BAB12345
BAB12345
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kumn
Mycobacterium Leprae. Penyakii ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula
menyerang jaringan tubuh lainya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, kemanan, dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2007). Penyakit
kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas
kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.
Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu
10 tahun terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak mengalami
penurunan. Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemuan di seluruh Indoneia. Jumlah
penderita lepra di Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah
penderita lepra yang masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan,
dan Maluku. Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyanang kusta
terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menjadi daerah endemis penyakit kusta.
Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo,
Bondowoso, Probolinggo, Sampang, Sumenep, Bojenogoro, Bangkalan, Pamekasa,
Tuban, dan Lamongan.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adlaah dari golongan
ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani
secaracermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi
penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara.
1
Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta,
rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial
ekonomi penderita kusta.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan penanggulangan penyakit kusta
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi kusta
2. Menjelaskan etiologi kusta
3. Menjelaskan patofisiologi kusta
4. Menjelaskan manifestasi klinis kusta
5. Menjelaskan klasifikasi kusta
6. Menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit
kusta
7. Menjelaskan Pengobatan Kusta
8. Menjelaskan Pemeriksaan Klinis kesta
9. Menjelaskan Reaksi Kusta
10. Menjelaskan Dampak Penyakit Kusta
2
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, etiologi, masalah
kesehatan, serta program dan kebijakan pemerintah dalam upaya
pemberantasan penyakit kusta.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan turut serta dalam
pemberantasan penyakit kusta
3
BAB II
KONSEP TEORI
Menurut Jhuanda Adhi (2010) Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik
dan penyebabnya ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (NANDA, 2013).
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan
tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, Dit. Jen PPM, 2002).
4
Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering
atau tipe tuberkuloid, dan kusta betuk basah, disebut juga tipe lepromatosa. Bentuk
ketiga yaitu bentuk peralihan (borderline).
1. Kusta bentuk kering: tidak menular, kelainan kulit berupa bercak keputihan
seperti uang logam atau lebih besar, sering timbul di pipi, punggung, pantat,
paha, atau lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama
sekali.
2. Kusta bentuk basah: bentuk menular karena kumannya banyak terdapat
diselaput lendir hidung, kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak
kemerahan, kecil-kecil tersebar diseluruh badan, atau berupa penebalan kulit
yang luas sebagai infiltrasi yang tampak mengkilap dan berminyak, dapat
berupa benjolan merah sebesar biji jagung yang tersebar di badan, muka, dan
daun telinga. Disertai rontoknya alis mata, menebalnya daun telinga.
3. Kusta tipe peralihan: merupakan peralihan antara kedua tipe utama.
Pengobatan tipe ini dimasukkan kedalam jenis kusta basah (Kusuma Hardi,
2015).
2.3 Patofisiologi
5
Akibat dari kuman tersebut mengakibatkan adanya makula hipopigmentasi
atau anestesi pada kulit, kerusakan saraf perifer, hasil pemeriksaan laboratorium dari
kerokan kulit menunjukkan BTA positif (Widoyono, 2011). Mycobacterium leprae
menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi,
maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi: sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu
keadaan reaksi leprae. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan (Dirjen PPPL, 2007). Dampak yang
ditimbulkan dari penyakit kusta cukup parah, yaitu adanya deformitas/kecacatan yang
menyebabkan perubahan bentuk tubuh (Rahariyani Loetfi, 2008). Pada penyakit kusta
mengenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik. Masalah psikososial
yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibanding dengan masalah
medisnya sendiri (Emmy dkk, 2003).
6
Pathway
M. Tuberkoloid
Hambatan mobilitas
fisik
Infasif bakteri
Gangguan rasa nyaman Perubahan aktifitas
nyeri
7
Resiko tinggi cedera
Menurut WHO (1995) diagnosis kusta dapat ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardial berikut:
8
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicerugai (suspek).
Riddley dan jopling (1960), dalam buku ilmu penyakit kulit dan kelamin,
fakultas kedokteran UI, tahun 2001 memperkenalkan istilah determinan spectrum
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT: Tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin berubah
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT :Borderline tuberkuloid
BL :Borderline lepromatous
Li : Lepromatus indefinite
9
LL: Lepromatous polar, bentuk yang stabil
Tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, yang berarti campuran
antara tuberculoid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosannya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, yang dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun kearah
LL (Rahayani Loetfia, 2008).
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler dan untuk
membedakan pengobatan pada penderita kusta:
1) Multibasiler : Memiliki lesi kulit mati rasa lebih dari 5, lebih dari satu saraf
menebal yang disertai gangguan funsi serta hasil pemeriksaan laboratorium
basil tahan asam positif. Tipenya adanya BB,BL, dan LL.
2) Pausibasiler : Lesi kulit mati rasa kurang dari 5, satu saraf menebal yang
disertai gangguan fungsi dan hasil pemeriksaan laboratorium basil tahan asam
negative. Tipenya adalah TT, BT, dan Li.
Tanda utama PB MB
10
Tabel 2.2. Klasifikasi PB dan MB menurut P2MPLP
e. Kehilangan pada Kering dan kasar Kurang tegas biasanya tidak jelas jika
bercak ada, terjadi pada yaang sudah lanjut
f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi
kemampuan pada yang sudah lanjut
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2.Infiltrat
11
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit kusta
1) Penyebab
2) Sember penularan
3) Cara penularan
4) Keadaan sosial ekonomi
5) Hygiene dan sanitasi
6) Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
7) Daya tahan tubuh
(Dirjen PPPL, 2007)
Sampai saat ini, penyakit kusta merupakan masalah yang serius dan
memerlukan perhatian dari semua pihak, baik individu, masyarakat, pelayanan
kesehatan, maupun dari pemerintah. Adapun tujuan utama program pemberantasan
kusta adalah menyembuhkan penderita kusta, terutama pada tipe yang menular
kepada orang lain untuk menurunkan insidensi penyakit. Jenis pengobatan yang
diberikan pada penderita kusta adalah sebagai berikut.
1) Tipe pausibasiler (PB) jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan di minum di depan petugas
b. DDS tablet 100 mg/hari di minum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. Setelah selesai, pasien
dinyatakan RFT (release from treatment {berhenti minum obat kusta}) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995), pasien tidak lagi dinyatakan
12
RFT, melainkan dengan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.
2) Tipe multibasiler (MB) jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan di minum di depan petugas
b. Klofazimin 300 mg/bulan di minum di depan petugas, dilanjutkan dengan
dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Menurut WHO (1998), pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT (Rahayani
Loetfia, 2008).
Pemeriksaan klinis yang diteliti dan lengkap selain Anamnesa adalah sangat
penting dalam menegakkan diagnosa kusta, berikut pemeriksaan-pemeriksaannya:
1) Pemeriksaan kulit
2) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
3) Pemeriksaan pandang
Sedangkan pemeriksaan pandang antara lain:
13
satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa
dada dan perut).
c. Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke
atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
d. Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan
dimulai lagi dari:
e. Bagian belakang telinga, bagian belakang leher, punggung, pantat, tungkai
bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak makula, bintil-
bintil (nodulus), jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit.
Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan-pelan dan periksa pada jarak
kira-kira ½ meter (Ditjen PPM & PL, 2001).
1) Pemeriksaan bakteriologis
2) Pemeriksaan histopatologis
3) Immunologis
(Dirjen PP-PL, 2007)
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi
antigen-antibodi (Humoral respons) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi ini
dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan pada saat pengobatan
maupun sesudah pengobatan. Namun, sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun
sesudah mulai pengobatan.
14
1) Penderita dalam keadaan kondisi lemah
2) Kehamilan
3) Sesudah mendapat imunisasi
4) Malaria
5) Stress dan lain-lain (Ditjen PPM & PL, 2001)
Tabel 2.3 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe I
1. Lesi kulit Tambah aktif, menebal merah, Lesi membengkak sampai yang
teraba panas dan nyeri tekan. pecah, merah, teraba panas dan
Makula yang menebal dapat nyeri tekan. Ada lesi kulit baru,
sampai membentuk plaque. tangan dan kaki membengkak,
sendi-sendi sakit.
2. Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan Nyeri tekan dan atau gangguan
gangguan fungsi fungsi, misalnya kelemahan otot.
Tabel 2.4 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe II
1. Lesi kulit Nodul yang nyeri tekan Nodul nyeri tekan, ada yang
jumlah sedikit, biasanya sampai pecah, jumlah banyak,
hilang sendiri dalam 2-3 hari. berlangsung lama.
2. Keadaan umum Tidak ada demam atau ringan Demam ringan sampai berat
saja
3. Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan atau Ada nyeri tekan, gangguan
gangguan fungsi fungsi
15
Ginjal= Nephritis
Sendi= Artritis
Kelenjar limfa= Limphadentis
Gangguan pada tulang, hidung
dan tenggorokan
16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses perawatan. Tahap ini sangat
penting dan menentukan dalam tahap-tahap selanjutnya. Data yang komprehensif dan
valid akan menemukan penetapan diagnosis keperawatan dengan tepat dan benar.
Serta selanjutnya akan berpengaruh dalam perencanaan keperawatan.
I. Identitas Klien
Identitas klien dan identitas penanggung jawab klien ditulis lengkap
seperti nama, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan
alamat guna mempermudah dalam pelaksanaan intervensi
II. Keluhan Utama :
Keluhan Utama :
Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari-jari (Rahariyani, 2007).
III. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan
bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan
lainya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan gatal, nyeri,
panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2. Riwayat Kesehatan Lalu
Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya, M. leprae dapat masuk ke dalam tubuh.
17
Oleh karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau
penyakit lain yang pernah diderita.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika anggota
keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko timggi
tertular sangat mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggota
keluarga lain yang menderita atau memiliki keluhan yang sama,
baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.
IV. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi Manajemen Kesehatan
18
5. Pola Kognitif Perseptual
19
10. Pola Koping Stress
V. Pemeriksaan Fisik
Seperti pada kasus yang lain, pemeriksaan fisik harus dilakukan
secara menyeluruh tidak hany terbatas pada lesi aja. Kelenjar regional juga
harus diperiksa karena pada penderita kusta dapat pula ditemukan adanya
pembesaran beberapa kelenjar limfe. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, dan pemeriksaan sederhana menggunakan
jarum, kapas, tabung reaksi (masing-masing dengan air panas dan
es),pensil tinta, dan sebagainya. Inspeksi dilakukan untuk menetapkan
ruam yang ada pada kulit. Biasanya, dapat ditemukan macula
hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan eritematosa dengan permukaan yang
kasar atau licin degan batas yang kurang jelas atau jelas, bergantung pada
tipe yang diderita. Pada tipe tuberkuloid, dapat ditemukan gangguansaraf
kulit yang disertai dengan penebalan serabut saraf, nyeri tekan akibat
peradangan atau reaksi fibrosis, anhidrasi, dan kerontokan rambut (sering
dijumpai pada rambut alis dan bulu mata). Pada kusta tipe lepromatus,
dijumpai hidung pelana dan wajah singa (lionin face). Selain itu, adapula
kelainan otot berupa atrofi disuse otot yang ditandai dengan kelumpuhan
20
otot-otot, diikuti kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow
hand, drop foot, dan drop hand. Kelainan pada tulang dapat berupa
osteomilitis dan resorbsi tulang yang mengakibatkan pemendekan dan
kerusakan tulang (ujung bengkok), terutama jari-jari tangan dan kaki. Pada
penderita kusta, dapat ditemukan kelainan mata akibat kelumpuhan m.
orbicularis oculi sehingga terjadi lagopthalamus atau mata tidak dapat di
pejamkan. Akibatnya, mata menjadi kering dan berlanjut pada keratitits,
ulkus kornea, iritis, iridosoklitik, dan berakhir dengan kebutaan. Pada
testis dapat terjadi atrofi yang mengakibatkan ginekomastia. Kecacatan
yang sering diderita oleh pnderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepid an neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta, juga cedera akibat
anastesia. Pada palpasi, ditemukan penebalan serabut saraf, macula
anestetika pada tipe T, dan macula non-anestetika pada tipe L, serta
permukaan lesi yang kering dan kasar.
21
b. Uji keringat, pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis
karena rusaknya kelenjar keringat. Uji ini dilakukan dengan
craa menggores lesi dengan pensil tinta mulai dari beberapa
sm di luar lesi melewati permukaan lesi dan keluar batas lesi.
Hasilnya, pada bagian luar lesi goresan pensil akan
mengembang bewarna ungu, sedangkan didaerah lesi tidak.
c. Uji lepromin, ini dilakukan untuk menentukan diagnosis dan
klasifikasi penyakit kusta tipe I,T dan BT uji lepromin positif.
Tipe BB, Bl, LL uji lepromin negative (Rahariyani, 2008).
Kriteria hasil :
22
1) Mulai menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi
diri (cacat)
2) Mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang
akurat tanpa harga diri negatif
Intervensi :
Kriteria hasil :
23
3) Nyeri teratasi
Intervensi :
Kriteria hasil :
Intervensi :
24
1) Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi
Rasional : untuk mengetahui tingkat kerusakan integritas kulit
2) Monitor tanda-tanda vital dan suhu tubuh pasien
Rasional : untuk memonitor keadaan dan perubahan status kesehatan
pasien
3) Lakukan perawatan luka khusus sesuai dengan jadwal
Rasional : mencegah keparahan dan memperbaiki jaringan kulit yang
rusak
4) Berkolaborasi dengan tim medis pemberian antibiotic
Rasional : mempercepat proses penyembuhan luka
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
25
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainya. Evaluasi dalam keperawatan
merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, serta
untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan (Evania, 2013).
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tumbuh lainya. Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic biasanya berkelompok da nada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Penyakit
kusta diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe basiler (PB), dan mulai basiler (MB).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari
beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan faktor
daya tahan tubuh. Yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/ mati rasa
yang jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang atau mati rasa dan
kelemahan otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam didalam
kultur jaringan kulit (BTA Positif).
4.2 Saran
27
BAB V
SKENARIO
Pada hari selasa 28 Januari 2020 pukul 19:56 WIB di Ruang Asoka RSUD Dr
R. Koesma Tuban, datanglah seorang pasien yang bernama Ny. U berumur 49 tahun
yang beralamat di Merakurak Tuban bekerja sebagai petani. Perawat datang untuk
melihat keadaan klien. Ny. U mengatakan mengalami luka pada bagian telapak kaki
sebelah kiri berbentuk lubang, kulit dipinggir lubang tersebut kering seperti kapal.
Pasien mengatakan lukanya mengeluarkan nanah. Luka terjadi akibat adanya
benjolan yang pecah. Luka tesebut hanya dirawat secara mandiri di rumah dengan
cara ditutup saja menggunakan kain. Pasien sering kontrol ke Puskesmas untuk
mendapat rawat luka. Saat kontrol terakhir di puskesmas pasien dianjurkan untuk
rujuk ke RSUD Dr R. Koesma Tuban untuk mendapat perawatan yang maksimal.
Dan pada tanggal 28 Januari 2020 pasien dibawa ke Poli Dalam, dan setelah itu
pasien dianjurkan untuk rawat inap di Ruang Asoka.
28
depan). Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahu fungsi
syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2) Pundak kana, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta untuk meluruskan tangan kedepn dengan telapak
tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam,
ketiak, dada dan perut ke pundak kuru, lengan kuru dan seterusna
(putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya
untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan baguan luar dari atas ke bawah, baguian dalam dari
bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke
atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputas sehingga membelakangi petugas dan
pemerikasaan dimulai lagi dari:
5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher, punggung, pantat
tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak
(macula), bintil-bintil (modulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan
setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan-
pelan dan periksa pada jarak kira-kira 1⁄2 meter.
29
ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup
sepotong kain/ karton
Kelainan–kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahu ada tidaknya
anaesthesi
30
DAFTAR PUSTAKA
Amin & Hardi. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction
31