Isu perdagangan karbon sudah menjadi hal yang tak asing bagi sebagian
masyarakat, apalagi hal ini bersangkutan dengan isu lingkungan yang mendunia
yaitu global warming. Di dalam peraturan Presiden No.46 tahun 2008 tentang
Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai
“kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dan kegiatan mitigasi
perubahan iklim”. Terdapat istilah lain yaitu “pasar karbon”. Terdapat perbedaan
antara keduanya, dimana pasar (market) penyebab bagi perdagangan (DNPI). Dapat
dikatakan bahwa pasar karbon merupakan mekanisme atau tata cara dari
perdagangan karbon.
Seperti yang kita ketahui bahwa emisi karbon salahsatunya bisa berasal dari
pemakaian bahan bakar seperti yang digunakan oleh kendaraan-kendaraan
bermotor. Seperti yang dikutip oleh CIFOR (2003), negara atau industri yang
menggunakan bahan bakar minyak secara berlebihan menyebabkan kapasitas
pohon yang bisa menyerap karbon sangat terbatas baik sinegaranya sendiri maupun
di negara lain. Karena karbon dari satu negara bisa menyebar ke negara lain maka
akaibatnya dirasakan di negara lain juga.
Terdapat permintaan dan penawaran yang dilakukan dalam perdagangan
karbon. Dari CIFOR (2003), permintaannya adalah kapasitas suatu kawasan hutan
tanaman berkayu atau hamparan pepohonan yang mampu menyerap jatah karbon
yang dihasilkan oleh suatu negara atau industri. Oleh karenanya, Protokol Kyoto
menganjurkan kegiatan penanaman tanaman hutan atau penghutanan kembali
(reboisasi) untuk menyerap karbon. Perdagangan karbon bisa dalam bentuk upaya
pemberian kredit untuk kegiatan penghutanan atau reboisasi Kredit dapat diberikan
oleh pemerintah atau perusahaan yang menanam hutan.
Belum semua negara mau mau menerima kesepakatan Kyoto dengan alasan
kesepakatan ini merupakan hukuman bagi negara maju dan menuntut supaya negara
sedang berkembang jga hasrus membatasi gas-gas rumah kaca. Namun satu hal
yang sangat penting adalah bahwa perdagangan karbon sangat memerlukan
kesepakatan internasional (CIFOR, 2013).
Sumber: