tempatnya kemudian diklaim pihak lain sebagai hak
miliknya, maka eksistensi bangunan sosial Batak baik dalam satuan huta maupun bius menjadi terganggu.
Prinsip bahwa raja huta menjamin kemakmuran seluruh warganya, termasuk boru ni tano atau boru ni
huta, menjadi terganggu. Karena sebagian golat dan homban, yang menjadi sumber hidup, diambil dari
penguasaan adat huta.Ketidak-adilan dan kesulitan hidup akan mendera warga, sehingga harmoni yang
inheren dalam bangunan sosial huta menjadi terganggu. Ini bisa berujung pada polarisasi sosial, misalnya
antara pro-adat versus pro-pemerintah, sehingga bangunan sosial Batak asli terancam runtuh.

Itulah yang tampaknya terjadi pada kasus sengketa antara Bius Raja Paropat Sigapiton berhadapan dengan
pihak BPODT terkait areal HPL Resort The Kaldera di Sibisa, Tobasa.

Kasus Sengketa Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT

Bius Raja Paropat Sigapiton, terdiri dari huta-huta rintisan marga raja Sirait, Butarbutar, Manurung, dan
Nadapdap kini berdapan dengan BPODT yang mendapat HPL atas kawasan hutan yang akan dijadikan
Resort The Kaldera, salah satu dari 12 obyek wisata yang sedang dikembangkan di lingkar Danau
Toba.Masalahnya sebagian dari kawasan HPL itu, secara hukum adat pertanahan, termasuk ke dalam golat
Bius Raja Paropat Sigapiton. Di dalam golat itu tidak saja terdapat perladangan warga, tetapi juga homban
atau sumber air utama untuk irigasi sawah dan keperluan sehari-hari warga Sigapiton. Jika Resort The
Kaldera dibangun, tentu dengan proses land clearing, dikhawatirkan sumber air akan mati sehingga sawah
warga Sigapiton akan mengering dan air bersih men"Orang Batak dan Budaya Lembahnya" jadi langka.

Dalam artikel (Kompasiana.com, 25/9/2016), saya secara khusus sudah mengambarkan "budaya lembah"
Sigapiton. Dengan pendekatan ekologi budaya, saya sudah tunjukkan inti budaya orang Batak Sigapiton
itu adalah "sawah beririgasi tradisional". Artinya, sawah adalah basis eksistensi bangunan sosial komunitas
Sigapiton. Tidak ada sawah, maka eksistensi sosial-budaya Sigapiton terancam punah.

Jadi bisa dibayangkan, jika homban sumber irigasi itu mati karena Resort The Kaldera, maka sawah
Sigapiton akan hilang. Bangunan sosial masyarakat Batak Sigapiton juga akan terganggu karena sumber-
sumber penghidupan terganggu. Persaingan nafkah akan meningkat, mungkin berujung polarisasi pro-
BPODT dan anti-BPODT, sehingga bangunan sosial Batak Sigapiton runtuh.Masalahnya, sejauh ini, tidak
terlihat keseriusan pemerintah daerah mapun pusat (Kementerian KLH) untuk menyelesaikan masalah
sengketa tanah antara Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT. BPODT sendiri terkesan lepas tangan,
karena menurut direksinya badan ini telah mendapat HPL dari pemerintah secara clear and clean. Jika ada
masalah pertanahan seperti itu, BPODT minta warga Sigapiton mengurusnya ke pemerintah atau sekalian
ke pengadilan.
Sikap BPODT benar, tapi tidak bijak. Betul bahwa fokus badan ini adalah membangun obyek wisata kelas
dunia di The Kaldera. Tapi itu mestinya tidak semata bangunan fisik. Melainkan juga bangunan sosial
yang menjadi "jiwa" di suatu lokasi wisata. Terlebih Desa Sigapiton akan dikembangkan menjadi "desa
wisata". Pengembangan Desa Wisata Sigapiton pastilah akan terkendala oleh sengketa penguasaan tanah
ini. Warga Bius Raja Paropat Sigapiton sudah mengambil sikap tegas. Selesaaikan dulu masalah
pertanahan, baru bicara soal pembangunan pariwisata. Sebab absurd bicara mengenai pembangunan Desa
Wisata Sigapiton yang berekologi-budaya sawah, tapi homban sumber air irigasi sawah itu mati oleh
pembangunan Resort The Kaldera. Sigapiton tanpa "ekologi sawah" bukanlah Sigapiton.Warga Bius Raja
Paropat Sigapiton tidak anti-pembangunan pariwisata khususnya Resort The Kaldera. Mereka hanya minta
hak-hak pertanahan mereka diakui dan homban yang menjadi sumber utama air irigasi dan komsumsi
mereka lestari. Itu artinya mereka minta agar BPODT mengintegrasikan kepentingan ekologi-sawah
Sigapiton ke dalam masterplan pengembangan Resort The Kaldera.

Ada dua hal yang perlu diakomodir BPODT. Pertama, menjamin kelestarian homban dengan cara
menjadikan sumber air tersebut sebagai "enklaf hutan" di kawasan The Kaldera, seperti sedia kala. Dengan
demikian sumber air tetap terpelihara, walaupun mungkin tidak sebaik sebelumnya.Kedua, menjamin
nafkah warga Bius Raja Paropat Sigapiton yang memiliki lahan garapan (hak pakai tanah adat atau golat di
kawasan Resort The Kaldera. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengembangkan zona agroindustri
(hortikutura) modern di kawasan itu dan menyertakan warga di dalamnya.

Mungkin dua hal tersebut akan mengubah masterplan Resort The Kaldera. Tapi saya pikir itu bukanlah
tabu atau dosa. Sebab Resort The Kaldera dibangun bukan demi pariwisata melainkan demi kemaslahatan
manusia. Pertama tentulah manusia yang ada di sana, warga Bius Raja Paropat Sigapiton secara khusus,
warga desa lingkar The Kaldera secara umum. Lalu kesejahteraan para wisatawan yang berkunjung ke
sana. Terakhir baru kesejahteraan pengusaha dan bangsa.

Ada potensi kerusakan bangunan sosial Batak di Bius Raja Paropat Sigapiton dengan beroperasinya
BPODT membangun Resort The Kaldera. Hal itu berpangkal dari pengambil-alihan sebagaian golat dan
homban Bius Raja Paropat Sigapiton lewat HPL BPODT.Warga Sigapiton menuntut pengakuan atas golat
dan homban mereka kepada BPODT dan pemerintah. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka kehadiran
BPODT dan Resort The Kaldera akan kontraproduktif bagi ekologi dan ekonomi sawah lembah Sigapiton.
Jika basis ekologi dan ekonomi rusak, maka bangunan sosial Batak di Sigapiton juga terancam
rusak.Dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata
Danau Toba, saya berharap Pak Luhut Panjaitan sudi mengarahkan BPODT, agar dapat merevisi
masterplan The Kaldera. Dua hal yang saya usulkan untuk diintegrasikan adalah, pertama, enklaf hutan
untuk sumber air (homban) Sigapiton dan, kedua, pengembangan zona agrowisata (hortikultura) di
kawasan The Kaldera dengan mengintegrasikan warga Sigapiton di dalamnya.

Dengan langkah-langkah itu maka kehadiran BPODT dan pembangunan pariwisata di Sigapiton atau
umumnya di lingkar Danau Toba tidak menjadi faktor perusak bagi bangunan sosial Batak di sana. Sebab
jika bangunan sosial rusak, maka sebuah masyarakat rusak.
Solusi

Homestay sigapiton yang terletak di kawasan danau toba yang wilayahnya akan menjadi salah satu
dari kawasan yang akan digalakan pemerintah pusat untuk menjadi andalan pariwisata indonesia untuk
menarik wisatawan dunia sudah seharusnya memperhatikan berbagai aspek yang ada pada wilayah
tersebut diantaranya adalah aspek budaya,lingkungan,sosial,hak-hak warganya,dengan memperhatikan
diantaranya aspek budaya,adat istiadat,dengan begitu pemerintah yang akan membangun kawasan
tersebut,terkhususnya dalam pembangunan dan pengembangan homestay Jabu Na Ture sudah seharusnya
memperhatikan aspek budaya yang berkaitan dengan adat istiadat pada wilayah tersebut,seperti tidak
menghilangkan ciri khas rumah adat pada desain homestay Sigapiton tersebut,kemudian tidak
menghilangkan hak-hak sosial masyarakat pada wilayah tersebut,dengan begitu diharapkan homestay yang
akan dibangun dapat menjadi salah satu icon sigapiton dengan budayanya sendiri yang mampu
meningkatkan pariwisata di wilayah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai