Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN INDIVIDU

DEPARTEMEN : KEPERAWATAN MEDICAL


LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK

Oleh:
Christine Ivana Delpian
NIM. 190070300011039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL GINJAL KRONIK

1. Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, Penurunan
fungsi/kerusakan pada ginjal menyebabkan ketidakmampuan ginjal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah), keadaan ini memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisi atau transplantasi ginjal
(Cynthia Lee Terry,2013). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan
ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular
Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan (Suwitra, 2014). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal
kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau ginjal
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan,
dengan kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada
tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan
terjadi gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak
pembuluh darah tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit
penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal
tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka
suplai darah kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat
ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu
ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-
zat kimia di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali
ke dalam darah. Juga mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan
tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin (Suwitra, 2014).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha
menghambat laju tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak
menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu kondisi dimana ginjal
sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini
biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit
gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan
adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari
normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal
ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Brunner
and Suddarth, 2014).

2. Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk.
2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal
3. Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes
mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-
stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA
nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan
hipertensi adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh,
pembuluh darah di ginjal juga mengalami dampak terjadi kerusakan
sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu
dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi
penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%,
kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis
sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal
kronik sering terjadi karena hipertensi, diabetes mellitus,
glomerulonephritis, obstruksi, dan infeksi pada ginjal(PERNEFRI,
2012).

Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8


kelas, antara lain:
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks
nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik
herediter Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat
TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas:
batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra

4. Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA
sistem yaitu Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal
ginjal kronik merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan
End-stage Renal Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik
apabila dari hasil tes nilai eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO
2 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease:
Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)

GFR
GFR (ml/min/1.73 m2) Terms
category

G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased*

G3a 45–59 Mildly to moderately decreased

G3b 30–44 Moderately to severely


decreased

G4 15–29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure

* Relatif pada level dewasa

Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)

ACR AER ACR Terms


category (mg/24hrs) (mg/mmol)

A1 < 30 <3 Normal to mildly


increased

A2 30-300 3–30 Moderately increased*

A3 > 300 >30 Severely increased**

* Relatif pada level dewasa


** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)

GFR = glomerular filtration rate


AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

5. Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk
mengeluarkan sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum,
kreatinin, dan asam urat sehingga terjadi keseimbangan dalam tubuh.
Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi nefron
secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal.
Pengurangan masa ginjal menimbulkan mekanisme kompensasi yang
mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam
tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik  dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium
ini kreatin serum dan BUN dalam keadaan normal dan penderita
asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat
diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari
75%  jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal.
Pada tahap ini BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala
nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia
(berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau  berkemih lebih
dari beberapa kali. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari
atau sesuai dengan jumlah cairan yang diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia .
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang
masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10% dari keadaan normal dan
bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri
(pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan
glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme
protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronis, akan
menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR
60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar
ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas,
mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai
terjadi (Brunner and Suddarth, 2014).

6. Manifestasi Klinis
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan
secara lambat dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat
komplikasi dari kondisi medis lain yang serius. Tidak seperti gagal
ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis
terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan
minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal
perlahan berhenti bekerja, mengantarkan pada stadium akhir penyakit
ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang
mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Tanto, 2014):
a. Gangguan keseimbangan cairan: oedema perifer, efusi pleura,
hipertensi, asites
b. Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala
hyperkalemia, asidosis metabolic (nafas Kussmaul),
hiperfosfatemia
c. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual,
muntah, gastritis, ulkus peptikum, malnutrisi
d. Kelainan kulit: kulit terlihat pucat, kering, pruritus, ekimosis
e. Gangguan metabolik endokrin: dislipidemia,
gangguan metabolik glukosa, gangguan hormon seks
f. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom
maupun normositik normokrom), gangguan hemostatis.

Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):


1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner,
perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Tanto (2014) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK
adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria)
terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal
contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal
dan rasio urin/ serum saring (1 : 1).
5. Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3
menurun)
6. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan
kerusakan ginjal.
7. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila
ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
8. Ureum meningkat
9. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
10.Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi
tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.
11. Pemeriksaan elektrolit: hyperkalemia, hipokalsemia, hipermag-
nesemia

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal


kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
melitus, infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES),
dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidiosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan
indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

8. Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya menurut Suwitra (2014) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Deraja LFG Rencana Tatalaksana
t (ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid,evaluasi perburukan
(progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit


ginjal kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi
ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan
nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua
cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal
Kronik (Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam
keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein
berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang
akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga
memperlambat pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat
antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting
angiotensin (Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian
hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik
yang sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal
dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi
kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu
ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, alumnium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk
menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan.
Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate. Memperlihatkan
cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek
sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic
agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal
banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas,
karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium
disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan
penumpukan barang calcium carbonate dijaringan, yang
disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik,
sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya odem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar baik melalui urin maupun insensible water loss.
Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible
water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800
ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat
yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium
darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti
tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika
ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Raharjo, et
al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan
sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan
elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius &
Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil
zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh
dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di
sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan
dialisat akan terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana
2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di
rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap
kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk
inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m 2.

Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008)


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan
konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana 2011).
Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah
dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).

Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/)

Indikasi inisiasi terapi dialisis:


1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8
ml/m/1,73 m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular
harus mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan
keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama
waktu tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini
sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau
dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7
mg/% terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan
diabetes mellitus.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:


1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang
memasuki sistem vaskular pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sikulasi di luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang
tersisa di dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai
serangan kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang
berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama
hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang
disebabkan edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi
akibat retensi cairan dan sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran
peritoneal pasien sendiri. Cairan dialisis diletakkan pada rongga
peritoneal menggunakan kateter yang dimasukkan dan
dibiarkan selama 4-6 jam untuk mencapai kesetimbangan.
Dialisat kemudian dibuang dan digantikan dengan fluida dialisis
yang baru. Perubahan konsentrasi glukosa pada dialisat akan
mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur perpindahan air
secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat
dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering
terjadi adalah peritonitis.

Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005)

c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien
dan donor menyebabkan reaksi penolakan hiperakut
(hyperacute immediate rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi
penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility
gene complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

9. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare
(2013) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat
retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi
system renin-angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia
sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh
toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D
abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009)


yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan
pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya
bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien
dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat
terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi
anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada
gagal ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang
diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor risiko yang paling
penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik
disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan
ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema,
namun mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti
itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan
pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium
dan air akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap
mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi
tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang
dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau
tersier serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda
jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat
dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik
merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya
pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia
dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih
sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan
populasi normal. Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan
dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta
angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan
perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan
pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai
urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan
libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma.
Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya
ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang
abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi
pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang
dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,
kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan
tanda iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi,
meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus
pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang
paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada
uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid
(parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium membran
yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi
yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak
biasa diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan
kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan
psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat
peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi
sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun
dan dialysis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen,
dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada
pasien yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang
menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma
regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran
peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya
jika kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat
hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan
hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara
dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar
sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh
bagian tubuh yang tersisa.

10. Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak
faktor terutama seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa
hidup lebih panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut
> 55 tahun kemungkinan terdapat komplikasi sistem
kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik
berat seperti koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan
tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus;
dapat mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan
penyakit dasarnya sudah berat maupun kemungkinan timbul
komplikasi akut atau kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos
risiko vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia)
merupakan faktor risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan
faktor pilihan / alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien
GGT dengan program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD
kronik, misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain.
2.12 WOC

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah kerusakan pada
Jumlah nefron
Darah menjadi dalam arteri nefron
yang sehat
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal

Kerusakan
Ginjal kehilangan
pembuluh darah di
kemampuan laju
ginjal
filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal Proteinuria/ BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
albuminuria meningkat menurun terganggu dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol
asimtomatik anemia Total CES ↑
Sekresi protein Sindroma uremia
terganggu kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler
hipoalbuminuria Syndrome ↑Volume interstitial perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan oedema
pruritus basa Ca
pergelangan Pruritus
kaki, tangan, ↑Preload
MK: ↑As. ↓absorbsi Ca
wajah, perut
MK: gangguan gangguan Lambung
integritas kulit Hipertrofi
integritas hipokalsemia
MK: kelebihan ventrikel kiri
kulit dan
volume cairan
osteodistrofi
Payah jantung kiri
Nausea, Iritasi
vomiting lambung MK:
↑Bendungan
Hambatan
atrium kiri
Mobilitas
MK: mual MK:
Fisik
Tekanan vena Ketidaksei
pulmonalis mbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik kurang
dari
kebutuha
Edema paru

MK : gangguan
pertukaran gas
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1). Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara
wawancara atau interview. Mengetahui kondisi klien untuk saat ini
dan masa lalu. Anamnesa mencakup identitas klien, keluhan
utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu,
riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal
lahir, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, suku/bangsa, golongan darah, tangggal MRS,
tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya,
apakah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan
yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa yang
digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari
urine output sedikit sampai tidak ada BAK, glisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum),
dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di
anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity,
region, radiation, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine
output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan pemenuhan
nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hiperplasia, dan prostektomi. Kaji adanya riwayat
penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang
berulang. Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab.
Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
kemudian dokumentasikan.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Baaimana pola hidup yang biasa
diterapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat infeksi
sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyait
hereditas dan penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan
dialysis akan menyebabkan enderita mengalami gangguan pada
gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan klien mengalami
kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan
gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan
lingkungan tempat tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat,
tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai
berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya
pernapasa kusmaul. Pola napas cepat dan dalam merupakan
upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida yang
menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas
efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung
kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi,
nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama jantung, edem
penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot
ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia.
Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan
kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,
seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering
didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning
feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas system rennin angiostensin aldosteron.
Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi pericardial,
penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini,
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada
laki-laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic
tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan
ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin <
15 ml/menit) terjadi penuruna klirens metabolic insulin
menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan
ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa
darah akan berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan
gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi
penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare
sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut,
dan ulkus saluran cerna sehingga sering di dapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri
kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya
infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area
ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada
kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

3.1 Diganosa keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme
pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi
renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membrane kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan
ketidakseimbangan suplay oksigen

3.2 Intervensi keperawatan


Diagnosa
No. Keperawata Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
n

1. Kelebihan Setelah dilakukan Manajemen hipervolemi


volume intervensi selama 2x 24
cairan Observasi
jam jam, maka
berhubunga
keseimbangan cairan 1. Periksa tanda dan
n dengan
mekanisme meningkat dengan gejala hypervolemia
pengaturan kriteria hasil sebagai 2. Identifikasi
melemah berikut:
penyebab
1. Asupan cairan hypervolemia
meningkat 3. Monitor tanda
2. Haluaran urine hmokonsentrasi
meningkat 4. Monitor efek
3. Kelembaban samping diuresis
membrane Terapeutik

mukosa
1. Timbang BB setiap
meningkat
hari pada waktu
4. Edema menurun
yang sama
5. Dehidrasi 2. Batasi asupan
menurun cairan dan garam
6. TTv membaik 3. Tinggikan tempat
tidur 30-40 derajat
Edukasi

1. Ajarkan cara
mengukur dan
mencatat asupan
dan haluaran cairan
2. Ajarkan cara
membatasi cairan
Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberikan deuretik
2. Resiko Setelah dilakukan Manajemen Cairan
ketidakseimb intervensi selama 2x 24  Observasi
angan jam jam, maka 1. Monitor status
elektrolit keseimbangan cairan
hidrasi ( mis, frek
meningkat dengan
berhubunga nadi, kekuatan nadi,
kriteria hasil sebagai
n dengan akral, pengisian
berikut:
disfungsi kapiler, kelembapan
1. Mempertahankan
renal mukosa, turgor kulit,
output
2. Ttv dalam batas tekanan darah)
normal 2. Monitor berat badan
3. Tidak ada tanda harian
dehidrasi 3. Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K,
Cl, berat jenis urin ,
BUN)
4. Monitor status
hemodinamik ( Mis.
MAP, CVP, PCWP
jika tersedia)

 Terapeutik
5. Catat intake output
dan hitung balans
cairan dalam 24 jam
6. Berikan asupan
cairan sesuai
kebutuhan
7. Berikan cairan
intravena bila perlu
 Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
3. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi:
 Observasi:
pertukaran intervensi selama …. 1. Monitor frekuensi
gas jam, maka pertukaran irama, pola napas,
gas meningkat dengan kedalaman, dan
berhubunga upaya napas
kriteria hasil sebagai 2. Monitor pola nafas
n dengan
berikut : 3. Monitor kemampuan
perubahan batuk efektif
 Tingkat 4. Monitor adanya
membran
kesadaran produksi sputum
kapiler paru 5. Monitor adanya
meningkat sumbatan jalan nafas
 Dispnea 6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
menurun 7. Auskultasi bunyi
napas
 Bunyi nafas 8. Monitor saturasi
tambahan oksigen
9. Monitor nilai AGD
menurun 10. Monitor hasil x-ray
 Pusing menurun  Terapeutik:
1. Atur interval
 Penglihatan pemantuan respirasi
kabur menurun 2. Dokumentasi hasil
pemantauan
 Diaforesis  Edukasi:
menurun 1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Gelisah 2. Informasikan hasil
pemantauan (bila
menurun diperlukan)
 Nafas cuping Terapi Oksigen:
 Observasi
hidung menurun 1. Monitor kecepatan
 PCO2 membaik aliran O2
2. Monitor posisi alat
 PO2 membaik terapi O2
3. Monitor aliran O2
 Takikardia secara periodik
membaik 4. Monitor efektivitas
terapi O2
 pH arteri 5. Monitor tanda-tanda
membaik hipoventilasi
6. Monitor tanda gejala
 Sianosis toksikasi O2 dan
membaik atelektasis
 Pola nafas 7. Monitor tingkat
kecemasan akibat
membaik terapi O2
8. Monitor integritas
 Warna kulit mukosa hidung
membaik akibat pemasangan
oksigen
 Terapeutik
1. Bersihkan sekret
pada hidung, mulut,
dan trakea
NB: Luaran tambahan; 2. Pertahankan
(sesuaikan kasus) kepatenan jalan
nafas
1. Keseimbangan 3. Siapkan dan atur
asam-basa peralatan pemberian
O2
2. Konversi energi 4. Berikan O2
3. Perfusi paru tambahan
5. Tetap berikan O2
4. Respons saat pasien
ventilasi ditransportasi
6. Gunakan perangkat
mekanik O2 yang sesuai
5. Tingkat pelirium dengan tingkat
mobilitas pasien
 Edukasi:
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan O2 di
rumah
 Kolaborasi
1. Penentuan dosis O2
2. Penggunaan O2 saat
aktivitas dan/atau
tidur

NB: Intervensi Pendukung


(sesuaikan kasus)
1. Dukungan berhenti
merokok
2. Dukungan ventilasi
3. Edukasi berhenti merokok
4. Edukasi pengukuran
respirasi
5. Edukasi fisioterapi dada
6. Fisioterapi dada
7. Insersi jalan nafas buatan
8. Konsultasi via telepon
9. Manajemen ventilasi
mekanik
10. Pencegahan aspirasi
11. Pemberian obat
12. Pemberian obat inhalasi
13. Pemberian obat interpleura
14. Pemberian obat
intradermal
15. Pemberian obat
intramuskular
16. Pemberian obat intravena
4. Kerusakan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
integritas intervensi keperawatan  Observasi
kulit selama 3 x 24 jam, 1.Identifikasi penyebab
berhubunga maka gangguan integritas
n dengan Integritas Jaringan kulit (misalnya
gangguan meningkat dengan perubahan sirkulasi,
sirkulasi kriteria hasil: perubahan status
1. Kerusakan nutrisi, penurunan
integritas jaringan kelembaban, suhu
menurun lingkungan ekstrim,
2. Nyeri menurun penurunan mobilitas)
3. Perdarahan  Terapeutik
menurun 1. Ubah posisi tiap 2
4. Kemerahan jam jika tirah baring
menurun 2. Lakukan pemijatan
5. Hematoma pada area penon
menurun jolan tulang, jika
perlu
3. Gunakan produk
berbahan petroleum
dan minyak pada
kulit kering
4. Hindari produk
berbahan alcohol
pada kulit
 Edukasi
1. Anjurkan
menggunakan
pelembab (misalnya
lotion serum)
2. Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
3. Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ekstrem
4. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
Perawatan Luka
5. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri:
berhubunga asuhan keperawatan
selama 8 jam tingkat Observasi
n dengan
agen injury nyeri menurundan control 1. Identifikasi lokasi,
nyeri meningkat dengan karakteristik, durasi,
kriteria hasil: frekuensi, kualitas
dan intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun (skala 3 - 4) 3. Identifikasi respon
nyeri non verbal
2. Meringis menurun
Teraeutik
3. nafsu makan
4. Berikan teknik non
meningkat
farmakologi
4. mual menurun 5. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
5. kemampuan Kolaborasi
menggunakan teknik non
farmakologis meningkat 6. Pemberian analgesik
Pemberian analgesik:

Observasi

1. Identifikasi riwayat
alergi obat
2. Monitor efektifitas
analgesik
Kolaborasi

3. Mengkolaborasikan
pemberian dosis dan
jenis analgesik
Terapi distraksi:

Observasi

1. Identifikasi pilihan
teknik distraksi yang
diinginkan
Terapeutik

2. Jelaskan manfaat dan


jenis distraksi
3. Menganjurkan berlatih
teknik distrksi
6. Mual NOC: Manajemen mual
berhubungan Setelah dilakukan intervensi  Observasi
dengan selama …. jam, maka 1.Identifiksi pengalaman
paparan tingkat mual menurun
mual
toksin dengan kriteria hasil
sebagai berikut: 2.Identifikasi dampak
3.mual terhadap kualitas
1. Nafsu makan 4.hidup (misalnya nafsu
meningkat makan, aktifitas,
2. Keluhan mual kinerja, tanggung
menurun jawab peran, dan
3. Perasaan ingin tidur)
muntah 5.Identifikasi faktor
4. menurun penyebab mual
5. Perasaan asam (misalnya pengobatan
dimulut dan prosedur)
6. menurun 6.Monitor mual
7. Frekuensi menelan (misalnya frekuensi,
8. menurun Durasi dan tingkat
9. Jumlah saliva keparahan)
menurun 7.Monitor asupan dan
10. Pucat membaik kalori
 Terapeutik
8.Kendalikan faktor
lingkungan penyebab
mual (misalnya bau)
9.Kurangi keadaan
penyebab mual
(misalnya cemas,
takut dsb)
 Edukasi
1.Anjurkan istirahat dan
tidur yang cukup
2.Anjurkan sering
membersihkan mulut,
kecuali jika
merangsang mual
3.Anjurkan makanan
tinggi karbohidrat dan
rendah lemak
4.Anjurkan
menggunakan teknik
nonfarmakologis untuk
mengatasi mual
(misalnya
biofeedback, hypnosis,
relaksasi, terapi music,
akupresur)
7. Intoleransi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Energi
aktivitas selama …. jam, maka
berhubunga toleransi aktivitas  Observasi
n dengan meningkat dengan kriteria 1. Identifikasi
hasil sebagai berikut:
gangguan gangguan fungsi
ketidakseimb 1. Frekuensi nadi tubuh yang
angan meningat mengalami
2. Saturasi oksigen
suplay kelelahan
meningkat
oksigen 3. Kemudahan dalam 2. Monitor kelelahan
melakukan aktivitas fisik dan
sehari-hari emosional
meningkat 3. Monitor pola dan
4. Kecepatan berjalan
jam tidur
meningkat
5. Jarak berjalan 4. Monitor lokasi dan
meningkat ketidaknyamanan
6. Kekuatan tubuh selama melakukan
bagian atas aktivitas
meningkat
 Terapeutik
7. Kekuatan tubuh
bagian bawah 1. Sediakan
meningkat lingkungan nyaman
8. Toleransi dalam dan rendah
menaiki tangga stimulasi (mis
meningkat
9. Keluhan lelah
cahaya, suara dan
menurun kunjungan)
10. Dispnea saat 2. Lakukan latihan
beraktivitasmenuru rentang gerak pasif
n dan/atau aktif
11. Duspnea setelah
aktivitas menurun
3. Berikan aktivitas
12. Perasaan lemah distraksi yang
menurun menenangkan
13. Aritmia saat aktivitas 4. Fasilitasi duduk
menurun disisi tempat tidur,
14. Aritmia setelah
aktivitas menurun
jika tidak dapat
15. Sianosis menurun berpindah atau
16. Warna kulit berjalan
membaik  Edukasi
17. Tekanan darah
1. Anjurkan tirah
membaik
18. Frekuensi nafas baring
membaik 2. Anjurkan aktivitas
19. EKG iskemia secara bertahap
membaik 3. Anjurkan
menghubungi
NB: Luaran tambahan perawat jika tanda
dan gejala
1. Ambulasi kelelahan tidak
2. Curah jantung berkurang
3. Konsevasi energi
4. Ajarkan strategi
4. Tingkat keletihan
koping untuk
mengurangi
kelelahan
 Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara
meningkatkan
asupan makanan

DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama

Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan

Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth.(2014). Textbook of Medical-Surgical Nursing. Edisi

ke- 13. America : Woltes Kluwer Health.

Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing,

critical thinking for collaborative care. Elsevier Saunders.

O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:

Erlangga.

PERNEFRI. (2012). Fifth Report Of Indonesian Renal Registry 2012.

Diakses tanggal 23 Februari 2020 dari http://www.pernefri.

inasn.org/gallery.html

Smeltzer, S.S.B. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:

EGC

Suwitra, Ketut. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat

Penerbitan IPD FKUI.

Tanto, C. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: Edisi 4 Jilid 1. Jakarta:

Media Aesculapius

Terry, Cynthia Lee & Aurora Weaver. (2013). Keperawatan Kritis.

Yogyakarta: Rapha Publishing.

Anda mungkin juga menyukai