Anda di halaman 1dari 18

MENJALANKAN KEHIDUPAN SEKSUAL YANG SEHAT

DENGAN PASANGAN YANG SAH

KELOMPOK III KELAS A

PUJI ASTUTI NIM. 25000119183396

DWI UMEISYAROH NIM. 25000119183399

I GEDE DEDY SUWARTAWAN NIM. 25000119183401

JIHAN MUTIARA SARI NIM. 25000119183406

YOHANES EMANUEL RUBA NIM. 25000119183410

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan seksual yang sehat merupakan merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam penentuan kebahagiaan suatu perkawinan. Selain itu kehidupan
seksual yang sehat memungkinkan pasangan menerapkan konsep setia sehingga
terhindar dari risiko penyakit menular seksual. Setiap pasangan hendaknya
merencanakan segala hal yang berikaitan dengan kesehatan reproduksi seperti
program Keluarga berencana (KB) sdan risiko persalinan 4-T (Empat Terlalu).
Hubungan seksual merupakan aktivitas seksual yang tidak hanya melibatkan
satu orang pelaku melainkan juga melibatkan pihak lain sebagai pasangan. Sebagai
pasangan, hubungan seksual sejatinya dilakukan atas kebutuhan bersama dan suka
sama suka sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Seksualitas secara
denotatif memiliki makna lebih luas karena meliputi semua aspek yang ber hubungan
dengan seks, yaitu nilai, sikap, orientasi, dan perilaku. Secara dimensional seksualitas
bisa dipilah lagi ke dalam dimensi biologis, psikologis, sosial, perilaku, klinis, dan
cultural, (Khatimah, 2013).
Salah satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keturuna bagi keluarga.
Dampak serius dari relasi seksual yang tidak seimbang adalah tingginya angka aborsi
dikarenakan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Menurut Dini (2016),
Kehamilan merupakan kodrat seorang wanita sebagai salah satu fase kehidupan dan
merupakan fase reproduksi manusia yang berfungsi melahirkan janin sebagai manusia
baru di dunia. Pada kawasan Asia Tenggara terdapat 18,8 juta total kehamilan dan 44
persen diantaranya adalah KTD.
Dalam merencanakan kehidupan bekerluarga hendaknya pasangan harus
mencapai usia yang ideal. Adapun batasan usia pernikahan yaitu 21 tahun bagi
perempuan dan 25 tahun untuk pria. Usia tersebut bertujuan agar pasangan mencapai
usia reproduksi sehat, calon ibu terhindar dari risiko penyakit saat kemilan, serta
pasangan siap secara mental dan emosional, (BKKBN, 2017).
Perencanaan Keluarga Berencana merupakan hal yang penting bagi setiap
pasangan. Salah satu sasaran dari Program Keluarga Berencana adalah Pasangan Usia
Subur (PUS), yaitu pasangan suami istri yang hidup bersama dimana istrinya berusia
15-49 tahun harus dimotivasi terus-menerus sehingga menjadi peserta Keluarga
Berencana lestari. Sehingga dengan pelaksaan Program KB maka calon ibu akan
terhindar risiko kematian akibat 4 T (Terlalu) yaitu terlalu tua, terlalu muda, terlalu
banyak dan terlalu dekat. Penelitian yang dilakukan Rahmadewi (2011). Berdasarkan
latar belakang diatas penulis berkeinginan menyusun makalah dengan judul
“Menjalankan Kehidupan Seksual Yang Sehat Dengan Pasangan Yang Sah”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu “Bagaimana menjalankan
kehidupan seksual yang sehat dengan pasangan yang sah?”

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dalam makalah ini yaitu untuk mengetahui upaya menjalankan
kehidupan seksual yang sehat dengan pasangan yang sah.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui Kehidupan seksual yang sehat degan pasangan baik secara
fisik, social, emosional, dan spiritual
b. Untuk mengetahui perencanakan Program Keluarga Berencana (KB)
c. Untuk mengetahui faktor risiko kehamilan yaitu 4-T (terlalu tua, terlalu muda,
terlalu banyak dan terlalu dekat)
d. Konsep setia pada pasangan dalam rangka mencegah Penyakit Menular Seksual
e. Menghargai Hak-Hak Reproduksi pada Pasangan
D. Manfaat
Berdasarkan penulisan di atas adapun mafaat makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa, penyususnan makalah dapat menjadi media pembelajara untuk
meningkatkan pemahaman mengenai upaya menjalankan kehidupan seksual yang
sehat dengan pasangan yang sah
2. Bagi pembaca dapat memberikan informasi mengenai upaya menjalankan
kehidupan seksual yang sehat dengan pasangan yang sah
BAB II

TOPIK DAN ANALISIS MASALAH

Dalam makalah ini mengangkat topik upaya menjalankan kehidupan seksual


yang sehat dengan pasangan yang sah. Berikut kasus-kasus mengenai kehidupan
seksual yang tidak sehat dengan pasagan yang sah. Dalam maklah ini pasangan yang
sah didefinisikan sebagai pasangan suami dan istri (pasutri):
A. Kasus I : Kekerasan seksual pada perempuan atau istri
Kekerasan yang dialami oleh perempuan atau istri biasanya dalam berbagai
bentuk. Mitra Perempuan WCC (Women Crisis Center), melaporkan bahwa
kekerasan tersebut dari satu jenis kekerasan, diantaranya kekerasan fisik sebesar
56,46%, kekerasan seksual sebesar 22,49%, penelantaran ekonomi sebesar 59,81%,
dan konflik dalam rumah tangga sebesar 67,94% seperti perebutan hak perwalian
anak, hak waris dan harta bersama, poligami dan perceraian, juga menyertai kasus
kekerasan yang mereka alami (Kalibonso, 2012). Penelitian di 50 negara,
menunjukkan bahwa antara 10- 60 % perempuan yang pernah menikah atau
berpasangan telah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya dan penelitian ini
juga menyebutkan, bahwa perempuan lebih cenderung diserang, dilukai, diperkosa,
atau dibunuh oleh pasangan dibandingkan dengan orang lain (Ellsberg, Carroll,
Heise, & Lori, 2005) dalam Sukmawati (2014)
Data lain bersumber dari survei berbasis populasi telah mengukur rata-rata
IPV (Intimate Partner Violence) di semua negara, menunjukkan 13- 61% pernah
mengalami kekerasan fisik, 4-49% mengalami kekerasan fisik yang parah, 6-59%
mengalami kekerasan seksual, dan 20-75% dilaporkan mengalami satu tindakan
emosional kasar, atau lebih, dari pasangan dalam hidup mereka (WHO, 2012). Untuk
menanggulangi permasalahan tersebut setiap pasangan hendaknya memhami konsep
kehidupan seksual yang sehat. Kehidupan seksual yang sehat meliputi, sehat secara
fisik. sehat secara emosional, sehat secara spiritual.
B. Kasus II: Rendahnya Partisipasi Suami dalam Keluarga Berencana
Di era postmodern, salah satu upaya yang dikembangkan pemerintah untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan Program KB adalah melibatkan dan
mendorong peran aktif kaum laki-laki dalam mengatur kehamilan dan kelahiran demi
kesejahteraan keluarganya. Sejak tahun 1999 Program KB perhatian besar terhadap
keikutsertaan kaum laki-laki sudah digagas dan dimulai. Sebelumnya, perhatian dan
pelaksanaan Progam KB cenderung lebih difokuskan pada kaum perempuan,
sehingga ada kesan bahwa KB adalah urusan dan tanggung jawab kaum perempuan.
Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, menunjukkan
bahwa di kalangan perempuan pemakaian kontrasepsi sebesar 98,7 persen, sedangkan
untuk kontrasepsi laki-laki hanya 1,3 persen. Bahkan data yang dikeluarkan oleh
Pusat Data Informasi Kesementerian Republik Indoneia pada tahun 2014
menunjukkan bahwa jumlah KB laki-laki hanya mencapai 1,81% (Kementerian
Kesehatan RI 2014). Di berbagai komunitas di indonesia, permasalah Keluarga
Berencana (KB) serta kesehatan reproduksi masih dipandang sebagai suatu tanggung
jawab perempuan. Pengetahuan dan kesadaran laki-laki dan keluarga mengenai KB
masih relatif rendah. Selain itu, adanya keterbatasan penerimaan dan aksesibilitas
pelayanan kontrasepsi pada laki-laki., (Sutinah, 2017)

C. Kasus III: Tinginya Kasus Pernikahan Perempuan pada Usia Kurang dari
20 Tahun
Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 yang telah
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan
bahwa permasalahan kesehatan pada perempuan berawal dari masih tingginya usia
perkawinan pertama dibawah 20 tahun yaitu 5% pada usia 10-14 tahun, dan 42%
pada usia 15-19 tahun. Pada perempuan dengan umur pertama haid yang masih muda,
dan perkawinan dibawah umur, membuat panjang rentang usia reproduksi perempuan
dan berdampak pada banyaknya anakyang dilahirkan. Secara nasional, dapat dilihat
ada 8% perempuan 10-59 tahun melahirkan 5-6 anak, serta 3% melahirkan anak lebih
dari 7, (Sari, 2014).
D. Kasus IV: Istri tertular HIV dan AIDS akibat Suami tak Setia
Di Indonesia, hubungan heteroseksual yang beresiko menjadi penyebab
utama penularan HIV (52,7%). Data terpilah hingga tahun 2009 pekerjaan
perempuan penderita AIDS 38,2% adalah ibu rumah tangga dan 11,7% wanita
penjaja seks (WPS). Tingginya angka tersebut diduga karena mereka tertular dari
suami atau pasangan tidak setia dan berperilaku beresiko (KPAN, 2010) dalam
Karyati (2011).

E. Kasus V: Banyaknya Perempuan yang belum Mengetahui Hak-Hak


Reproduksinya
Masalah reproduksi sama sekali tidak dapat dilepaskan dari seksualitas dan
tubuh manusia. Seksualitas bukan semata-mata dorongan naluri, atau kebutuhan
biologis (khususnya alat kelamin), tetapi merupakan bentuk interaksi sosial atau
bersifat relasional. Banyak perempuan yang tidak mengetahui haknya, karena dalam
kehidupan perempuan, masalah hak sangat langka di bicarakan. Fungsi reproduksi
mereka yang diperankan hanya pada wilayah domestik membuat perempuan lebih
biasa dengan berbagai kewajiban, misalnya sebagai seorang ibu dan istri, harus atau
wajib mendidik anak, mengatur rumah tangga, mendampingi dan melayani suami.
Mungkin lebih mudah bagi perempuan untuk membuat daftar kewajiban mereka dari
pada haknya. Begitu juga dengan arti sehat, perempuan lebih menganggap kesehatan
adalah yang berkaitan dengan organ tubuhnya, padahal makna kesehatan tidak hanya
demikian. Apalagi kata reproduksi, masih banyak perempuan yang belum
mengetahuinya, (Sanusi, 2003)
Berdasarkan lima kasus di atas penulis berkenginan meenganalisa
permasalahan berdasarkan kajian teori mengenai kehidupan seksual yang sehat setiap
pasangan yang sah yaitu:
1. Pasangan mengetahui kehidupan seksual yang sehat degan pasangan baik secara
fisik, sosial, emosional, dan spiritual,
2. Pasangan merencanakan Program Keluarga Berencana (KB)
3. Pasangan mengetahui faktor risiko kehamilan yaitu 4-T (terlalu tua, terlalu muda,
terlalu banyak dan terlalu dekat.
4. Pasangan mengetahui Konsep setia pada pasangan dalam rangka mencegah
Penyakit Menular Seksual.
5. Pasangan menghargai Hak-Hak Reproduksi pada Pasangan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kehidupan seksual yang sehat degan pasangan baik secara fisik, social,
emosional, dan spiritual
Hubungan seksual merupakan salah satu dari kebutuhan biologis seorang
individu. Hubungan seksual tidak semata-mata untuk meneruskan keturunan, tapi
lebih dari itu hubungan seksual merupakan bentuk ungkapan perasaan secara
emosional terhadap pasangan, dimana saat berhubungan seksual pasangan dapat
mencurahkan kasih sayang dan komunikasi terbuka antara pasangan yang dapat
melanggengkan ikatan pernikahan. Apabila hubungan seksual dilakukan hanya
sebatas pemenuhan kebutuhan biologis tanpa mampu memberikan kepuasan
emosional dan variasi seksual maka salah satu atau keduanya mencari kepuasan
seksual diluar pernikahan dengan jalan perselingkuhan, dimana hal ini menjadikan
ketidakbahagiaan suatu pernikahan (Khotimah, 2017). Hubungan seksual dapat
menjadi sumber bahagia atau malah sebaliknya. Hubungan fisik yang baik akan
memberikan keuntungan, namun bila tidak berjalan baik justru akan memberikan
kerugian dalam hubungan suami istri. Kehidupan seksual yang sehat meliputi sehat :

1. Secara fisik (tidak saling menyakiti)


Prinsip hubungan seksual yang baik adalah adanya keterbukaan dan kejujuran
dalam mengungkapkan kebutuhan masing-masing pasangan dan menerima
sepenuhnya kondisi pasangan. Pujols (2010) dalam Khotimah (2017) mengatakan
bahwa inti kegiatan seksual adalah saling memuaskan, bukan untuk mengeksploitasi
pasangan. Hubungan seksual yang baik juga sangat bergantung pada komunikasi
yang baik pula. Tidak selamanya suami atau istri menyetujui segala hal yang
dilakukan pasangan ketika berhubungan seksual. Hubungan seksual akan berhasil bila
kedua belah pihak saling membantu untuk memahami apa yang disukai masing-
masing pihak dengan cara memberitahu bagian-bagian mana yang ingin disentuh atau
tidak.
Tidak saling menyakiti berati tidak memaksakan kehendak kepada pasangannya.
Memaksa berati memperlakukan pasangan secara tidak manusiawi sehingga menjadi
pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Marital rape merupakan kekerasan
atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami pada istri untuk melakukan aktifitas
seksual tanpa melihat kondisi istri. Akibat terjadinya marital rape diantaranya korban
akan merasa rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri, menderita gangguan
reproduksi akibat perasaan tertekan dan kacaunya siklus haid (Milda Marlia, 2007).
Secara khusus marital rape telah diatur dalam undang – undang nomor 23 tahun 2004
tentang kekerasan dalam rumah tangga. Hubungan seksual yang sehat adalah
hubungan yang disetujui oleh kedua pihak tanpa paksaan. Jika terjadi paksaan, maka
terdapat permasalahan yang perlu diselesaikan karena bukan suatu hal yang wajar.
2. Secara emosional (menjaga emosi masing – masing)
Manfaat lain dari hubungan seksual yang sehat adalah kesehatan emosional
ataupun hubungan emosional dengan pasangan. Kehidupan seksual yang sehat secara
emosional merupakan hubungan tanpa adanya tekanan. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa hubungan seksual yang kurang baik dengan pasangan dapat
menimbulkan perasaan frustrasi terhadap pasangan atau diri sendiri, depresi,
hilangnya kepercayaan diri hingga berkurangnya konsentrasi dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari. Menurut Kanedi & Sutyarso (2014) dalam Khotimah (2017)
seseorang yang tidak terekspresikan kehidupan seksualnya, merasa tidak bahagia,
sinis, dan perilaku negatif seperti senang bergosip dalam lingkungan sosialnya.
3. Secara sosial (pasangan sewajarnya tidak mengganggu lingkungan)
Sehat secara sosial berarti mampu mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang
ada disekitarnya dalam menampilkan kasih sayang terhadap pasangannya serta
mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang diyakini. Tidak mengumbar
kehidupan seksualnya maupun masalah rumah tangganya pada orang lain dan
mampu menyelesaikan masalah dalam hubungan seksual maupun masalah rumah
tangga secara personal dengan pasangan.
4. Secara spiritual (pernikahan adalah menyatukan kepercayaan)
Pernikahan merupakan penyatuan keyakinan dan pertanggungjawaban pada
Tuhan. Spiritualitas dan keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi
pengalaman manusia. Keyakinan spiritual memberi landasan bagi nilai-nilai yang
dipegang dan perilaku sebagai individu dan pasangan. Spiritualitas merujuk pada
kualitas batin yang dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan, makhluk
lain, dan nurani. Keyakinan spiritual sering menjadi sandaran ketika seseorang
mengalami kesulitan dan kepahitan hidup. Masalah spiritual dapat menjadi sumber
masalah bagi pasangan dalam dalam hal perbedaan praktek keagamaan., tidak
diintegrasikannya keyakinan spiritual dalam relasi pasangan, dan kurangnya dalam
soal-soal keagamaan. Sebaliknya keyakinan spiritual dapat menjadi pondasi
terpenting bagi kebahagiaan pasangan. Hal ini terjadi bila pasangan menyadari bahwa
keimanan memberikan makna dalam hidup.
Kontrol diri terhadap perilaku seksual adalah kemampuan untuk mengenali,
mengatur dan mengendalikan perilaku, fisik serta psikologis, khususnya perilaku
yang didorong oleh hasrat seksual yang diarahkan pada diri sendiri ataupun orang lain
agar tercapai kepuasan pada organ seksualnya. Kemampuan tersebut akan membantu
individu untuk membentuk sikap mandiri yang akan mengarah pada tercapainya
kehidupan seksual yang sehat baik secara fisik, emosi, perilaku dan sosial.

B. Perencanaan Program Keluarga Berencana (KB) pada Setiap Pasangan


Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa pembangunan keluarga adalah upaya
mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat; dan
Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,, perlindungan, dan bantuan sesuai
hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Undang-Undang ini
mendukung Program KB sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan keluarga sehat
dan berkualitas. Pengaturan kehamilan dalam Program KB dilakukan dengan
menggunakan alat kontrasepsi.
Data SDKI 2012 menunjukkan tren Prevalensi Penggunaan Kontrasepsi atau
Contraceptive Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak 1991-2012 cenderung
meningkat, sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cenderung
menurun. Tren ini menggambarkan bahwa meningkatnya cakupan wanita usia 15-49
tahun yang melakukan KB sejalan dengan menurunnya angka fertilitas nasional. Bila
dibandingkan dengan target RPJMN 2014, CPR telah melampaui target (60,1%)
dengan capaian 61,9%, namun TFR belum mencapai target (2,36) dengan angka
tahun 2012 sebesar 2,6.
Menurut Kemenkes RI (2012) Secara kependudukan, KB bertujuan untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk. Secara kesehatan, KB merupakan suatu upaya
untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak. Melalui program KB
diharapkan kualitas bangsa akan terus meningkat dan dapat dilihat dari AHH dan
angka melek huruf yang semakin tinggi, serta jumlah kemiskinan dan angka kematian
ibu yang semakin menurun. Oleh karena itu, untuk mendukung program KB
dibutuhkan kemudahan akses bagi peserta dan calon peserta untuk mendapatkan
layanan KB. Kementerian Kesehatan, BKKBN, serta Pemerintah Daerah
berkewajiban untuk mendukung penyediaan dan kemudahan akses KB.
Pasangan juga harus merencanakan kontrasepsi yang digunakan dalam keluarga.
Tujuan dari penggunaan kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya
kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma.
Berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi
adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki
kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan. Kontrasepsi juga
merupakan upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau menetap, yang
dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis, menggunakan alat/obat,
atau dengan operasi.
C. Pasangan memahami Faktor risiko kehamilan yaitu 4-T (terlalu tua, terlalu
muda, terlalu banyak dan terlalu dekat)
Setiap pasangan perlu memahami mengenai faktor risiko kemailan menggigat
salah satu fungsi keluarga adalah menghasilkan keturunan yang sehat. Kesehatan ibu
sebagai bagian dari kesehatan masyarakat digambarkan meningkat jika terjadi
penurunan angka kematian ibu, meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan dimana persalinan tersebut terjadi di fasilitas kesehatan, (Kemenkes, 2009).
Peningkatan kesehatan ibu di Indonesia yang merupakan tujuan pembangunan
millenium (MDGs) kelima berjalan lambat dalam beberapa tahun terakhir. Rasio
kematian ibu yang diperkirakan dalam SDKI 2007 sekitar 228 per 100.000 kelahiran
hidup, tetap tinggi di atas 200 selama 10 tahun terakhir, meskipun telah dilakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu, (Unicef, 2012).
Penangan kesehatan ibu dan anak di Indonesia memiliki beberapa konsep,
diantaranya pendekatan Continuum of Care, yang merupakan program pencegahan
lewat tata kelola yang baik dari hulu ke hilir. Terkait dengan Kematian Ibu Dalam
Tujuan Pembangunan Milenium, telah ditetapkan indikator peningkatan kesehatan
ibu. dikenal dengan “4 Terlalu” (4-T) meliputi terlalu tua, terlalu muda, terlalu
banyak dan terlalu dekat. Penelitian yang dilakukan Rahmadewi (2011) menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan dan status ekonomi dapat mempengaruhi risiko kehamilan
ibu. Menurut Kemenkes RI (2013) dalam Koehtae (2015), Konsep 4 T(Terlalu) yang
harus dihindari pasangan adalah sebagai berikut:
a. Terlalu Muda
Setiap pasagan harus merencanakan usia pernikahan yang ideal. umur ideal
yang matang secara biologis dan psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita,
kemudian umur 25-30 tahun bagi pria. Usia tersebut dianggap masa yang paling baik
untuk berumah tangga, karena sudah matang dan bisa berpikir dewasa secara rata-
rata, (BKKBN, 2017). Umur ibu terlalu muda (< 20 tahun) Pada usia ini rahim dan
panggul ibu belum berkembang dengan baik dan relatif masih kecil. Secara biologis
sudah siap tetapi psikologis belum matang. Sebaiknya tidak hamil pada usia di bawah
20 tahun.
Sumber: BPS, 2014
Gambar 1.
Usia Perempuan Menikah Menurut Kelompok Umur Tahun 2014

b. Terlalu Tua
Umur ibu terlalu tua (> 35 tahun) Pada usia ini kemungkinan terjadi problem
kesehatan seperti hipertensi, diabetes mellitus, anemis, saat persalinan terjadi
persalinan lama, perdarahan dan risiko cacat bawaan.
c. Terlalu Dekat
Jarak kehamilan terlalu dekat (< 2 tahun) Bila jarak anak terlalu dekat, maka
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik, pada keadaan ini perlu diwaspadai
kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama, atau perdarahan.
d. Terlalu Banyak
Jumlah anak terlalu banyak (> 4 anak) Ibu yang memiliki anak lebih dari 4,
apabila terjadi hamil lagi, perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya persalinan lama,
karena semakin banyak anak, rahim ibu makin melemah.
D. Konsep setia pada pasangan dalam rangka mencegah Penyakit Menular
Seksual (PMS)
Kesetiaan adalah ketulusan, tidak melanggar janji atau berkhianat, perjuangan dan
anugrah, serta mempertahankan cinta dan menjaga janji bersama. Kesetiaan diantara
pasangan sah/suami istri meliputi kesetiaan pada hal-hal kecil yang ada pada
kehidupan mereka, agar keduanya dapat hidup dengan dipenuhi cinta, kasih sayang
penghormatan dan ketulusan dalam hati, tidak saling menyakiti satu sama lain.
Apabila konsep terhadap pasangan tidak dipegang teguh maka dapat
menimbulkan masalah baru seperti masalah seperti terkena penyakit menular seksual
yang disebabkan salah satunya dengan bergonta-ganti pasangan. Penyakit menular
seksual merupakan permasalahan yang menimbulkan dampak kesehatan dan social
pada manusia.
Penyakit Menular Seksual lebih berisiko berdampak pada perempuan. Hal ini
disebabkan karena saat berhubungan seks, dinding vagina dan leher rahim langsung
terpapar oleh cairan sperma. Jika sperma terinfeksi oleh PMS, maka perempuan
tersebut bisa terinfeksi.

E. Menghargai Hak-Hak Reproduksi pada Pasangan


Menurut Kemenkes RI (2015). Kesehatan reproduksi mencakup tiga komponen
yaitu: kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan
(safety).Kemampuan berarti dapat bereproduksi. Keberhasilan berartidapat
menghasilkan anak sehat yang tumbuh dan berkembang. Keamanan (safety) berarti
semua proses reproduksi termasuk hubungan seks, kehamilan,persalinan,kontrasepsi
dan abortus seyogianya bukan merupakan aktivitas yang berbahaya.
Jadi, hak reproduksi merupakan hak setiap individu/pasangan untuk mendapatkan:
1. Kemampuan reproduksi
2. Keberhasilan reproduksi
3. Keamanan reproduksi
Pasangan mempunyai kebebasan dan hak yang sama dan secara bertanggung
jawab dalam memutuskan untuk berapa jumlah anak mereka, jarak kelahiran antara
anak satu dengan yang kedua dan seterusnya serta menentukan waktu kelahiran dan
dimana anak tersebut dilahirkan. Hak Rerpoduksi dan seksual menjamin keselamatan
dan keamanan pasangan, termasuk didalamnya mereka harus mendapatkan informasi
yang lengkap tentang Hak Reproduksi dan kesehatan reproduksi dan seksual, serta
efek samping obat obatan, alat dan tindakan medis yang digunakan untuk mengatasi
masalah kesehatan reproduksi.
“ Hubungan suami istri harus didasari penghargaan terhadap pasangan masing-
masing dan dilakukan dalam kondisi yang diinginkan bersama tanpa unsur
pemaksaan, ancaman dan kekerasan.”
Hak reproduksi juga mencakup informasi yang mudah, lengkap, dan akurat
tentang penyakit menular seksual, agar perempuan dan laki-laki terlindungi dari
infeksi menular seksual (IMS) serta dan memahami upaya pencegahan dan
penularannya yang dapat berakibat buruk terhadap kesehatan reproduksi laki-laki,
perempuan dan keturunannya.

Sumber referensi:
Badan Pusat Statistik (2014). Data Pernikahan Usia Dini. Available (online):
1https://www.google.com/search?
q=Diagram+pernikahan+usia+dini+di+Indonesia

BKKBN.2017. Usia Ideal Menikah. Available (online):


https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun

Dini, Lisa Indrian. 2012. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap
Perilaku Ibu Selama Kehamilan dan Setelah Kelahiran Di Indonesia(Analisis
Data SDKI 2012). Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No.
2, (2016), pp. 119-133

Kalibonso, R. S. 2011. Statistik dan catatan (2011). http://perempuan.or.id

Karyati. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi wanita penjaja seks


dalam pemakaian kondom untuk mencegah penularan pms dan hiv di pati.
Fakultas ilmu keperawatan program magister keperawatan
Kemenkes RI. 2012. Sistem Kesehatan Nasional: Bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan
Departemen Kesehatan
. 2014. Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Jakarta: Kemenkes RI

. 2015. Kesehatan Reproduksi Dan Seksual Bagi Calon Pengantin.


Jakarta: Kemenkes RI

Khatimah, 2013, Hubungan Seksual Suami-Istri Dalam Perspektif Gender Dan


Hukum Islam, Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013

Khusnul Khotimah. 2017. Hubungan antara kepuasan seksual dengan kebahagiaan


pernikahan pada dewasa madya. Program Studi Psikologi fakultas Psikologi
Dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Koehtae.2015. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang Kehamilan


Berisiko di Puskesmas Ngesrep. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas
Diponegoro
.
Marlia, Milda. 2007. Marital Rape. Kekerasan seksual terhadap istri. Yogyakarta :
Pustaka Pesantren

Rahmadewi, Herartri R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan risiko


tinggi. Gizi Indonesia. 2011; 34(2):120-8

Sanusi, Sri Rahayu. 2003. Hak kesehatan reproduksi, definisi, tujuan, permasalahan,
dan faktor-faktor penghambatnya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara

Sari, Putri. 2014. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Risiko Kehamilan “4


Terlalu (4-T)” Pada Wanita Usia 10-59 Tahun (Analisis Riskesdas 2010). Media
Litbangkes, Vol. 24 No. 3, September 2014, 143 – 152

Sukmawati. 2014. Hubungan tingkat kepuasan pernikahan istri dan coping strategy
dengan kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi 2014,
Volume 2 (3), 205-218

Sutinah, 2017. Partisipasi laki-laki dalam program Keluarga Berencana di era


masyarakat postmodern. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 30,
No. 3, tahun 2017, hal. 289-299

Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan


Pembangunan Keluarga
Unicef. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. 2012. Available at http://
www.unicef.org/indonesia/id/A5_B_Ringkasan_ Kajian_Kesehatan_REV.pdf

WHO. (2012). Intimate partner violence. USA : Pan American health organization.
http://apps.who. Int

Anda mungkin juga menyukai