Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kumn
Mycobacterium Leprae. Penyakii ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula
menyerang jaringan tubuh lainya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, kemanan, dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2007). Penyakit
kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas
kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.

Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu
10 tahun terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak mengalami
penurunan. Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemuan di seluruh Indoneia. Jumlah
penderita lepra di Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah
penderita lepra yang masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan,
dan Maluku. Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyanang kusta
terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menjadi daerah endemis penyakit kusta.
Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo,
Bondowoso, Probolinggo, Sampang, Sumenep, Bojenogoro, Bangkalan, Pamekasa,
Tuban, dan Lamongan.

Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adlaah dari golongan
ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani
secaracermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi
penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara.

1
Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta,
rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial
ekonomi penderita kusta.

Mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program


penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal pemberantasan, rehabilitas
medis, rehabilitas sosial ekonomi dan permasyarakatan dari bekas penderita kusta.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta
pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat
diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana konsep dan penanggulangan dari penyakit tropis kusta?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan penanggulangan penyakit kusta
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi kusta
2. Menjelaskan etiologi kusta
3. Menjelaskan patofisiologi kusta
4. Menjelaskan manifestasi klinis kusta
5. Menjelaskan klasifikasi kusta
6. Menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit
kusta
7. Menjelaskan Pengobatan Kusta
8. Menjelaskan Pemeriksaan Klinis kesta
9. Menjelaskan Reaksi Kusta
10. Menjelaskan Dampak Penyakit Kusta

2
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, etiologi, masalah
kesehatan, serta program dan kebijakan pemerintah dalam upaya
pemberantasan penyakit kusta.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan turut serta dalam
pemberantasan penyakit kusta

3
BAB II

KONSEP TEORI

2.1 Definisi Kusta

Menurut Jhuanda Adhi (2010) Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik
dan penyebabnya ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (NANDA, 2013).

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan
tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, Dit. Jen PPM, 2002).

2.2 Etiologi Kusta

Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) (Widoyono, 2011).

Dibandingkan M.tuberkulosis, basil tahan asam Mycobacterium leprae tidak


memproduksi eksotoksin dan enzim litik. Selain itu, kuman ini merupakan satu-
satunya Mycobacteria ini secara primer menyerang sistem saraf tepi dan terutama
pada tipe lepromatosa, secara sekunder dapat menyerang seluruh organ tubuh lan
seperti kulit, mukosa mulut, mukosa nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, tulang, dan testis. Reaksi imun penderita terhadap Mycobacterium leprae
berupa reaksi imun hormonal terutama pada lepra bentuk lepromatosa (Nurarif Amin
Huda, 2015).

4
Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering
atau tipe tuberkuloid, dan kusta betuk basah, disebut juga tipe lepromatosa. Bentuk
ketiga yaitu bentuk peralihan (borderline).

1. Kusta bentuk kering: tidak menular, kelainan kulit berupa bercak keputihan
seperti uang logam atau lebih besar, sering timbul di pipi, punggung, pantat,
paha, atau lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama
sekali.
2. Kusta bentuk basah: bentuk menular karena kumannya banyak terdapat
diselaput lendir hidung, kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak
kemerahan, kecil-kecil tersebar diseluruh badan, atau berupa penebalan kulit
yang luas sebagai infiltrasi yang tampak mengkilap dan berminyak, dapat
berupa benjolan merah sebesar biji jagung yang tersebar di badan, muka, dan
daun telinga. Disertai rontoknya alis mata, menebalnya daun telinga.
3. Kusta tipe peralihan: merupakan peralihan antara kedua tipe utama.
Pengobatan tipe ini dimasukkan kedalam jenis kusta basah (Kusuma Hardi,
2015).

2.3 Patofisiologi

Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh dapat melalui beberapa


cara, diantaranya melalui kulit yang tidak utuh, saluran nafas, atau saluran
pencernaan. Setelah masuk kedalam tubuh, kuman menuju ke tempat predileksinya,
yaitu sel Schwan pada saraf tepi. Di dalam sel inilah kuman berkembang baik. Sel
tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel Scahwan yang lain atau ke kulit.
Perkembangan penyakit kusta ini bergantung pada kerentanan seseorang respon tubuh
setelah masa tunas bergantung pada derajat system imunitas seluler (celluler
mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas eluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tipe tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah tipe lepromatosa
mycobacterium leprae berpredileksi di daerah yang relatif dingin, yaitu akral dengan
vaskularisasi yang sedikit (Rahariyani Loetfia, 2008).

5
Akibat dari kuman tersebut mengakibatkan adanya makula hipopigmentasi
atau anestesi pada kulit, kerusakan saraf perifer, hasil pemeriksaan laboratorium dari
kerokan kulit menunjukkan BTA positif (Widoyono, 2011). Mycobacterium leprae
menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi,
maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi: sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu
keadaan reaksi leprae. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan (Dirjen PPPL, 2007). Dampak yang
ditimbulkan dari penyakit kusta cukup parah, yaitu adanya deformitas/kecacatan yang
menyebabkan perubahan bentuk tubuh (Rahariyani Loetfi, 2008). Pada penyakit kusta
mengenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik. Masalah psikososial
yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibanding dengan masalah
medisnya sendiri (Emmy dkk, 2003).

6
Pathway

Mycobacterium leprae Resiko trauma Sensabilitas menurun

M. Tuberkoloid

Menyerang kulit dan Menyerang saraf tepi Neuritis


saraf tepi sensorik dan motorik

Macula, nodula, papula Ulkus Menyerang saraf ulnaris,


nervus popliteus, nervus,
aurikularis, nerus radialis
Kulit terlihat rusak Keganasan cancer
epidemoid
Kelumpuhan otot
Malu
Metastase
Kontraktur otot dan
sendi
Inefektif koping
individu
Gangguan aktifitas
Gangguan citra tubuh Amputasi

Hambatan mobilitas
fisik
Infasif bakteri
Gangguan rasa nyaman Perubahan aktifitas
nyeri

Resiko tinggi infeksi


Hambatan mobilitas fisik

7
Resiko tinggi cedera

(Nurarif dan Kusuma, 2015)

2.4 Manifestasi Klinis

Menurut WHO (1995) diagnosis kusta dapat ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardial berikut:

1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas


Lesi kulit dapat tunggal atau multiple, biasanya hipopigmentasi terapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi
umumnya berupa makiula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Krusakan
saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensiilitas kulit
dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka diaggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang
setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Tiga gejala utama (cardinal sign) kusta adalah:
a. Maka hipopigmentasi atau anastesi pada kulit.
b. Kerusakan saraf perifer.
c. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan kulit menunjukkan BTA
positif (Widoyono, 2011)

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari


tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemui cardinal sign kedua

8
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicerugai (suspek).

Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):

1. Tanda-tanda pada kulit


a. Bercak/ kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Kulit mengkilap
c. Bercak yang tidak gatal
d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
e. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas)
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh (Dirjen PP-PL, 2007)

2.5 Klasifikasi Kusta

Riddley dan jopling (1960), dalam buku ilmu penyakit kulit dan kelamin,
fakultas kedokteran UI, tahun 2001 memperkenalkan istilah determinan spectrum
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT: Tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin berubah

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT :Borderline tuberkuloid

BB :Mid borderline Bentuk yang stabil

BL :Borderline lepromatous

Li : Lepromatus indefinite

9
LL: Lepromatous polar, bentuk yang stabil

Tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, yang berarti campuran
antara tuberculoid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosannya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, yang dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun kearah
LL (Rahayani Loetfia, 2008).

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler dan untuk
membedakan pengobatan pada penderita kusta:

1) Multibasiler : Memiliki lesi kulit mati rasa lebih dari 5, lebih dari satu saraf
menebal yang disertai gangguan funsi serta hasil pemeriksaan laboratorium
basil tahan asam positif. Tipenya adanya BB,BL, dan LL.
2) Pausibasiler : Lesi kulit mati rasa kurang dari 5, satu saraf menebal yang
disertai gangguan fungsi dan hasil pemeriksaan laboratorium basil tahan asam
negative. Tipenya adalah TT, BT, dan Li.

Tabel 2.1. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta


menurut WHO

The Greek alphabet

Tanda utama PB MB

1. Lesi kulit (makula yang  1-5 lesi  >5 lesi


datar, papul yang  Hipopigmentasi/eritem
meninggi, infiltrat, plak a
eritem, nodus)  Distribusi tidak
simestris
2. Kerusakan saraf  Hilangnya sensasi  Hilangnya sensasi kurang
(menyebabkan hilangnya yang jelas jelas
sensasi/kelemahan otot  Hanya satu cabang  Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh saraf
saraf yang terkena)

10
Tabel 2.2. Klasifikasi PB dan MB menurut P2MPLP

The Greek alphabet

Kelainan kulit & PB MB


hasil pemeriksaan

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

b. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris


asimetris

c. konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas biasanya kurang jelas bila


ada, terjadi pada yang sudah lanjut

e. Kehilangan pada Kering dan kasar Kurang tegas biasanya tidak jelas jika
bercak ada, terjadi pada yaang sudah lanjut

f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi
kemampuan pada yang sudah lanjut
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2.Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadaang tidak ada

b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada


(hidung tersumbat,
perdarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri Central healing (penyembuhan - Punched out lesion (lesi bentuk
di tengah) seperti donat)
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi lambat

11
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit kusta

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak sulit untuk mengenalinya


sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor yaitu:

1) Penyebab
2) Sember penularan
3) Cara penularan
4) Keadaan sosial ekonomi
5) Hygiene dan sanitasi
6) Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
7) Daya tahan tubuh
(Dirjen PPPL, 2007)

2.7 Pengobatan Kusta

Sampai saat ini, penyakit kusta merupakan masalah yang serius dan
memerlukan perhatian dari semua pihak, baik individu, masyarakat, pelayanan
kesehatan, maupun dari pemerintah. Adapun tujuan utama program pemberantasan
kusta adalah menyembuhkan penderita kusta, terutama pada tipe yang menular
kepada orang lain untuk menurunkan insidensi penyakit. Jenis pengobatan yang
diberikan pada penderita kusta adalah sebagai berikut.

1) Tipe pausibasiler (PB) jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan di minum di depan petugas
b. DDS tablet 100 mg/hari di minum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. Setelah selesai, pasien
dinyatakan RFT (release from treatment {berhenti minum obat kusta}) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995), pasien tidak lagi dinyatakan

12
RFT, melainkan dengan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.

2) Tipe multibasiler (MB) jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan di minum di depan petugas
b. Klofazimin 300 mg/bulan di minum di depan petugas, dilanjutkan dengan
dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Menurut WHO (1998), pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT (Rahayani
Loetfia, 2008).

2.8 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis yang diteliti dan lengkap selain Anamnesa adalah sangat
penting dalam menegakkan diagnosa kusta, berikut pemeriksaan-pemeriksaannya:

1) Pemeriksaan kulit
2) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
3) Pemeriksaan pandang
Sedangkan pemeriksaan pandang antara lain:

a. Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa berhadapan dengan


petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi kiri, cuping telinga
kanan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan).
b. Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita
diminta meluruskan tangan ke depan dengan telapak tangan menghadap
kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap ke
atas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak
kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang

13
satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa
dada dan perut).
c. Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke
atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
d. Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan
dimulai lagi dari:
e. Bagian belakang telinga, bagian belakang leher, punggung, pantat, tungkai
bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak makula, bintil-
bintil (nodulus), jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit.
Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan-pelan dan periksa pada jarak
kira-kira ½ meter (Ditjen PPM & PL, 2001).

Untuk diagnostik secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga dilakukan


pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan, yaitu:

1) Pemeriksaan bakteriologis
2) Pemeriksaan histopatologis
3) Immunologis
(Dirjen PP-PL, 2007)

2.9 Reaksi Kusta

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi
antigen-antibodi (Humoral respons) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi ini
dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan pada saat pengobatan
maupun sesudah pengobatan. Namun, sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun
sesudah mulai pengobatan.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta misalnya:

14
1) Penderita dalam keadaan kondisi lemah
2) Kehamilan
3) Sesudah mendapat imunisasi
4) Malaria
5) Stress dan lain-lain (Ditjen PPM & PL, 2001)

Tabel 2.3 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe I

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

1. Lesi kulit Tambah aktif, menebal merah, Lesi membengkak sampai yang
teraba panas dan nyeri tekan. pecah, merah, teraba panas dan
Makula yang menebal dapat nyeri tekan. Ada lesi kulit baru,
sampai membentuk plaque. tangan dan kaki membengkak,
sendi-sendi sakit.

2. Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan Nyeri tekan dan atau gangguan
gangguan fungsi fungsi, misalnya kelemahan otot.

Tabel 2.4 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe II

Gejala Reaksi ringan Reaksi berat

(1) (2) (3)

1. Lesi kulit Nodul yang nyeri tekan Nodul nyeri tekan, ada yang
jumlah sedikit, biasanya sampai pecah, jumlah banyak,
hilang sendiri dalam 2-3 hari. berlangsung lama.

2. Keadaan umum Tidak ada demam atau ringan Demam ringan sampai berat
saja

3. Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan atau Ada nyeri tekan, gangguan
gangguan fungsi fungsi

4. Organ tubuh Tidak ada gangguan organ- Terjadi peradangan pada


organ tubuh
Mata = Iridocycilitis
Testis= Orchitis

15
Ginjal= Nephritis
Sendi= Artritis
Kelenjar limfa= Limphadentis
Gangguan pada tulang, hidung
dan tenggorokan

Sumber: Ditjen PPM & PL, 2001

2.10 Dampak Penyakit Kusta


Sampai saat ini, penyakit kusta merupakan masalah yang serius dan
memerlukan perhatian dari semua pihak, dan dampak yang ditimbulkan dari
penyakit kusta cukup parah yaitu adanya deformitas/kecacatan yang
menyebabkan perubahan bentuk tubuh. Hal ini yang mendasari konsep
perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi
ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit ketururnan, kutukan tuhan,
najis dan menyebabkan kecacatan (Rahariyani, 2008). Akibat anggapan yang
salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk
berobat. Penyangdang cacat kusta (PCK) sebagian besar masih memerlukan
perawatan lebih lanjut, yang berarti juga memerlukan biaya perawatan,
memiliki keterbatasan fisisk dalam memperoleh hak dan kesempatan,
masalah integrasi sosial, yang akhirnya mempengaruhi tingkat kualitas
hidup. Dampak nuruk tidak hanya pada penderita tetapi juga keluarganya.
(Dirjen PP-PL, 2007).

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses perawatan. Tahap ini sangat
penting dan menentukan dalam tahap-tahap selanjutnya. Data yang komprehensif dan
valid akan menemukan penetapan diagnosis keperawatan dengan tepat dan benar.
Serta selanjutnya akan berpengaruh dalam perencanaan keperawatan.

(Tarwoto & Wartonah, 2015)

I. Identitas Klien
Identitas klien dan identitas penanggung jawab klien ditulis lengkap
seperti nama, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan
alamat guna mempermudah dalam pelaksanaan intervensi
II. Keluhan Utama :
Keluhan Utama :
Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari-jari (Rahariyani, 2007).
III. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan
bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan
lainya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan gatal, nyeri,
panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2. Riwayat Kesehatan Lalu
Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya, M. leprae dapat masuk ke dalam tubuh.

17
Oleh karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau
penyakit lain yang pernah diderita.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika anggota
keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko timggi
tertular sangat mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggota
keluarga lain yang menderita atau memiliki keluhan yang sama,
baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.
IV. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi Manajemen Kesehatan

Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan


kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan
kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek
kesehatan.

2. Pola Nutrisi Metabolik


Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir,
kesulitan menlan, mual/muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah
penyembuhan kulit, dan makanan kesukaan.
3. Pola Eliminasi

Manajemen pola fungssieksresi, kandung kemih dan kulit,


kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi
(oliguria, dysuria, dll), penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan
miksi, karakteristik urine dan feses,pola input cairan, infeksi saluran
kemih, masalah bau badan, aspirasi berlebih, dll.

4. Pola Latihan Aktivitas dan Olahraga


Menggambarkan pola latihan, aktivitas, penggunaan waktu luang
dan rekresi.

18
5. Pola Kognitif Perseptual

Menjelaskan perserpsi sensori kognitif. Pola persepsi sensori


meliputi pengkajian fungsipengelihatan, pendengaran, perasaan,
pembau, dan kompensasinya terhadap tubuh. Sedangkan pola kognitif
didalamnya mengandung kemampuan daya ingat pasien terhdap
peristiwa yang telah lama terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan
orientasi pasien terhadap waktu, tempat, dan nama ( orang, dan atau
benda yang lain ).

6. Pola Istirahat dan Tidur

Menggambarkan pola tidur, istrahat dan persepsi tentang


energi. Jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur,
insomnia atau mimpi buruk.

7. Pola Konsep Diri dan Presepsi Diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi


terhadap kemampuan. Kemampuan konsep diri antara lain gambaran
diri, harga diri, peran, identitas, dan ide diri sendiri.

8. Pola Peran Hubungan

Menggambarkan dan mengetahui hubungan peran pasien


terhadap aggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal pasien.
Pekerjaan, tempat tinggal, tidak punya rumah, tingkah laku yang pasif,
agresif terhadap orang lain, masalah keuangan, dll.

9. Pola Produksi Seksual

Menggambarkan kepuasan aktual aau dirasakan dengan


seksualitas. Dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat haid,
pemeriksaan mamae sediri, riwayat penyakit, hubungan sex,
pemeriksaan genital.

19
10. Pola Koping Stress

Menggambarkan kemampuan untuk mengalami stress dan


penggunaan system pendukung. Penggunaan obat untuk menangani
stress, interaksi dengan orang terdekat, menangis, kontak mata,
metode koping yang biasa digunakan, efek penyakit terhadap tingkat
stress

11. Pola Keyakinan dan Nilai

Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai, keyakinan,


termasuk spiritual. Menerangkan sikap dan keyakinan pasien dalam
melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya.

V. Pemeriksaan Fisik
Seperti pada kasus yang lain, pemeriksaan fisik harus dilakukan
secara menyeluruh tidak hany terbatas pada lesi aja. Kelenjar regional juga
harus diperiksa karena pada penderita kusta dapat pula ditemukan adanya
pembesaran beberapa kelenjar limfe. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, dan pemeriksaan sederhana menggunakan
jarum, kapas, tabung reaksi (masing-masing dengan air panas dan
es),pensil tinta, dan sebagainya. Inspeksi dilakukan untuk menetapkan
ruam yang ada pada kulit. Biasanya, dapat ditemukan macula
hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan eritematosa dengan permukaan yang
kasar atau licin degan batas yang kurang jelas atau jelas, bergantung pada
tipe yang diderita. Pada tipe tuberkuloid, dapat ditemukan gangguansaraf
kulit yang disertai dengan penebalan serabut saraf, nyeri tekan akibat
peradangan atau reaksi fibrosis, anhidrasi, dan kerontokan rambut (sering
dijumpai pada rambut alis dan bulu mata). Pada kusta tipe lepromatus,
dijumpai hidung pelana dan wajah singa (lionin face). Selain itu, adapula
kelainan otot berupa atrofi disuse otot yang ditandai dengan kelumpuhan

20
otot-otot, diikuti kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow
hand, drop foot, dan drop hand. Kelainan pada tulang dapat berupa
osteomilitis dan resorbsi tulang yang mengakibatkan pemendekan dan
kerusakan tulang (ujung bengkok), terutama jari-jari tangan dan kaki. Pada
penderita kusta, dapat ditemukan kelainan mata akibat kelumpuhan m.
orbicularis oculi sehingga terjadi lagopthalamus atau mata tidak dapat di
pejamkan. Akibatnya, mata menjadi kering dan berlanjut pada keratitits,
ulkus kornea, iritis, iridosoklitik, dan berakhir dengan kebutaan. Pada
testis dapat terjadi atrofi yang mengakibatkan ginekomastia. Kecacatan
yang sering diderita oleh pnderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepid an neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta, juga cedera akibat
anastesia. Pada palpasi, ditemukan penebalan serabut saraf, macula
anestetika pada tipe T, dan macula non-anestetika pada tipe L, serta
permukaan lesi yang kering dan kasar.

VI. Pemeriksaan Penunjang


a. Uji kulit, uji ini paling sering dilakukan dan caranya mudah
sehingga semua petugas kesehatan dapat melakukanya.
Terlebih dahulu penderita diberi tahu dan dijelaskan tentang
prosedur pengujian yang akan dilakukan secara jelas.
Penggunaan jarum untuk mengetahui rasa nyeri dilakukan
dengan meminta klien menyebutkan tempat mana yang lebih
sakit dan lebih terasa. Kita dapat pula menggunakan kapas
atau bulu ayam untuk mengetahui sansasi raba. Jika masih
belum jelas, kita lakukan pengujian terhadap sensasi suhu,
taitu panas dan dingin, dengan menggunakan 2 tabung reaksi
yang disentuhkan secara bergantian dengan catatan tidak
melihat pada waktu pengujian dilakuka dan menyebutkan rasa
apa yang dirasakan.

21
b. Uji keringat, pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis
karena rusaknya kelenjar keringat. Uji ini dilakukan dengan
craa menggores lesi dengan pensil tinta mulai dari beberapa
sm di luar lesi melewati permukaan lesi dan keluar batas lesi.
Hasilnya, pada bagian luar lesi goresan pensil akan
mengembang bewarna ungu, sedangkan didaerah lesi tidak.
c. Uji lepromin, ini dilakukan untuk menentukan diagnosis dan
klasifikasi penyakit kusta tipe I,T dan BT uji lepromin positif.
Tipe BB, Bl, LL uji lepromin negative (Rahariyani, 2008).

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia
terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan terhadap
respon tersebut dari seorang individu, keluarga, kelompok, komunitas (Anna,
2018)
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien kusta adalah :
1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perasaan malu terhadap
penampakan diri dan persepsi diri tentang kebersihan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi.

3.3 Perencanaan Keperawatan

Diagnosa : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perasaan malu


terhadap penampakan diri dan persepsi diri tentang kebersihan.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam citra


tunuh meningkat

Kriteria hasil :

22
1) Mulai menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi
diri (cacat)
2) Mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang
akurat tanpa harga diri negatif

Intervensi :

1) Kaji pandangan terhadap dirinya.


Rasional : episode traumatic mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal.
2) Diskusikan persepsi pasien tentang diri dan hubungan dengan
perubahan dan bagaimana klien melihat dirinya dalam pola/peran
fungsi yang biasanya
Rasional : membantu mengartikan masalah sehubungan dengan pola
hidup sebelumnya dan membantu pemecahan masalah.
3) Dorong klien melakukan aktivitas sehari-hari
Rasional : meningkatkan kemandirian dan meningkatkan perasaan
harga diri rendah
4) Beri penguatan informssi tentang kecacatan
Rasional : memberikan kesempatan untuk menanyakan informasi dan
mulai menerima perubahan diri dan fungsi yang dapat membantu
menyembuhkan.

Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3x24 jam dapat mengurangi rasa


nyeri

Kriteria hasil :

1) Menyatakan secara verbal pengetahuan tentang cara alternatife untuk


meredakan nyeri
2) Tidak menunjukkan adanya nyeri meningkat

23
3) Nyeri teratasi

Intervensi :

1) Kaji nyeri, perhatikan P,Q,R,S,T

Rasional : mengetahui perkembngan hasil prosedur

2) Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman


Rasional : mengurangi penekanan dan mencegah otot-otot tegang,
serta membantu menurunkan rasa tidak nyaman
3) Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
Rasional : suasana yang tenang dan nyaman dapat menurunkan
stimulus nyeri
4) Ajarkan teknik relaksasi dan dektraksi
Rasional : dapat mengalihkan perhatian sebagai upaya menurunkan
nyeri
5) Berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
Rasional :obat analgesic untuk mengurangi nyeri.

Diagnosis : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan


proses inflamasi.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan


integritas kulit membaik

Kriteria hasil :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan


2) Tidak ada lepuh atau maserasi pada kulit
3) Eritema kulit da eritema di sekitar luka minimal

Intervensi :

24
1) Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi
Rasional : untuk mengetahui tingkat kerusakan integritas kulit
2) Monitor tanda-tanda vital dan suhu tubuh pasien
Rasional : untuk memonitor keadaan dan perubahan status kesehatan
pasien
3) Lakukan perawatan luka khusus sesuai dengan jadwal
Rasional : mencegah keparahan dan memperbaiki jaringan kulit yang
rusak
4) Berkolaborasi dengan tim medis pemberian antibiotic
Rasional : mempercepat proses penyembuhan luka

3.4 Implementasi

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik dan menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Fase
implementasi ini dimulai ketika perawat menempatkan intervensi tertentu ke dalam
tindakan mengumpulkan umpan balik mengenai efeknya. Umpan balik kembali
muncul dalam bentuk observasi dan komunikasi, serta member data untuk
mengevaluasi hasil intervensi keperawatan. Selama tahap implementasi, keamanan
dan kenyamanan psikolog pasien yang berkenaan langsung dengan asuhan traumatic
tetap harus diperhatikan (Evania, 2013).

3.5 Evaluasi

Berada di tahap terakhir proses keperawatan, tetapi sejatinya, evaluasi


berlangsung terus menerus tanpa henti dari awal sampai akhir. Tahap evaluasi
merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan berkesinambungan dengan

25
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainya. Evaluasi dalam keperawatan
merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, serta
untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan (Evania, 2013).

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tumbuh lainya. Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic biasanya berkelompok da nada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Penyakit
kusta diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe basiler (PB), dan mulai basiler (MB).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari
beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan faktor
daya tahan tubuh. Yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/ mati rasa
yang jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang atau mati rasa dan
kelemahan otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam didalam
kultur jaringan kulit (BTA Positif).

4.2 Saran

Memaksimalkan peran untuk membantu upaya pemberantasan penyakit kusta


dan makalah ini dapat di gunakan sebagai informasi tentang masalah kusta.

27
BAB V
SKENARIO

PEMERIKSAAN FISIK AWAL UNTUK MENCEGAH KOMPLIKASI


KUSTA

Pada hari selasa 28 Januari 2020 pukul 19:56 WIB di Ruang Asoka RSUD Dr
R. Koesma Tuban, datanglah seorang pasien yang bernama Ny. U berumur 49 tahun
yang beralamat di Merakurak Tuban bekerja sebagai petani. Perawat datang untuk
melihat keadaan klien. Ny. U mengatakan mengalami luka pada bagian telapak kaki
sebelah kiri berbentuk lubang, kulit dipinggir lubang tersebut kering seperti kapal.
Pasien mengatakan lukanya mengeluarkan nanah. Luka terjadi akibat adanya
benjolan yang pecah. Luka tesebut hanya dirawat secara mandiri di rumah dengan
cara ditutup saja menggunakan kain. Pasien sering kontrol ke Puskesmas untuk
mendapat rawat luka. Saat kontrol terakhir di puskesmas pasien dianjurkan untuk
rujuk ke RSUD Dr R. Koesma Tuban untuk mendapat perawatan yang maksimal.
Dan pada tanggal 28 Januari 2020 pasien dibawa ke Poli Dalam, dan setelah itu
pasien dianjurkan untuk rawat inap di Ruang Asoka.

Perawat melakukan pengkajian meliputi:

1. Biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,


dan riwayat penyakit keluarga
2. Melakukan pengkajian 11 pola fungsi kesehatan
3. Melakukan pemeriksaan fisik yang terdiri dari:
a. Pemeriksaan pandang
1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa berhadapan dengan
petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi kiri,
cuping telinga kanan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian

28
depan). Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahu fungsi
syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2) Pundak kana, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta untuk meluruskan tangan kedepn dengan telapak
tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam,
ketiak, dada dan perut ke pundak kuru, lengan kuru dan seterusna
(putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya
untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan baguan luar dari atas ke bawah, baguian dalam dari
bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke
atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputas sehingga membelakangi petugas dan
pemerikasaan dimulai lagi dari:
5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher, punggung, pantat
tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak
(macula), bintil-bintil (modulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan
setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan-
pelan dan periksa pada jarak kira-kira 1⁄2 meter.

b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit


 Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa
raba. Periksalag dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara
tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai.
 Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan.
 Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan
kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan
menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau,ini
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka

29
ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup
sepotong kain/ karton
 Kelainan–kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahu ada tidaknya
anaesthesi

c. Pemeriksaan rasa raba syaraf tepi


 Pemeriksaan syaraf: raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut
n.auricularis magnis, n.ularis, n.radialis, n.medianus, n.proneus,
dan n.tibialis posterior.
 Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau
tidak akan menebal atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka
penderita apakah ia kesakita atau tidak pada waktu syaraf diraba.

d. Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriterua penyakit kusta maka cacatlah


kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai tanda-
tanda, jumlahnya, besarnya, dan letaknya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amin & Hardi. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction

Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit


Kusta. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta

Rahariyani, Loetifia Dwi. (2008). Asuhan Keoerawtan Klien Gangguan Sistem


Integumen. Jakarta: EGC.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penulurana, Pencegahan &


Pemberantasannya Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga

31

Anda mungkin juga menyukai