Askep Hiv-Aids Dengan TBC

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KEPERAWATAN HIV-AIDS

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN HIV-AIDS DENGAN TBC

Dosen pengampu:

Ns. Pira Prahmawati,S.Kep,M.Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Alda Puspita Sari 142012018002


2. Bobby Wahyu Pratama 142012018007
3. Desvi Royana 142012018009
4. Rolanda Gusti Al-syukron 142012018036
5. Tri Yesi Fransiska 142012018041

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Orang yang terkena virus HIV/AIDS ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Penyakit AIDS ini telah menyebar ke
berbagai negara di dunia. TB ( Tubrkulosis ) merupakan salah satu infeksi oportunistik
tersering menyerang pada orang dengan HIV/AIDS di Indonesia. Infeksi HIV/AIDS
memudahkan terjadinya infeksi mycobacterium tuberculosis. Penderita HIV/AIDS
mempunyai resiko lebih besar menderita TB di bandingkan dengan non-HIV/AIDS.
Tuberkulosis peritoneal yang biasanya disebut dengan HIV-AIDS Ko-Infeksi TB Paru
merupakan masalah besar yang sering dijumpai di Dunia. Begitu pula di Indonesia masih
sering kita jumpai penyakit tersebut. HIV-AIDS Ko-Infeksi TB Paru cenderung
meningkat setiap tahunnya. TB Paru meningkat dikarenakan HIV-AIDS semakin
meningkat terutama dinegara berkembang (Setiati,2015 Hal.863)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apasaja pengkajian bio,psiko,sosial spiritual dan cultural?


2. Apasaja pemeriksaan fisik dan diagnostic?
3. Apasaja penatalaksanaan pada pasien HIV-AIDS dengan TBC?
4. Ada diagnosa keperawatan pada pasien HIV-AIDS dengan TBC?
5. Bagaimana rencana keperawatan?

C. TUJUAN

1. Mengetahui apasaja pengkajian bio,psiko,sosial spiritual dan cultural


2. Mengetahui apasaja pemeriksaan fisik dan diagnostic
3. Mengetahui apasaja penatalaksanaan pada pasien HIV-AIDS dengan TBC
4. Mengetahui apasaja diagnosa keperawatan
5. Mengetahui bagaimana cara menyusun rencana keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengkajian

1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas.
HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel
T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut
sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke
dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang
terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA,
dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim
ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk
kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart,
1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian
bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart,
1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia
di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel
epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia
di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis
(Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 –
300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai

a. Shock (kaget,goncanganbatin)Merasa bersalah, marah,tidak berdayaRasa takut,


hilang akal,frustrasi, rasa sedih, susah,acting out
b. Mengucilkandiri, Merasa cacat dan tidakberguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi oranglain, murung
c. Membukastatus secaraterbatas, Ingin tahu reaksi orang lain,pengalihan stres,
ingindicintaiPenolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari oranglain yang HIVpositifBerbagi rasa, pengenalan,kepercayaan,
penguatan,dukungan sosialKetergantungan, campurtangan, tidak percaya
padapemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasinganmenjadi manfaat khusus,perbedaan menjadi hal
yangistmewa, dibutuhkan olehyang lainnyaKetergantungan, dikotomikita dan mereka
(sema orangdilihat sebagai terinfeksi HIVdan direspon seperti itu), overidentification
f. Perilakumementingkanorang lainKomitmen dan kesatuankelompok,
kepuasanmemberi dan berbagi,perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi
dankompensasi yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIVdengan identitas diri,keseimbangan
antarakepentingan orang laindengan diri sendiri, bisamenyebutkan
kondisiseseorangApatis, sulit berubah.
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan
segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan
pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada
dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama,
sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan
untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e)
Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai
seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka
panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori
adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan pada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.

4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan,
misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan
atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung
hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.

5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana
banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang
sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh
budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai
bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV
/AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS,
pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu.
Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar
kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS
dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.

B. Pemeriksaan fisik

C. Diagnostic

1. Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV

- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV

2. Tes untuk mendeteksi gangguan sistem imun

- Hematokrit
- LED
- Rasio CD4 / CD Limposit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobin

D. Penatalaksanaan pasien HIV-AIDS dengan TBC

1. Pengobatan Suporatif

Tujuan :

- Meningkatkan keadaan umum pasien


- Pemberian gizi yang sesuai
- Obat sistometik dan vitamin
- Dukungan Pasienikologis

2. Pengobatan infeksi oportunistik

a. untuk infeksi :

- Kardidiasis eosofagus
- Tuberculosis
- Toksoplasmosis
- Herpes
- Pcp
- Pengobatan yang terkait AIDS , limfoma malignum , sarcoma Kaposi dan
sarcoma servik, disesuaikan dengan standar terapi penyakit kanker

b. Terapi :

- Flikonasol

- Rifamfisin, INH , Etambutol, Piraziramid, Stremptomisin

- Pirimetamin, Sulfadiazine, Asam folat - Ansiklovir

- Kotrimoksazol

3. Pengobatan anti retro virus

Tujuan :

- Mengurangi kematian dan kesakitan


- Menurunkan jumlah virus
- Meningkatkan kekebalan tubuh
- Mengurangi resiko penularan
E. Patofisiologi

Patofisiologi Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun )
adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang
bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon
imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Virus
HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang
materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA
ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak
dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4
helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi
limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Dengan
menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif.
Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah
sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar
ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4
kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus
berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS
apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

F. Pathway
G. Diagnosa keperawatan

a. Resiko tinggi infeksi b/d malnutrisi dan pola hidup beresiko


b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, pertukaran oksigen malnutrisi

H. Rencana keperawatan

No Dx. Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan criteria hasil
1 Reiko tinggi Pasien akan - Monitor tanda- - Untuk pengobatan
infeksi b/d bebas infeksi tanda infeksi dini
malnutrisi dan oportunistik dan baru - Mencegah pasien
pola hidup komplikasinya, - Gunakan terpapar kuman
beresiko dengan KH : teknik aseptik pathogen dari RS
pada setiap - Meyakinkan
- Tidak
tindakan diagnosis akurat dan
ada
inovatif pengobatan
tanda-
- Kumpulkan - Mempertahankan
tanda
specimen kadar darah yang
infeksi
untuk test lab, terapeutik
baru
sesuai order
- - TTV
- Atur
dalam
pemberian anti
batas
infeksi sesuai
normal
oerder

2 Intoleransi Pasien dapat - Monitor respon - respon bervariasi


aktivitas b/d berpartisifasi fisiologis dari hari ke hari
kelemahan, dalam kegiatan, terhadap - mengurangi
pertukaran dengan KH : aktivitas kebutuhan energy
oksigen, - Berikan - ekstra istirahat perlu
- Bebas
malnutrisi bantuan untuk meningkatkan
dyspnea
perawatan kebutuhan metabolic
dan
yang pasien
takikardi
sendiri tidak
selama
mampu
aktivitas
- - Jadwalkan
perawatan
pasien
sehingga tidak
mengganggu
istirahat

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long. 1996 Perawatan Medikal Bedah. Pedjajaran Bandung


Doenges, Marylyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta

Padila. S.Kep.NS.2012. Keperawatan Medikal Bedah. Numed. Yogyakarta

Smeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Brunner dan suddart, Edisi 8,
Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai