Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN RASA AMAN DAN NYAMAN (NYERI)


DI RUANG HCU RSUD KOTA SALATIGA

A. Konsep Dasar Penyakit Stroke Hemoragik


1. Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan
defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi
saraf otak. (Sudoyo Aru, dkk, 2009).
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan
harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi
otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.
(Muttaqin, 2008).
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak. Hampir 70 % kasus stroke hemoragik terjadi pada
penderita hipertensi. (Nurarif & Kusuma, 2013).
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan kemudian merusaknya. (Adib, M, 2009).
Stroke hemoragik ada dua jenis yaitu:
a. Hemoragik intra serebral: perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
b. Hemoragik sub arachnoid: perdahan yang terjadi pada ruang sub
arachnoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan
yang menutupi otak). (Nurarif & kusuma,2013).

2. Etiologi
Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan
intra cranial dengan gejala peningkatan tekanan darah systole > 200 mmHg
pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah
keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok.
Penyebab stroke hemoragik, yaitu:
a. Kekurangan suplay oksigen yang menuju otak.
b. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah
otak.
c. Adanya sumbatan bekuan darah di otak.

3. Patofisiologi dan Pathway


a. Perdarahan intra serebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak membentuk massa
atau hematoma yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema
disekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intra serebral sering dijumpai di daerah putamen, thalamus,
sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis
mengakibatkan perubahan struktur dinding pembuluh darah berupa
lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
b. Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM.
Aneurisme paling sering didapat pada percabangann pembuluh darah
besar di sirkulasi willisi. AVM dapat dijumpai pada jaringan otak
dipermukaan piameter dan ventrikel otak, ataupun di dalam ventrikel
otak dan ruang sub arachnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke
ruang sub arachnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan inta
kranial yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehingga
timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-
tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan tekanan intra kranial
yang mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan
kesadaran. Perdarahan sub arachnoid dapat mengakibatkan vaso spasme
pembuluh darah serebral. Vaso spasme ini sering kali terjadi 3-5 hari
setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya pada hari ke 5-9, dan
dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vaso spasme diduga
karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan
dilepaskan ke dalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di
ruang sub arachnoid. Vaso spasme ini dapat mengakibatkan disfungsi
otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparase, gangguan hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Otak dapat
berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen jadi kerusakan,
kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai
bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kekurangan dari 20 mg %
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % maka akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat
otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah
otak.
(Price & Wilson, 2006)
Pathway

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik

Peningkatan Thrombus/Emboli
tekanan sistemik di serebral

Aneurisma./APM Suplai darah ke


jaringan serebral
tidak adekuat
Perdarahan
arachnoid/ventrikel
Perfusi jaringan
serebral tidak
Vasospasme arteri adekuat
Hematoma serebral serebral/saraf
serebral
PTIK/Herniosis serebral
Iskemik/infork

Penurunan Penekanan sal


kesadaran pernafasan Defisit neurologi

Pola nafas Hemifer kanan Hemifer kiri


tidak efektif
Hemiparase/plegi kiri Hemiparase/plegi kanan
Area brocca

Defisit perawatan diri gg. mobilitas fisik


Kerusakan fungsi
nervous VII dan
nervous XII
Kerusakan
integritas kulit
Kerusakan
kemunikasi verbal

Resiko Resiko Resiko Resti nutrisi Kurang pengetahuan


aspirasi trauma jatuh < dari
Kebutuhan

(Nurarif & Kusuma, 2013)


4. Manifestasi Klinik
Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi
perdarahan dan jumlah jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul
tiba-tiba, tanpa peringatan dan sering selama aktivitas. Gejala mungkin
sering muncul dan menghilang atau perlahan-lahan menjadi lebih buruk dari
waktu ke waktu.
Gejala stroke hemoragik bisa meliputi:
a. Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).
b. Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
c. Kesulitan menelan.
d. Kesulitan menulis atau membaca.
e. Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur,
membungkuk, batuk atau kadang terjadi secara tiba-tiba.
f. Kehilangan koordinasi.
g. Kehilangan keseimbangan.
h. Perubahan gerakan biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan
menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan ketrampilan
motorik.
i. Mual atau muntah.
j. Kejang.
k. Sensasi perubahan biasanyan pada satu sisi tubuh, seperti penurunan
sensasi, baal atau kesemutan.
l. Kelemahan pada satu sisi tubuh (Batticaca, 2008).

5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Menurunkan kerusakan iskemik serebral.
Tindakan awal difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin
area iskemik dengan memberikan oksigen, glukosa dan aliran darah
yang adekuat dengan mengontrol atau memperbaiki disritmia serta
tekanan darah.
2) Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 derajat menghindari flexi dan
rotasi kepala yang berlebihan, pemberian dexamethason.
3) Pengobatan
a) Anti koagulan : Heparin untuk menurunkan kecenderungan
perdarahan pada fase akut.
b) Obat anti trombotik : pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik atau embolik.
c) Diuretika : untuk menurunkan edema serebral.
4) Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah
otak.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Posisi kepala dan badan 15-30 derajat. Posisi miring apabila muntah
dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2) Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat.
3) Tanda-tanda vital usahakan stabil.
4) Bedrest.
5) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6) Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction yang
berlebih (Muttaqin, 2008).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: darah rutin, gula darah, urin rutin, cairan serebrospinal,
AGD, biokimia darah, elektrolit.
b. CT Scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan
juga untuk memperlihatkan adanya edema hematoma, iskemia, dan
adanya infark.
c. Ultrasonografi doppler: mengidentifikasi penyakit arterio vena.
d. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
e. MRI: menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragic.
f. EEG: memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis
interna terdapat pada trombosit serebral, klasifikasi parsial dinding
aneurisme pada perdarahan sub arachhnoid (Batticaca, 2008).

7. Komplikasi
a. Infark serebri.
b. Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif.
c. Fistula caroticocavernosum.
d. Epistaksis.
e. Peningkatan TIK, tonus otot abnormal.
f. Gangguan otak berat.
g. Kematian bila tidak dapat mengontrol respon pernafasan atau
kardiovaskuler (Batticaca, 2008).

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,
alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal
pengkajian diambil) dan identitas penanggung jawab (nama, umur,
pendidikan, agama, suku, hubungan dengan klien, pekerjaan, alamat).
b. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, kelumpuhan separuh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kotrasepsi oral yang lama, penggunan obat-obat anti
koagulasi, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadnag mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia,
TTV meningkat, nadi bervariasi.
a) B1 (Breathing)
Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan sputum, sesak
naps, penggunaan alat bantu napas, dan peningkatan frekuensi
napas. Pada klien dengan kesadaran CM, pada infeksi peningkatan
pernapasannya tidak ada kelainan, palpasi thoraks didapatkan taktil
fremitus seimbang, auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terdapat peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg)
c) B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung
pada likasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran
arean perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sememntara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan dan ketidakmampuan mengendalian kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol
sfingter urine eksternal hilang atau berkurang selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunujukkan kerusakan
neurologis luas.
e) B5 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu juga tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonojol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/hemiplegi serta mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien lanjut usia kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor dan koma.
3) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal dan hemisfer.
4) Pengkajian Saraf Kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
5) Pengkajian Sistem Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi
tubuh.
6) Pengkajian Reflek
Pada fase akur refleks fisiologis yang lumpuh akan menghilang
setelah beberapa hari reflek fisiologian muncul kembali didahului
refleks patologis
7) Pengkajian Sistem Sensori
Dapat terjadi hemihipertensi (Adib, M. 2009).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d gangguan aliran darah sekunder
akibat peningkatan tekanan intra cranial.
b. Nyeri akut
c. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau
oral.
d. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
e. Defisit perawatan diri b.d hemiparese/ hemiplegic.
f. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas b.d menurunnya reflek batuk
dan menelan, immobilisasi.
g. Resiko tinggi gangguan intergritas kulit b.d tirah baring lama.
h. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
i. Defisiensi pengetahuan b.d informasi yang tidak adekuat (NANDA
International, 2012-2014).
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah sekunder akibat
peningkatan tekanan intracranial.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak gelisah.
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
3) GCS E : 4, M: 6, V: 5.
4) TTV normal (N: 60-100 x/menit, S: 36-36.7 OC, RR: 16-20 x/menit).
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada keluarga tentang sebab-sebab peningkatan
TIK dan akibatnya.
Rasional : keluarga dapat berpartisipasi dalam proses penyembuhan.
2) Berikan klien bed rest total.
Rasional : untuk mencegah perdarahan ulang.
3) Observasi dan catat TTV dan kelainan intrakranial tiap 2 jam.
Rasional : mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara
dini untuk penetapan tindakan yang tepat.
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30o dengan letak jantung (beri
bantal tipis).
Rasional : mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainase
vena dan memperbaiki sirkulasi serebral.
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mngejan berlebihan.
Rasional : batuk dan mengejan dapat meningkatkan TIK dan potensial
terjadi perdarahan ulang.
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.
Rasional : rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan
TIK.
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor.
Rasional : memperbaiki sel yang masih viable.
b. Nyeri akut
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri.
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri).
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
Rasional : untuk mengetahui nyeri yang dirasakan pasien sehingga
dapat menentukan intervensi selanjutnya.
2) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
Rasional : untuk mengetahui asal sumber nyeri yang dirasakan.
3) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
Rasional : untuk melihat respon pasien terhadap nyeri yang dirasakan.
4) Tingkatkan istirahat.
Rasional : agar nyeri yang dirasakan dapat berkurang
5) Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
Rasional : agar nyeri yang dirasakan dapat berkurang tanpa
menggunakan farmakologi
6) Kolaborasikan pemberian analgetik dengan dokter .
Rasional : agar nyeri yang dirasakan dapat berkurang
c. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau oral.
Tujuan : setelah diberikan tindakan selama 3x24 jam diharapkan
kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1) Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi
2) Mampu berbicara yang koheren
3) Mampu menyusun kata-kata
Intervensi :
1) Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti spontan tidak tampak memahami
kata/mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional : membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi.
2) Bedakan antara afasia dan disatria.
Rasional : intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya.
3) Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana.
Rasional : melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
(afasia sensorik).
4) Minta pasien untuk mengucapkan suara sederhana.
Rasional : mengidentifikasi adanya disatria sesuai komponen motorik
dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat
mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia
motorik.
5) Berikan metode alternatif seperti menulis di papan tulis.
Rasional : memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarakan
keadaan defisit yang mendasarnya.
6) Kolaborasi konsultasikan dengan rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional : mempercepat proses penyembuhan.
d. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
mobilisasi klien mengalami peningkatan atau perbaikan.
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan posisi optimal.
2) Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang mengalami
hemiparese.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal.
Rasional : mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
Rasional : menurunkan ressiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
3) Latih rentang gerak/ROM
Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontroktur.
4) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada
tangan.
Rasional : mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
5) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional : mempertahankan posisi fungsional.
e. Defisit perawatan diri b.d hemiparase/hemiplegic.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan.
2) Klien dapat mengidentifikasikan komunitas untuk memberikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan
perawatan diri.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi merencanakan pemenuhan
kebutuhan secara individual.
2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas sesuai
kemampuan.
Rasional : meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha
terus-menerus.
3) Berikan bantuan perawatan diri sesuai kebutuhan.
Rasional : memenuhi kebutuhan perawatan diri klien dan menghindari
sifat bergantung kepada perawat.
4) Berikan umpan balik positif untuk setiap usaha yang dilakukannya.
Rasional : meningkatkan kemandirian dan mendorong klien berusaha
secara kontinyu.
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional : memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangan
rencana terapi.
f. Resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya reflek batuk
dan menelan, immobilisasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pola nafas efektif.
Kriteria hasil :
1) Klien tidak sesak nafas.
2) Tidak terdapat suara nafas tambahan.
3) RR dalam rentang normal (16-20 x/menit)
Intervensi :
1) Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan pola napas.
2) Auskultasi suara nafas.
Rasional : mengetahui adanya kelainan suara nafas.
3) Ubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : perubahan posisi dapat melancarkan saluran nafas.
4) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga sebab ketidakefektifan
pola nafas.
Rasional : klien dan keluarga berpartisipasi dalam mencegah
ketidakefektifan pola nafas.
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen.
Rasional : mempertahankan kepatenan pola nafas.
g. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi :
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM jika mungkin.
Rasional : meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Rasional : menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah yang
menonjol.
Rasional : menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang
menonjol.
4) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
5) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas
terhadap kulit.
Rasional : mempertahankan keutuhan kulit.
h. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi gangguan nutrisi.
Kriteria hasil :
1) Turgor kulit baik.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan.
3) Tidak muntah.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan, dan reflex
batuk.
Rasional : untuk menentukan jenis makanan yang akan diberikan
kepada klien.
2) Berikan makan dengan bertahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa
ada gangguan dari luar.
3) Berikan makanan dalam penyajian masih hangat.
Rasional : menarik minat makan klien.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan makanan melalui selang.
Rasional : mungkin dibutuhkan bila klien dalam penurunan kesadaran.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit yang tepat.
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
i. Defisiensi pengetahuan b.d informasi tidak adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kebutuhan pengetahuan klien dan keluarga terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan program pengobatan.
Intervensi :
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik.
Rasional : mengetahui tingkat pengetahuan klien.
2) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang
tepat.
Rasional : memenuhi kebutuhan informasi pasien.
3) Sediakan bagi keluarga tentang informasi kemajuan keadaan pasien.
Rasional : memenuhi kebutuhan informasi keluarga.
4) Diskusikan dalam pemilihan terapi atau penanganan terhadap pasien.
Rasional : melibatkan pasien dan keluarga dalam pengambilan
keputusan tindakan.
(Wilkinson & Ahern, 2014)
4. Evaluasi
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah sekunder akibat
peningkatan tekanan intracranial.
1) Klien tidak gelisah.
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
3) GCS E : 4, M: 6, V: 5.
4) TTV normal (N: 60-100 x/menit, S: 36-36.7 OC, RR: 16-20
x/menit).
b. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau oral.
1) Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi
2) Mampu berbicara yang koheren
3) Mampu menyusun kata-kata
c. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
1) Mempertahankan posisi optimal.
2) Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
mengalami hemiparese.
d. Defisit perawatan diri b.d hemiparase/hemiplegic.
1) Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
kemampuan.
2) Klien dapat mengidentifikasikan komunitas untuk memberikan
bantuan sesuai kebutuhan.
e. Resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya reflek batuk
dan menelan, immobilisasi.
1) Klien tidak sesak nafas.
2) Tidak terdapat suara nafas tambahan.
3) RR dalam rentang normal (16-20 x/menit)
f. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
1) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
g. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
1) Turgor kulit baik.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan.
3) Tidak muntah.
h. Defisiensi pengetahuan b.d informasi tidak adekuat.
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan program pengobatan.
(Wilkinson & Ahern, 2014)
C. Konsep Dasar Gangguan Rasa Nyaman Aman (Nyeri)
1. Definisi

Rasa nyaman berupa terbebas dari rasa yang tidak menyenangkan adalah

suatu kebutuhan individu. Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan

yang terkadang dialami individu. Kebutuhan terbebas dari rasa nyeri itu merupakan

salah satu kebutuhan dasar yang merupakan tujuan diberikannya asuhan keperawatan

pada seorang pasien di rumah sakit(Perry & Potter, 2009).

Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu, bergantung pada

persepsinya.Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai persepsi nyeri. Secara

sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan

baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu

kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita

yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis, dan lain-lain (Perry &

Potter, 2009).

Menurut PPNI (2016) Nyeri Akut adalah pengalaman sensorik atau

emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan

onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung

kurang dari 3 bulan.

Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai nyeri yang terjadi setelah cedera

akut, penyakit atau intervensi bedah, dan memiliki awitan yang cepat, dengsn

intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) serta berlangsung singkat (kurang

dari enam bulan) dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan
pulih pada area yang rusak. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat. Pasien yang
mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala perspirasi meningkat, denyut jantung
dan tekanan darah meningkat serta pallor (Mubarak et al., 2015)

2. Etiologi
a. Faktor Resiko
1) Nyeri Akut
a) Melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal
b) Menunjukkan kerusakan
c) Posisi untuk mengurangi nyeri
d) Muka dengan ekspresi nyeri
e) Gangguan tidur
f) Respon otonom (penurunan tekanan darah, suhu, nadi)
g) Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, nafas panjang, mengeluh)
2) Nyeri Kronis
a) Perubahan berat badan
b) Melaporkan secara verbal dan non verbal
c) Menunjukan gerakan melindungi, gelisah, depresi, focus pada diri sendiri
d) Kelelahan
e) Perubahan pola tidur
f) Takut cidera
g) Interaksi dengan orang lain menurun
b. Faktor Predisposisi
1) Trauma
2) Peradangan
3) Trauma psikologis
c. Faktor Presipitasi
1) Lingkungan
2) Suhu ekstrim
3) Kegiatan
3. Patofisiologi dan Pathway
Menurut Perry & Potter dalam Suryani (2017), ada tiga jenis sel
saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron
sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron
motorik. Sel-sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang
menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan
otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang
merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang
berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan
akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari
prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim
proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung saraf dan
menyampaikan impuls ke otak.
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi
adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus
(misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe serabut
saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C.
Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut
ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses
transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap
stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi. Transmisi adalah suatu
proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis medula spinalis,
kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen primer
merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi.
Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal. Modulasi adalah proses
amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Proses
ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan mungkin juga
terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan
delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai
jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak
lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya
menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah
penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu
dorsalis. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
saraf aferen (Bahrudin, 2017)
Pathway
Dalam Suryani (2017)

Chemic, thermik, mekanik

Jejas

Kerusakan nesoseptor
( reseptor )

Nyeri kronik/akut

Gangguan Pola tidur Gg. Mobilitas Fisik


4. Manifestasi Klinik
Tanda dan Gejala yang mungkin muncul :
a. Gangguan tidur
b. Posisi menghindari nyeri
c. Gerakan menghindari nyeri
d. Raut wajah kesakitan (menangis, merintih)
e. Perubahan nafsu makan
f. Tekanan darah meningkat
g. Depresi
5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Monitor TTV
2) Kaji adanya infeksi atau peradangan nyeri
3) Distraksi (mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk
nyeri ringan sampai sedang)
4) Kompres hangat
5) Mengajarkan teknik relaksasi
b. Penatalaksaan Medis
1) Pemberian analgesik
Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum pasien merasakan
nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri
2) Plasebo
Plasebo merupakan obat yang mengandung komponen obat analgesik
seperti gula, larutan garam/normal saline, atau air. Terapi ini dapat
menurunkan rasa nyeri, hal ini karena faktor persepsi kepercayaan
pasien.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan USG untuk data penunjang apabila ada nyeri tekan
abdomen.
b. Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ dalam yang abnormal.
c. Pemeriksaan lab sebagai data penunjang pemeriksaan lainnya.
d. CT-Scan (cidera kepala) untuk mengetahui adanya pemnuluh darah
yang pecah di otak.
7. Komplikasi
a. Oedema Pulmonal
b. Kejang
c. Masalah Mobilisasi
d. Hipertensi
e. Hipertermi
f. Gangguan pola istirahat dan tidur
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Status kesehatan saat ini
a) Alasan masuk rumah sakit
b) Faktor pencetus
c) Faktor memperberat nyeri ; ketakutan, kelelahan.
d) Keluhan utama
e) Timbulnya keluhan
f) Pemahamanaan penatalaksanaan masalah kesehatan
g) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
h) Diagnosa medik
2) Status kesehatan masa lalu
a) Penyakit yang pernah dialami
b) Pernah dirawat
c) Operasi
d) Riwayat alergi
e) Status imunisasi
f) Kebiasaan obat – obatan
3) Pengakajian nyeri
Pengkajian nyeri yang akurat adalah esensial untuk
penatalaksanaan nyeri yang efektif. Nyeri bersifat subjektif dan
merupakan pengalaman yang unik bagi setiap individu. Perawat
perlu mengkaji semua faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri,
psikologis, fisiologis, perilaku, emosional, dan sosial budaya.
Perawat yang spesialisasinya adalah manajemen nyeri menerapkan
berdasarkan evidence-based di berbagai bidang seperti fungsional
neuroanatomy, tanggapan psikososial rasa sakit, situasi umum yang
berhubungan dengan nyeri, metode penilaian nyeri dan sesuai
dengan usia dan campur tangan budaya mengenai rasa sakit.
Perawat harus memulai pengkajian nyeri karena diketahui
bahwa banyak orang tidak akan memberitahu tentang nyeri yang
dirasakannya kecuali ditanya. Pengkajian nyeri terdiri dari dua
komponen utama yaitu riwayat nyeri untuk mendapatkan data klien
dan observasi langsung terhadap respons perilaku dan psikologis
klien. Tujuan dari pengkajian adalah mendapatkan pemahaman
objektif dari pengalaman yang subjektif. Dari sudut pandang klinis
maksud pengkajian nyeri memungkinkan membuat diagnosis
berbeda, memprediksi respon dari suatu pengobatan, mengevaluasi
karakteristik nyeri dan dampak nyeri pada kehidupan pasien,
membantu dalam menentukan ketidakmampuan dan pembentukan
batasan dari kapasitas fisik, memantau perkembangan inisiasi
pengobatan berikutnya, dan untuk evaluasi efektifitas pengobatan,
bersamaan dengan kebutuhan lanjutan atau memodifikasi regimen
pengobatan diantara yang lain.
1) Skala intensitas atau tingkat nyeri
Indikator tunggal yang paling penting untuk mengetahui
intensitas nyeri adalah laporan klien tentang nyeri. Penggunaan
skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan dapat
dipercaya dalam menentukan intensitas nyeri klien. Skala seperti
itu memberikan konsistensi bagi perawat untuk berkomunikasi
dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Tidak semua klien dapat mengerti atau meghubungkan
nyeri yang dirasakan ke skala intensitas nyeri berdasarkan angka.
Untuk keefektifan penggunaan skala tingkat nyeri, klien tidak
hanya perlu memahami cara menggunakan skala skala tetapi juga
diajarkan tentang bagaimana informasi tersebut akan digunakan
untuk menentukan perubahan pada kondisinya dan keefektifan
intervensi penatalaksanaan nyeri.
Cara pendekatan yang digunakan dalam mengakaji nyeri
adalah dengan PQRST (Mubarak, 2015).
Tabel 2.2 Pengkajian nyeri PQRST

P (Provoking atau pemicu) Yaitu faktor yang memperparah atau


meringankan nyeri.
Q (Quality atau kualitas) Yaitu kualitas nyeri (misalnya
tumpul, tajam, merobek).
R (Region atau daerah) Yaitu daerah penjalaran nyeri.
S (Severity atau keganasan) Yaitu intensitasnya.
T (Time atau waktu) Yaitu serangan, lamanya, frekuensi,
dan sebab.
Laporan diri pasien akan nyeri juga dapat diperoleh
dengan mempertanyakan pasien menggunakan metode PQRSTU.
U adalah Understanding atau pemahaman, persepsi pasien
menganai masalah atau pengalaman kognitif dari nyeri. Pasien
dengan pengetahuan mengenai masalah jantung dapat memberi
tahu perawat dimana nyerinya sama seperti sedang mengalami
myocardial infarction. Pasien dengan cerebral hemorrhage sering
menggambarkannya dengan sakit kepala terburuk yang pernah
pasien alami.

2) Cara mengukur Intensitas Nyeri


a) Painometer
Painometer dengan skala longitudinal yang pada
salah satu ujungnya tercantum nilai 0 (untuk keadaan tanpa
nyeri) dan ujung lainnya nilai 10 (untuk kondisi nyeri
paling hebat). Untuk mengukurnya, penderita memilih
salah satu bilangan yang menurutnya paling
menggambarkan pengalaman nyeri yang terakhir kali ia
rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah grafik yang
dapat dibuat menurut waktu. Intensitas nyeri ini sifatnya
subjektif dan dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat
kesadaran, konsentrasi, jumlah distraksi, tingkat aktivitas,
dan harapan keluarga. Intensitas nyeri dapat dijabarkan
dalam sebuah skala nyeri dengan beberapa kategori:
Tabel 2.3 Skala nyeri painometer
Skala Keterangan
Skala 0 Tidak nyeri
Skala 1-3 Nyeri ringan
Skala 4-6 Nyeri sedang
Sangat nyeri tapi masih dapat dikontrol
Skala 7-9 oleh pasien dengan aktivitas yang biasa
dilakukan
Skala 10 Sangat nyeri dan tidak terkontrol
Sumber : Mubarak. 2015

b) Skala nyeri McGill (McGill scale)


Skala nyeri McGill (McGill scale) mengukur
intensitas nyeri dengan menggunakan lima angka, yaitu 0:
tidak nyeri; 1: nyeri ringan; 2: nyeri sedang; 3: nyeri berat;
4: nyeri sangat berat; dan 5: nyeri hebat.

Gambar 2.2 Skala nyeri McGill


c) Oucher
“Oucher”, yang terdiri atas dua skala terpisah yaitu
sebuah skala dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk
anak-anak yang lebih besar dan skala fotografik enam
gambar pada sisi kanan untuk anak-anak yang lebih kecil.

Gambar 2.3 Skala nyeri Oucher


d) Penilaian nyeri Wajah Wong-Baker (Wong-Baker FACES
Pain Rating Scale)
Wong-Baker FACES Pain Rating Scale ditujukan untuk
klien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya
melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak
mampu berkomunikasi secara verbal dan lansia yang
mengalami gangguan kognisi dan komunikasi (Mubarak,
2015)., 2016

Gambar 2.4 Skala nyeri FACES pain rating scale

b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (fisiologis/kimiawi/fisik)
2) Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan
c. Perencanaan (NOC-NIC, 2016)
No Dx Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah a. Perubahan 1. Tentukan 1. Menentukan intervensi
b/d agen dilakukan dalam rasa karakteristik nyeri
cidera tindakan nyaman 2. Pantau TTV 2. Nyeri dapat meningkatkan
(fisiologi,ki keperawatan b.Penurunan kebutuhan O2, merangsang
miawi selama 3 x 24 tingkat nyeri vasokontriksi pembuluh
/fisik) jam nyeri dapat c. Dapat darah
berkurang atau melakukan 3. Mengurangi fokus dan
hilang. manajemen ketegangan karena nyeri
nyeri 3. Berikan tindakan
d.Perasaan distraksi 4. Tindakan non analgesik
senang fisik dapat menghilangkan
dan psikologis 4. Berikan tindakan ketidaknyaman
relaksasi, latihan
nafas, pijatan, 5. Mengurangi intensitas
perubahan posisi nyeri
5. Kolaborasi
pemberian obat
2 Nyeri Setelah Klien mengawali 1. Implementasikan 1. Obat ini diindikasikan bagi
kronik dilakukan terapi penatalaksanaan klien yang mengalami nyeri
b/d tindakan pengontrolan obat fentanyl
kerusakan keperawatan nyeri transdermal.
jaringan selama 2 x 24 Jelaskan pada klien
jam klien tentang efek
secara aktif samping yang
berpartisipasi diharapkan 2. Kontrol diri menunjukkan
dalam rencana 2. Minta klien untuk kemampuan seseorang
penatalak- memilih terapi yang untuk menentukan keadaan
sanaan nyeri mampu mengatasi dengan tepat melalui
nyerina misalnya tindakan.
distraksi, tekhnik
napas dalam.

4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan
dalam merespon rangsangan nyeri, di antaranya hilangnya perasaan nyeri,
menurunnya intensitas nyeri, adanya respon fisiologis yang baik dan
pasien mampu melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung,


dan Stroke. Yogyakarta: Dianloka Pustaka.
Bahrudin, Mochamad. 2017. Patofisiologi Nyeri (Pain). Volume 13. Universitas
Muhammadiyah Malang
Baradero, dkk. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular : Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Batticaca, F. B. 2008. Asuan Keperawatan Klien dengan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Mubarak, Wahit Iqbal.2015.Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar Buku 2.Jakarta :
Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA NIC-NOC. 2015. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing
NANDA International. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
NIC. Bulechek,et.al. 2016. Nursing Interventions Classification. Edisi
Enam. Elsevier
NOC. Bulechek,et.al. 2016. Nursing Interventions Classification. Edisi Enam.
Elsevier.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan
Keperawatan Profesional Jilid 2. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Perry dan Potter. 2002. Fundamental Keperawatan, Edisi 4. EGC: Jakarta
Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4.
Jakarta: Interna Publishing.
Sylvia, A. Price &Lorraine, M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. 2014. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC.
Tarwoto & Wartonah. 2006.  Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai