Anda di halaman 1dari 13

ISBN: 978-979-8636-19-6

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR BERDASARKAN


KESETIMBANGAN PASOKAN-PERMINTAAN
DI CEKUNGAN BANDUNG

M. R. Djuwansah1, I. Narulita1 dan A. Suriadarma1

1
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
Kompleks LIPI, Gd 70, Jl Sangkuriang, Bandung 40135
Email: muha052@lipi.go.id

Abstrak
Ketersediaan Air di Cekungan Bandung telah dianalisis dengan menngunakan kesetimbangan
pasokan permintaan, untuk mengantisipasi penurunan produktivitas wilayah akibat penggunaan
berlebih sumberdaya air. Jumlah keterdapatan air diperkirakan berdasarkan curah hujan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor fisik lainnya yang mempengaruhi. Status pemakaian air diduga
berdasarkan demografi yang dikelompokkan untuk setiap kecamatan. Pemakaian air aktual di
Cekungan Bandung sudah melampaui tingkat ketersediaan yang aman bagi kondisi lingkungan
berkelanjutan. Air yang berkualitas baik disarankan untuk diprioritaskan bagi keperluan sangat
mendesak yaitu kebutuhan air minum dan domestik, artinya pemanfaatan air berkualitas baik untuk
keperluan yang kurang mendesak, a.l. industri harus dikurangi dan dapat diganti dengan hasil
olahan air baku yang kurang baik sehingga memenuhi syarat untuk penggunaan yang dimaksud.
Untuk memenuhi kebutuhan pasokan terus menerus sepanjang tahun, diperlukan penyimpanan air
pada musim hujan untuk dipakai pada musim kemarau. Sedangkan untuk pemerataan spasial,
diperlukan perluasan jaringan transmisi air bersih dari daerah yang surplus ke daerah yang defisit
Kata kunci: air, ketersediaan, produktivitas wilayah, prioritas, hirarki penggunaan, berkelanjutan.

Abstract
Water availability in Bandung Basin has been analyzed using supply- demands balance, in order
to anticipate regional productivity decrease resulted by water resources over-exploitation. The
amount of water availability was predicted based on rainfall by also considering other affecting
physical factors. The status of water use was predicted based on demography which is regrouped
further for each subdistrict. The actual level of water use in Bandung Basin has exceed the save
level of its availability for sustainable use. Good quality water is suggested to be prioritized for
urgent use only such as for potable water and domestic use, means that good quality water use for
less urgent purposes, such as industry, should be reduced and could be replaced by treated worse
raw water that meet the requirement of mentioned purposes. To fulfill water demands continuously
along year, rainy season water storage is required for dry season utilization. Whereas for more
evenly spatial distribution, addition of clean water networks is to be built to transmit cleanwater
from surplus to deficit area.
Keywords: water, availability, regional productivity, priority, hierarchy of water use,
sustainability.

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 117
ISBN: 978-979-8636-19-6

PENDAHULUAN
Beberapa kawasan di Indonesia terutama di daerah berpenduduk padat, seperti daerah-
daerah urban di Pulau Jawa, telah mengalami krisis air (al.: Tempo, 2012). Fenomena ini ditandai
dengan adanya kekurangan sediaan air atau menurunnya kualitas air pada musim kemarau dan
dilanda banjir pada musim hujan. Permasalahaan ini akan semakin berat di masa mendatang karena
kecenderungan memperlihatkan jumlah penduduk yang terus bertambah disertai dengan
peningkatan aktivitas ekonominya.
Karena sifatnya yang berubah-ubah, jumlah dan kualitas sumberdaya air di suatu daerah
jarang diketahui dengan pasti. Padahal pada saat ini, populasi penduduk cenderung untuk
terkonsentrasi di sekitar kota-kota besar, yang disertai pula dengan perkembangan aktivitas
ekonomi yang lebih padat modal, padat teknologi dan boros sumberdaya. Perkembangan yang
tidak terkendali akan menyebabkan ketersediaan sumberdaya air tidak lagi dapat memenuhi
permintaan, sehingga produktivitas wilayah dan mayarakatnya akan terhenti. Untuk menjamin
kelangsungan produktivitas, daya dukung sumberdaya air di daerah-daerah strategis hendaknya
terinventarisasi dengan baik agar efisiensi serta keberlanjutan pasokan sumberdaya dapat
dipelihara. Untuk keperluan tersebut diatas maka maka pertama-tama jumlah serta fluktuasi
ketersediaan air di daerah tersebut harus diketahui. Kedua, jumlah kebutuhan serta pola konsumsi
aktual untuk setiap sektor pemakaian air perlu pula diketahui.
Tulisan ini menyajikan status ketersediaan air terhadap pemakaian aktual pada tahun 2010,
di daerah kasus Cekungan Bandung yang merupakan salah satu daerah terpadat di Indonesia.
Cekungan Bandung adalah Sub-DAS terhulu Citarum, mencakup area seluas 2145.48 km2, secara
administratif meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat serta Kota Bandung dan
Kota Cimahi. Pada tahun 2010, daerah ini dihuni oleh sekitar 6528116 penduduk yang tersebar
tidak merata. Daerah berpenduduk padat terdapat di pinggiran kota dengan kepadatan tertinggi
sebesar 24412 jiwa/km2 di Kecamatan Batununggal Kota Bandung, Sedang penduduk terjarang
sebesar 659 jiwa/km2 di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Tingkat pertumbuhan
penduduk antara tahun 2000 sd 2010 di daerah ini rata-rata 2,49 %/tahun. Aktifitas ekonomi daerah
pegunungan di pinggiran cekungan didominasi oleh pertanian, sedangkan dataran di bagian tengah
cekungan di dominasi oleh industri, perdagangan jasa dan sektor non konvensional lainnya.
Perubahan tutupan lahan dalam 10 tahun terakhir ini dicirikan oleh penambahan area pemukiman
dan lahan terbuka yang pesat, dan di lain fihak penyusutan areal hutan dan pesawahan.
Tujuan penelitian dan penulisan ini adalah untuk menggugah kesadaran semua fihak,
utamanya pemangku kepentingan, agar dapat dilakukan antisipasi sedini mungkin terhadap akibat
yang lebih buruk yang mungkin menimpa di masa datang.

METODOLOGI

1. Kuantifikasi keterdapatan air


Jumlah keterdapatan air diperkirakan berdasarkan fluktuasi curah hujan yang jatuh di tempat
tersebut dengan mempertimbangkan faktor-faktor alam setempat lain yang mempengaruhi sebaran
dan fluktuasinya, seperti bentuk wilayah, geologi, tanah dan tutupan serta penggunaan lahan,
menggunakan metoda yang telah dikembangkan di Puslit Geoteknologi LIPI semenjak tahun
2003. Hasil pendugaan dengan metoda tersebut telah divalidasi terhadap hasil pengukuran luah di

118 Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6

stasiun pengukur tinggi muka air Citarum Nanjung (Djuwansah, 2010). Jenis data yang
dipergunakan untuk pendugaan tersebut beserta asal (lokasi/instansi) perolehannya selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis data dan asal (lokasi/instansi) perolehannya

No. Jenis Data Asal Perolehan


1. Curah Hujan BMKG, Indonesia Power dan PT Perkebunan
Nusantara
2. Peta Topografi (Model Elevasi Bakosurtanal, Badan Survey Geologi
Digital)
3. Peta Tanah Pusat Penelitian Tanah
4. Peta Tutupan Lahan Penafsiran Citra Sateli Aster
5. Peta Geologi Badan Survey Geologi
6. Jumlah dan Penyebaran Biro Pusat Statistik (Kabupaten/Kota dalam Angka
Penduduk
7. Penyebaran dan Jenis Kawasan Biro Pusat Statistik (Kabupaten/Kota dalam Angka
Pertanian dan Industri

Data dihimpun dalam format basis data spasial (Sistem Informasi Geografis), yang di
integrasikan dengan model-model perhitungan untuk mengkuantifikasikan ketersediaan dan
pemakaian sumberdaya air. Pemilahan jumlah curah hujan menjadi komponen sumberdaya air (air
permukaan, airtanah dangkal dan dalam serta air evapotranspirasi) dihitung menggunakan tiga
metoda secara berurutan: CN/NRCS (McCuen, 1982), neraca kelembaban tanah dan perbedaan
konduktivitas hidraulik (Gambar 1). Jumlah curah setiap hujan dipilah menjadi air larian, infiltrasi
dan penguapan kembali dengan metoda CN/NRCS. Air infiltrasi dibagi lagi menjadi perkolasi dan
evapotranspirasi mengikuti prinsip mekanisme pengisian kelembaban tanah (Foth dan Turk, 1972)
yang ditentukan oleh kemampuan tanah untuk menahan (tegangan = pF) air. Jumlah air perkolasi
pada setiap hujan adalah jumlah air infiltrasi dikurangi jumlah air yang mengisi pori kapiler.
Selanjutnya pergerakan air di dalam tanah dan Batuan di tentukan oleh besarnya konduktivitas
hidraulik (k) setiap jenis tanah dan batuan.

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 119
ISBN: 978-979-8636-19-6

CITRA PETA
CITRA SATELIT PETA TANAH
SATELIT GEOLOGI

DATA
STASIUN DEM
CUACA PENGOLAHAN
CITRA

ISOHYET PETA
PETA PETA KELAS PETA KELAS
HARIAN KONDUKTIVITAS
PENGGUNAAN PETA
TEKSTUR PERMEABILITAS
RATA_RATA HIDRAULIK
LAHAN TEKSTUR
TANAH TANAH
SETIAP BULAN BATUAN
TANAH

MODEL
METODA
TEGANGAN
CN-NRCS PETA CN II
AIRTANAH
pF

PETA
PETA
ABSTRAKSI
INFILTRASI
AWAL

PETA PETA
TRANSPIRASI PERKOLASI PERBANDINGAN
k -TANAH DAN
k- BATUAN

PETA PETA AIRTANAH


PETA AIR LARIAN PETA AIRTANAH DALAM
EVAPOTRANSPIRASI DANGKAL

Gambar 1. Alur fikir pendugaan kuantitas bulanan secara spasial dengan pada basis data Faktor-faktor
Sumberdaya air

2. Pendugaan status (jumlah) pemakaian air


Status pemakaian air ditetapkan berdasarkan jumlah dan sebaran penduduk, data pertanian
berupa jenis komoditi dan luas arealnya, dan serta data pengambilan airtanah dalam untuk industri.
Data tersebut diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) serta Dinas Pertambangan di kantor
pemerintah Kabupaten dan Kota yang terletak di Cekungan Bandung
Data dikelompokkan dan dijumlah untuk setiap kecamatan. Besaran Kebutuhan Air per
kapita ditetapkan menurut standar UNESCO/WHO untuk daerah perkotaan negara berkembang
dengan jumlah rata-rata per kapita per hari sebanyak 100 l. Untuk besaran kebutuhan pertanian
digunakan luah air irigasi sejumlah 1 l/detik untuk setiap Ha sawah yang ditanami selama musim
tanam. Sedangkan kebutuhan industri diasumsikan sebagai jumlah total air tanah dalam yang
diambil. Jumlah pengambilan airtanah dalam ini dibandingkan terhadap potensi pengisian kembali
air tanah terduga yang terhitung pada program basis data faktor-faktor sumberdaya air.
3. Analisis Kesetimbangan Pasokan-Permintaan
Analisis kesetimbangan pasokan-permintaan dilakukan secara spasial dengan menghitung
selisih antara ketersediaan air dan kebutuhan (berdasarkan data kependudukan dan aktivitasnya)
untuk setiap kecamatan. Perhitungan dilakukan dengan dengan model twin pointers (Zongying,
2006; Zhang dkk., 2010). Pada model ini, pemanfaaan sumberdaya air (Cw) diukur dengan rumus:

120 Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6

Cw = Wn - qp(t)
Di mana:
Wn = Ketersediaan air untuk aktivitas manusia setelah dipakai untuk memenuhi kebutuhan
lingkungan. Di daerah beriklim basah, air untuk keperluan lingkungan rata-rata
mencapai 80% dari total keterdapatan air yang terdiri dari air permukaan, airtanah
dangkal dan airtanah dalam (Xu, dkk., 2010).
qp(t) = Konsumsi oleh manusia (dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, teknologi, sosial-budaya,
kepercayaan, dsb.) pada waktu atau tahun (t) tertentu.
Berdasarkan pola pemakaian yang umum dijumpai di Cekungan Bandung, kebutuhan
domestik di bandingkan terhadap kuantitas airtanah dangkal, irigasi/pertanian terhadap air
permukaan dan industri terhadap airtanah dalam.

HASIL PENELITIAN/DISKUSI
Hasil proses perhitungan pada basis data faktor-faktor sumberdaya air disajikan dalam
bentuk peta maupun diagram yang memuat kuantitas bulanan komponen-komponen sumberdaya
air di seluruh daerah studi ataupun untuk daerah pilihan tertentu pada tahun analisis. Untuk
keperluan penelitian ini, sebaran keterdapatan air di petakan kembali untuk setiap kecamatan.
Rekapitulasi kesetimbangan keterdapatan air pada tahun 2010 (tabel 2) terhadap total
pemakaian air di seluruh Cekungan Bandung disarikan pada gambar 2. Sedangkan neraca yang
lebih rinci untuk setiap jenis pemakaian (domestik, pertanian dan Industri) terhadap komponen-
komponen sumberdaya air (air permukaan, airtanah dangkal dan airtanah dalam) disarikan pada
gambar 3.
Mengacu kriteria ketersediaan air (Wn) di atas (Zongying, 2006), jumlah air untuk berbagai
penggunaan di daerah beriklim basah tidak melebihi 20 % dari total keterdapatan. Hasil pendugaan
pemakaian air di Cekungan Bandung memperlihatkan jumlah yang jauh melampaui batas tersebut.
Konsekwensi dari terlampauinya kriteria ini adalahnya rusaknya lingkungan perairan. Aliran
sungai citarum di sebelah hilir kawasan kota dan pemukiman nyatanya dicirikan dengan kualitas
yang buruk terutama pada musim kemarau, sehingga sulit untuk menjumpai biota akuatik hidup di
dalamnya. Dengan tingkat pemakaian aktual seperti di atas, maka analisa pasokan-permintaan
dilakukan terhadap total keterdapatan air.
Neraca antara keterdapatan air bulanan sebagai pasokan air dan pemakaian air bulanan untuk
berbagai penggunaan (Gambar 5) untuk keseluruhan daerah studi pada tahun 2010 memperlihatkan
total pemakaian setahun masih dibawah jumlah keterdapatan, tetapi pada musim kemarau terjadi
defisit air karena besarnya pemakaian domestik dan industri. Meskipun jumlah pemakaian sektor
industri relatif kecil, tetapi karena pada umumnya hanya mengambil sumber airtanah dalam yang
kualitasnya sangat baik, secara total menyebabkan jumlah pengambilan airtanah yang melebihi
kapasitas pengisian kembali (recharge) dan mengakibatkan penurunan muka airtanah.

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 121
122
Tabel 2. Jumlah Terduga Komponen Sumberdaya Air Bulanan untuk seluruh daerah Studi, tahun 2010, dalam juta m 3
ISBN: 978-979-8636-19-6

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012


ISBN: 978-979-8636-19-6

2010
300

250

200
juta m3

150 Keterdapatan Air Total

100 Pertanian, Domestik dan


Industri
50

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
bulan ke

Gambar 2. Rekapitulasi Keterdapatan (pasokan) dan penggunaan (permintaan) utama air di Cekungan
Bandung tahun 2010

Rekapitulasi keterdapatan dan pemakaian (Gambar 3) memperlihatkan bahwa meskipun


pada musim hujan (November- Februari) terjadi surplus yang cukup besar, tetapi pada musim
kemarau terjadi defisit yang juga cukup besar yang menandakan bahwa ketersediaan sumberdaya
air di Cekungan Bandung sudah berada pada tahap kritis.

2010
140

120

100
Air Larian
80
Juta m3

Air Tanah Dangkal

60 Air Tanah Dalam


Kebutuhan Domestik
40
Pengairan padi
20 Industri
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
bulan ke

Gambar 3. Jumlah bulanan keterdapatan komponen sumberdaya air dan jumlah pemakaian untuk beberapa
penggunaan utama

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 123
ISBN: 978-979-8636-19-6

Surplus Air pada musim hujan bervariasi antara 5 s/d 40 %. Angka ini terlalu kecil untuk
daerah beriklim tropis basah. Untuk penggunaan yang berkelanjutan, idealnya penggunaan air
tidak melampaui 20 % dari keterdapatannya. Kekurangan ini menyebabkan aliran Citarum di
sebelah hilir daerah pemukiman pada umumnya mengalirkan air yang tercemar berat oleh limbah
industri maupun domestik (Suganda dkk., 2002). Efek pengaliran terhadap pemulihan (sebagian)
kualitas air sungai umumnya baru dijumpai ketika aliran memasuki waduk saguling, yang
merupakan bagian terhilir Cekungan Bandung.
Di daerah padat penduduk seperti kawasan-kawasan pemukiman, industri atau niaga,
umumnya neraca pemakaian terhadap keterdapatan telah menunjukkan angka negatif. Untuk
memenuhi kebutuhan domestik, penduduk umumnya mengambil air dari sumur gali atau sumur
bor dangkal. Sumur dangkal ini diisi kembali oleh aliran bawah permukaan yang berasal dari air
infiltrasi, yang biasa keluar kembali sebagai mata-mata air untuk kemudian mengisi aliran sungai
sehingga tetap mengalir pada musim kemarau. Perbandingan jumlah pengisian aliran bawah
permukaan terhadap jumlah pemakaian domestik tahunan di Cekungan Bandung pada
2001(gambar 4) memperlihatkan defisit di kecamatan-kecamatan padat penduduk. Daerah surplus
hanya didapati di daerah pinggiran Sub DAS, terutama di daerah pegunungan yang berpenduduk
jarang dan merupakan daerah pertanian, hutan atau daerah yang belum terbangun.

Gambar 4. Neraca jumlah pengisian Airtanah Dangkal terhadap kebutuhan domestik tahunan di Cekungan
Bandung pada 2010

124 Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6

Untuk daerah perkotaan, sebagian kebutuhan air domestik dipenuhi oleh jaringan PDAM,
yang mengambil air baku di hulu anak-anak sungai (Cisangkuy, Cikapundung, Cimahi), mata-mata
air besar dan dari airtanah dalam. Tetapi jumlahnya relatif sedikit dibandingkan total penduduk
cekungan Bandung. Sebagai gambaran, Kabupaten Bandung pada tahun 2006 berpenduduk
sebanyak 3.172.804 jiwa yang membutuhkan air untuk keperluan domestik sebanyak 115.807.200
m3. Sedangkan PDAM Kabupaten Bandung pada tahun itu hanya memproduksi sebanyak
11.054.850 m3 air bersih, atau sekitar 10 persen dari yang dibutuhkan.

Gambar 5. Neraca jumlah keterdapatan total terhadap jumlah kebutuhan domestik tahunan di Cekungan
Bandung pada 2010

Sebaran defisit yang hampir sama dijumpai pula pada perbandingan jumlah pemakaian
domestik tahunan terhadap keterdapatan total (Gambar 5), yang menunjukkan besarnya kebutuhan
air untuk penggunaan domestik.
Jumlah kebutuhan air irigasi untuk mengairi sawah jauh lebih besar daripada air untuk
kebutuhan domestik. Sebaran kecamatan defisit air oleh penggunaan irigasi sawah hampir sama
dengan sebaran defisit oleh penggunaan domestik (Gambar 6). Tetapi karena waktu penanaman
padi selalu disesuaikan dengan waktu keberadaan air, yaitu pada musim hujan (Gambar 3), maka
penggunaan air untuk irigasi tidak begitu berpengaruh terhadap defisit air. Disamping itu, air
irigasi sawah adalah merupakan pula bagian dari air lingkungan sehingga pengaruh terhadap

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 125
ISBN: 978-979-8636-19-6

defisit air untuk penggunaan lainnya sebenarnya tidak ada, kecuali kerugian karena gagal panen
karena kekeringan.

Gambar 6. Neraca Pemakaian Domestik ditambah Irigasi terhadap keterdapatan air di Cekungan Bandung
pada tahun 2010

Jumlah kebutuhan industri lebih kecil daripada jumlah kebutuhan domestik. Industri
umumnya menggunakan airtanah dalam karena kualitasnya yang baik. Neraca antara jumlah
pengambilan airtanah (Data Dinas ESDM) dan potensi pengisian Lapisan Akifer untuk setiap
kecamatan (Gambar 7) memperlihatkan sebaran defisit yang sama dengan pola penyebaran
kawasan industri. Defisit pengambilan airtanah mengakibatkan turunnya muka airtanah dalam
karena kecepatan transmisi lateral airtanah dalam lebih rendah daripada transmisi vertikalnya.
Pemulihan alami penurunan muka airtanah dengan hanya mengandalkanan infiltrasi alami di hulu
akan sangat lama. Pemulihan bisa dipercepat dengan pengisian akifer secara buatan dengan
memasukkan air ke dalam akifer melalui lubang bor dalam.

126 Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6

Gambar 7. Neraca Pengambilan dan Potensi Pengisian Airtanah di Cekungan Bandung tahun 2010

Meskipun jumlah total pemakaian setahun tidak melebihi keterdapatannya, cekungan


Bandung telah mengalami krisis air, karena jumlah pemakaian di kawasan tersebut telah melewati
batas aman untuk keberlanjutan sumberdaya tersebut. Untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya
maka diperlukan prioritisasi penggunaan. Dalam menetapkan prioritas penggunaan air
WHO/SEARO (Reed, 2012), jumlah total pengunaan perlu dipisahkan terlebih dahulu (Gambar 8)
menjadi berbagai jenis keperluan yaitu: vital (minum, mencuci dan memasak makanan), mendesak
(MCK dan membersihkan rumah serta pakaian), kurang mendesak (Pertanian Peternakan dan
Produksi bahan makanan lainnya), serta tidak mendesak (mis: sanitasi perkotaan, pembangkit
energi, industri lainnya) dan pelengkap (estetika dan rekreasi). Keperluan domestik merupakan
keperluan yang sangat mendesak dan mendesak, sedangkan yang lainnya kurang atau tidak
mendesak. Untuk setiap jenis keperluan diperlukan jumlah dan kualitas air yang berbeda (Hoekstra
dkk., 2009), misalnya untuk minum dan memasak diperlukan kualitas yang memenuhi syarat-
syarat kesehatan, sedangkan untuk mencuci (bukan makanan) bisa dipakai air dengan kualitas
dibawahnya. Bahkan untuk mengairi tanaman bisa dipakai air limbah selama tidak berpotensi
meracuni tanaman dan bahaya bagi produk yang dihasilkannya.

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 127
ISBN: 978-979-8636-19-6

Gambar 8. Hirarki kebutuhan Air (Reed, 2012)

Di sisi lain, komponen sumberdaya air memiliki kualitas yang berbeda pula: kualitas terbaik
dimiliki oleh airtanah dalam, sedangkan airtanah dangkal dan air permukaan kualitasnya
bervariasi, tetapi semakin ke hilir semakin buruk karena pencemaran. Secara kuantitas,
ketersediaan airtanah hanya sedikit (< 5%) dibandingkan dengan air permukaan dan airtanah
dangkal yang jumlahnya hampir berimbang. Sedangkan pada variasi temporalnya, fluktuasi
airtanah relatif rendah dibandingkan dengan air permukaan yang jumlahnya menurun drastis
setelah beberapa hari tidak ada hujan.
Berdasarkan variasi kuantitas dan kualitas air, serta pertumbuhan jumlah penduduk di
kawasan ini, maka disarankan air yang berkualitas baik diprioritaskan untuk keperluan sangat
mendesak yaitu kebutuhan air minum dan domestik. Prioritisasi ini didasari oleh adanya konvensi
PBB melalui Dewan Air Dunia pada September 2010 yang mendeklarasikan Hak atas Air sebagai
bagian dari Hak Azasi Manusia, dimana setiap pemerintah wajib menyediakas akses kepada setiap
warga negaranya untuk mendapatkan air bersih bagi pemenuhan kebutuhan dasarnya. Untuk
daerah berpenduduk padat dengan sumberdaya air terbatas, maka prioritas pemakaian tentunya
akan dituntut untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup manuasia yaitu minum, memasak dan
kesehatan/sanitasi. Artinya, pemanfaatan air berkualitas baik untuk keperluan yang kurang
mendesak, a.l. industri, harus dikurangi. Keperluan ini dapat diganti dengan mengolah air baku
yang lebih melimpah tetapi berkualitas kurang baik, misalnya air permukaan, sehingga memenuhi
syarat untuk penggunaan yang dimaksud. Untuk memenuhi kebutuhan pasokan secara lebih
merata, maka diperlukan pemerataan temporal dengan menampung air yang jatuh pada musim
hujan untuk pemakaian pada musim kemarau. Sedangkan untuk pemerataan spasial, diperlukan
jaringan transmisi (sebaiknya bukan transportasi) untuk mengalirkan air, utamanya air bersih, dari
daerah yang surplus ke daerah yang defisit. Disamping itu, upaya 3R (reduce, reuse and Recycle)
dalam pemakaian air di cekungan Bandung perlu lebih digalakkan.

128 Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012
ISBN: 978-979-8636-19-6

PENUTUP
Berdasarkan kriteria yang diacu, pemakaian air aktual di Cekungan Bandung sudah melampaui
tingkat ketersediaan yang aman bagi kondisi lingkungan berkelanjutan. Air yang berkualitas baik
disarankan diprioritaskan untuk keperluan sangat mendesak yaitu kebutuhan air minum dan
domestik. Prioritisasi ini perlu disertai dengan upaya penyimpanan air musim hujan untuk dipakai
pada musim kemarau serta upaya pendistribusian dari daerah surplus ke daerah defisit untuk
mengimbangi kekurangan akibat adanya fluktuasi musiman maupun variasi sebaran ketersediaan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan untuk Prof. Dr. Wahyoe S. Hantoro, Dr. Sri Yudawati Cahyarini dan
Hari Rahyuwibowo ST yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini. Penelitian ini
dibiayai oleh Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP)
Kementrian Riset Dan Teknologi tahun Anggaran 2012.

DAFTAR PUSTAKA
----------------------------------. Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat serta Kota
Bandung dan Kota Cimahi, Dalam Angka. Badan Pusat Statisik 2001 -2010
Djuwansah M., 2010. Simulasi Ketersediaan Air Bulanan secara spasial berdasarkan basis data
faktor-faktor sumberdaya air: Kasus sub-DAS Hulu Citarum. Teknologi Indonesia Vol.33,
No.1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Foth H. D., and L.M. Turk, 1972. Fundamental of Soil Sciences: Energy concept of Soil water.
Willey International edition.
Hoekstra A.Y, A.K Chavagain, M.M. Aldaya, M.M. Mekkonen, 2009. Water Footprint Manual,
state of the art 2009. Water footprint network. Enschede, the Netherlands.
McCuen R. H., 1982. A Guide to Hydrologic Analyses using SCS methods. Prentice Hall Inc.
Englewood Cliffs, N.J. 07632
Reed B.J., 2012. Minimum Water quantity needs for domestic use. WHO Regional office for South
East Asia, New Delhi – India. http://www.whosea.org.
Suganda H, D. Setyorini, H. Kusnady, I. saripin dan U. Kurnia. 2002. Evaluasi Pencemaran
Limbah Industri Tekstil untuk kelestarian lahan sawah. Proc. Sem. Nas. Multifungsi dan
Konservasi Lahan pertanian. Balai Penelitian Tanah - Bogor
Tempo, 2012. Pulau Jawa Krisis Air. Koran Tempo ed. 3 Juli 2012. www.tempo.co.
Zongying, W.,2006. A Twin Pointers Model for Water Resources Carrying Capacity And
Challenge of water resources Managemant in China. Tsing Hua University.
Xu L., L. Zhihong and D. Jing, 2010. Study on Evaluation of Water Ressources Carrying Capacity.
Int.Conference on Biology And Chemictry IPBCEE vol.1 (2011) IACSIT Press Singapore.
Zhang Y., J. Xia and Z. Wang, 2010. Intergrated Water Resources Carrying capacity in Tongzhou
district, Beijing City. J. Ressources Ecology No. 1. Vol. 3.

Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI - 2012 129

Anda mungkin juga menyukai