Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah pencemaran lingkungan khususnya masalah pencemaran air di


kota besar di Indonesia, telah menunjukan gejala yang cukup serius, penyebab
dari pencemaran tidak hanya berasal dari buangan industri pabrik- pabrik dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang membuang air limbahnya tanpa pengolahan
terlebih dahulu ke sungai atau ke laut, tetapi juga yang tidak kalah memegang
andil baik secara sengaja atau tidak merupakan masyarakat itu sendiri, yakni
akibat air buangan rumah tangga yang jumlahnya makin hari makin besar sesuai
dengan perkembangan penduduk maupun perkembangan suatu kota (Asmadi dan
Suharno, 2012).
Bahan – bahan pencemar yang masuk ke perairan perlu diantisipasi
keberadaannya di alam terutama yang sulit diuraikan karena bahan – bahan
pencemar (limbah) tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap
lingkungan dengan cepat. Pencemaran perairan dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif terhadap kesehatan dan juga menimbulkan estetika yang kurang
baik terhadap lingkungan. Beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologis,
bahan organik seperti pestisida, deterjen serta bahan kimia berbahaya lainnya
seperti unsur logam berat yang banyak ditemukan dalam air yang dipergunakan
sehari-hari. Limbah detergen tersebut umumnya berasal dari limbah rumah tangga
dan limbah laundry.
Limbah laundry yang dihasilkan oleh deterjen mengandung bahan – bahan
aktif yang berbahaya bagi kesehatan mahluk hidup dan dapat merusak lingkungan.
Deterjen yang digunakan saat ini sebagian besar menggunakan LAS atau Linier
Alkyl Sulfonat yang merupakan anionik surfaktan yang berfungsi menurunkan
tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada
permukaan bahan. Selain itu di dalam deterjen juga mengandung kadar fosfat
yang tinggi. Fosfat ini berasal dari Sodium Tripolyphospate (STPP) yang
berfungsi sebagai builder yang merupakan unsur terpenting kedua setelah
surfaktan karena kemampuannya menonaktifkan mineral kesadahan dalam air
sehingga deterjen dapat bekerja secara optimal. STPP ini akan
terhidrolisismenjadi PO4 dan P2O7 yang selanjutnya juga terhidrolisis menjadi
PO4. Hasil degradasi dari detergen ini sangat berbahaya jika masuk ke badan air,
salah satunya akan menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi.) (Hera,
2003).
Efek paling nyata yang disebabkan oleh limbah deterjen adalah terjadinya
eutrofikasi (pesatnya pertumbuhan ganggang dan enceng gondok). Limbah
deterjen yang dibuang ke kolam ataupun rawa akan memicu ledakan pertumbuhan
ganggang dan enceng gondok sehingga dasar air tidak mampu ditembus oleh sinar
matahari, kadar oksigen berkurang secara drastis, kehidupan biota air mengalami
degradasi, dan unsur hara meningkat sangat pesat. Jika hal seperti ini tidak segera
diatasi, ekosistem akan terganggu dan berakibat merugikan manusia itu sendiri,
sebagai contoh saja lingkungan tempat pembuangan saluran air menjadi tidak
lancar. Efek dari penurunan ini perlu dicegah sedini mungkin agar tidak berlanjut .
Fosfat merupakan salah satu indikator pencemaran air. Air limbah yang
akan dibuang harus diolah terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan fosfat
sampai pada nilai tertentu (baku mutu efluen 2 mg/l). Untuk mengurangi kadar
fosfat yang terkandung dalam limbah laundry dapat digunakan suatu cara / metode
pengolahannya yaitu koagulasi dengan koagulan kapur dan juga fitoremediasi.
Kapur (lime) secara umum terdapat dalam dua bentuk yaitu Cao dan
Co(OH)2 yang bersifar basa dan disertai keluarnya panas yang tinggi. Menurut
Tarmiji, 1986, penggunaan dari kapur antara lain dibidang kesehatan lingkungan
untuk pengolahan air kotor, air limbah maupun industri lainnya. Pada pengolahan
air kotor, kapur dapat mengurangi kandungan bahan-bahan organik.
Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya
untuk dekontaminasi dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara
ex-situ menggunakan kolam buatan atau reactor maupun in-situ (langsung
dilapangan) pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).
Eceng gondok (Eichornia Crassipes) merupakan tumbuhan gulma di wilayah
perairan yang hidup terapung pada air yang dalam. Eceng gondok memiliki
kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma
yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok berkembangbiak dengan
sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan
cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari (Gunawan,
2007). Dipilihnya tumbuhan eceng gondok karena berdasarkan penelitian-
penelitian tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk mengolah limbah, baik itu
berupa logam berat, zat organik maupun anorganik. Kemampuan tumbuhan eceng
gondok menyisihkan fosfat yaitu dengan bantuan bakteri aktif yang terdapat
diakar.
Upaya untuk mengurangi kadar fosfat yang terkandung dalam limbah
deterjen agar limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan dampak yang merugikan
bagi lingkungan adalah dengan menggunakan koagulan kapur dan juga
fitoremediasi. Oleh karena itu dilakukan pengujian “Efisiensi Pengolahan Fosfat
dalam Limbah Deterjen dengan Koagulan Kapur dan Fitoremediasi”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh penambahan koagulan kapur terhadap perubahan
nilai COD, TSS, dan fosfat limbah deterjen pada proses koagulasi?
2. Bagaimana pengaruh waktu perlakuan terhadap perubahan kadar COD,
TSS, dan fosfat limbah deterjen baik secara koagulasi maupun
fitoremediasi ?
3. Bagaimana pengaruh jumlah rumpun eceng gondok terhadap
perubahan nilai COD, TSS dan fosfat limbah deterjen pada proses
fitoremediasi ?
4. Bagaimana Tingkat efisiensi dari proses pengolahan fosfat dalam
limbah deterjen secara koagulasi dengan koagulan kapur ataupun
secara fitoremediasi ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menentukan pengaruh penambahan koagulan kapur terhadap perubahan
kadar COD, TSS, dan fosfat limbah deterjen pada proses koagulasi.
2. Menentukan pengaruh waktu perlakuan terhadap perubahan kadar COD,
TSS, dan fosfat limbah deterjen.
3. Mengetahui pengaruh jumlah rumpun eceng gondok terhadap perubahan
kadar COD, TSS, dan fosfat limbah deterjen pada proses fitoremediasi.
4. Mengetahui perbandingan efisiensi pengolahan fosfat dalam limbah
deterjen dengan koagulan kapur dan fitoremediasi.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil percobaan ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang penurunan
kadar COD, TSS, dan fosfat dalam limbah deterjen dengan menggunakan
metode koagulan kapur dan fitoremediasi serta mengetahui metode mana yang
lebih efisien untuk mengurangi kandungan fosfat dalam limbah deterjen

Daftar Pustaka
Asmadi dan Suharno. 2012. Dasar – Dasar Teknologi Pengolahan Air
Limbah. Gosyen Publishing : Yogyakarta.
Hera. 2003. Sodium tripolyphosphate. Human & Environmental Risk
Assessment on Ingredients of European Household Cleaning Products, London.
Hosni, K., Moussa, S., B., Chachi, A., dan Amor, M., B., 2008, The Removal
of PO42- by Calcium Hidroxyde from Synthetic Wastewater; Optimisation of The
Operating Conditions, Desalination, 223, 337-343
Subroto, M.A. 1996. Fitoremediasi. Dalam: Prosiding Pelatihan dan
Lokakarya Peranan Bioremediasi Dalam Pengelolaan Lingkungan, Cibinong, 24-
25 Juni 1996.
Gunawan, P., 2007, Pengolahan Eceng gondok Sebagai Bahan Baku Kertas
Seni, Balai Litbang Kehutanan Sumatera. Godok Padang.

Anda mungkin juga menyukai