Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat dan Ciri Tanah Inceptisol

Inceptisol adalah tanah yang memiliki epipedon okrik dan albik seperti

tanah Entisol dan memiliki beberapa sifat penciri lain seperti horison kambik

tetapi belum memenuhi bagi ordo tanah lain (Hardjowigeno, 1993). Menurut Soil

Survey Staff (2010), konsep sentral Inceptisol adalah tanah-tanah dari daerah

dingin atau sangat panas, lembab, sub lembab dan yang mempunyai horison

kambik dan epipedon okrik. Informasi sifat tanah ini membantu dalam sistem

klasifikasi tanah baku, sehingga dapat memberikan pengetahuan awal tentang

pengelolaan tanah ini, terutama dalam ekosistem lahan kering.

Tanah Inceptisol yang terdapat di dataran rendah solum yang terbentuk

pada umumnya tebal sedangkan pada daerah-daerah berlereng curam solum yang

terbentuk tipis. Warna tanah Inceptisol beraneka ragam tergantung dari jenis

bahan induknya (Wambeke, 1992).

Sebagian besar Inceptisol menunjukkan kelas besar butir berliat dengan

kandungan liat cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian termasuk berlempung halus

dengan kandungan liat lebih rendah (18-35%). Reaksi tanah masam sampai agak

masam (4.6-5.5), sebagian khususnya pada Eutrudepts reaksi tanahmya lebiih

tinggi, agak masam sampai netral (5.6-6.8). Kandungan bahan organic sebagian

rendah sampai sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kandungann

lapisan atas selalu lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan rasio C/N

tergolong rendah (5-10) sampai sedang (10-18) (Puslittanak, 2000). Meskipun

penyebaran cukup luas dan potensial, tetapi bukan berarti Inceptisol dalam

pemanfaatannya tidak mengalami permasalahan di lapangan. Menurut

Universitas Sumatera Utara


Abdurachman et al. (2008), umumnya lahan kering seperti Inceptisol memiliki

tingkat kesuburan tanah yang rendah (NPK rendah).

Jumlah basa-basa dapat tukar di seluruh lapisan tanah

Inceptisol tergolong sedang sampai tinggi. Kompleks absorbsi didominasi ion Mg

dan Ca, dengan kandungan ion K relatif rendah. Kapasitas tukar kation (KTK)

sedang sampai tinggi di semua lapisan. Kejenuan basa (KB) rendah sampai tinggi

(Damanik,dkk., 2010).

Pupuk Urea [CO(NH2)2]

Pupuk Urea adalah pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N)

berkadar tinggi. Unsur Nitrogen merupakan zat hara yang sangat diperlukan

tanaman. Pupuk Urea berbentuk butir-butir kristal berwarna putih, dengan rumus

kimia CO(NH2)2, merupakan pupuk yang mudah larut dalam air dan sifatnya

sangat mudah menghisap air (higroskopis), karena itu sebaiknya disimpan di

tempat kering dan tertutup rapat. Pupuk Urea mengandung unsur hara N sebesar

46% dengan pengertian setiap 100 kg Urea mengandung 46 kg Nitrogen

(Damanik,dkk, 2010).

Urea dibuat secara komersil dari amoniak dan karbon dioksida melalui

senyawa intermedier ammonium karbonat. Reaksi sebagai berikut:

2NH3 +CO2 ↔ NH2COONH4 ↔ NH2CONH2+ H2O

Reaksi ini berlangsung pada suhu dan tekanan tinggi, serta menghasilkan banyak

panas. Reaksi berikut dari karbonat ke Urea hanya terjadi dalam suasana cairan

atau padat dan perubahan keseimbangan menurun karena adanya air. Larutan

yang keluar dari reaksi Urea sangat pekat (lebih tinggi dari 99.5% Urea) untuk

Universitas Sumatera Utara


membuatnya jadi butiran, larutan tersebut disemprot dengan prilling tower seperti

halnya pembuatan nitrat secara prilling (Lubis, dkk, 1985).

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa pakar

pupuk mengenai pupuk urea seperti berikut (Damanik,dkk, 2010) :

- Gaylord M Volk dari Universitas Florida mendapatkan bahwa perubahan

amida ke bentuk amonia membutuhkan waktu 1 - 3 hari sesudah pemupukan.

- Allison (1939) dalam Muhali (1980) mendapatkan bahwa pupuk urea

mengalami pencucian dari tanah selama 4 hari dari pemupukan, berarti bahwa

perubahan seluruh amida ke amonia membutuhkan waktu 4 hari

- Universitas Wisconsin (Amerika) mendapatkan bahwa senyawa N dari Urea

akan berubah menjadi bentuk nitrat dalam waktu lebih kurang 7 hari.

- Teucher dan Adler menyatakan bahwa perubahan dari urea ke bentuk amonium

karbonat lalu ke asam dan akhirnya ke bentuk nitrat membutuhkan waktu lebih

kurang 3 - 4 minggu.

Sifat urea yang lain yang tidak menguntungkan adalah urea bersifat mobil

dalam larutan tanah sehingga mudah mengalami pencucian., karena tidak dapat

terjerap oleh koloid tanah. Untuk dapat diserap tanaman urea harus mengalami

proses amonifikasi dan nitrifikasi terlebih dahulu. Cepat dan lambatnya perubahan

bentuk amide dari Urea ke bentuk senyawa N yang dapat diserap tanaman sangat

tergantung pada beberapa faktor antara lain populasi, aktifitas mikroorganisme,

kadar air dari tanah, temperatur tanah dan banyaknya pupuk Urea yang diberikan.

Proses perubahan tersebut terlihat dalam reaksi berikut :

CO(NH2)2 + H2O 2NH3 +H2CO3 hidrolisis enzimatik 2NH4+ +CO32-

2NH4+ + 3O2 Oksidasi enzimatik 2NO2- + 4H+ + E

Universitas Sumatera Utara


2NO2- + O2 Oksidasi enzimatik 2NO3- + E

Sebelum hidrolisis terjadi, Urea bersifat mobil seperti nitrat dan ada kemungkinan

tercuci kebawah zona perakaran. Kejadian ini dimungkinkan terutama jika curah

hujan tinggi dan struktur tanah yang kurang baik. (Hasibuan, 2008).

Pada tanah masam dan netral: kehilangan urea lebih besar dibanding

pupuk NH4+ , reaksi awal NH4+ bersifat asam. Hidrolisis Urea meningkatkan pH

sekitar butiran:

CO(NH2) 2 (urea) + H+ + 2H2O 2NH4+ +HCO3-

ini memerlukan H+ dan menaikkan pH, dapat mencapai > 7

mendorong reaksi : NH4+ + HCO3- NH3 + H2O + CO2

Pada tanah kapuran (calcareous soils), kehilangan Urea secara potensial tetap

tinggi. Pupuk NH4+ lebih mudah menguap dibanding dalam suasana asam, karena

bereaksi dengan karbonat, NH4+ + HCO3- , NH3 + H2O + CO2 , kehilangan

ammonium fosfat and sulfat lebih tinggi dibanding garam ammonium yang

terlarut seperti klorida dan nitrat (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Defisiensi nitrogen (N) pada tanaman lebih sering dijumpai daripada

unsur lainnya. Namun demikian, uji hara N sulit dilakukan dan kurang

berkembang dibandingkan uji P dan K. Indikator yang saat ini digunakan adalah

dengan mengukur N-NO3 dan N-NH4 yang tersisa dalam tanah. Sekitar 97-99% N

di dalam tanah berada dalam bentuk senyawa N-organik yang ketersediaannya

relatif lambat, karena tergantung pada tingkat dekomposisi mikroorganisme.

Kendala pengembangan uji N antara lain: (1) tingkat atau laju dekomposisi bahan

organik oleh mikroba sangat tergantung pada suhu, kelembapan, aerasi, jenis

bahan organik, dan pH; (2) bentuk anorganik dalam tanah merupakan hasil dari

Universitas Sumatera Utara


proses pencucian, fiksasi, denitrifikasi, dan lainnya. Kondisi tersebut mempersulit

pendugaan tentang kapan dan berapa jumlah N yang dapat tersedia (Dahnke and

Johnson, 1990).

Nitrogen Dalam Tanah

Nitrogen merupakan salah satu unsur hara makro bagi pertumbuhan

tanaman yang sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan seperti

daun, batang, dan akar (Hakim,1986). Nitrogen diserap oleh tanaman dengan

kuantitas terbanyak dibandingkan dengan unsur lain yang didapatkan dari tanah.

Sumber nitrogen di dalam tanah adalah dari fiksasi oleh mikroorganisme, air

irigasi dan hujan, absorpsi amoniak, perombakan bahan organik, dan pemupukan.

Nitrogen di dalam tanah mempunyai dua bentuk utama, yaitu nitrogen organik

dan nitrogen anorganik berupa amonium (NH4), amoniak (NH3), nitrit (NO2), dan

nitrat ( NO3) (Stevenson, 1982).

Mineralisasi merupakan proses konversi nitrogen bentuk organik menjadi

bentuk mineral. Amonifikasi adalah proses enzimatik yang mengubah senyawa

amino menjadi amonium dengan bantuan bakteri heterotrof. Kecenderungan NH4

terbentuk karena kehadiran ion-ion hidrogen dalam tanah, dan ikatan yang kuat

terbentuk antara amonia dan hidrogen dari penyatuan elektron (Foth, 1998).

Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

R-NH2 + H2O R-OH + NH3 + energi

NH3 + H+ NH4

Amonium yang terbentuk pada proses ini : (1) diubah menjadi N-NO3 melalui

nitrifikasi; (2) diserap oleh tanaman; (3) digunakan langsung oleh

mikroorganisme heterotrof dalam dekomposisi C-organik untuk proses

Universitas Sumatera Utara


selanjutnya; (4) fiksasi dalam kisi-kisi mineral liat; dan (5) diubah menjadi N2 dan

dilepaskan perlahan kembali ke atmosfer (Havlin et al., 1999).

Bila dalam tanah lebih banyak ion NH4+ dari pada K+ maka serapan K

berkurang karena mobilitasnya dihalangi ion NH4+. Oleh sebab itu, pupuk

amonium berlebihan dapat menyebabkan defisiensi kalium, khususnya pada tanah

masam miskin K (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Kondisi aerob akan menyebabkan nitrifikasi. Nitrifikasi akan mengubah

NH4 menjadi NO3 sehingga meningkatkan konsentrasi N-NO3 di dalam tanah.

Pengubahan bentuk NH4 menjadi NO3 dibantu oleh bakteri Nitrosomonas dan

Nitrobacter. Sebagian besar bakteri tanah merupakan kemoheterotrof, yang

bergantung pada bahan organik dan bersifat non-fotosintetik (Hanafiah, 2005).

Konsentrasi N-NO3 di dalam tanah sangat tidak stabil. Selama

berlangsungnya inkubasi konsentrasi N-NO3 selalu mengalami peningkatan dan

penurunan sehingga laju mineralisasinya tidak dapat ditentukan secara tepat.

Peningkatan konsentrasi N-NO3 disebabkan oleh tersedianya oksigen yang cukup

sehingga menyebabkan kondisi aerob. Kondisi aerob menyebabkan terjadinya

nitrifikasi menghasilkan nitrat dengan bahan baku amonium yang ada di dalam

tanah dan dibantu oleh ketersediaan air sebagai media bagi mikroorganisme untuk

proses tersebut sehingga konsentrasi N-NO3 meningkat (Noviardi, 2008).

Ketidak tersediaan N dari dalam tanah dapat melalui proses

pencucian/terlindi (leaching) NO3¯ , denitrifikasi NO3¯ menjadi N2, volatilisasi

NH4+ menjadi NH3, terfiksasi oleh mineralliat atau dikonsumsi oleh

mikroorganisme tanah. Bentuk NO3- lah yang selalu terlindi dan mudah larut,

Universitas Sumatera Utara


maka dikaji pergerakannya ke permukaan akar agar tidak hilang sehingga

merupakan suatu usaha ke arab efisiensi pemupukan (Mukhlis dan Fauzi, 2003).

Ancaman kehilangan hara N dari aplikasi pupuk sangat besar, sehingga

sekitar 50 - 90 % dari total hara N yang dibutuhkan oleh tanaman jagung

diaplikasikan dalam bentuk pupuk secara sidedress ketika tanaman jagung sudah

tumbuh tingginya mencapai 10 - 20 inci (Soemarno, 2011).

Kapur CaCO3

Kalsium karbonat diperoleh dari batu kapur (kalsit), merupakan mineral

primer. Kalsium karbonat mengandung lebih kurang 80 % Ca0. Dengan

menggiling batu kapur sampai kehalusan 80 mesh sampai 100 mesh batu kapur

sudah dapat dipakai sebagai bahan kapur untuk pengapuran pada tanah-tanah

masam (Damanik,dkk, 2010).

Suasana masam dalam tanah dapat ditanggulangi dengan pemberian

kapur. Mekanisme reaksi dari bahan kapur pada komplek tanah masam dapat

dilukiskan sebagai berikut :

H+ + CaCO3 Ca++ + CO2 + H2O

H+ koloid Ca++

H+ + CaO Ca++ + H2O

H+ koloid Ca++

H+ + Ca(OH)2 Ca++ + 2 H2O

H+ koloid Ca++

(Buckman and Brady, 1982)

Pernberian kapur kalsit (CaCO,) dapat meningkatkan pertumbuhan semai

sarnpai dosis A1 (1.5 gram/polybag) dengan peningkatan perturnbuhan tinggi

sebesar 18.18% dan pertumbuhan diameter sebesar 8.57% dibanding kontrol.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian cenderung menurun pada dosis 3 dan 4.5 gram/polybag dengan

penurunan tinggi sebesar 9.16% dan 20.30% dan penurunan diameter sebesar

13.9% dan 20.68%. Hal ini disebabkan karena pada saat pH mendekati netral,

tanaman dapat leluasa tumbuh dengan baik tanpa mendapat gangguan akibat

unsur-unsur toksik yang tirnbul akibat kemasaman tanah (Nugroho, 2000).

Dengan pemberian kapur dapat meningkatkan pH tanah dan menciptakan

kondisi lingkungan tanah yang baik untuk kehidupan mikroorganisme didalam

tanah sehingga akan mempercepat proses mineralisasi N dari sumber pupuk N dan

kadar N-NH4 yang dihasilkanpun meningkat (Ibrahim dan Kasno, 2008).

Mineralisasi merupakan proses konversi nitrogen bentuk organik menjadi bentuk

mineral. Menurut Soepardi (1996) ion-ion nitrat, nitrit, dan amonium jumlahnya

bergantung pada jumlah pupuk yang diberikan dan kecepatan dekomposisi bahan

tanah. Laju mineralisasi nitrogen bergantung pada suhu, rasio C/N, pH tanah, dan

susunan mineral lempung (Sanchez 1992).

Pada penelitian Sumarwoto (2002) dinyatakan bahwa pemberian kapur

yang tinggi ini berdampak negatif terhadap ketersediaan P terutama pada 2 Al-dd.

Kadar P turun dari 20,89 ppm (0 Al-dd), menjadi 16,44 ppm (1 Al-dd) dan 6,63

ppm (2 Al-dd). Pada Sanchez (1992) menyatakan bahwa kapur juga melepaskan Ca

yang selanjutnya membentuk ikatan dengan P sehingga peningkatan P dari Al-P

menjadi semakin rendah.

Namun dalam pemanfaatan kapur, kelebihan kalsium, seperti pada tanah

berkapur, dapat merangsang timbulnya kekurangan kalium dan unsur mikro,

seperti besi, boron, seng, tembaga dan mangan. Pemberian kapur yang berlebihan

pada tanah masam dapat menimbulkan masalah seperti tersebut di atas.

Universitas Sumatera Utara


Kelainan hara dapat timbul karena kelebihan kalsium, seperti terjadi pada tanah

berkadar kalsium karbonat tinggi, pengapuran yang berlebihan pada tanah masam

atau terjadinya akumulasi garam kalsium, baik melalui aliran kapiler, maupun

karena tidak adanya pencucian yang intensif (BPLP,1991).

Pada tanah masam, kelarutan kation-kation Fe, Al, Mn, Cu, Zn tinggi;

sedang pada tanah alkalin Ca dan Mg berada dalam jumlah banyak. Ion fosfor

sangat mudah bereaksi dengan kation-kation tersebut membentuk ikatan kompleks

yang mengendap dan sukar tersedia. Dengan besi, aluminium, dan mangan, ion P

membentuk mineral strengit, varasit, dan manganifosfat yaitu bentuk-bentuk

fiksasi fosfat utama pada tanah-tanah masam. Ikatan P dengan kalsium

membentuk mineral apatit, merupakan bentuk fiksasi P pada tanah alkalin atau

kalkareus. Hubungan pH dengan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman

ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar. Skema hubungan pH tanah terhadap penyerapan unnsur hara oleh


tanaman.

Universitas Sumatera Utara


Kelebihan Ca tidak secara langsung meracuni tanaman atau organisme lain, tanah

yang memiliki Ca tinggi dapat menghambat serapan hara yang lain, dapat juga

menyebabkan kekahatan K atau Mg (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Jagung dapat tumbuh di daratan rendah sampai dengan ketinggian 1800

m diatas permukaan laut, pada semua jenis tanah asalkan gembur, subur, aerasi

dan draenase yang baik. Tekstur yang paling baik untuk tanaman jagung adalah

lempung berdebu dengan tingkat kemasaman 5 – 7 kekeringan di bawah 8 %.

Tanaman jagung sangat efisien dalam penggunan energi matahari, membutuhkan

lebih banyak air pada massa pertumbuhan vegetatif (Kuswara, 1982).

Suhu udara ideal untuk perkecambahan benih jagung adalah 30oC-32oC

dengan kapsitas air tanah 25%-60% Selama pertumbuhan tanaman jagung

membututhkan suhu optimum 23oC-27oC. Curah hujan ideal untuk tanaman

jagung adalah antara 100-200mm/bulan. Curah hujan paling optimum adalah

sekitar 100mm-125mm/bulan dengan distribusi hujan merata. Unsur iklim penting

yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jagung adalah faktor

penyinaran matahari. Tanaman jagung membutuhkan penyinaran matahari penuh,

maka tempat penanamannya harus terbuka (Rukmana, 1997).

Menurut Margaretha, dkk. (2004), tanaman jagung untuk dapat tumbuh

dan berproduksi secara optimal memerlukan cukup hara utamanya N, P, dan K.

Jagung membutuhkan pupuk nitrogen terbanyak setelah padi. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa tanpa pemberian pupuk nitrogen, tanaman jagung

tidak akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Untuk mempertahankan

kesuburan tanah yang cukup dan berimbang, diperlukan pemberian pupuk.

Universitas Sumatera Utara


Kekurangan atau ketidaktepatan pemberian pupuk N sangat merugikan

bagi tanaman dan lingkungan. Secara umum pupuk N dapat meningkatkan

produksi jagung. Nitrogen diperlukan oleh tanaman jagung sepanjang

pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhannya akumulasi N dalam tanaman relatif

lambat dan setelah tanaman berumur 4 minggu akumulasi N berlangsung sangat

cepat. Pada saat pembungaan (bunga jantan muncul) tanaman jagung telah

mengabsorbsi N sebanyak 50% dari seluruh kebutuhannya. Oleh karena itu, untuk

memperoleh hasil jagung yang baik, unsur hara N dalam tanah harus cukup

tersedia pada fase pertumbuhan tersebut (Sutoro, dkk, 1988).

Bahan tanaman kering mengandung sekitar 2 sampai 4 % N; jauh lebih

rendah dari kandungan C yang berkisar 40 %. Namun hara N merupakan

komponen protein (asam amino) dan khlorofil. Bentuk ion yang diserap oleh

tanaman umumnya dalam bentuk NO3¯ dan NH4+ bagi tanaman padi sawah

(Russell, 1973 dalam Mukhlis dan Fauzi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai