Askep Hiv-Aids Dengan TBC
Askep Hiv-Aids Dengan TBC
Askep Hiv-Aids Dengan TBC
ASUHAN KEPERAWATAN
Dosen pengampu:
Disusun Oleh :
Kelompok 1
FAKULTAS KESEHATAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Orang yang terkena virus HIV/AIDS ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Penyakit AIDS ini telah menyebar ke
berbagai negara di dunia. TB ( Tubrkulosis ) merupakan salah satu infeksi oportunistik
tersering menyerang pada orang dengan HIV/AIDS di Indonesia. Infeksi HIV/AIDS
memudahkan terjadinya infeksi mycobacterium tuberculosis. Penderita HIV/AIDS
mempunyai resiko lebih besar menderita TB di bandingkan dengan non-HIV/AIDS.
Tuberkulosis peritoneal yang biasanya disebut dengan HIV-AIDS Ko-Infeksi TB Paru
merupakan masalah besar yang sering dijumpai di Dunia. Begitu pula di Indonesia masih
sering kita jumpai penyakit tersebut. HIV-AIDS Ko-Infeksi TB Paru cenderung
meningkat setiap tahunnya. TB Paru meningkat dikarenakan HIV-AIDS semakin
meningkat terutama dinegara berkembang (Setiati,2015 Hal.863)
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas.
HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel
T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut
sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke
dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang
terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA,
dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim
ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk
kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart,
1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian
bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart,
1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia
di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel
epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia
di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis
(Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 –
300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).
2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan pada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.
4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan,
misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan
atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung
hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.
5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana
banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang
sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh
budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai
bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV
/AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS,
pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu.
Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar
kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS
dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.
B. Pemeriksaan fisik
C. Diagnostic
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
- Hematokrit
- LED
- Rasio CD4 / CD Limposit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobin
1. Pengobatan Suporatif
Tujuan :
a. untuk infeksi :
- Kardidiasis eosofagus
- Tuberculosis
- Toksoplasmosis
- Herpes
- Pcp
- Pengobatan yang terkait AIDS , limfoma malignum , sarcoma Kaposi dan
sarcoma servik, disesuaikan dengan standar terapi penyakit kanker
b. Terapi :
- Flikonasol
- Kotrimoksazol
Tujuan :
Patofisiologi Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun )
adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang
bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon
imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Virus
HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang
materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA
ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak
dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4
helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi
limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Dengan
menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif.
Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah
sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar
ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4
kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus
berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS
apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
F. Pathway
G. Diagnosa keperawatan
H. Rencana keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Brunner dan suddart, Edisi 8,
Jakarta, EGC